II. TINJAUAN PUSTAKA
2.9. Owa Jawa ( Hylobates moloch Audebert 1797) 26
Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa yang hanya terdapat di Jawa
Barat dan Jawa Tengah dan statusnya dilindungi oleh IUCN dengan kategori
spesies terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Primata merupakan
salah satu kelompok satwaliar yang dapat dijadikan indikator ekologis suatu
kawasan hutan, sehingga dengan mengetahui sebaran dan kondisi kelompok
primata pada suatu areal hutan, dapat memberikan informasi bagi upaya
pengelolaan dan rehabilitasi kawasan hutan tersebut (Rinaldi et al. 2008).
Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) diklasifikasikan sebagai
berikut (Nijman 2004):
Kingdom : Animalia
Phyllum : Choordata
Sub phyllum
: Vertebrata
Klass : Mammalia
Ordo : Primata
Sub ordo
: Arthropoidea
Super famili
: Homoinoidea
Famili : Hylobatidae
Genus : Hylobates
Spesies : Hylobates moloch Audebert 1797.
Spesies
Hylobates moloch mempunyai dua sub-spesies yaitu ylobates moloch
Barat dan Hylobates moloch pongoalsoni Sody 1949 yang terdapat di Jawa
Tengah (Jones et al. 2004).
Rata-rata bobot badan owa jawa jantan adalah 7,65±0,39 kg dan betina
7,63±0,33 kg. Ukuran ekstremitas atasnya relatif lebih panjang dibandingkan
dengan ekstremitas bawah, hal ini sesuai dengan aktifitas pergerakannya yaitu
brakiasi atau bergelantungan dan berayun pada dahan pohon serta melompat dari
dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lainnya (Permanawati et al. 2009).
Populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Halimun mempunyai hubungan
kekerabatan yang dekat dengan populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Salak
(Andayani et al. 2001).
Kehidupan owa jawa yang arboreal atau beraktifitas pada tajuk pohon,
memerlukan hutan-hutan primer sebagai habitat utamanya. Sumberdaya alam
yang tersedia di hutan primer, dapat memenuhi kebutuhan hidup owa jawa sesuai
dengan kondisi fisik dan fisiologisnya. Hutan primer dengan kondisi tajuk yang
saling bersambungan, merupakan tempat utama bagi aktifitas owa jawa. Selain
menyediakan bahan makanan berupa buah dan daun, kondisi tajuk yang saling
bersambungan ini memungkinkan owa jawa untuk melakukan pergerakan antar
cabang pohon (brachiation) pada kanopi pohon di hutan (Rinaldi et al. 2008).
Rata-rata aktifitas owa jawa dalam sehari adalah 9,5 jam, yaitu dari jam 6.30
sampai 16.00 WIB. Perilaku owa jawa yang terlama (57.05% ± 0.45) yaitu
istirahat, diikuti perilaku bergerak (21.99% ± 0.14), makan (15.73% ± 0.34),
bercumbu (5.16% ± 0.03), bersuara (2.35% ± 0.02), perilaku sosial (1.6% ± 0.09),
agonistic behaviours (0.37 % ±0.01), dan kopulasi (0.05% ± 0.01). Aktifitas
puncak owa jawa dilakukan pada dua periode yaitu jam 06:35 sampai 07:30 WIB
dan jam 14:35 sampai 15:30 WIB.
Owa jawa mempunyai dua tipe suara yaitu suara jantan solo dan perempuan
solo, suara jantan lebih pendek dari pada suara betina. Owa jawa mempunyai
empat tipe perilaku bergerak yaitu brakhiasi (melompat dari satu dahan pohon ke
dahan pohon lainnya), klimbing (memanjat), jumping (melompat) dan bipedal
(berjalan dengan dua kaki). Frekuensi pergerakan yang sering dilakukan yaitu tipe
brakhiasi (Amarasinghe NK dan Amarasinghe AAT 2010). Hasil penelitian
Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB memperlihatkan bahwa, pola
aktifitas harian owa jawa yang paling banyak dilakukan meliputi tingkah laku
bergerak (45,70%), diikuti dengan tingkah laku istirahat (42,50%), makan
(23,90%), bermain (15,90%), dan menelisik (6,60%).
Penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2007) terhadap habitat dan
populasi owa jawa di TNGHS memberikan hasil bahwa, ada 33 jenis (11 famili)
pohon yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan 15 jenis (6
famili) pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Jenis pohon tempat
tidur adalah jenis-jenis pohon yang pada umumnya juga dimanfaatkan sebagai
pohon pakan. Terdapat persamaan kriteria jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai
pohon pakan dan pohon tempat tidur, antara lain jenis-jenis pohon yang tinggi
dengan diameter besar dan tajuk yang lebar. Pemilihan tajuk yang lebar dan saling
berhubungan antara satu pohon dengan pohon lain, merupakan salah satu cara
untuk mempermudah pergerakan. Pemilihan pohon yang tinggi dan berdiameter
besar merupakan penyesuaian dengan cara hidup owa jawa yang arboreal dan
sebagai salah satu cara untuk menghindari ancaman satwa pemangsa (predator)
dan perburuan.
