• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

2. Osmolaritas Cairan Tubuh

Osmolaritas cairan tubuh dan osmolaritas media merupakan faktor penting yang berperan dalam menentukan tingkat kerja osmotik suatu organisme (disajikan dalam Tabel 3).

Tabel 3 Rata-rata osmolaritas cairan tubuh ikan patin siam (Pangasius

hypopthalmus) pada setiap perlakuan

Perlakuan (ppt) Osmolaritas Tubuh (Osmol/Kg)

0 0.30±0.005

3 0.30±0.004

5 0.29±0.030

Nilai osmolaritas cairan tubuh pada setiap perlakuan salinitas cenderung menurun. Osmolaritas cairan tubuh tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppt (0.30 Osmol/Kg) dan terendah pada perlakuan 7 ppt (0.28 Osmol/Kg). Besar kecilnya osmolaritas cairan tubuh ikan patin siam selama percobaan diduga dipengaruhi oleh osmolaritas media pemeliharaannya.

Tingkat Kerja Osmotik (TKO)

Selisih antara nilai osmolaritas cairan tubuh dan osmolaritas media pada

setiap perlakuan diartikan sebaga i nilai tingkat kerja osmotik (disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 8).

Tabel 4 Tingkat kerja osmotik (Osmol/kg) ikan patin (Pangasius hypopthalmus)

pada setiap perlakuan dan ulangan selama percobaan

Tingkat Kerja Osmotik (Osmol/Kg)

Salinitas (ppt) Ulangan 0 3 5 7 1 0.29 0.18 0.01 0.04 2 0.28 0.16 0.05 0.01 3 0.29 0.17 0.09 0.05 Rerata 0.29a 0.17a 0.05b 0.03b

Keterangan : 1) huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan antar perlakuan (p<0.05)

Nilai tingkat kerja osmotik tertinggi selama percobaan dicapai pada perlakuan kontrol (0 ppt) yaitu 0.29 Osmol/Kg, kemudian pada perlakuan 3ppt, yaitu 0.17 Osmol/Kg dan terendah pada perlakuan 7 ppt (0.03 Osmol/Kg). Tinggi rendahnya nilai tingkat kerja osmotik setiap perlakuan disebabkan adanya pengaruh salinitas terhadap nilai osmoaritas media dan osmolaritas cairan tubuh ikan patin siam selama percobaan. Hal ini didukung oleh hasil analisa statistik yang menunjukkan bahwa, perlakuan salinitas memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap tingkat kerja osmotik ikan patin siam selama percobaan (Lampiran 9).

Karakter Kuantitatif 1. Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup biasanya diasumsikan dengan seberapa banyak jumlah kematian yang terjadi pada periode tertentu. Menurut Royce (1973)

kematian yang terjadi pada suatu populasi organisme dapat menyebabkan turunnya jumlah populasi. Berdasarkan hasil percobaan ini diketahui rata-rata kelangsungan hidup ikan patin siam setiap perlakuan (disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 10).

Tabel 5 Data rata-rata kelangsungan hidup ikan patin siam (Pangasius

hypopthalmus) setiap perlakuan selama percobaan

Perlakuan Awal Akhir KH (%)

(ppt) (ekor) (ekor)

0 5 2 80±36.64

3 5 5 100±0

5 5 5 100±0

7 5 5 100±0

Tabel 5 menunjukkan bahwa, kelangsunga n hidup ikan tidak dipengaruhi oleh salinitas, kelangsungan hidup tetap tinggi pada setiap media bersalinitas (3-7ppt). Hal ini didukung oleh hasil analisa statistik yang menunjukkan bahwa salinitas tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kelangsungan hidup ikan patin siam pada setiap perlakuan selama percobaan (Lampiran 11).

2. Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan suatu proses bertambahnya ukuran volume atau berat suatu organisme, khususnya ikan yang dilihat dari perubahan ukuran panjang dan berat dalam satuan waktu (Effendi 1979). Dari hasil percobaan diketahui data rata-rata laju pertumbuhan harian ikan patin siam setiap perlakuan yang disajikan pada Tabel 6 dan Lampiran 12 sebagai berikut :

Tabel 6 Data rata-rata pertumbuhan harian ikan patin siam (Pangasius

hypopthalmus) setiap perlakuan selama percobaan

Perlakuan Rata-rata Pertumbuhan Harian (%) (ppt) 0 0.31±0.09 3 0.42±0.07 5 0.47±0.08 7 0.54±0.28

Rata-rata pertumbuhan harian ikan patin siam pada setiap perlakuan yang disajikan pada Tabel 6 sangat rendah atau dapat diartikan sangat lambat. Dari

hasil analisa statistik juga diketahui bahwa, salinitas tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap laju pertumbuhan harian ikan patin siam selama percobaan (Lampiran 13). Namun dari data tersebut dapat dilihat adanya kecenderungan peningkatan bobot tubuh ikan patin siam pada setiap perlakuan salinitas. Perlakuan salinitas mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada perlakuan kontrol.

Karakter Kualitatif

Komposisi Kimiawi Tubuh

Komposisi kimiawi tubuh yang meliputi kandungan protein, lemak, kadar air, serat kasar dan abu yang terkadung dalam tubuh ikan patin siam selama percobaan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi kimiawi tubuh ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus)

pada setiap perlakuan (%)

Komposisi Perlakuan (ppt) Kimiawi Tubuh 0 3 5 7 Protein 14.69±0.13 15.26±0.66 15.71±0.41 15.53±0.70 Lemak 4.03±0.18 5.96±0.93 6.25±0.15 6.95±0.75 Kadar Air 75.14±0.35 73.97±0.10 73.09±0.39 72.4±0.39 Serat kasar 0.73±0.08 0.51±0.04 0.73±0.13 0.62±0.14 Kadar Abu 4.23±0.10 4.62±0.06 4.01±0.10 4.38±0.18

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa nilai beberapa komposisi kimiawi tubuh ikan patin siam selama percobaan bervariasi. Kandungan protein cenderung meningkat pada setiap perlakuan, nilai protein perlakuan salinitas juga diketahui lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Begitu juga dengan komposisi lemak, pada perlakuan salinitas lemak diketahui lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Namun untuk nilai kadar air, sebaliknya. Kadar air dalam tubuh ikan patin siam selama percobaan mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya salinitas meskipun secara statistik diketahui bahwa salinitas tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) pada masing-masing komposisi kimiawi tubuh ikan patin siam pada setiap perlakuan (Lampiran 14 dan 15).

Kandungan Asam Lemak

Nilai kandungan lemak akan mempengaruhi komposisi dan nilai asam

lemak yang terkandung dalam tubuh ikan baik komposisi asam lemak jenuh maupun asam lemak jenuhnya (Tabel 8).

Tabel 8 Profil dan komposisi asam lemak tubuh ikan patin siam pada setiap perlakuan (gram/100 gram lemak)

No Jenis Analisis Perlakuan (ppt)

0 3 5 7

Asam lemak jenuh

1 C14-0 Miristat 2.11 1.63 2.15 2.14 2 C15-0 Pentadecanoat 1.31 1.62 0.81 1.03 3 C16-0 Palmitat 1.14 1.51 2.88 4.21 4 C18-0 Stearat 4.88 4.48 1.83 5.21 5 C17-0 Heptadecanoat 1.85 1.59 2.23 3.44 6 C22-0 Behenat 0.26 0.41 0.35 0.85

Asam lemak tidak jenuh

7 C16-1 Palmitoleat 2.41 0.67 2.24 2.78

8 C18-1 (n-9) Oleat 2.06 2.14 2.11 3.65

9 C20-1 Eikosenoat 3.61 2.32 0.30 3.08 ALTJ Berantai panjang

10 C18-2 (n-6) Linoleat 23.85 34.11 30.29 24.50 11 C18-3 (n-3) Linolenat 3.00 3.46 5.28 5.80 12 C20-3 Eikosatrionat 4.40 0.83 5.23 3.52 13 C20-2 Eikosadienoat 4.77 3.75 2.32 5.18

ALTJ Sangat panjang

14 C20-4 Aracidonat 0.36 0.84 2.08 0.36 15 C20-5 (EPA) Eicosapentaenoat 1.47 1.68 4.08 1.26 16 C22-6 (DHA) Docosaheksaenoat 0.50 0.77 0.68 0.76

Kandungan asam lemak jenuh ikan patin siam selama pemeliharaan berfluktuatif untuk masing-masing perlakuan kecuali untuk kandungan palmitat yang cenderung meningkat dan tertinggi pada perlakuan 7 ppt. Begitu juga dengan nilai kandungan beberapa asam lemak tidak jenuh penting, baik yang berantai panjang (linoleat (n-3) dan linolenat (n-6)) maupun yang berantai sangat panjang (Aracidonat, Eicosapentaenoat (EPA) dan Docosaheksaenoat (DHA)) (Gambar 3).

