• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PELAYANAN DAN

C. Otoritas dan Tanggung Jawab Pengelola Bandar Udara

Otoritas Bandar Udara sendiri ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dapat dibentuk untuk satu atau beberapa Bandar

      

19

Ibid, hlm 187.

20

Udara terdekat serta dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

Otoritas Bandar Udara mempunyai tugas dan tanggung jawab:21

a. Menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan

di Bandar Udara;

b. Memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan

dan keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di Bandar Udara;

c. Menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan Bandar Udara;

d. Menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu

kelancaran kegiatan operasional Bandar Udara yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya;

e. Melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat

instansi di Bandar Udara, melalaikan tugas dan tanggung jawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di Bandar Udara;

f. Melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya kepada

Menteri.

Wewenang dari otoritas Bandar Udara yaitu:22

a. Mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di Bandar Udara;

      

21

Pasal 228 UURI No. 1 Tahun 2009. 

22

b. Mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran, serta kenyamanan penerbangan di Bandar Udara;

c. Mengatur, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan

ketentuan pelestarian lingkungan;

d. Mengatur, mengendalikan dan mengawasi penggunaan lahan

daratan dan/atau perairan Bandar Udara sesuai dengan rencana induk Bandar Udara;

e. Mengatur, mengendalikan dan mengawasi penggunaan kawasan

keselamatan operasional penerbangan dan daerah lingkungan kerja Bandar Udara serta daerah lingkungan kepentingan Bandar Udara;

f. Mengatur, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan standar

kinerja operasional pelayanan jasa di Bandar Udara;

g. Memberikan sanksi administratif kepada badan usaha Bandar

Udara, unit penyelenggara Bandar Udara, dan atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan aparat otoritas Bandar Udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai

dengan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.23

      

23

2. Tanggung Jawab Pengelola Bandar Udara

Pengertian tanggung jawab sangat luas, namun demikian

menurut Peter Salim24 dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok

besar masing-masing tanggung jawab dalam arti accountability,

responsibility, dan liability.25 Demikian pula menurut Henry Campbell

Black.26 Tanggung jawab dalam arti accountability biasanya berkaitan

dengan keuangan,27 pembayaran atau pembukuan, misalnya dalam

kalimat: Dimintakan “pertanggungan jawab” atas hasil pembukuannya.

Tanggung jawab dalam arti responsibility dapat diartikan ikut

memikul beban akibat suatu perbuatan atau dapat berarti kewajiban memperbaiki kembali kesalahan yang pernah terjadi.

Tanggung jawab dalam arti liability dapat diartikan kewajiban

membayar ganti kerugian yang diderita. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, tanggung jawab dalam arti liability berarti

menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas namanya.

      

24

Peter Salim, Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Jakarta, 1985, hlm 28.

25

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan Kumpulan Makalah dan Paparan Ilmiah, CV. Mitra Karya, Jakarta, 2003, hlm 102-125.

26

E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 131.

27

E. Suherman, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1962, hlm 20. 

Menurut Pasal 240 ayat 1 UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, badan usaha Bandar Udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa Bandar Udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian Bandar Udara.

Berdasarkan ketentuan ini, penumpang sebenarnya dapat meminta tanggung jawab terhadap operator Bandar Udara apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian yang disebabkan oleh operator Bandar Udara.

Berdasarkan hukum angkutan udara internasional, ketentuan

tanggung jawab tidak dimaksudkan sebagai penghambat dunia penerbangan melainkan untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan penumpang. Pembebanan tanggung jawab kepada pengelola bandara tidak berarti mengurangi tanggung jawab dari maskapai udara. Tiap-tiap pihak tentu wajib tanggung jawab sesuai porsinya, termasuk juga dengan penumpang.

Pada akhirnya, ketentuan hukum tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah dan benar saat terjadi kecelakaan dan insiden penerbangan. Hal ini diperlukan untuk menyempurnakan sistem agar transportasi udara dapat lebih aman dan nyaman.

Dalam bidang penerbangan dan kegiatan Bandar Udara dapat dijumpai beberapa sistem tanggung jawab yang memakai

prinsip-prinsip tanggung jawab. Sistem mana yang terbaik, terutama bagi Indonesia, tergantung kepada siapa yang ingin dilindungi dan sampai

dimana tingkat perlindungan itu, yang terdiri atas:28

1. Sistem Warsawa 1929

Dalam Sistem Warsawa ini dipergunakan prinsip Presumption

of Liability , prinsip Presumption of Non Liability, dan prinsip

Limitation of Liability. Prinsip Presumption of Liability

dipergunakan untuk tanggung jawab terhadap penumpang,

bagasi tercatat (register baggage atau checked baggage yaitu

bagasi penumpang yang sebelum keberangkatan diserahkan kepada pengangkut untuk diangkut dengan kargo).

