• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIS ORNAMEN PRABA DAN TLACAPAN PADA BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA SIMBOLIS ORNAMEN PRABA DAN TLACAPAN PADA BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA."

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

oleh Trusti Warni

11206241016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULAS BAHASA DAN SENI

(2)
(3)
(4)
(5)

Bapak Sugito dan Ibu Sami tercinta yang mengasihi tiada henti & mencintai tanpa pamrih,

tulisan ini hanya sedikit ilmu yang anakmu persembahkan sebagai tanda terima kasih atas segala doa dan kasih sayang kalian.

Allah SWT yang telah menghimpun kami dalam naungan cinta kasih.. Okky Ferdyyanto & Alvaro Esa Caravagio F.

(6)

Kebahagiaan yang sejati bukan ketika kita mendapatkan apa

yang kita inginkan, tetapi adalah ketika kita selalu

bersyukur dengan apa yang kita miliki

(7)

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Makna Simbolis Ornamen Praba dan Tlacapan pada Bangunan Kraton Yogyakarta.

Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dorongan dan nasehat serta saran dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan laporan ini.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan terimakasih kepada Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Bapak Prof. Dr. Zamzani, M.Pd., dan Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa sekaligus Penasehat Akademik Bapak Drs. Mardiyatmo, M.Pd. yang telah memberikan kesempatan dan berbagai kemudahan kepada saya.

Rasa hormat, terimakasih, dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada pembimbing saya, Bapak Dr. Hajar Pamadhi, M.A (Hons) yang penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi disela-sela kesibukannya. Ibu Eni Puji Astuti, M.Sn. selaku motivator dan inspirator yang telah selalu bersedia direpotkan.

Bapak K.R.T Jatiningrat sebagai narasumber ahli yang telah banyak menginspirasi penulisan skripsi ini. Suatu kebanggaan besar serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak Kraton Yogyakarta Hadiningrat yang sangat terbuka dan memfasilitasi segala keperluan demi kelancaran penulisan, terima kasih banyak. Terima kasih kepada Dinas Kebudayaan Yogyakarta dan Sekretariat Daerah D.I Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya.

(8)
(9)

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK... xvi

BAB I PENDAHULUAN... . 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Perasalahan ... 3

C. Tujuan ... 3

D. Manfaat ... 3

BAB II KAJIAN TEORI... . 4

A. Sejarah Berdirinya Kraton Yogyakarta ... 4

B. Arsitektur dan Tata Ruang Kraton Yogyakarta... 5

1. Bangsal Kencana... ... 8

2. Bangsal Tamanan... 11

C. Ornamen atau Ragam Hias... 12

1. Motif Geometris... 14

2. Motif Non-geometris... 19

D. Simbol... 22

E. Konsep Segitiga... 26

F. Konsep Raja dalam Kepercayaan Jawa... 27

G. Makrokosmos dan Mikrokosmos... 28

1. Nilai keteraturan Makrokosmos Sejati... 29

2. Nilai keteraturan Mikrokosmos Sejati... 30

H. Manunggaling Kawula-Gusti ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... . 33

(10)

1. Dokumentasi... 33

2. Studi Pustaka... 34

3. Wawancara... 34

4. Analisis Data... 34

D. Instrument Penelitian... 35

E. Teknik Analisis Data... 35

1. Klasifikasi Data... 36

2. Analisis Data... 36

3. Interpretasi Data... 36

4. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... . 38

A. Hasil Penelitian ... 38

1. Sejarah Kraton Yogyakarta ... 39

2. Arsitektur Bangunan Kraton Yogyakarta ... 39

3. Ornamen atau Ragam Hias pada tiang Bangsal Kencana .. 46

B. Pembahasan... ... 54

1. Kajian Ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencana ... 55

2. Kajian Ornamen Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana... 66

3. Makna Ornamen Praba dan Tlacapan bagi Kraton Yogyakarta... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(11)

Halaman

Gambar I : Istana Jawa sebagai Imago Mundi... 7

Gambar II : Ornamen Tlacapan dan Praba pada tiang Bangsal Kencana... 14

Gambar III : Tumpal pada kain batik dari Madura... 15

Gambar IV : Motif Untu Walang ... 16

Gambar V : Motif tumpal berisi pohon Hayat, Bali... 16

Gambar VI : Tumpal pada meriam perunggu Manado... 17

Gambar VII : Motif pucuk rebung... 18

Gambar VIII : Tumpal pada Candi Naga, Blitar-Jawa Timur... 18

Gambar IX : Anteviks candi... 19

Gambar X : Gunung sebagai ide bentuk segitiga... 22

Gambar XI : Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta... 41

Gambar XII : Pelataran Bangsal Kencana... 42

Gambar XIII : Bagian dalam Bangsal Tamanan... 46

Gambar XIV : Ornamen Saton pada tiang Bangsal Kencana... 47

Gambar XV : Ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencana... 48

Gambar XVI : Ornamen Putri Mirong sebagai stilisasi Muhammad Rasul Allah... 50

Gambar XVII : Ornamen Sorotan sebagai stilisasi Muhammad... 51

Gambar XVIII : Ornamen Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana.... 52

Gambar XIX : Hiasan umpak pada tiang Bangsal Kencana... 53

Gambar XX : Ornamen Praba... 55

Gambar XXI : Praba dengan bentuk lebih cembung... 56

Gambar XXII : Antevik Candi... 57

(12)

Gambar XXV : Kalpataru candi Prambanan... 61 Gambar XXVI : Praba pada tiang Bangsal Kencana... 61 Gambar XXVII : Ornamen Praba pada Bangsal Tamanan (kiri) dan

Praba pada Bangsal Kencana(kanan)... 62 Gambar XXVIII : Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana (kanan) dan

(13)
(14)
(15)
(16)

BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA

Oleh Trusti Warni NIM 11206241016

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan pada bangunan Kraton Yogyakarta dilihat dari segi bentuk, warna, dan isen-isen.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskripstif kualitatif, yaitu mendeskripsikan makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan pada bangunan Kraton Yogyakarta. Objek material adalah pola dasar segitiga, objek formal adalah makna simbolis. Adapun subjek penelitiannya adalah ornamen Kraton Yogyakarta. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik dokumentasi, studi pustaka, wawancara, dan analisis data. Data dianalisis dengan cara diklasifkasikan, analisis, dan kemudian interpretasi data. Keabsahan data diperoleh dengan cara triangulasi antara peneliti, objek penelitian, dan sumber ahli.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tinjauan bentuk untuk ornamen Praba menyerupai hiasan tumpal dan antevik candi, dengan menggunakan warna kuning emas, isen-isen ornamen Praba adalah pohon kalpataru, makna simbolis dari ornamen Praba yang berada pada tiang Bangsal Kencana secara asal katanya adalah berarti cahaya atau sinar. Cahaya/sinar yang dimaksud dapat diartikan sebagai simbol kepemimpinan sang Sultan yang diharapkan dapat memberi penerangan dan pengayoman terhadap rakyatnya. Cahaya/sinar harapan sebagai doa bagi Kraton Yogyakarta, (2) tinjauan bentuk ornamen Tlacapan memiliki bentuk dasar segitiga tumpal, dengan warna kuning emas, isen-isen berupa daun-daun dan bunga yang distilir, makna simbolis ornamen tlacapan adalah sinar yang kemudian menjadi lambang dari sinar atau cahaya Tuhan, Nur Illahi. Ornamen Tlacapan diartikan sebagai cahaya merepresentasikan sifat-sifat yang bercahaya pada bangsal Kencana Kraton Yogyakarta, (3) kedua ornamen Praba dan Tlacapan yang memiliki bentuk dasar segitiga sebagai reperesentasi Manunggaling Kawula-Gusti (bersatunya manusia dan Tuhan) bagi Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Yogyakarta merupakan kota pendidikan sekaligus kota budaya, dihuni masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Kondisi ini tidak mengurangi nilai eksitensi kebudayaan-kebudayaan lokal yang terdapat di Yogyakarta. Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Notowidagdo (1996) terdiri dari tiga macam. Pertama kebudayaan sebagai koplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan aturan. Kedua kebudayan berwujud aktivitas dalam masyarakat. Ketiga kebudayaan yang berupa benda-benda hasil karya manusia.

Menurut Panduan Pelaksanaan Konvensi Warisan Budaya Dunia UNESCO dalam Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta (2009: 6), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan warisan budaya (cultural heritage) mencakup monumen, kumpulan bangunan, situs, dan saujana budaya (cultural landscape). Pengertian warisan budaya (cultural heritage) merujuk pada unsur budaya yang telah dihasilkan manusia serta diteruskan dari generasi sebelumnya ke generasi sekarang dan mendatang.

(18)

ideal dan kehidupan yang luhur. Kraton bukan sekedar ruang dan bangunan yang menakjubkan. Kraton Yogyakarta juga mengisyaratkan kesempurnaan hidup, baik secara fisik maupun spiritual (Kresna, 2011: 174).