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0ppt

3ppt

5ppt

7ppt

0ppt 23.85 3 0.36 1.47 0.5

3ppt 34.11 3.46 0.84 1.68 0.77

5ppt 30.29 5.28 2.08 4.08 0.68

7ppt 24.5 5.8 0.36 1.26 0.76

Linoleat Linolenat Aracidonat EPA DHA

Gambar 3 Diagram kandungan beberapa asam lemak penting dalam tubuh ikan patin siam setiap perlakuan (n-3, n-6, Aracidonat, EPA dan DHA) Gambar 3 memperlihatkan kecenderungan tingginya asam lemak-asam lemak penting pada perlakuan salinitas. Tingginya nilai asam lemak linoleat, linolenat, aracidonat, EPA dan DHA dipengaruhi oleh adanya perbedaan salinitas pada masing-masing percobaan.

Struktur Histologis Daging

Kandungan lemak dalam tubuh ikan patin siam pada perlakuan salinitas lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar struktur histologis daging yang diamati melalui mikroskop dengan pembesaran 400x (Gambar 4 dan Lampiran 16).

(Perlakuan 0ppt) (Perlakuan 3ppt)

(Perlakuan 5ppt) (Perlakuan 7ppt)

Gambar 4 Struktur histologis otot daging ikan patin siam (Pangasius

hypopthalmus) setiap perlakuan

Gambar 4 memperlihatkan adanya kandungan lemak berupa rongga-rongga yang berwarna putih di sekitar sel-sel otot daging ikan patin siam yang lebih banyak pada perlakuan salinitas (3-7ppt). Lemak yang berada di sekitar sel-sel otot tersebut berfungsi sebagai pelindung otot pada waktu terjadi pemanasan (pada saat daging dimasak).

Organoleptik

Hasil ujiorganoleptik ikan patin siam yang dilakukan, menunjukkan data

berupa nilai tingkat warna, tekstur dan cita rasa ikan patin siam.

Warna

Warna kulit ikan patin siam pada perlakuan kontrol dan salinitas terlihat berbeda. Kulit ikan patin siam perlakuan kontrol berwarna lebih hitam gelap

dibandingkan dengan warna kulit ikan patin siam pada perlakuan salinitas (Gambar 4-7).

Gambar 4 Warna tubuh bagian luar (kulit) ikan patin siam perlakuan 0ppt

Gambar 5 Warna tubuh bagian luar (kulit) ikan patin siam perlakuan 3ppt

Gambar 6 Warna tubuh bagian luar (kulit) ikan patin siam perlakuan 5ppt

Perbedaan warna kulit ikan patin siam pada Gambar (4-7) tersebut diduga disebabkan karena pengaruh tidak langsung salinitas terhadap proses pigmentasi pada tubuh ikan patin siam masing-masing perlakuan.

Nilai Warna Daging Ikan Patin Siam dengan Menggunakan Metode Warna CIE L*a *b *

Menurut Goddard (1996) lemak yang tersimpan dalam tubuh ikan akan mempengaruhi warna daging ikan tersebut. Nilai warna daging ikan patin siam setiap perlakuan selama percobaan disajikan pada Tabel 9 berikut :

Tabel 9 Rata-rata nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*) dan kekuningan (b*)

daging ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) setiap perlakuan

Perlakuan (ppt) Nilai Kecerahan (L*) Nilai Kemerahan (a*) Nilai Kekuningan (b*) 0 42.00 19.11 5.45 3 62.92 10.47 8.09 5 40.37 16.09 10.23 7 45.22 27.03 10.89

Data yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan nilai warna kekuningan yang cenderung meningkat pada perlakuan salinitas. Namun dilihat dari kisaran

nilai kekuningan pada standar warna CIE L*a *b *, nilai kekuningan tersebut masih

tergolong rendah (<70) atau lebih cenderung berwarna putih (Lampiran 4).

