• Tidak ada hasil yang ditemukan

OVERVIEW KESINAMBUNGAN FISKAL (FISCAL SUSTAINABILITY)

Dalam dokumen Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiska (Halaman 31-35)

A. KONSEP KESINAMBUNGAN FISKAL 1. Definisi Umum

Kesinambungan Fiskal atau secara internasional dikenal dengan istilah Fiscal sustainability

merupakan suatu keadaan dimana pemerintah mempunyai diskresi yang luas untuk mempengaruhi perekonomian menggunakan kebijakan fiskalnya. Ini merupakan kondisi ideal yang harus dicapai untuk menjaga kestabilan ekonomi.

Utang merupakan kewajiban pemerintah yang utama. Pembayaran utang baik pokok maupun bunga dijadikan prioritas karena menyangkut masalah kepercayaan kepada pemerintah dan citra pemerintah. Jika jumlah utang yang harus dibayar begitu besar, maka sebagian besar pendapatan pemerintah pastinya akan tersedot untuk pembayaran tersebut. Akibatnya, pendapatan yang bisa digunakan akan semakin sedikit. Kondisi ini disebut sebagai tekanan fiskal.

Sebuah analogi sederhana dapat digunakan dalam menggambarkan kesinambungan fiskal secara umum. Misalkan ada dua keluarga, a dan b. keluarga a mempunyai penghasilan Rp1.000.000 dimana Rp500.000 digunakan untuk membayar utang,maka hanya tersisa Rp500.000 lagi untuk keperluan mereka. Jika keluarga b mempunyai pendapatan Rp800.000, dimana Rp200.000 digunakan untuk membayar utang, kondisi keluarga manakah yang lebih baik? Dari segi pendapatan atau penghasilan, mungkin keluarga a lebih baik karena penghasilannya lebih besar. Tapi, dari sisi penghasilan yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhannya, maka keluarga b lebih sejahtera. Hal yang sama tentu berlaku juga untuk level Negara.

Belum ada definisi yang tetap mengenai kesinambungan fiskal. Berikut definisi kesinambungan fiskal dari berbagai sumber:

 Kebijakan fiskal dikatakan berkesinambungan jika kebijakan tersebut menjaga rasio nilai bersih pemerintah terhadap PDB pada level saat ini.

- Buiter, 1985

 Kebijakan fiskal yang berkesinambungan adalah kebijakan fiskal yang dapat menciptakan sekuens utang dan defisit sedemikian rupa sehingga kondisi nilai sekarang (present value condition) dari sekuens penerimaan dan pengeluaran pemerintah dimasa-masa mendatang adalah sama.

- Wilcox, 1989

 Kebijakan fiskal yang berkesinambungan adalah kebijakan yang memastikan bahwa rasio utang terhadap PDB bertemu kembali pada titik atau level awalnya.

- Blanchard, 1990

 Kesinambungan fiskal adalah Ketiadaan risiko gagal bayar, dengan kata lain, tingkat utang harus lebih kecil dibandingkan nilai sekarang (present value) dari semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang.

Buiter dan Graf, 2002

 Kesinambungan fiskal adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi fiskal saat ini tanpa perlu melakukan penyesuaian dalam kebijakan pajak atau pengeluaran dalam rangka untuk memastikan solvabilitas

Stephen Marks, 2004

Fiscal sustainability, or public finance sustainability, is the ability of a government to sustain its current spending, tax and other policies in the long run without threatening government solvency or defaulting on some of its liabilities or promised expenditures. (Kesinambungan fiskal, atau kesinambungan keuangan publik, adalah kemampuan dari suatu pemerintah untuk menopang

belanja lancar, pajak, dan kebijakan lainnya dalam jangka panjang tanpa mengancam solvabilitas pemerintah atau mengalami gagal bayar atas beberapa kewajibannya atau belanja dengan perjanjian.)

Wikipedia

 Kesinambungan fiskal adalah suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis mampu menjalankan fungsi sebagai stabilisator perekonomian serta mampu memenuhi berbagai beban pengeluaran atau kewajiban, baik eksplisit maupun implisit untuk saat ini dan yang akan datang secara aman.