Luas daerah jelajah kelompok owa jawa di TNGHS rata-rata pada musim
hujan (17,10±1,86 hektar) dan pada musim kemarau (20,02±2,69 hektar), dengan
rata-rata 18,56±2,73 hektar. Perbedaan luas daerah jelajah antara musim hujan dan
musim kemarau, terjadi karena faktor ketersediaan sumber pakan dan air. Pada
musim kemarau ketersediaan buah-buahan sebagai pakan relatif sedikit, sehingga
memaksa kelompok owa jawa untuk melebarkan daerah jelajahnya untuk mencari
makan. Kebutuhan air pada musim hujan dapat dipenuhi dari tersedianya banyak
buah-buahan yang dapat dikonsumsi (Iskandar 2007). Hasil penelitian Komarudin
(2009) menyimpulkan bahwa kisaran daerah jelajah owa jawa di koridor TNGHS
adalah 28-40 hektar.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, populasi owa jawa dari waktu ke
waktu cenderung menurun. Dari survey yang dilakukan Kappeler (1987) pada 40
lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa jawa sekitar
8.000 individu. Pada survey yang dilakukan pada tahun 1992 sampai 1994
menunjukkan tidak terdapatnya populasi owa jawa pada 16 lokasi yang pernah
disurvey sebelumnya, dan pada 9 lokasi populasinya kritis karena berada pada
areal yang sangat sempit (0,5-5,0 km²) dan terfragmentasi. Martarinza (1993)
memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hanya 300-
2.000 individu. Nijman (2004) memperkirakan populasi owa jawa di Gunung
Halimun 850-1.320 individu dan di Gunung Salak 140 individu. Dari hasil
penelitian Iskandar (2004) di komplek hutan Cikaniki TNGHS, dugaan jumlah
populasi owa jawa maksimal sebesar 143 individu dan populasi minimal sebesar
111 individu. Supriatna (2006) memperkiraan populasi owa jawa di Gunung
Halimun dan Gunung Salak hanya tinggal 900-1.221 individu. Nijman (2006)
memperkiraan total populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sekitar
4.000–4.500 individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di
TNGHS, berkisar antara 2.318-2.695 individu. Iskandar et al. (2009)
memperkirakan populasi owa jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
adalah 347 individu.
Terfragmentasinya hutan sebagai habitat owa jawa di koridor TNGHS,
mempengaruhi sebaran dan kelimpahan jenis sumber pakan serta daya reproduksi
owa jawa. Terbatasnya sebaran dan kelimpahan jenis pakan akan berpengaruh
pada perilaku menjelajah (ranging behavior) owa jawa, dan terjadinya perilaku
kompetisi antar kelompok. Menyempitnya luasan daerah jelajah setiap kelompok,
akan mengakibatkan terjadinya perkawinan antar individu yang masih memiliki
kekerabatan yang dekat. Perkawinan tersebut akan menghasilkan inbreeding
species dan akan mengakibatkan kualitas populasi yang rendah (Iskandar 2004).
Owa jawa yang terdapat di koridor TNGHS pada zona Gunung Halimun dan
Gunung Salak, masih menunjukkan kapasitas untuk berkembang biak dengan
baik. Hal ini diindikasikan dengan masih dijumpainya kelompok yang struktur
kelas umur dalam kelompoknya sangat baik, dan adanya individu soliter yang
dalam proses penyapihan dari kelompoknya. Sedangkan pada zona wilayah hutan
bagian tengah koridor TNGHS, owa jawa tidak dijumpai dalam kelompok yang
baik dan lengkap, hal ini sekaligus menunjukkan kualitas habitat untuk
berkembang biak dengan baik sudah sangat menurun (Rinaldi et al. 2008).
Tekanan terhadap kawasan konservasi dan habitat owa jawa pada
kenyataannya masih tetap tinggi, sehingga kemampuan untuk melestarikan habitat
spesies endemik ini masih harus dipertanyakan. Habitat owa Jawa di kawasan
TNGHS sudah mulai terancam oleh adanya penyerobotan lahan di dalam kawasan
ini, maupun pada daerah penyangga. Pengalihan fungsi lahan khususnya untuk
dijadikan lahan pertanian dan penambangan emas tanpa ijin (PETI), merupakan
tekanan terhadap habitat owa jawa. Selain itu juga terdapatnya area kantong
(enclave) perkebunan teh di tengah TNGHS, dan terdapatnya beberapa desa di
dalam kawasan menambah terancamnya habitat owa Jawa (Suryanti 2007).
Menurut Sutherland (2006), untuk survey hewan besar yang hidup arboreal
dapat digunakan Line Transect Methods. Metode ini digunakan untuk observasi
hewan-hewan yang terus berpindah dengan rute yang sudah ditentukan pada areal
penelitian. Peneliti dapat bergerak dengan lambat untuk mendeteksi hewan yang
ada pada transek dan sebagian besar untuk jarak yang dekat, akan tetapi jangan
bergerak terlalu pelan karena hewan yang ada didepan pada transek dapat
melarikan diri sebelum peneliti melihatnya dan individu yang bergerak cepat
sering ditemui lebih dari satu kali. Pergerakan terlalu lambat juga akan memakan
waktu yang lebih lama, sementara sebaiknya peneliti membuat transect yang lebih
panjang untuk mendapatkan data yang akurat.
Iskandar (2005) merekomendasikan hal-hal penting yang harus dilakukan
untuk konservasi owa jawa adalah: (1) pengelolaan habitat yang ideal sesuai
dengan karakteristik, tingkah laku dan pola kelompok owa jawa, (2) kontrol
aturan yang efektif untuk membantu mengurangi dan membatasi tekanan
perburuan, penebangan liar, ketergantungan kelompok masyarakat, dan
(3).mengadakan program monitoring secara berkala, keterlibatan staf taman
nasional, adanya laporan tahunan untuk perkiraan status populasi terakhir.
Dalam dokumen
Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) Habitats
(Halaman 52-56)