Tekstur

Tesktur daging yang lebih kompak dan tidak berair (Gambar 8) merupakan salah satu kriteria produk olahan ikan yang lebih disukai konsumen.

Perlakuan 0 ppt Perlakuan 3ppt Perlakuan 5ppt Perlakuan 7 ppt Gambar 8 Tekstur daging ikan patin siam setiap perlakuan yang sudah

Gambar 8 menujukkan bahwa tekstur daging ikan patin siam pada perlakuan salinitas tampak lebih kompak dan tidak terlalu berair, sedangkan pada gambar ikan patin siam kontrol tampak lembek dan berair. Selain kandungan lemak diduga kandungan air juga dapat mempengaruhi tekstur daging karena daging ikan yang mengandung lebih sedikit air akan kelihatan lebih kompak dan tidak lembek.

Rasa

Rasa merupakan salah satu indikator kualitas daging yang sangat penting dalam mempengaruhi selera konsumen. Pada penelitian ini pengujian terhadap citarasa ikan patin siam dilakukan dengan cara mengumpulkan respon dari 15 orang panelis (Lampiran 17) begitu juga dengan indikator organoleptik sebelumnya (warna dan tekstur) untuk medeskripsikan respon penilaian panelis (Tabel 10) dan mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap ikan patin yang dipelihara selama penelitian.

Tabel 10 Hasil uji organoleptik ikan patin siam selama percobaan

Respon masing-masing panelis berbeda-beda untuk masing-masing perlakuan, panelis ternyata lebih menyukai warna daging ikan patin siam pada perlakuan salinitas 5 dan 7 ppt (Gambar 9) walaupun warna daging ikan masing-masing perlakuan masih relatif sama secara visual, yaitu putih. Sementara untuk tekstur dan rasa, diketahui sebanyak 40-60% panelis menyukai ikan patin siam yang dipelihara di media bersalinitas yang lebih tinggi (skala 4-5) daripada ikan patin siam perlakuan kontrol (Gambar 10).

Parameter Perlakuan

0 3 5 7

Warna daging masak (dikukus)

Putih Putih Putih Putih

Warna kulit Terang Pudar Pudar Pudar

Tekstur Agak kompak Agak Kompak Kompak Kompak

Rasa Tidak gurih Gurih Gurih Gurih

Uji Kesukaan (hedonic)

Agak tidak

7ppt (29.63%)

5ppt (29.63%)

3ppt (22.22%) 0ppt (18.52%)

Gambar 9 Diagram nilai persentase kesukaan (warna) daging ikan patin siam

40 60 46.67 60 13.33 0 6.67 0 0 10 20 30 40 50 60 70 0 3 5 7 Perlakuan (ppt) % Kesukaan/Ketidaksukaan suka Tidak suka

Gambar 10 Diagram persentase kesukaan/ketidaksukaan (tekstur dan rasa) daging ikan patin siam

Kualitas Fisika-Kimia Air

Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya ikan, meskipun pada penelitian ini data kualitas air yang diukur (Tabel 11) hanya sebagai data pendukung.

Tabel 11 Kisaran parameter kualitas fisika kimia air selama penelitian Perlakuan (ppt) DO (ppm) pH Ammoniak (ppm) 0 4.47-6 5.68-7.08 0-0.009 3 4.29-6 6.61-7.43 0-0.007 5 4.50-6 5.65-7.27 0-0.034 7 4.49-6 6.58-7.21 0-0.099

Hasil pengukuran kualitas air selama percobaan menujukkan kisaran yang masih dapat ditolerir oleh ikan patin siam.