Komplek Kraton Yogyakarta yang secara arsitektur merupakan salah satu bangunan yang megah memiliki hiasan berupa ornamen-ornamen yang indah. Fungsi ornamen yang terdapat pada bangunan keraton Yogyakarta bukan hanya sebagai penghias atau estetis saja namun juga memiliki fungsi simbolis yang berkaitan dengan filosofi dan kepercayaan di dalamnya. Menurut Tabrani dalam Sunaryo (2009: 2) menjelaskan bahwa dalam kesenian tradisional itu, karya seni rupa yang dicipta tidak semata untuk keindahan, sebaliknya tak ada benda pakai yang dibuat fungsional melulu. Aspek keindahan pada produk seni bukan sekedar memuaskan mata melainkan berpadu dengan kaidah moral, adat, kepercayaan, dan sebagainya sehingga bermakna sekaligus indah.

Segala sesuatu di dalam Kraton, dari arsitektur bangunannya, dari letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya sampai pada warna gedung-gedungnya mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditanam di Kraton Yogyakarta terdiri atas jenis-jenis yang ada maknanya. Konon semua itu mengandung nasihat agar manusia cinta dan menyerahkan diri kepada Tuhan YME, berlaku sederhana, berhati-hati dalam tingkah laku sehari-hari (Roem, 2011: 120).

(19)

Salah satu khas kraton adalah ornamen Praba dan Tlacapan yang terdapat pada tiang bangunan Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta memiliki nilai sejarah dan fungsi simbolis yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Hal tersebut dikarenakan ornamen Praba dan Tlacapan sudah sering diteliti namun hanya sebatas dalam arti asal katanya saja. Maka dalam penelitian ini akan dibahas mengenai ornamen Praba dan Tlacapan secara lebih mendalam.

B. Fokus Permasalahan

Adapun fokus masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan yang berada pada tiang bangunan Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan yang berada pada tiang bangunan Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta?

D.Manfaat

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Sejarah Berdirinya Kraton Yogyakarta

Pada tangal 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengkubuwono I menempati Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, setelah sejak 5 April 1755 dimulai pembukaan hutan Pabringan. Penyelesaiannya ditandai dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1682 J dan yang mengungkapkan

makna yang tersirat: Sari-Rasa-Tunggal (artinya: Hakikat Kesatuan) dan Sarira-Satunggal (yang berarti: Kepribadian). Selanjutnya tanggal 7 Oktober itu

diperingati sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta (Damardjati, 1993).

Menurut Kresna (2011), kata keraton berasal dari kata ratu. Kata keraton diartikan tempat seorang raja memerintah, tempat tinggal, dan bersemayam. Fungsi dan arti keraton dalam arti yang lebih luas bermakna simbolis kesemestaan. Kekuasaan raja-raja di Jawa, seorang raja diposisikan sebagai penguasa semesta. Selanjutnya, fungsi seremonial keraton adalah sebagai wadah penyelenggaraan upacara yang menampilkan kewibawaan seorang raja. Pendapat lain menyatakan bahwa keraton adalah tempat bersemayamnya ratu-ratu, berasal dari kata ka-ratu-an atau juga disebut kedhaton yang berasal dari kata ka-datu-an. Akan tetapi keraton adalah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, falsafah, dan kebudayaan (Roem, 2011: 120).

(21)

Garjitawati. Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II pasanggrahan ini diberi nama Ngayogya dan dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para raja yang akan dimakamkan di Imogiri. Untuk mengabadikan nama itu, ibukota daerah Sutan Hamengkubuwono I diberi nama Ngayogyakarta. Ngayogyakarta berasal dari dua kata yaitu Yogya dan Karta. Yogya berarti pantas, terhormat, indah, bermartabat, mulia. Karta berarti perbuatan, karya, amal. Dengan demikian Ngayogyakarta berarti tempat indah yang selalu dibuat bermartabat dan terhormat.

Pemberian nama dan pemilihan tempat untuk ibukota kerajaan di jaman dulu, selalu dipersiapkan secara matang baik lahir maupun batin. Menurut Purwadi (2003: 25) menjelaskan bahwa membangun keraton bagi raja selalu diawali dengan penyelidikan seksama mengenai: letak daerahnya, hawa udaranya, kesuburan tanah, keindahannya, keamanannya baik terhadap bencana alam maupun terhadap serangan musuh, mengingat bahwa Sultan Hamengkubuwono I dalam sejarah selalu dikenal sebagai orang yang pandai serta ahli dalam membangun, tentu juga telah melakukan pengamatan lahir dan batin sebelum memerintahkan membangun Kraton Yogyakarta.

B.Arsitektur dan Tata Ruang Kraton Yogyakarta

(22)

gang atau lorong-lorong yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan senjata amonisi.

Arsitektur Kraton Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi atau tidak lain adalah Sultan Hamengku Buwono I. Sangat jarang arsitektur suatu kerajaan ditangani oleh rajanya sendiri. Menurut Daliman (2001: 11) mnjeaskan bahwa Pangeran Mangkubumi telah dipercaya oleh kakandanya Paku Buwono II untuk membangun Kraton Kasunanan Surakarta guna menggantikan Kraton Kasunanan Kartasura yang rusak akibat geger Pacina pada tahun 1740.

(23)

Gambar I: Istana Jawa sebagai Imago mundi (citra dunia) Sumber: T.E. Behrend, 1983

Daliman (2001: 15) menyatakan bahwa

Kraton Yogyakarta yang dipandang sebagai mandala, sebagai pusat dari replika alam semesta, kosmos. Rangkaian bangunan dan halaman Kraton yang terpencar dari pusat melambangkan daratan dan lautan. Kedua pintu gerbang utama menghadap utara dan selatan. Pintu gerbang utara enghadap gunung mrapi dan pitu gerbang selatan menghadap laut selatan tempat tinggal Dewi Laut Selatan, Nyai Roro Kidul yang menrut legenda bertahta di dasar Samudera Selatan.

(24)

pusatnya terdapat rumah segala pusaka milik Kraton, Prabayeksa, dan Bangsal Kencana, tempat dimana Sultan bertahta dan memerintah sepanjang tahun. Di tempat ini Sultan menerima tamu paling penting setara Residen dan Gubernur. (http://www.kamusilmiah.com/sejarah/keraton-ngayogyakarta-hadiningrat-tata-ruang-arsitektur-dan-maknanya/ )

Sepanjang sejarah, unsur vertikal dalam arsitektur (kolom,tugu, dan menara) telah dipergunakan untuk menandai peristiwa-peristiwa penting dan menciptakan titik tertentu di dalam ruang. Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat saat itu mengenai adanya pusat dunia atau poros. Mereka mencari orientasi, pengkiblatan diri. Selain itu unsur vertikal juga berfungsi sebagai perantara (axis mundi), simbol penyatuan antara dunia atas dan dunia manusia, (Purnomo, 2015).

Menurut Pamadhi (2004: 8-9) menjelaskan bahwa ketika manusia menciptakan suatu karya baik berupa teknologi ataupun seni dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah alam. Keadaan alam di timur yang subur membuat masyarakatnya mencari manifestasi kekagumannya akan alam, akhirnya mereka menciptakan dewa sebagai manifestasi ketidakmampuan menanggapi misteri alam.

1. Bangsal Kencana

(25)

Perang Diponegoro pecah, semula di tempat ini diselenggarakan persidangan rutin tiap pekan oleh para pejabat dan bangsawan Kraton yang dipimpin oleh Sultan. Bangsal ini dipergunakan untuk menyambut tamu agung, menyelenggarakan upacara pernikahan dan khitanan, pementasan wayang orang dan tari serta untuk menghadap para abdi, pejabat dan kerabat Kraton saat Ngabekten Sawal, menghaturkan sembah dan memohon maaf seusai perayaan Idul Fitri. Di Bangsal Kencana Sultan bertahta menghadap ke timur atau ke arah matahari terbit yang melambangkan kekuasaan Sultan yang perkasa dan mecerahkan laksana matahari.

Bangsal ini diapit oleh dua bangunan limasan memanjang yakni Tratag Bangsal Kencana di sisi timur yang semula dipergunakan untuk pentas wayang orang kolosal khususnya pada masa Hamengku Buwana VIII (1921-1939) dan Tratag Prabayeksa di sisi barat yang biasa dipergunakan oleh para penari bedhaya sebelum berpentas di Bangsal Kencana. Pada masa Hamengku Buwana VII (1877-1921) semua tratag ini dibangun ulang dengan tiangtiang besi tuang impor yang serupa kolom klasik Eropa dengan hiasan sulur berbunga yang melilit dan atap metal bergelombang (Dinas Kebudayaan D.I.Yogyakarta : 2009).

Menurut Tnunay (1991: 47) Kencana mengandung arti makna simbolik Manungaling Kawula Lan Gusti. Bersatunya rakyat dengan raja dalam artian

(26)

posisi dan hakekatnya. Berperan aktif secara proporsional sebagai strategi pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan melalui aturan dan santun.