Prinsip Presumption of Non Liability dipergunakan untuk

tanggung jawab terhadap bagasi tangan atau handbaggage yaitu

barang-barang yang dibawa oleh dan berada dibawah pengawasan sendiri. Kedua prinsip ini dikombinasikan dengan

prinsip Limitation of Liability.

Prinsip Presumption of Liability mempunyai arti bahwa

pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami penumpang karena ia mengalami kecelakaan atau bagasi tercatatnya hilang atau untuk kerugian

       28

 E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 235.

yang dialami oleh pengirim atau penerima kargo, karena

kerusakan atau kehilangan.29

Dengan prinsip ini maka pihak yang mengalami kerugian tidak mempunyai beban untuk membuktikan bahwa ia punya hak atas ganti rugi. Dengan perkataan lain, prinsip ini mengakibatkan adanya suatu pengalihan beban pembuktian, oleh karena sistem Warsawa pengangkut dapat meniadakan praduga bahwa ia bertanggung jawab, apabila ia dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah timbulnya kerugian. Dalam hukum Anglosakson,

prinsip ini juga disebut “res ipsa loquitur” atau the thing speaks

for itself yang artinya pengangkut sudah dengan sendirinya

bertanggung jawab dan tidak perlu dibuktikan lagi dalam prinsip

ini ada atau tidak adanya kesalahan tidak relevan.30

Prinsip ini dengan sendirinya lebih berat bagi pengangkut karena dia dianggap selalu bertanggung jawab, dan sebagai imbangannya prinsip ini disertai prinsip pembatasan tanggung jawab, artinya tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai jumlah tertentu.

Sebaliknya untuk bagasi tangan berlaku prinsip Presumption of

Non Liability yaitu bahwa pengangkut dianggap selalu tidak

bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada       

29

 John. M. Echols & Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986, Hlm 130.

30

bagasi tangan. Memang wajar apabila prinsip tanggung jawab untuk bagasi tangan merupakan kebalikan dari prinsip tanggung jawab untuk bagasi tercatat, oleh karena bagasi tangan tetap

berada dibawah pengawasan penumpang sendiri (things of

which the passanger takes charge himself). Dalam hal ini

penumpanglah yang harus membuktikan bahwa pengangkut bertanggung jawab, misalnya bahwa kerugian pada bagasi tangan disebabkan karena kelalaian pengangkut atau perbuatan

sengaja.31

2. Sistem Roma

Dalam Konvensi Roma tahun 1933 yang kemudian digantikan dengan Konvensi Roma tahun 1952 yang mengatur tanggung jawab oeprator pesawat udara asing untuk kerugian yang diderita pihak ketiga di permukaan bumi dipergunakan prinsip

tanggung jawab mutlak (absolut liability atau strict liability) dan

prinsip pembatasan tanggung jawab. Dengan prinsip ini operator pesawat udara tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawab.

Dengan sendirinya prinsip tanggung jawab mutlak lebih berat bagi pihak yang bertanggung jawab, oleh karena ia tidak dapat membebaskan diri.

       31

3. Sitem Montreal

Dalam bulan Oktober tahun 1965 Amerika Serikat menyatakan akan mengundurkan diri sebagai peserta Konvensi Warsawa tahun 1929, karena menganggap bahwa limit tanggung jawab yang ditetapkan dalam Konvensi Warsawa, meskipun telah

dinaikkan dua kali lipat oleh Protokol The Hague tahun 1955

yang mengamendir Konvensi Warsawa, masih terlalu rendah. Pengunduran diri akan mulai berlaku bulan Mei tahun 1966, yaitu 6 (enam) bulan kemudian sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Warsawa.

Pengunduran Amerika Serikat sebagai peserta Konvensi

Warsawa oleh International Air Transport Association (IATA)

yaitu asosiasi perusahaan penerbangan internasional dianggap sebagai suatu hal yang sangat serius, oleh karena akan mengakibatkan perusahaan penerbangan yang mengangkut penumpang berbangsa Amerika Serikat ada kemungkinan bila digugat di Amerika Serikat, akan diharuskan membayar ganti rugi yang jauh lebih tinggi dari pada apa yang mungkin harus

dibayarkan berdasarkan Konvensi Warsawa atau Protokol The

Hague. Oleh karena itu IATA dan perusahaan penerbangan yang

tergabung didalamnya bersedia mengadakan suatu perjanjian khusus dengan pemerintah Amerika Serikat, yang dikenal

Perjanjian ini dapat mencegah Amerika Serikat keluar dari Konvensi Warsawa 1929. Dengan perjanjian ini, yang berlaku khusus bagi penerbangan dari dan melalui Amerika Serikat, perusahaan penerbangan menyepakati hal-hal sebagai berikut:

a. Prinsip tanggung jawab yang dipakai adalah prinsip

tanggung jawab mutlak.

b. Jumlah ganti rugi maksimal adalah US$ 75.000 (tujuh

puluh lima ribu US dolar), termasuk biaya perkara atau US$ 58.000 (lima puluh delapan ribu US dolar) tidak termasuk biaya perkara.