Pembahasan

Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses fisiologis ikan, termasuk di dalamnya proses metabolisme dan osmoregulasi. Boyd (1982) mendefinisikan salinitas sebagai konsentrasi total dari semua ion yang terlarut dalam air. Affandi dan Usman (2002) menambahkan bahwa salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan ionik air, sebagai media internal maupun eksternal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai osmolaritas media pemeliharaan masing-masing perlakuan cenderungan semakin meningkat pada perlakuan salinitas yang lebih tinggi. Nilai tertinggi osmolaritas media tertinggi terdapat pada perlakuan 7 ppt, yaitu 0.29 Osmol/Kg dan terendah pada perlakuan kontrol, yaitu 0.01 Osmol/Kg. Tingginya salinitas menyebabkan kandungan garam-garam dalam media juga meningkat, sebagaimana yang dijelaskan Usman (1993) bahwa, sifat osmolaritas media berasal dari seluruh elektrolit (garam-garam) yang terlarut.

Pada salinitas yang lebih tinggi, konsentrasi elektrolit (garam-garam) yang terlarut juga akan semakin tinggi selanjutnya, semakin meningkatnya konsentrasi elektrolit tersebut, maka tekanan osmotik suatu media (osmolaritas medianya) juga akan menjadi semakin meningkat. Berbeda dengan osmolaritas cairan tubuh ikan yang nilainya tergantung pada spesiesnya masing-masing. Pada perlakuan salintas diketahui nilai osmolaritas cairan tubuh cenderung semakin menurun pada tingkat osmolaritas yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena nilai osmolaritas cairan tubuh dipengaruhi ole h osmolaritas media hidupnya.

Menurut Usman (1993 salinitas dapat mempengaruhi aspek biologi suatu organisme. Apabila organisme atau ikan berada pada media bersalinitas yang lebih besar, maka ikan akan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam hal tersebut, ikan akan mengacu pada salah satu pola respon, osmoregulator yaitu osmolaritas cairan tubuh tetap walaupun osmolaritas media berubah atau sebaliknya osmokonformer yaitu osmolaritas cairan tubuh berubah seiring dengan berubahnya osmolaritas media. Pada percobaan ini diduga, ikan patin siam pada perlakuan salinitas mengacu pada pola respon osmokonformer karena nilai osmolaritas media diketahui berubah seiring dengan berubahnya osmolaritas media.

Ikan akan mempertahankan perubahan-perubahan osmolaritas cairan tubuh dan osmolaritas media melalui proses osmoregulasi yang membutuhkan energi yang besar. Akibatnya, porsi energi yang akan digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan menjadi berkurang. Hasil uji tingkat kerja osmotik selama percobaan menunjukkan bahwa, salinitas dapat mempengaruhi tingkat kerja osmotik ikan patin siam pada masing-masing perlakuan. Hal ini didukung oleh hasil analisa statistik yang menujukkan bahwa, salinitas memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap tingkat kerja osmotik, sama halnya dengan hasil yang diperoleh Usman (1993) pada benih ikan jambal siam dan Muslim (2003) pada udang.

Perlakuan 7ppt diketahui mempunyai tingkat kerja osmotik yang paling rendah, hal ini disebabkan karena semakin kecil selisih osmolaritas cairan tubuh dengan osmolaritas media pemeliharaan ikan patin siam, maka semakin kecil pula tingkat kerja osmotik yang dialami ikan patin siam selama percobaan. Artinya pada kondisi tersebut keseimbangan antara osmolaritas cairan tubuh dan osmolaritas media pemeliharaan paling mendekati ideal atau mendekati iso-osmotik.

Usman (1993) menyatakan bahwa tingkat kerja osmotik yang rendah akan

mengurangi kerja enzim Na-K ATPase serta transfor aktif Na+, K+ dan CL-,

sehingga energi (ATP) yang digunakan untuk osmoregulasi mengecil dan sebaliknya akan semakin banyak porsi energi yang tersedia bagi pertumbuhan. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Baldisserotto (2007), bahwa ikan

yang dipelihara pada kondisi salinitas yang sama dengan konsentrasi ion dalam darah akan lebih banyak menggunakan lebih banyak energi untuk pertumbuhan,