Menurut Daliman, (2001: 17-18) secara etimologis kata Kencana pada nama bangunan bangsal Kencana mengandung makna sifat-sifat atau unsur-unsur yang bercahaya. Bangunan Bangsal Kencana menjadi lambang menyatunya antara kawula (hamba) dan Gusti (Tuhan), sang Cahaya Sejati.

2. Bangsal Tamanan

Bangsal Tamanan bangunan kecil berbentuk joglo lawakan lambangsari dengan atap bersusun dua dan atap bawah menempel pada atap di atasnya, terletak di utara Gedong Kuning dan di sebelah barat halaman Sri Manganti. Bangsal ini didominasi oleh warna biru tua, merah, putih dan keemasan yang berbeda dengan kebanyakan bangunan di Kraton. Ornamen yang unik dijumpai pada kerbil atau bidang pengaku hubungan antara gelagar dan saka guru yang di antaranya memiliki figur naga, burung hong dan kijang yang akrab dengan tradisi Tiongkok. Perbedaan ini menimbulkan gambaran bahwa Bangsal Tamanan berasal dari masa sebelum Kraton Yogyakarta dibangun. Beberapa cerita lisan menyebutkan bahwa Bangsal ini berasal dari Masa Kerajaan Majapahit.

(27)

gunung Mahameru tempat tinggal dewa. Saka atau tiang dipandang sebagai axis mundi (perantara dunia atas dan dunia bawah), di sinilah posisi ornamen Praba

dan tlacapan berada. Maka untuk mengetahui makna simbolis dari ornamen Praba dan tlacapan harus dilakukakan pembahasan mengenai posisi ornamen tersebut terletak.

C.Ornamen atau Ragam Hias

Kata oranamen berasal dari bahasa Latin ornare, yang artinya hiasan atau perhiasan (Soepratno, 1983: 11) berdasar arti kata tersebut berarti menghiasi. Menurut Gustami dalam Sunaryo (2009: 3) menjelaskan bahwa ornamen adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan. Jadi, berdasarkan pengertian di atas, ornamen merupakan penerapan hiasan pada suatu produk. Bentuk-bentuk hiasan yang menjadi ornamen fungsi utamanya adalah untuk memperindah benda produk atau barang yang dihias. Benda produk tersebut, tetapi setelah ditambahkan ornamen padanya diharapkan menjadikannya semakin indah.

(28)

Menurut Kusmiati (2004: 17), arsitektur adalah bagian dari kebudayaan, dan nilai-nilai budaya diungkapkan melalui relief yang terpasang sebagai ragam hias (ornament) tidak terpisahkan dari bangunan. Kehadiran sebuah ornamen tidak semata sebagai pengisi bagian kosong dan tanpa arti, lebih-lebih karya ornamen masa lalu. Ornamen memiliki beberapa fungsi, yakni: (1) fungsi murni estetis, (2) fungsi simbolis, (3) fungsi teknis konstruktif, (Sunaryo, 2009: 4).

Fungsi murni estetis merupakan fungsi ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni. Fungsi ornamen yang demikian itu tampak jelas pada produk-produk benda kerajinan atau seni kriya.

Fungsi simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk-produk benda upacara atau benda-benda pusaka dan bersifat keagaman atau kepercayaan. Ornamen yang menggunakan motif kala, biawak, naga, burung, atau garuda misalnya, mmiliki fungsi simbolis. Sebagai contoh pada gerbang Kemagangan di komplek keraton Yogyakarta, terdapat motif hias berbentuk dua ekor naga yang saling berbelitan bagian ekornya. Ornamen itu sebagai tanda titimangsa berdirinya keraton, juga merupakan simbol bersatunya raja dengan rakyat yang selaras dengan konsep manunggaling kawula-gusti dalam kepercayaan Jawa.

(29)

ornamen terkait erat dengan produk yang dihiasinya. Artinya, jika ornamen itu dibuang maka berarti pula tak ada produk yang bersangkutan.

Dalam konteks seni rupa, klasifikasi seni ornamen tradisional Hindu-Jawa di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) seni ornamen dari benua atas yang diwujudkan dalam bentuk binatang burung. Burung sebagai simbol roh atau lambang kematian dan kebangkitan kembali, atau dewa dunia atas, khusus burung garuda di Jawa maknanya sebagai kendaraan dewa Wisnu; (2) seni ornamen dari benua bawah yang ditampilkan dalam bentuk binatang ular. Ular merupakan binatang golongan rendah, simbol kemakmuran dan kesejahteraan, atau lambang perempuan; (3) seni ornamen tanaman, sulur-suluran, tumpal, manusia, dan binatang lainnya disebut dengan benua tengah. Biasanya divisualisasikan dalam pohon hayat atau gunungan (kekayon). Kelompok ragam hias ini melambangkan kesatuan, keesaan tertinggi, dan sumber kehidupan manusia, (Marizar, 2013: 124)

Di dalam seni rupa Indonesia tiap-tiap bentuk ornamen mempunyai arti, misal pada seni kerajinan batik, seni ukir, sungging dan sebagainya, dimana ornamen-ornamen tersebut memeiliki arti sebagai berikut.

Tabel 1. Ornamen dan perlambangannya

Ornamen Melambangkan Swastika Alam semesta Garuda Dunia atas Burung Merak Kendaraan dewa Pohon Hayat/kehidupan Lidah api kesaktian

Ular Dunia bawah

(30)
[image:30.595.114.511.375.618.2]

Tabel 2. Ornamen pada seni sungging wayang

Lukisan Melambangkan Burung Dunia atas

pohon Dunia tengah (madya pada) Ular Dunia bawah

Sumber: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud

Dalam penelitian ini ornamen yang akan dikaji adalah Ornamen Praba dan Tlacapan yang berada pada tiang Bangunan Kraton Yogyakarta khususnya Bangsal Kencana. Agar memahami bentuk dan makna simbolis yang akan dikaji dari ornamen Praba dan Tlacapan maka terlebih dahulu harus memperhatikan pembagian jenis-jenis yang terdapat pada ornamen.

Gambar II: Ornamen Tlacapan dan Praba pada tiang Bangsal Kencana Sumber: Trusti, 2015

a. Ornamen motif Geometris

Motif Geometris merupakan motif tertua dalam ornamen karena sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Motif geometris menggunakan unsur-unsur rupa

Ornamen Tlacapan

(31)

seperti garis dan bidang yang pada umumnya bersifat abstrak artinya bentuknya tidak dapat dikenali sebagai bentuk-bentuk objek alam. Motif geometris berkembang dari bentuk titik, garis, atau bidang yang berulang, dari yang sederhana sampai dengan pola yang rumit.

Sejumlah ornamen geometris nusantara antara lain adalah meander, pilin lereng, banji, kawung, jlamprang, dan tumpal. Berikut adalah penjelasan mengenai ornamen geometris dengan pola dasar segitiga atau tumpal yang mirip dengan bentuk ornamen Praba dan Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta.

[image:31.595.187.437.525.681.2]

Tumpal memiliki bentuk dasar bidang segitiga. Bidang-bidang segitiga itu biasanya membentuk pola berderet, sering digunakan sebagai ornamen tepi. Menurut Sunaryo (2009: 30) menjelaskan bahwa motif tumpal banyak dijumpai pada batik, terutama batik pesisir yang banyak mendapat pengarauh dari Cina. Motif tumpal pada kain selain diterapkan sebagai hiasan pinggir, juga dipakai pada bagian kain yang disebut kepala.

Gambar III: Tumpal pada kain batik dari Madura

(32)
[image:32.595.181.443.194.383.2]

Menurut Sunaryo (2009) menjelaskan bahwa di Jawa khususnya Yogyakarta mengenal motif tumpal pada kain batik dengan sebutan untu walang (gigi belalang).

Gambar IV: Motif untu walang

Sumber: http://4407399_untuwalang2_kpbsmall.com

Dalam berbagai variasi, motif tumpal yang berbentuk dasar segitiga sama kaki diisi oleh aneka tumbuh-tumbuhan, dan ada juga yang diisi dengan penggayaan lidah api. Menurut Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa terdapat juga motif tumpal dari Bali yang dihiasi dengan bentuk pohon hayat (kekayon).

[image:32.595.201.423.557.723.2]
(33)
[image:33.595.249.373.263.486.2]

Ragam hias tumpal juga ditemukan pada benda pakai seperti yang disebut pinggir tumpal adalah deretan segitiga sama kaki. Menurut Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa terdapat jenis hiasan tumpal berselimpat pada meriam perunggu di Manado bentuknya bagian garis tepi segitiga sudah dihilangkan jadi hanya tinggal sulur dan ukel.

Gambar VI: Tumpal pada meriam perunggu Manado Sumber: (Van der Hoop, 1949).