Rahmat Waluyanto 2. Sustainabilitas dan Solvabilitas

IMF (2002) dan Croce beserta Juan-Ramón (2003) telah mendiskusikan perbedaan antara solvabilitas dan sustainabilitas. Menurut definisi yang mereka kemukakan, seperangkat kebijakan tidak berkesinambungan (unsustainable) bila kebijakan tersebut mengarah kepada insolvency (solvency atau solvabilitas didefinisikan sebagai situasi dimana belanja dan pendapatan masa depan dapat mencukupi keterbatasan anggaran intertemporal, atau dengan kata lain kemampuan melunasi utang-utang dengan aset/anggaran yang ada). Namun demikian, mereka berpendapat bahwa solvabilitas dapat dicapai dengan penyesuaian masa depan yang sifatnya besar dan mengeluarkan biaya tertentu, sementara sustainabilitas atau kesinambungan dicapai tanpa penyesuaian kebijakan yang signifikan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sustainabilitas atau kesinambungan dapat dicapai jika peminjam berharap dapat melanjutkan pembayaran utangnya tanpa koreksi masa depan yang sangat besar terhadap belanja dan pendapatan.

Dapat disimpulkan pula bahwa kesinambungan dapat dicapai jika:

a) Suatu negara dapat mengatasi batasan anggaran tahun berjalan tanpa ancaman gagal bayar atas utang atau mencari tambahan utang yang berlebihan

b) Suatu negara tidak terus mengakumulasi utang padahal tahu bahwa penyesuaian yang besar di masa depan akan diperlukan untuk memastikan kemampuan membayar utang tersebut.

3. Tujuan Kebijakan Fiskal yang Berkesinambungan

Dengan menerapkan kebijakan fiskal yang berkesinambungan, diharapkan tujuan-tujuan berikut ini akan tercapai.

a) Menyediakan kapasitas untuk memenuhi kewajiban di masa depan

Kebijakan fiskal yang berkesinambungan akan memastikan bahwa kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh negara dapat diselesaikan dengan lancar pada setiap tahun berjalan di masa depan dan tidak ada kemungkinan yang tinggi akan gagal bayar.

b) Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan diharapkan dapat terwujud jika pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang berkesinambungan.

c) Mendorong keadilan antar generasi

Kebijakan fiskal yang berkesinambungan memungkinkan terwujudnya keadilan dalam pembagian kewajiban akan utang yang telah ditimbulkan pada masa lalu bagi generasi di masa depan.

B. PENDEKATAN KESINAMBUNGAN FISKAL

Setidaknya dikenal tiga pendekatan untuk menilai kesinambungan fiskal, yaitu:

1. Pendekatan kendala anggaran antar waktu (intertemporal budget constraint, IBC) atau dikenal juga sebagai pendekatan kendala nilai sekarang (present value constraint, PVC), dimana pendekatan ini

lebih melihat fenomena kesinambungan fiskal berdasarkan situasi historis dari posisi kebijakan fiskal tersebut sendiri. Pendekatan present value constraint approach menyatakan bahwa fiscal sustainability tercapai apabila jumlah utang pemerintah pada tahun anggaran tertentu sama dengan

present value dari surplus primary balance di masa mendatang;

2. Pendekatan akuntansi (accounting) yang dalam analisisnya menggunakan indikator-indikator ekonomi sebagai persentase dari PDB untuk menilai kesinambungan fiskal. Fokus dari pendekatan ini diletakkan pada target rasio utang tertentu, biasanya rasio utang-PDB, yang dikaitkan dengan target-terget ekonomi makro seperti inflasi, laju pertumbuhan ekonomi (g) dan tingkat suku bunga (r). Defisit atau surplus pada keseimbangan primer dianggap sustainable apabila keseimbangan primer tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang konstan; dan

3. Pendekatan indikator kesinambungan dimana dibentuknya indikator-indikator fiskal untuk menilai kesinambungan kebijakan fiskal suatu negara. Indikator-indikator tersebut pada dasarnya dapat diturunkan dari persamaan kendala anggaran pemerintah antar waktu dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dari negara yang bersangkutan.