c. Dalam waktu 5 (lima) tahun harus diusahakan suatu

konvensi internasional baru untuk menggantikan konvensi

Warsawa.32

4. Sistem Guatemala

Lima tahun setelah Montreal Interim Agreement 1966, di

Guatemala oleh International Civil Aviation Organization

(ICAO), suatu badan khusus PBB, diselenggarakan suatu Konferensi Diplomatik mengenai Hukum Udara Internasional, yang kemudian menghasilkan Protokol Guatemala tahun 1971, yang berisikan amandemen-amandemen yang mendasar pada Konvensi Warsawa tahun 1929. Dalam protokol ini pada dasarnya dipergunakan pirnsip-prinsip yang sama seperti dalam       

32

Montreal Interim Agreement, khusus untuk penumpang dan bagasinya, sedangkan untuk kargo dan keterlambatan masih

dipergunakan prinsip presumption of liability. Untuk

penumpang limit tanggung jawab ditetapkan sebesar US$ 100. 000 (Seratus ribu US dolar) dan dinyatakan sebagai suatu unbreakable limit, suatu limit yang tidak dapat dilampaui dalam hal apapun juga.

5. Sistem Ordonansi Pengangkutan Udara

Sistem Ordonansi Pengangkutan Udara sama dengan sistem Warsawa, kecuali dalam satu hal, yaitu untuk tanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh karena keterlambatan. Dalam Warsawa, tanggung jawab untuk keterlambatan tunduk pada prinsip yang sama, sedangkan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara, pengangkut diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab dengan suatu perjanjian

khusus dengan pemakai jasa angkutan udara.33

6. Sistem Flat Rate

Sistem ini bermula dari suatu kebijakan pemerintah setelah peristiwa kecelakaan pesawat udara yang mengangkut jemaah haji, tahun 1974 dan 1975 di Srilangka.

Dengan demikian maka dapat kita tafsirkan bahwa dengan sistem ini prinsip yang digunakan adalah prinsip tanggung       

33

jawab mutlak, meskipun tafsiran ini mungkin keliru karena belum pernah ada kasus pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab karena alasan tertentu. Salah satu unsur dari adanya tanggung jawab mutlak ialah bahwa pengangkut tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya karena alasan apapun juga, kecuali kesalahan pihak yang dirugikan sendiri

atau inherent vice of the goods.

Dalam konsep RUU untuk menggantikan Ordonansi Pengangkutan Udara, yang disusun oleh tim konsultan untuk departemen perhubungan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tahun 1986 telah diusulkan suatu sistem yang memakai prinsip tanggung jawab mutlak, dikombinasikan dengan sistem flat rate, yaitu berupa pembayaran suatu jumlah tertentu secara otomatis, dengan membuka kemungkinan untuk menuntut ganti rugi melebihi jumlah tersebut sampai suatu limit tertentu, dengan syarat beban pembuktian mengenai alasan untuk jumlah tambahan tersebut. Konsep diatas menjadi suatu perbandingan antara berbagai sistem tanggung jawab tersebut.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 138 ayat (2) bahwa badan usaha Bandar Udara, unit penyelenggara Bandar Udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus dan/atau barang berbahaya

wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan system dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat kedalam pesawat udara. Apabila melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya tersebut maka akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

Dan juga menyadari betapa pentingnya peran asuransi, dalam pasal 62 Bab VIII UURI No. 1 Tahun 2009, mengatur asuransi dalam pengoperasian pesawat udara. Setiap orang ( termasuk badan hukum) yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan:

a. Pesawat udara yang dioperasikan;

b. Personel pesawat udara yang dioperasikan;

c. Tanggung jawab kerugian yang diderita oleh orang atau badan

hukum yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum;

d. Tanggung jawab pihak ketiga atau orang atau badan hukum

yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tetapi mendapat kerugian akibat dari pengoperasian pesawat udara tersebut;

e. Kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara.

Dalam RUU Penerbangan tidak terdapat usul yang mewajibkan asuransi pesawat udara yang dioperasikan, personel pesawat udara

yang dioperasikan, tanggung jawab kerugian orang atau badan hukumyang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tanggung jawab kerugian pihak ketiga atau orang atau badan hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tetapi mendapat akibat dari pengoperasian pesawat udara tersebut, dan kegiatan investigasi

insiden dan kecelakaan pesawat udara.34

Dalam UURI No. 15 Tahun 1992 kewajiban asuransi awak pesawat udara terdapat dalam pasal 48 (empat puluh delapan). Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya.

Asuransi penerbangan mempunyai peran yang sangat penting dalam dunia penerbangan terutama asuransi tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang, pengirim barang, tanggung jawab terhadap pihak ketiga, tanggung jawab penyelenggara Bandar Udara, asuransi awak pesawat udara, dan asuransi pesawat udara.

Dokumen terkait