(34)
[image:34.595.189.441.110.245.2]

Gambar VII: Motif pucuk rebung

Sumber: http://agungrmdhn.wordpress.com/arab-melayu

Ragam hias tumpal selain terdapat pada benda peralatan juga terdapat pada seni bangunan arsitektur. Menurut Van der Hoop (1949: 26) menjelaskan bahwa sekitar abad ke-14 hiasan tumpal terdapat pada candi Naga di Blitar Jawa Timur. Ragam hias tumpal tersebut terdapat pada bagian pintu masuk candi dan diisi dengan motif sulur-sulur.

Gambar VIII: Tumpal pada Candi Naga, Blitar- Jawa Timur Sumber : http://arsiparis.blogspot.com/2014/05/batik-jawa-timur.html, 2015

[image:34.595.169.457.419.591.2]
(35)
[image:35.595.237.390.222.408.2]

dasar segitiga yang terdiri dari bentuk segitiga berjajar dimana segitiga pada bagian tengah lebih besar daripada dua segitiga lainnya. Hiasan antevik sebagai simbol dari gunung Mahameru yang merupakan tempat bersemayamnya para dewa.

Gambar IX: Anteviks Candi

Sumber: http://nyariwatu.blogspot.com/2010/12/candi-pendem-sengi.html

b. Ornamen Non-geometris

Selain ornamen geometris juga terdapat ornamen non-geometris yaitu ornamen yang memiliki bentuk-bentuk bebas atau bentuk alam seperti motif binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda alam manusia benda-benda teknologi dan kaligrafi. Menurut Van Der Hoop dalam bukunya Indonesische Siermotieven, Ragam-Ragam Perhisan Indonesia, Indonesia Ornamental Design

(36)

1) Pohon Hayat

Pohon Hayat sebagai lambang keesaan tertinggi, jumlah-kesatuan yang dapat disamakan dengan Brahman dalam agama Hindu dan Tao dalam filsafat Tionghoa, (Van der Hoop, 1949). Pohon hayat adalah sumber semua hidup kekayaan dan kemakmuran dan oleh karena itu sering dihiasi dengan permata, kain-kain dan sebagainya.

Di Indonesia khususnya Sumatera Utara, pohon hayat masih dapat dijumpai sebagai pohon keramat ditanam di tengah-tengah desa di atas sebuah panggung kecil yang diberi batu. Di atas panggung tersebut dirauh tengkorak-tengkorak kerbau yang dikorbankan. Pada waktu ada peralatan-peralatan sering juga didirikan pohon hayat, dihiasi dengan kain dan disinilah kerap kali tanduk kerbau diikatkan.

Pada beberapa suku orang Dayak dijumpai pembagian serba dua : benua atas (burung enggang), benua bawah (ular air), serta keesaan Tuhan digambarkan dengan pohon hayat (Van der Hoop, 1949:274). Sebuah ukiran kayu dari Cirebon, hampir sama yaitu konsep dunia atas digambarkan dengan burung, dunia bawah dengan ular, dan keesaan Tuhan dengan pohon hayat, yang berbeda adalah pohon hayat digambarkan sudah hampir menyerupai daun, hampir mirip dengan gunungan. Di sini digambarkan bahwa pohon hayat keluar dari sebuah bunga teratai yang berdiri di atas gunung.

Pohon Hayat atau Kalpadruma atau Kalpawreksa atau The Life Tree atau The Wishing Tree atau Pohon Surga atau Kekayon Gunungan, menunjukkan suatu

(37)

Pohon Hayat dalam Islam mungkin dikenal pula dengan sebutan Syajaratul Khuldi (Tjandrasasmita, 2009).

2) Pohon hayat, Gunungan

Gunungan dalam permainan wayang kulit ditaruh di depan kelir sebelum dan sesudah permainan, juga diantara babakan-babakan. Menururt Van der Hoop (1949) menjelakan bahwa gunungan menyerupai bentuk kipas. Gunungan (pegunungan) yang disebut juga kekayon yang berasal dari kata kayu. Gunungan ini melambangkan kesatuan, keesaan, sama denga pohon hayat. Di dalam gunungan terlihat digambarkan berbagai ragam hias, tetapi ragam hias yang utama yaitu pohon yang berada di tengah-tengah.

3) Gunung

(38)
[image:38.595.189.435.113.279.2]

Gambar X: Gunung sebagai ide bentuk segitiga

Sumber : http://zariyat.blogspot.com/sejarah-letusan-gunung-merapi.html, 2015 4) Mahameru

Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa Mahameru pada sebuah kain yang berasal dari Yogyakarta yang disebut dodot. Polanya terdiri dari berbagai ragam-ragam hias. Di bagian atas dan bawah, ragam hias garuda yang memiliki dua sayap dan dua ekor. Di kanan dan kiri terdapat lar, di tengah-tengahnya terdapat gunung. Pola batik majemuk yang seperti demikian disebut semen.

D.Simbol

Menurut Poespoprodjo (2004: 117), menjelaskan bahwa kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo yang berarti menghubungkan menggabungkan. Simbol dapat berupa gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai

itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan

(39)

dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Herusatoto (1991: 12) menerangkan mengenai simbol.

Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad. Lambang-lambang purba seperti api, air, matahari, ikan dan sebagainya mempunyai fungsi yang kadang religius, kadang-kadang seni dan kadang-kadang-kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama. Contoh: huruf hiroglif di Mesir kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi menggandung berita, tetapi tidak lewat huruh-huruf biasa, satu huruf satu bunyi misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.

Jadi simbol digunakan untuk menjelaskan makna, menyampaikan berita, juga sebagai peninggalan bukti sejarah. Untuk memperjelas pengertian mengenai simbol akan dijelaskan perbedaan tentang isyarat, tanda-tanda, lambang atau simbol yang selama ini masih sering bertukar pengertian. Menurut Herusatoto (1991) adapun perbedaan dari ketiganya adalah.

1) Isyarat dapat berupa bentuk-bentuk

Gerak tubuh/anggota badan, suara-suara/bunyi, sinar, asap, misalnya isyarat-isyarat morse, kibaran-kibaran bendera.

2) Tanda-tanda dapat berupa benda-benda atau bentuk-bentuk

Contoh: tugu-tugu jarak jalan (kilometer, tanda lalu lintas, tanda-tanda pangkat/jabatan). Tanda bisa berupa hal atau keadaan seperti, ada awan tanda akan hujan, ada asap tanda ada api.

3) Lambang atau simbol dapat berupa benda-benda atau bentuk

(40)

berupa hal atau keadaan seperti misalnya: seloka, pepatah, candra sengkala, kisah/dongeng.

Simbol dapat menjadi bagian terkecil dari sebuah isyarat dan tanda, sementara isyarat dan tanda bisa jadi mengandung makna simbolis di dalamnya. Warna dapat juga digunakan sebagai simbol. Pada tradisi masyarakat Yogyakarta warna sesuatu benda dapat dipakai untuk mengungkapkan isi hatinya, seperti di Kraton Yogyakarta. Warna digunakan sebagai simbol suatu yang ingin diungkapkan, makna dibalik suatu benda. Dalam buku yang berjudul Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976/1977: 253) menerangkan bahwa terdapat beberapa warna yang digunakan sebagai simbol oleh Kraton Yogyakarta.

1) Warna kuning adalah simbol segala sesuatu yang mengandung makna ketuhanan. Pada upacara-upacara adat sering dipakai cengkir gading. Di kraton Yogyakarta terdapat bangunan yang disebut Gedong Kuning.

2) Warna merah melambangkan keberanian. Bendera negara RI merah putih, dapat pula warna merah diartikan marah misalnya pada waktu seseorang sedang marah ia lalu berkirim surat dengan tinta merah.arti lain lagi merah sebagai tanda bergembira.

3) Warna gelap tanda berkabung. Bunga tanda bela sungkawa biasanya berwarna gelap.

4) Warna hijau gadung Mlati menurut kepercayaan masyarakat Jawa Tengah adalah warna kesukaan Nyai Roro Kidul.