C. INDIKATOR KESINAMBUNGAN FISKAL

Ada tiga indikator rasio yang dapat digunakan untuk mengetahui kesinambungan fiskal, yaitu: rasio keseimbangan primer terhadap PDB (primary balance to GDP ratio).

1. Rasio keseimbangan primer terhadap PDB (primary balance to GDP Ratio)

Arah kebijakan fiskal (fiscal stance) dikatakan berkesinambungan (sustainable) apabila perkembangan rasio keseimbangan primer terhadap PDB tetap (finite). Rasio keseimbangan primer terhadap PDB yang positif dapat memberikan indikasi bahwa pemerintah memiliki ruang gerak yang cukup untuk mengurangi beban utang.

2. Rasio utang pemerintah terhadap PDB (government debt to GDP Ratio)

Kebijakan fiskal dapat dikatakan sustainable apabila tidak menyebabkan akumulasi utang pemerintah yang berlebihan (excessive accumulation debt) dan pemerintah dapat menjaga rasio utang tersebut pada level tertentu (Blanchard, 1990 dan Buiter, 1995). Penurunan rasio utang memberikan gambaran kemampuan pemerintah dalam menjaga sustainabilitas kebijakan fiskal dan mengindikasikan kemampuan pemerintah dalam menjaga solvabilitas jangka panjang

3. Rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap pendapatan negara

Rasio tersebut menggambarkan seberapa besar porsi pendapatan yang digunakan untuk menanggung beban debt service pemerintah seiring dengan penambahan akumulasi utangnya. Dengan demikian rasio ini dapat digunakan untuk mendukung analisa apakah kebijakan fiskal suatu negara sustainable

atau tidak karena semakin besar rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap pendapatannya tersebut dapat mengindikasikan akumulasi utang yang berlebihan.

D. KESINAMBUNGAN FISKAL DI INDONESIA 1. Defisit Keseimbangan Primer

Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya bahwa salah satu pendekatan untuk menilai kesinambungan fiskal adalah pendekatan present value constraint approach yang menyatakan bahwa

fiscal sustainability tercapai apabila jumlah utang pemerintah pada tahun anggaran tertentu sama dengan present value dari surplus primary balance di masa mendatang. Begitu juga dengan pendekatan akuntansi yang mengandalkan besaran keseimbangan primer sebagai tolok ukur. Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja dalam APBN yang tidak termasuk pembayaran bunga. Jika berada dalam kondisi defisit, penerimaan negara tidak bisa menutup pengeluaran sehingga membayar bunga utang sudah menggunakan pokok utang baru.

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 29962.6 84308.5 5163.2 41537.5 8862.4 -72319.9 -96000

Keseimbangan Primer APBN Indonesia

Besaran (Dalam miliar rupiah)

Catatan: Defisit keseimbangan primer tahun 2013 merupakan pernyataan dari Menteri Keuangan pada tanggal 3 Januari 2013 (Metrotvnews.com)

Terlihat bahwa dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit pada keseimbangan primernya. Defisit keseimbangan primer APBN berisiko mengganggu kesinambungan fiskal karena beban bunga utang harus ditutup dengan penarikan pokok utang baru. Akibatnya, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto berisiko membengkak.

Dengan menggunakan salah satu pendekatan untuk menilai kesinambungan fiskal, melihat kondisi keseimbangan primer APBN yang bernilai negatif, kesinambungan fiskal Indonesia akan terganggu. Ke depan, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga kesinambungan fiskal.

Dua faktor dominan yang menyebabkan terjadinya defisit keseimbangan primer adalah: a) Tidak tercapainya target penerimaan perpajakan

Belanja negara yang diestimasikan berdasarkan target atau rencana penerimaan pajak yang ternyata tidak tercapai pada akhir tahun menjadi salah satu faktor timbulnya defisit keseimbangan primer.

b) Meningkatnya belanja pemerintah

Terkait dengan faktor pertama, belanja pemerintah yang tidak diiringi dengan penerimaan pajak yang diharapkan membuat keseimbangan primer terganggu.