selain itu Imsland at al. (2008) juga menambahkan, bahwa pada kondisi

lingkungan yang iso-osmotik pertumbuhan dan konversi pakan dapat lebih ditingkatkan, dalam keadaan demikian proses-proses pencernaan juga akan berjalan dengan lancar karena sintesis enzim-enzim pencernaan juga berjalan dengan baik.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa, kelangsungan hidup ikan patin siam selama pemeliharaan tidak dipengaruhi oleh salinitas. Kelangsungan hidup ikan patin siam yang dipelihara pada media salinitas tetap tinggi. Adanya kematian ikan patin siam justru terjadi pada perlakuan kontrol. Hal ini didukung oleh hasil analisa statistik yang menunjukkan bahwa, salinitas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup ikan patin siam. Tingginya tingkat kelangsungan hidup ikan patin siam yang dipelihara pada media bersalinitas disebabkan karena ikan patin siam mampu beradaptasi dengan baik pada media salinitas 3-7ppt serta adanya kemampuan cairan tubuh ikan patin siam yang dapat berfungsi sedikit mungkin dalam waktu yang singkat pada kisaran osmotik internal dan konsentrasi ion tidak normal yang timbul secara mendadak.

Usman (1993) menerangkan bahwa secara umum ikan air tawar mempunyai batas toleransi terhadap tekanan osmotik dan lingkungan yang setara

dengan 7 ppt NaCl, begitu juga dengan pendapat Hardjamulia et al. (1986) dan

Mahmudi (1991) pada benih jambal siam, benih jambal siam dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada media salinitas sampai dengan 7ppt.

Ikan patin siam pada perlakuan 7ppt mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada perlakuan kontrol, 3ppt dan 5ppt (Tabel 7), walaupun secara statistik tidak menujukkan adanya perbedaan yang nyata. Nilai laju pertumbuhan ikan patin siam pada percobaan ini juga tergolong rendah jika dibandingkan dengan percobaan-percobaan sebelumnya. Namun jika dilihat trennya, laju pertumbuhan ikan patin siam perlakuan salinitas cenderung meningkat dan lebih tinggi daripada perlakuan kontrol.

Rendahnya nilai laju pertumbuhan pada masing-masing perlakuan disebabkan karena ikan patin siam yang digunakan pada penelitian ini sudah

berukuran lebih besar (99.30±9.6 gram) daripada ikan patin siam yang digunakan pada percobaan di media salinitas sebelumnya, sehingga nilai laju pertumbuhan terlihat lambat dan tidak begitu menunjukkan perbedaan nyata dalam waktu pemeliharaan 2 bulan, seperti yang juga dinyatakan juga oleh Usman (1993) merujuk pada penelitian Aprieto (1976) bahwa pertumbuhan ikan pada masa larva sangat cepat, namun setelah itu menjadi agak lambat.

Nilai laju pertumbuhan ikan patin siam yang rendah juga disebabkan karena proses metabolisme di dalam tubuh ikan juga berkurang. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Huet (1971), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan meliputi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat ikan hidup yang meliputi sifat fisik dan kimia air, sedangkan faktor internal merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti umur dan sifat genetik ikan yang meliputi keturunan, kamampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit.

Salinitas juga dapat mempengaruhi kondisi kualitas air media pemeliharaan, karena akan berhubungan dengan tingkat stres yang dialami oleh ikan serta tingkat konsumsi pakannya. Hasil uji kualitas fisika kimia air menunjukkan kisaran nilai yang masih dapat ditolerir dan mendukung kelangsungan hidup serta pertumbuhan ikan patin siam. Hal ini didukung oleh hasil uji proksiamat yang menunjukkan nilai protein, lemak dan kadar air dalam tubuh ikan patin siam selama percobaan.

Nilai kandungan protein tubuh ikan patin siam pada perlakuan salinitas cenderung lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Begitu juga dengan kandungan lemak dalam tubuh, walaupun secara statistik diketahui salinitas tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05). Kecenderungan peningkatan nilai protein dan lemak pada perlakuan salinitas disebabkan karena pada perlakuan tersebut tingkat kerja osmotik lebih rendah artinya energi yang digunakan untuk osmoregulasi lebih sedikit sehingga pemanfaatan pakan lebih tinggi, protein yang tersimpan lebih banyak dan hanya sedikit yang terurai atau dimanfatkan untuk energi dalam mempertahankan keseimbangan garam-garam tubuh (Setiawati dan Suprayudi 2003). Sebaliknya pada perlakuan kontrol, porsi energi yang digunakan

untuk osmoregulasi lebih besar, sehingga protein dan lemak yang tersimpan menjadi lebih sedikit.