(41)

6) Warna hijau lambang ramah tamah, tentrem 7) Warna hitam tanda keabadian

[image:41.595.115.510.250.758.2]

Menurut Sanyoto (2010: 46-51) mendeskripsikan karakter dan simbolisasi warna adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Karakter dan Simbolisasi Warna

Warna Karakter Simbol

Kuning Terang, gembira, ramah, supel, riang, cerah, hangat

Kecerahan, kehidupan, kegembiraan, kemenangan, kemeriahan, peringatan

Kuning Emas agung Keagungan, kemewahan,

kejayaan, kemegahan, kemuliaan, dan kekuatan Jingga/ Orange Dorongan, semangat, merdeka,

anugrah, bahaya

Kemerdekaan, penganugerahan,

kehangatan, keseimbangan, Merah Menaklukkan, ekspansif,

dominan (berkuasa)

Nafsu primitif, marah, berani, perselisihan, bahaya, perang, seks, kekejaman, kesadisan

Ungu Keangkuhan, kebesaran, kekayaan

Kebesaran, kejayaan, keningratan,

kebangsawanan,

kebijaksaan, pencerahan Biru Dingin, pasif, melankoli, sayu,

sendu, sedih, tenang, berkesan jauh, mendalam, tak terhingga, cerah

Keagungan, keyakinan, keteguhan iman, kesetiaan, kebenaran, kemurahan hati, kecerdasan, perdamaian, stabilitas, keharmonian, kesatuan, kepercayaan, keamanan

Hijau Segar, muda, hidup, tumbuh Kesuburan, kesetiaan, keabadian, kebangkitan, kesegaran, kemudaan, keremajaan, keyakinan, kepercayaan, keimanan, pengharapan, kealamian, lingkungan, keseimbangan, dll

(42)

ketulusan, kedamaian, kebenaran, kesopanan, kehalusan, kelembutan, kewanitaan, kebersihan, simpel, kehormatan

Hitam Menekan, tegas, mendalam, depresive

Kesedihan, malapetaka, kesuraman, kemurungan, kegelapan, kematian, teror, kejahatan, kesalahan, rahasia, ketakutan, seksualitas, penyesalan, amarah, duka cita

Abu-abu menyenangkan Ketenangan, kebijaksanaan, keredahhatian, turun tahta, suasana kelabu, keragu-raguan

Coklat Kedekatan hati, sopan, arif bijaksana, hemat, hormat

Kesopanan, kearifan, kebijasanaan, kehormatan Sumber: Sanyoto, 2010

E.Segitiga

Bentuk segitiga yang meruncing dapat menjadi suatu penunjuk arah, untuk itu kesan yang timbul adalah pencapaian tujuan. Bentuk ini dapat menyimbolkan stabilitas namun dapat pula sebaliknya. Dalam spiritualitas bentuk ini digunakan untuk mewakili pengenalan diri, dan pencerahan, (Santoso, 2012).

(43)

F. Konsep Raja dalam Kepercayaan Jawa

Negara kosmis sangat erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu anggapan bahwa raja adalah titisan dewa atau keturunan dewa. Konsep raja-dewa atau ratu-binathara ini pada periode kerjaan Islam tidak menempatkan raja pada kedudukannya yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai khalifatullah, sebagai wakil Tuhan di dunia. Namun demikian, penurunan kedudukan ini tidak mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya, (Purwadi: 2003).

Kerajaan tradisional Jawa yang disebut Mataram, dalam konsep politiknya mengakui bahwa raja merupakan penguasa yang memiliki dasar sebagai dewa-raja atau kalifatullah. Raja sebagai orang yang dinilai mempunyai kharisma serta kekuatan melebihi manusia biasa, memiliki kekuasaan yang amat besar terhadap kerabat dan rakyatnya. Menurut Purwadi (2007: 524), adanya konsep dewa-raja pada masa Hindu Jawa yang memandang raja sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam dalam pengertian kalifatullah yaitu wakil Allah di dunia.

(44)

Menururt Benedict Anderson dalam Marizar (2013: 91-92), menjelaskan bahwa wujud ideal kekuasaan jawa tercermin dalam kesatuan politis yang dikombinasikan secara terpadu dengan konsep kekuasaan jagat raya. Hal itu tampak jelas pada gelar yang digunakan raja keturuanan mataram, seperti Hamengku Buwono, Paku Buwono, mengindikasikan bahwa konsep kekuasaanya tidak terlepas dengan kekuasaan jagat raya. Di dalam kontek kekuasaan tradisional jawa terutama di Kraton Yogyakarta dapat disimak bahwa kekuasaan raja memiliki keterkaitan dengan jagat raya.

G.Makrokosmos dan Mikrokosmos

Dalam masyarakat dengan konteks budaya mitis terdapat cara berpikir yang beradasarkan kesatuan kosmos. Mikrokosmos (manusia), makrokosmos (semesta), dan metakosmos (alam lain) adalah satu keutuhan, (Sumardjo, 2000: 333). Dasar berpikir seperti ini bukan hanya monopoli kepercayaan lokal Indonesia, tetapi juga dalam agama-agama besar di dunia. Yang berbeda hanya konsep tentang mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos.

Manusia sebagai mikrokosmos memiliki eksistensi lahiriah, jasmaniah, dan batiniah. Eksistensi lahiriahnya melambangkan kekacauan akibat nafsu-nafsunya, yaitu nafsu yang tak terkendali yang membuat hidup tidak teratur. Eksistensi batiniahnya melambangkan suatu kosmos atau keteraturan, sesuai dengan kosmos tertinggi yang merupakan dasar moralitas manusia.

(45)

jagad raya ini (Sumardjo, 2000: 334). Manusia harus tau diri atau sadar dimana tempat dan perannya dalam tata masyarakat dan tata alam semesta.

1. Nilai keteraturan makrokosmos sejati

Untuk dapat mencapai keabadian sejati, yang dijabarkan menjadi kemapanan sejati, manusia harus hidup sesuai tatanan Tuhan yakni tatanan kosmos atau cosmic order. Dengan demikian nilai keabadian sejati amat erat kaitannya dengan nilai keteraturan makroksmos sejati. Nilai makroksmos sejati adalah nilai ketergantungan tata kosmos yang sempurnna. Keteraturan makrokosmos sejati adalah keteraturan yang utuh, menyatu atau terpadu, benar, suci, adil, angung dst.

Menurut Amir dalam bukunya yang berjudul Nilai-nilai Etis dalam Wayang (1991: 147-148), nilai keteraturan makroksmos sejati dapat dijabarkan menjadi atau dikaitkan dengan nilai-nilai :

a. Kesadaran sejati akan tata kosmos.

1) Kesadaran sejati akan alam semesta dan seisinya.

2) Kesadaran sejati akan lingkungan hidup (keluarga, masyarakat, lingkungan, dan alam).

3) Kesadaran sejati akan manusia lain (anggota keluarga, masyarakat, dan dunia). 4) Kesadaran sejati akan diri sendiri dan kaitannya dengan manusia lain,

lingkungan hidup, alam semesta dan tata kosmos.

(46)

3) Kesadaran sejati akan tempat diri sendiri dalam tata kosmos alam semesta dan lingkungan hidup.

4) Kesadaran sejati akan tempat ruang dan waktu. c. Kesadaran sejati antara manusia dan tata kosmos.

1) kesadaran sejati akan manusia sebagai wakil Tuhan diatas bumi untuk menata kehidupan dalam tata kosmos.

2) kesadaran sejati akan kewajiban manusiaa untuk menjaga hubungan baik antara manusia dan alam semesta .

3) kesadaran sejati akan tugas manusia untuk menjaga kelestarian alam semesta dan lingkungan hidup.

4) kesadaran sejati akan kewajiban diri sendiri kepada alam semesta dan lingkungan hidup.

d. kesadaran sejati akan hukum alam semesta. 1) kesadaran akan hukum kesatuan alam.

2) kesadaran sejati akan hukum keseimbangan dan keselaran alam.

3) kesadaran sejati akan hukum saling ketergantungan dan saling membutuhkan. e. kesadaran sejati akan hukum lingkungan hidup (hukum internasional, regional,

nasional, lingkungan, keluarga).

f. rasa wajib sejati untuk menuruti hukum alam dan hukum lingkungan hidup. 2. Nilai keteraturan mikrokosmos sejati.

(47)

Nilai keteraturan tata mikrokosmos sejati adalah keteraturan mikrokosmos yang sempurna. Keteraturan mikrokosmos sejati adalah keteraturan mikrokosmos (manusia yang utuh menyatu, benar, adil, agung).

Nilai keteraturan mikrokosmos dapat dijabarkan atau dikaitkan dengan nilai-nilai: a. Keimanan, ketakwaan dan ketaatan sejati kepada kehendak Tuhan dan

kepastian Tuhan atas manusia (kodrat manusia) dan atas diri sendiri.

b. Kesadaran sejati atas fitrah manusia sebagai makhluk hidup yang amat komplek.

c. Kesadaran sejati atas keberadaan diri (kekuatan-kekuatan dan kelemahan diri). d. Rasa wajib sejati untuk menuruti kehendak Tuhan dan untuk menguasai dan

untuk mengembangkan diri.

Mikrokosmos diartikn sebagai (jagad cilik) manusia, makrokosmos adalah alam beserta isinya. Jadi kedudukan mikrokosmos manusia harus senantiasa menjaga keselarasan dengan makrokosmos alam semesta sebagai wujud kesadaran dan tanggung jawab bahwa manusia sebagai wakil Tuhan untuk menata kehidupan dalam tata kosmos.

H.Manunggaling Kawula-Gusti

(48)

sebagai Tuhanmu?) secara spontan seluruh roh manusia menjawab qaluu bala (benar ya Allah, engkaulah Tuhan kami), (Sholikin, 2008: 311).

