• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. perusahaan kopi;

3. perusahaan tembakau;

A* perusahaan penggilingan beras; 5. perusahaan pembersihan kapukj 6* pabrik petasan;

7. perusahaan batik.

Staatsblad 1925 No. 6**8 sifatnya kaku karena memba- tasi jenis perusahaan yang dapat memperoleh ijin penyimpa- ngan dari larangan tersebut, sedang perkerabangan perekono- mian masyarakat menghendaki peraturan yang lebih luwes, yaitu supaya kemungkinan mendapat ijin penyimpangan diberi- kan juga kepada pabrik, tempat kerja atau perusahaan lain- nya.

Dengan demikian, maka Staatsblad 1925 nomor 6if8 itu dicabut dan diganti dengan Staatsblad 19^1 nomor /+5. Ada- pun Staatsblad 1941 nomor 45 ini tidak langsung memberi . ijin sendiri, tetapi hanya memberi kuasa kepada Kepala Pengawas Perburuhan tersebut di atas untuk memberi ijin tempat kerja atau perusahaan tertentu untuk selama waktu yang ditetapkannya dan dengan syarat-syarat yang diadakan- nya, mempekerjakan orang wanita sampai suatu jumlah ter­ tentu, antara pukul 22.00 (sepuluh malam) sampai dengan pukul 05.00 (lima pagi). Terhadap keputusan Kepala Peng­ awas Perburuhan, yang berkepentingan dapat minta banding kepada Menteri Perburuhan.

Sebagai bahan untuk perbandingan, kita lihat ke­ tentuan mengenai pekerjaan pada malam hari ini dalam

International Labour Code, yang merupakan dasar bagi

Maatregelen ter Baperking van de Kinderarbeid en de Nach- tarbeit van de Vrouwen, adalah sebagai berikut:

1. Orang wanita tanpa perbedaan umur tidak boleh dipeker- jakan pada malam hari di perusahaan perindustrian apa- pun baik milik negara maupun milik swasta, atau di ca- bangnya, lain dari pada perusahaan yang hanya dipeker- jakan anggota-anggota dari satu keluarga.

2. Larangan tersebut tidak berlaku;

a* Dalam hal terpaksa, jika di suatu perusahaan terjadi suatu gangguan pekerjaan yang tidak mungkin diketahui sebelumnya, dan yang tidak terjadi berulang kali, b. dalam hal pekerjaan berkenaan dengan bahan baku atau

bahan lain dalam pengolahan yang dapat menjadi rusak dengan cepat, jika pekerjaan pada malam hari itu di­ perlukan untuk mencegah bahan-bahan tersebut dari kerugian tertentu*

3* Larangan tersebut tidak berlaku bagi;

a* wanita yang mempunyai kedudukan pimpinan atau bersi­ fat teknis,

b. dan wanita yang bekerja pada dinas kesehatan dan ke- sejahteraan dan tidak melakukan pekerjaan tangan. 4. Istilah "perusahaan perindustrian" meliputi khusus:

a. tambang, tempat penggalian batu dan tempat lain untuk mengambil barang galian dari dalam tanah,

b. perusahaan yang barang-barangnya dibuat, diubah, di- bersihkan, diperbaiki, dihias, diselesaikan, dipler-- siapkan untuk dijual, dibongkar, atau dirusak, atau bahan baku yang dikerjakan, termasuk perusahaan di lapangan, pembuatan kapal atau pembangkitan, peng- aliran tenaga listrik atau tenaga penggerak macam apapun;

c. perusahaan di lapangan pembangunan dan pekerjaan teknik sipil, termasuk pekerjaan pembuatan, per- , baikan, pemeliharaan, perubahan dan penghancuran.^

Mengenai bidang pertanian "International Labour Code11 hanya mengatakan agar pemerintah mengambil tindakan untuk mengatur pekerjaan orang wanita pada malam hari di perusahaan pertanian sedemikian sehingga baginya terjamin waktu istirahat yang sepadan dengan keperluan badaniah.^7

Kembali pada peraturan tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerjaan Orang Wanita pada malam hari, jelaslah

bahwa peraturan tersebut hanya mengenai perusahaan perin- dustrian saja. Jadi dengan demikian maka tidak ada pem- batasan pekerjaan orang wanita pada malam hari di per­ usahaan jenis lainnya seperti misalnya perusahaan pertani­ an, perusahaan perniagaan dan sebagainya, kecuali bila perusahaan jenis lainnya ini dilakukan jenis pekerjaan bersama oleh 10 (sepuluh) orang atau lebih*

Dalam Undang-Undang Kerja masih terdapat beberapa ketentuan yang hanya ditujukan bagi pekerja orang wanita. Ketentuan-ketentuan itu tidak hanya raengatur larangan atau pembatasan pekerjaan orang wanita, melainkan berdasarkan keadaan tertentu orang wanita harus diberi waktu istirahat tertentu.