Protein merupakan komponen utama pada jaringan ikan. Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan dan pemeliharaan tubuh. Protein juga bertanggung jawab dalam kontraksi otot dan merupakan komponen dari enzim, hormon dan antibodi. Begitu juga dengan lemak, lemak berfungsi sebagai sumber energi metabolik, sumber asam lemak essensial yang berperan dalam struktur seluler dan sumber steroid yang mempunyai fungsi biologis untuk pemeliharaan sistem membran, transfor lemak dan prekursor dari hormon steroid.

Lemak disimpan sebagai cadangan energi jangka panjang selama periode yang penuh aktivitas atau periode tanpa makanan dan energi (Setiawati dan Suprayudi 2003). Pada perlakuan salinitas, diduga lemak akan berfungsi sebagai

sumber energi (protein sparing effect), sedangkan protein lebih digunakan untuk

penambahan bobot tubuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Feruichi (1988), bahwa peningkatan ketersediaan nutrien penghasil energi selain protein, seperti lemak dapat menurunkan oksidasi protein dalam menghasilkan energi, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan.

Lemak dikenal akan komposisi asam lemaknya yang kompleks. Asam lemak merupakan komponen penting dari lemak. Menurut hasil penelitian sebelumnya, asam lemak yang terkandung dalam minyak ikan dapat mengurangi

resiko penyakit hati pada manusia (Hein et al. 1992). Kandungan omega 3 pada

ikan juga dapat membantu menurunkan tingkat kolesterol, sehingga dapat terhindar dari penyakit jantung koroner dan stroke. Selain itu, Omega-3 juga dapat membantu pertahanan tubuh dari serangan kanker dan radang sendi (arthritis).

Asam lemak dapat dibedakan menjadi asam lemak jenuh yang tidak mempunyai ikatan rangkap dan asam lemak tidak jenuh yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Spesies air laut lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh dibandingkan dengan spesies air tawar. Sebagai contoh ikan salmon yang bermigrasi dari air tawar menuju lingkungan air laut akan memiliki perbandingan n-3/n-6 lebih tinggi (Nur dan Arifin 2004).

Asam lemak omega 3 atau linolenat merupakan asam lemak essensial yang dibutuhkan oleh tubuh ikan untuk mempertahankan kesehatan yang optimal

(Usman 1993). Asam lemak linolenat mempunyai rantai panjang yang biasanya berjumlah sekitar seperempat atau sepertiga dari keseluruhan asam lemak dalam tubuh ikan. Kekurangan asam lemak linolenat dan linoleat akan menyebabkan pertumbuhan terhambat dan bahkan dalam waktu yang lama akan menyebabkan kematian.

Pada ikan umumnya, asam lemak linoleat dan linolenat merupakan jenis asam lemak yang esensial, karena tidak dapat disintesis dalam tubuh, sehingga harus tersedia di dalam pakannya. Asam lemak yang dikonversi dari pakan tersebut akan mengalami proses desaturasi dan perpanjangan rantai di dalam tubuh ikan sesuai jenis dan kemampuan ikan. Ikan memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengkonversi asam lemak tak jenuh karbon 18 menjadi rantai

yang panjang dan lebih tidak jenuh (Owen et al. 1975 dalam NRC 1993).

Perlakuan salinitas mempunyai nilai kandungan asam lemak tidak jenuh seperti linoleat (omega 6) dan linolenat (omega 3) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Perlakuan (7ppt) mempunyai kandungan asam linolenat (n-3) dan oleat (n-9) tertinggi. Sedangkan untuk komposisi beberapa asam lemak jenuh seperti palmitat, Miristat dan Behenat justru lebih tinggi pada perlakuan kontrol.

Adanya perbedaan komposisi asam lemak tersebut disebabkan karena pengaruh salinitas seperti yang dijelaskan oleh Nur dan Arifin (2004), bahwa komposisi asam lemak yang terkandung dalam tubuh ikan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pakan namun juga faktor lingkungan, seperti temperatur dan salinitas. Pada perlakuan salinitas 5ppt, ikan patin siam lebih banyak

Dokumen terkait