(49)

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif kualitatif, yaitu secara khusus data yang diperoleh bersifat deskriptif. Penelitian ini memandang fenomena di lapangan sebagai satu dari sejumlah faktor yang saling terkait dan saling tergantung. Peneliti menganalisis Makna Simbolis Ornamen Praba dan Tlacapan pada Bangunan Kraton Yogyakarta. Setelah data tersebut diolah dan

dianalisis selanjutnya dideskripsikan dan disimpulkan.

B.Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian terdiri dari 2 jenis yaitu: (a) objek material adalah pola dasar segitiga. (b) objek formal adalah makna simbolis yang terkandung. Sementara adapun subjek penelitiannya adalah ornamen Kraton Yogyakarta.

C.Teknik Pengumpulan Data

(50)

1. Teknik Dokumentasi

Merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang melihat berbagai dokumen berupa catatan, katalog, gambar/foto yang ada diberbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun pendokumentasian dilakukan di Kraton Yogyakarta dengan mengambil beberapa gambar/ foto ornamen Praba dan Tlacapan pada tiang bangsal Kencana.

2. Studi Pustaka

Studi Pustaka dimaksudkan untuk memperoleh data yang diperlukan sebagai pendukung berupa kajian pustaka, catatan dan gambar sebagai penunjang kelengkapan data untuk kemudian dianalisis.

3. Wawancara

Melalui wawancara dapat mengumpulkan data mengenai makna ornamen Praba dan Tlacapan pada bangunan Kraton Yogyakarta. Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan langsung secara berulang-ulang antara peneliti dengan tokoh yang ada di keraton yang paham mengenai ornamen-ornamen yang berada di dalamnya yaitu K.R.T Jatiningrat.

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang memungkinkan perolehan data akurat. Hal ini karena data diperoleh dari narasumber yang dapat dipercaya dan memiliki pengetahuan tentang pokok permasalahan yang sedang diteliti.

4. Analisis Data

(51)

pengertian dan memahami artinya. Kemudian data dari hasil wawancara dibandingkan dengan data hasil dari dokumentasi dan studi pustaka, maka analisis dari ketiga sumber data akan menghasilkan data yang lebih lengkap dan akurat. 2. Instrument Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Hal ini dirasa sesuai dengan pernyataan Ghony (2012: 95) yang menjelaskan mengenai human Instrument dalam penelitian kualitatif dipahami sebagai alat yang dapat mengungkapkan fakta-fakta lokasi penelitian. Tidak ada alat yang paling elastis dan tepat untuk mengungkapkan data kualitatif kecuali peneliti itu sendiri. Artinya manusia sebagai human instrument sangat memudahkan proses penelitian di lapangan karena sifat manusia yang adaptif dan dapat bersikap fleksibel dalam memaknai segala gejala yang terjadi di lapangan.

3. Teknik Analisis Data

(52)

Adapun analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Klasifikasi Data

Klasifikasi data merupakan kegiatan penyusunan data secara bersistem dalam kelompok/ golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan. Data yang diperoleh akan dikelompokkan untuk mempermudah analisa data.

b. Analisis Data

Analisis data adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaah bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

c. Interpretasi Data

Pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran, pemberian kesan. Interpretasi menurut filsuf Paul Ricoeur dalam Poepoprodjo (2004: 120) adalah kerja pikiran yang terdiri dari menguraikan arti tersembunyi di dalam arti yang tampak, mengungkap aras-aras pengertian yang tercakup di dalam pengertian harfiah. Di dalam interpretasi, kemajemukan arti dibuat tampak.

d. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

(53)

Adapun gambaran tentang proses jalannya penelitian dapat digambarkan sperti pada bagan di bawah ini.

Latar Belakang Masalah

Dokumentasi, Studi Pustaka DATA Wawancara

Analisis

(54)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

1. Sejarah Kraton Yogyakarta

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, tepatnya pada hari Sabtu Pahing 15 Februari 1755, diadakan pertemuan antara Sunan Paku Buwana III dengan Sultan Hamengku Buwana I di desa Lebak Jatisari. Sebulan kemudian pada hari Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan bahwa separuh dari Negara Mataram yang dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. Tanggal ini (khususnya tanggal, bulan dan tahun Jawa) dinyatakan sebagai Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram - Ngayogyakarta.

Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015), menjelaskan bahwa pada hari Kamis Pon tanggal 3 Sura, Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 9 Oktober 1755 M Sri Sultan Hamengku Buwana I mesanggrah di Ambar Ketawang dan memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di desa Pacethokan dalam hutan Beringan. Kemudian Sultan jumeneng nata atau diangkat sebagai raja pada tanggal 11 Oktober 1755. Setelah itu Sultan memerintahkan salah satu tumenggung untuk membuat Kraton di hutan Beringan Desa Pachetokan dan diberi waktu satu tahun.

(55)

utara. Yang menurut Purwadi (2003) ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1682 Jawa dan yang

mengungkapkan makna yang tersirat: Sari-Rasa-Tunggal (artinya: Hakikat Kesatuan) dan Sarira-Satunggal (yang berarti: Kepribadian).

Selama pembangunan berjalan sang Sultan tinggal di Gedong Sedahan (sebelah barat sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal-regol kemagangan) sebelah selatan bangsal Manis selama 13 tahun. Sementara Gedong Jene (tempat tinggal Sultan) sendiri baru dibangun pada masa Sultan HB VIII dengan sengkalan sekar sinaut naga raja atau tahun 1869 Jawa.

2. Arsitektur Bangunan Kraton Yogyakarta

Arsitek atau perancang utama bangunan Kraton Yogyakarta adalah tidak lain Sultan Hamengku Buwono I. Sebagian besar bangunan yang berada di dalam Kraton Yogyakarta bergaya arsietktur tradisional Jawa. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.

(56)

Tamanan. Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015) sebagian besar ornamen pokok yang berada pada Bangsal Kencana diambil dari ornamen tiang yang berada di dalam Bangsal Tamanan yang juga diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit.

a. Bangsal Kencana

Bangsal Kencana terletak di tengah komplek Kedhaton Kraton Yogyakarta, yang dulunya bernama bangsal Alus ketika pertama kali didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kemudian Bangsal Kencana dibangun total oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, menurut keterangan dari K.R.T Jatiningrat ( wawancara 15 April 2015) dengan sengkalan yang berbunyi Trus Manunggal Panditaning Rat dibaca Trus = 9, Manunggal = 1, Pandita = 7, Rat = 1 atau

1719 tahun Jawa sama dengan 1793 M. Dikisahkan setelah proses pembangunan bangsal Kencana oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II sempat terjadi perdebatan dengan ayahnya yaitu Sultan Hamengku Buwono I, kemudian HB I memindahkan bangsal Kencana yang baru dibangun tersebut ke sebelah barat bangsal Manis menjadi bangsal Pengapit.

Selain dipergunakan untuk pentas wayang orang dan tari bedhaya semang, fungsi utama bangsal Kencana adalah sebagai tempat menerima tamu agung Kraton. Di samping itu juga untuk menyelenggarakan upacara pernikahan, upacara khitanan, serta yang tidak kalah penting adalah kegiatan Ngabekten Syawal yang dilaksanakan setiap tahunnya. Kegiatan ini berupa perayaan Hari

(57)
[image:57.595.121.506.110.357.2]

Gambar XI: Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Bangsal Kencana berbentuk joglo mangkurat lambang gantung dengan empat susun atap dan atap kedua atau penanggap menggantung pada atap di atasnya, sementara atap ketiga menempel dengan sambungan lambangsari pada atap kedua. Pada bangsal ini memiliki tiga tingkatan lantai, lantai yang paling tingggi yang letaknya ditengah-tengah pendopo biasanya dipergunakan sebagai singgasana sang Sultan. Tiang pada bangsal Kencana terdiri dari 4 saka guru, 16 saka penanggap, 23 saka penitih serta 8 saka santen berbentuk bulat, dan 8 saka

(58)
[image:58.595.133.494.111.353.2]

Gambar XII: Pelataran Bangsal Kencana Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Beberapa cerita menyebutkan bahwa ketika Sultan duduk di Bangsal Kencana berada ditengah atau dibawah persilangan tumpangsari yang terbagi menjadi empat sesuai pola kiblat-papat-lima-pancer, Sultan selalu menghadap ke timur atau ke arah matahari terbit sama seperti letak bangsal Kencana, Prabayeksa, dan Gedong Jene yang menghadap ke timur. Hal tersebut sebagai simbol bahwa arah timur sebagai awal kehidupan atau sesuai dengan pola rotasi matahari yang terbit dari timur dan tenggelam di barat. Simbol ini mengingatkan manusia bahwa setiap kehidupan pasti ada awal dan ada akhir. Selaras dengan kepercayaan tersebut selain posisi duduk Sultan, hal lain yang juga memiliki konsep yang sama yaitu ketika proses mengkhitan putra mahkota dilakukan pada pagi hari ketika matahari mulai merekah dan dengan posisi menghadap ke timur.