2. Ancaman Kesinambungan Fiskal Lainnya

Selain defisit keseimbangan primer yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal lain yang saat ini berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Sunarsip dalam Bisnis Indonesia, yaitu:

a) Perbandingan penambahan utang dan peningkatan penerimaan pajak

Rasio utang pemerintah terhadap PDB memang rendah, sebesar 23,5% terhadap PDB, jauh di bawah ba tas aman 60% dari PDB. Namun, tentunya tidak cukup hanya melihat po sisi utang secara agregat. Kita juga perlu melihat kemampuan membayar utang kita setiap tahunnya dan pengaruh dari pembayaran utang tersebut terhadap perekonomian.

Terkait dengan utang pemerintah ini, dapat dibuat perbandingan antara tambahan utang baru (netto) dan tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya, dengan meng ambil data tahun 2009-2012.

Dari perhitungan tersebut, utang baru kita setiap tahunnya rata-rata bertambah lebih dari Rp100 triliun. Rincian penambahannya adalah Rp91 triliun (2010), Rp127 triliun (2011), Rp166 triliun, dan diperkirakan Rp162 triliun (2013).

Sementara itu, tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya rata-rata juga di atas Rp100 triliun, yaitu Rp103 triliun (2010), Rp151 triliun (2011), Rp106 triliun (2012), dan diperkirakan Rp159 triliun (2013).

Data tersebut memperlihatkan bahwa semakin ke sini, selisih (delta) antara tambahan utang baru dengan tambahan penerimaan perpajakan justru semakin negatif. Dengan kata lain, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue) untuk dipergunakan pemerintah membayar kembali utangnya kini semakin menurun. Tentunya ini perlu pendalaman, mengapa PDB kita yang tinggi, namun pajak yang dapat ditarik masih rendah.

b) Pembayaran utang luar negeri

Kita juga menghadapi tekanan akibat tingginya pembayaran utang luar negeri (ULN). Rasio pembayaran ULN Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio/DSR) mengalami kenaikan tajam. DSR kita telah mencapai 34,7% pada kuartal I/2013, menurun sedikit dibandingkan dengan posisi pada 2012 sebesar 34,9%. Namun, angka DSR ini tergolong tinggi karena batas amannya seharusnya dijaga tidak lebih dari 20%. Penyebab tingginya DSR ini adalah karena menurunnya kemampuan ekspor kita. Tentunya, tingginya pembayaran ULN ini membawa implikasi bagi perekonomian. Tingginya pembayaran ULN telah menyebabkan neraca pembayaran Indonesia (NPI) defisit, menekan posisi cadangan devisa dan nilai tukar Rupiah melemah.

3. Strategi Pemerintah Indonesia mencapai Kesinambungan Fiskal

Adapun strategi menjaga kesinambungan fiskal secara umum dapat ditempuh melalui empat hal: a) optimalisasi pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim investasi, keberlanjutan dunia usaha,

dan kelestarian lingkungan hidup;

b) meningkatkan kualitas belanja negara melalui efisiensi belanja yang kurang produktif dan meningkatkan belanja infrastruktur untuk memacu pertumbuhan;

c) menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen terhadap PDB; dan d) menurunkan rasio utang terhadap PDB dalam batas yang terkendali.

Sementara itu, dalam upaya menjaga kesinambungan fiskal pada APBN 2014, terdapat empat langkah utama yang akan diambil oleh pemerintah, yaitu:

a) Penguatan daya tahan dan fleksibilitas APBN agar responsif dan antisipatif dalam menghadapi situasi global yang masih tidak menentu

b) Penguatan perekonomian dalam negeri dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan produktivitas APBN melalui pemberian stimulus fiskal untuk mendukung mesin perekonomian domestik.

c) Pemerintah akan mengelola APBN dengan kehati-hatian sehingga defisit hanya mencapai 1,2 sampai 1,7 persen dari PDB saja

d) Pengendalian net negative flow dan primary balance untuk memperkecil risiko dan menjaga keseimbangan fiskal dari potensi tekanan-tekanan ekonomi, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi, terdepresinya nilai tukar rupiah, penurunan lifting, tingginya level ICP (Indonesian Crude Price/ Harga Minyak Mentah Indonesia) kita, dan meningkatnya volume konsumsi BBM.

Dalam dokumen Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiska (Halaman 31-35)

Dokumen terkait