(59)

untuk pentas wayang orang kolosal khususnya pada masa Hamengku Buwana VIII (1921-1939) dan Tratag Prabayeksa di sisi barat yang biasa dipergunakan oleh para penari bedhaya sebelum berpentas di Bangsal Kencana. Dalam ensiklopedi Kraton Yogyakarta oleh Dinas Kebudayaan D.I.Y (2009) dijelaskan pada masa Hamengku Buwana VII (1877-1921) semua tratag ini dibangun ulang dengan tiang-tiang besi tuang impor yang serupa kolom klasik Eropa dengan hiasan sulur berbunga yang melilit dan atap metal bergelombang.

Sebagian besar warna yang digunakan sebagai latar bangsal Kencana adalah warna merah kecoklatan, sementara sebagai latar ragam hiasnya adalah warna merah. Lingkungan Kraton menyebutnya dengan warna merah darah sapi, konon dulu ketika pewarnaannya menggunakan cat dengan campuran darah sapi. Dikisahkan pula bahwa pada masa penjajahan Belanda dan ketika itu kaum penjajah memasuki Kraton merasa gelisah, cemas, dan takut. Orang percaya bahwa hal tersebut terjadi karena pengaruh darah sapi yang digunakan sebagai campuran catnya. Pada masa sekarang hal tersebut tidak dilakukan lagi, karena Kraton sudah terbuka untuk umum dan menggunakan cat biasa agar tidak memiliki dampak seperti dulu.

(60)

kontras dengan warna merah sebagai latarnya, membuat banngunan ini nampak berkilauan, megah dan mewah.

Ragam hias yang terdapat pada Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta ada berbagai macam jenisnya, ada yang terdapat pada langit-langit atau tumpangsari dan ada yang berada pada tiang atau saka penyangga bangunan. Adapun ornamen yang terdapat pada tiang Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta adalah diantaranya Saton, Praba, Sorotan, Mirong, Tlacapan, hiasan umpak. Penelitian selanjutnya difokuskan pada ornamen yang memiliki bentuk dasar segitiga yaitu Praba dan Tlacapan.

b. Bangsal Tamanan

Bangsal Tamanan berada di sebelah barat Bangsal Srimanganthi, tepatnya dibelakang gedung kesehatan Kraton Yogyakarta daerah ini tertutup untuk umum. Bangsal Tamanan ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VII sempat digunakan sebagai arena sabung ayam dan jangkrik. Menurut K.R.T Jatingrat (wawancara 15 April 2015) pada sekitar tahun 1757 berdiri sekolah Tamanan, diceritakan bahwa salah satu kegiatan belajarnya adalah kegiatan menari untuk putra dan putri. Yang jelas keberadaan sekolah tamanan ini dibuktikan dengan sengkalan berwujud Bethara Gana atau Ganesha pada bagian pintu masuk hampir berbentuk Kori agung sementara di dalamnya berbentuk sengkalan ular

(61)

ini, yaitu terdapat ukiran kayu yang terdiri dari tumpangsari hingga tiang atau saka yang dipercaya merupakan peninggalan kerajaan Majapahit.

Menurut Ismunandar (1990) menjelaskan bahwa bangsal Tamanan sendiri merupakan peninggalan Kyai Ageng Paker dan tanahnya hadiah dari raja Majapahit. Kemungkinan dari kenyataan tersebut warga Kraton berpendapat bahwa ukiran yang terdapat di dalam Bangsal Tamanan merupakan peninggalan kerajaan Majapahit. Jika dilihat dari beberapa ornamen yang digambarkan mengisyaratkan bahwa ikuran ini bukan berasal dari masa Kraton Yogyakarta yang sekarang ini.

(62)
[image:62.595.147.478.111.334.2]

Gambar XIII : Bagian dalam Bangsal Tamanan Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

3. Ornamen atau Ragam Hias pada tiang Bangsal Kencana a. Saton

Saton berasal dari kata satu (bahasa Jawa), yang berarti kue (K.R.T Jatiningrat, wawancara 17 Maret 2015). Nama ini diambil karena bentuk ragam hias saton yang mirip dengan bentuk kue satu bujur sangkar. Untuk ornamen saton yang berada di Bangsal Kencono Kraton Yogyakarta bentuknya serupa bujur sangkar yang dipotong pada bagian atas dan bawahnya. Hiasan saton tersebut digunakan mungkin ada kaitannya dengan perwujudan konsep manunggaling kawula lan gusti, atau menurut Dorno sebagai simbol persatuan

(63)
[image:63.595.171.457.103.481.2]

Gambar XIV : Ornamen Saton pada tiang Bangsal Kencono Sumber : Dokumentasi Trusti , Maret 2015

(64)

b. Praba

Dalam Kamus Jawa Kawi menurut asal katanya praba berarti sinar, cahaya, semarak, kemegahan. Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015) praba atau praban memiliki arti cahaya, nimbus, aura atau cahaya di atas kepala (hallo). Praba dalam agama Budha digambarkan pada patung Budha ketika sedang duduk bermeditasi, penggambaran praba berada di belakang punggung Budha berbentuk segitiga dengan ujung melengkung runcing.

[image:64.595.111.494.315.527.2]

Gambar XV : Ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencono Sumber : Dokumentasi Trusti , Maret 2015

(65)

c. Mirong

Ragam hias mirong atau putri mirong yang berada di Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta posisinya berada di tengah tiang tepatnya dibawah ornamen sorotan dan di atas ornamen praba. Warna garis kuning emas dan latar tiang berwarna merah tua kecoklatan. Dipahatkan pada tiang utama dan tiang penyangga.

(66)
[image:66.595.187.449.110.325.2]

Gambar XVI : Ornamen Putri Mirong sebagai stilisasi Muhammad Rasul Allah

Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Ragam hias putri mirong biasanya hanya dipahatkan pada tiang bangunan utama yang disinggahi raja seperti Gedhong Kuning, Bangsal Kencono, Bangsal Pancaniti, dan Bangsal Witana. Terlepas dari maknanya yang berkaitan dengan mitos Kanjeng Ratu Kidul ataukah artinya yang dibaca sebagai tulisan arab Muhammad Rasul Allah menempatkan mirong sebagai salah satu ornamen penting di lingkungan Kraton Yogyakarta.

d. Sorotan

(67)
[image:67.595.224.406.111.300.2]

Gambar XVII: Ornamen Sorotan sebagai stilisasi Muhammad Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015) hiasan sorotan merupakan stilisasi dari tulisana arab mim hak mim dhal yang dibaca Muhammad (Nabi besar agama Islam). Menurut Dorno (2014) ornamen sorotan menyimbolkan pusaka kraton sebenarnya adalah Agama Islam yang menjunjung tinggi Nabi Muhammad sebagai uswatun khasanah atau panutan yang terbaik, agama yang diajarkan lurus seperti seperti cahaya sorotan.

e. Tlacapan

Ragam hiasa Tlacapan terletak pada ujung atas tiang menempel dengan hiasan praba yang menghadap ke bawah. Warnanya kuning emas, dengan teknik pewarnaan blok atau menutup seluruh permukaan ukiran. Menurut Ismunandar (1990) tlacap berasal dari kata tlacap yang berarti memakai tlacap. Biasanya hiasan tlacapan berbentuk deretan segitiga sama kaki dengan ukuran yang sama besar dan sama tinggi.

(68)

Isen-isen seperti ini biasa dijumpai pada ragam hias tumpal, yang bentuknya juga

menyerupai hiasan tlacapan.

[image:68.595.158.483.167.386.2]

Gambar XVIII : Ornamen Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

f. Hiasan umpak

Umpak merupakan batu penyangga tiang (saka guru, penanggap, penitih) yang berbentuk menyerupai prisma yang terpotong ujung atasnya, di bagian permukaan kelilingnya dihiasi dengan ornamen padma. Menurut Dorno (2014) hiasan tersebut dikatakan motif padma karena dianggap sebagai penggambaran motif teratai yang di deformasi bentuknya. Motif teratai seperti ini hampir mirip dengan alas patung dewa dalam agama Hindhu-Budha. Namun seiring masuknya agama Islam di Indonesia dan tanah Jawa khususnya, hiasan umpak ini memiliki arti yang berbeda.

(69)
[image:69.595.119.503.233.348.2]

dari huruf arab mim hak mim dal = kependekan dari Muhammad Nabi besar umat Islam, hal tersebut sama seperti yang dikemukakan oleh Ismunandar. Ragam hias umpak dengan dasar warna hitam, sementara untuk garis motifnya digunakan warna kuning emas sehingga terlihat sangat kontras.

Gambar XIX : Hiasan umpak pada tiang Bangsal Kencono Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Tetapi karena hiasan pada umpak tersebut belum dimengerti oleh masyarakat banyak, maka berakibat umpak yang beragam hias mim hak mim dal tersebut di luar Kraton Yogyakarta banyak dipergunakan tidak sesuai dengan seharusnya, malahan menjadi dasar landasan tiang bendera.

(70)

B.Pembahasan

1. Kajian ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencana a. Bentuk

Ornamen Praba yang terdapat di Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta terletak pada tiang bagian atas dan bawah. Pada bagian atas biasanya ornamen praba menempel atau terletak bagian bawah ornamen tlacapan, sementara jika berada pada bagian bawah ornamen praba menempel dengan ornamen saton. Terbentuk dari pola dasar segitiga sebenarnya ornamen Praba sendiri memiliki beberapa variasi bentuk. Seperti yang dijelaskan Dorno (2014) mengenai ornamen Praba yang terdapat pada Masjid Gede Yogyakarta, bawasannya ornamen Praba memiliki bentuk yang berbeda-beda pada setiap tiang utama, tiang penyangga, dan tiang tepi namun pada dasarnya memiliki makna yang sama.

(71)
[image:71.595.150.478.117.382.2]

Gambar XX: Praba

Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Bentuk ornamen praba yang berada pada bagian atas dan bawah tiang tepi Bangsal Kencana lebih menyerupai bentuk gunungan pada pertunjukkan wayang kulit. Bentuk bagian ujungnya lancip pada puncak utama dan menggembung ke bawah, sementara pada kedua ujung di bagian samping bawahnya lebih ramping dengan garis lurus hampir menyerupai segitiga sama kaki yang ditutup ukel pada bagian kakinya.

(72)

(1990) menjelaskan bahwa bentuk praba yang seperti ini lebih menyerupai ekor burung yang sedang terbentang atau ngigel.

[image:72.595.162.467.178.425.2]

Gambar XXI: Praba dengan bentuk lebih cembung Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

(73)
[image:73.595.115.504.108.302.2]

Gambar XXII: Anteviks Candi

Sumber: http://nyariwatu.blogspot.com/2010/12/candi-pendem-sengi.html

Gambar XXIII: Ornamen Praba Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Dari kedua gambar di atas diperoleh kedekatan bentuk antara antevik candi dan ornamen Praba yaitu sama-sama memiliki bentuk dasar segitiga. Hiasan Anteviks pada candi selain berfungsi simbolis juga memiliki kegunaan teknis yaitu memberi kesan tinggi dan ramping untuk bangunan candi. Bentuk pola dasar segitiga yang digunakan ornamen Praba diambil untuk kegunaan teknis karena

[image:73.595.249.378.346.548.2]
(74)

bentuk segitiga yang dianggap memberi kesan tinggi dan ramping, sehingga tiang-tiang pada Bangsal Kencana tampak menjulang tinggi dan agung.

Kedekatan bentuk antara ornamen Praba dan hiasan anteviks candi mengisyaratkan bahwa ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta terdapat pengaruh seni hias Hindu. Antevik yang ditemukan pada beberapa candi bernafaskan Hindu di Yogyakarta salah satunya adalah candi Prambanan. Hal tersebut memungkinkan bahwa ragam hias serupa bentuk anteviks ataupu Praba juga dipakai oleh Kerajaan Mataram Kuno/Hindu dan kemudian hingga kini diturunkan kepada Kraton Yogyakarta.

(75)
[image:75.595.112.496.106.355.2]

Gambar XXIV: Ornamen Praba pada tiang silindris Bangsal Kencana Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Dari ketiga bentuk ornamen Praba yang terdapat pada Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta jika diamati bentuknya berpola simetri. Pola hiasan antara kanan dan kiri bentuknya sama, hal ini karena ornamen Praba berasal dari bentuk segitiga sama kaki dan jika dipotong pada bagian tengahnya maka bentuk bagian kanan dan kirinya sama atau simetris.

b. Isen-isen

(76)

reliaf pada candi, sementara untuk pohon hayat terdapat pada gunungan wayang kulit.

Kalpataru atau kalpawrksa yang awalnya dikenal oleh kepercayaan orang di India, kemudian penggambaran tentang pohon ini sampai ke negara Indonesia yang terdapat pada karya-karya sastra Jawa kuno. Kalpataru sebagai pohon yang dipercaya dapat mengabulkan segala permohonan. Maka biasanya hiasan kalpataru yang berada pada candi diwujudkan dengan pohon yang diliputi manik-manik permata mewah.

Pohon Hayat sendiri telah dikenal di Indonesia sejak zaman prasejarah. Bahwa masyarakat percaya jika ada suatu kekuatan ghaib yang terdapat pada pohon tertentu dan dapat mengabulkan permohonan. Seiring perkembangan zaman masyarakat yang telah mengenal agama Hindu ataupun Budha mengenal pohon hayat dengan nama pohon Bodhi, pada masa Islam yang berkembang kesenian wayang mengenal dalam bentuk hiasan gunungan.

Baik kalpataru maupun pohon hayat sama-sama dikenal masyarakat Jawa sebagai pohon suci, maka tidak heran kiranya menyebut kalpataru sebagai hiasan pengisi ornamen Praba karena daya mitologinya yang kuat. Ada yang menyebut bahwa pohon hayat yang berada pada gunungan wayang disebut juga dewandaru berasal dari kata devataru atau kalpadruma yang termasuk 5 dari pohon suci di kahyangan. Sementara kalpadruma adalah nama lain dari kalpataru, jadi pohon hayat sebenarnya merupakan nama lain dari kalpataru.

(77)
[image:77.595.114.469.232.446.2]

kalpataru, maka perlu adanya pendekatan bentuk untuk melihat kemiripan dari ornamen Praba dengan pohon kalpataru. Salah satu ciri dari Kalpataru adalah dihiasi tumbuhan menjalar dan untaian manik-manik, memiliki daun dan bunga yang indah.

Gambar XXV: Kalpataru pada candi Prambanan

Sumber : http://asiafinest.com/forum/lofiversion/index.php/t107794.html, 2015

Gambar XXVI: Praba pada Bangsal Kencono

Ukel/ikal

Daun/patra Patra segitiga

Pecahan cawen Daun/patran

Ukel/ikal Patran segitiga

Pola bentuk segitiga

[image:77.595.136.489.509.711.2]
(78)

Dari pendekatan bentuk-bentuk yang utama dipakai oleh ornamen praba didapat beberapa kesamaan atau kemiripan dengan kalpataru yaitu diantaranya, memiliki bentuk dengan pola segitiga, terdapat ikal/ukel, daun patra di bagian bawah yang bentuknya hampir seperti bunga terpotong separuh membentuk pola segitiga, daun/patran pada relief kalpataru.

c. Warna

Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015) dari beberapa bentuk penggayaan ornamen praba yang berada pada Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta kesemuanya menggunakan warna kuning emas yang terbuat dari bahan prada (bubukan) emas. Pewarnaannya dengan teknik blok yaitu menutup seluruh bagian permukaan dengan warna penuh (emas).

[image:78.595.181.466.425.654.2]

Gambar XXVII : Ornamen Praba pada Bangsal Tamanan (kiri), Praba pada Bangsal Kencono (kanan)

(79)

Ornamen Praba yang berada di Bangsal Tamanan yang dipercaya sebagai asal muasal atau induk penciptaan ornamen di Krato

Gambar

Tabel 2. Ornamen pada seni sungging wayang
Gambar III: Tumpal pada kain batik dari Madura
Gambar IV: Motif untu walang Sumber: http://4407399_untuwalang2_kpbsmall.com
Gambar VI: Tumpal pada meriam perunggu Manado  Sumber: (Van der Hoop, 1949).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna, motif, dan fungsi ornamen pada usaha batik tulis adinda di Gebang Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan lebih

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan ornamen Gayo yang terdapat pada kantor Pemerintah di Takengon kabupaten Aceh Tengah yang ditinjau dari bentuk,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui macam – macam bentuk,warna ornamen Melayu yang diterapkan pada bangunan di Istana Datuk Lima Laras Desa Lima Laras, dan

2113151020, “ ANALISIS PENERAPAN ORNAMEN TRADISIONAL ALAS PADA KHUMAH ADAT ALAS DITINJAU DARI SEGI BENTUK, WARNA, DAN MAKNA SIMBOLIK DI KEC.. Penelitian ini bertujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk ornamen, warna, makna simbol dan nilai estetika yang terkandung kain songket Melayu Langkat di Desa Pekubuan Kabupaten

Kata ikan merupakan Unsur Pusat (UP) dan kuah serta kata kuning merupakan atribut yang menunjukkan warna pada frasa ikan kuah kuning. Warna tersebut

Motif ornamen hias yang menjadi ciri dari bangunan Paseban Tri Panca Tunggal dan jati diri masyarakat Kabupaten Kuningan ini, menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis

Bab IV berisi penjelasan analisis tentang perbedaan bentuk, tekstur, warna, posisi, gaya, dan ekspresi ornamen Liong pada atap Kelenteng Tay Kak Sie Semarang dengan