Karena ■ ketentuan-ketentuan itu berkenaan dengan istirahat, maka dikenal macam-macam istirahat bagi pekerja yaitu waktu istirahat mingguan dan hari lembur, istirahat tahunan, istirahat panjang. Macam-macam istirahat yang di- berikan bagi tenaga kerja adalah untuk memberi perlindung­ an kepada semua pekerja baik pria maupun wanita agar ke- selamatan dan kesehatan tenaga kerja terjaga dengan baik. Dari macam-macam istirahat tersebut saya tidak memberi uraian. Namun di samping istirahat yang dikenal pekerja ada waktu istirahat yang khusus diberikan kepada pekerja orang wanita yang diberikan berdasarkan keadaan tertentu bagi pekerja orang wanita menurut kodratnya, karena wanita itu pada saat-saat tertentu harus raenunaikan kewajiban alamiah yang tidak dapat dipikulkan kepada orang pria.

Pertama, pada pasal 13 ayat 1 Undang-undang Kerja mengatakan bahwa pekerja wanita tidak boleh diwajibkan ba.- kerja pada hari pertama dan hari kedua waktu haid.

Adapun yang melarang mewajibkan orang wanita mela- kukan pekerjaan pada hari pertama dan kedua waktu haid itu adalah pengusaha. Memang suatu pelanggaran diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah. Dalam hal ini bag.ai- mana pengusaha itu dapat mengetahui bahwa pekerja yang bersangkutan sedang dalam keadaan waktu haid ? Apakah ia harus menyelidikinya sendiri ataukah menyuruh orang lain (dokter, bidan dan sebagainya) melakukan penyelidikan?

Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 194-8 pada pasal 1 ayat 2 menentukan bahwa dalam menjalankan aturan ter­

sebut pengusaha dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari pekerja wanita, apabila pekerja wanita yang

ber-\ sangkutan tidak memberitahukan hal itu kepadanya.

Dengan demikian, pemberitahuan pekerja wanita bah­ wa ia dalam keadaan haid kepada pengusaha, berarti peng-- usaha tidak boleh menyuruh pekerja yang bersangkutan me­ lakukan pekerjaan, dan ini berarti juga bahwa pekerja wa­ nita yang bersangkutan mempunyai kebebasan untuk secara sukarela atas' kernauan sendiri melakukan pekerjaan atau tidak melakukan pekerjaan,

Aturan yang tentunya bermaksud untuk meringankan penderitaan pekerja orang wanita yang dalam keadaan haid

mendorita nyeri dan karena itu tidak raarapu melakukan pe­ kerjaan, dalam prakt.ek raenjadi hari libur tambahan yang saatnya ditetapkan oleh pekerja orang wanita itu sendiri menurut kepentingannya semata-mata, sehingga oleh pekerja pria yang raengetahui bahwa hari istirahat tambahan itu oleh pekerja wanita digunakan untuk bersenang-senang di luar rumah, dipandang sebagai aturan yang bersifat dis - krirainasi. Pada pengusaha sendiri praktek hari haid itu raenirabulkan keseganan menerima pekerja orang wanita.

Kedua, pekerja wanita harus diberi istirahat selama •satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan

akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah me­ lahirkan anak atau gugur kandung (pasal 13 ayat 2 Undang- undang Kerja).

Waktu istirahat sebelum saat pekerja atau tenaga kerja menurut perhitnngan.akan melahirkan anak, dapat di- perpanjang sampai- tiga bulan, jika dalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga ke­ sehatan dan keselamatannya.

Pekerja wanita yang hendak menggunakan haknya untuk istirahat, harus menyampaikan surat permohonan istirahat kepada pengusaha selambat-lambatnya dalam waktu sepuluh

hari sebelum istirahat itu dimulai. Surat permohonan isti­ rahat itu harus disertai surat keterangan dokter atau jika tidak ada dokter , surat keterangan dari bidan.

Keharusan raengajukan surat perraintaan istirahat se­ puluh hari sebelum istirahat dimulai, dengan sendirinya tidak berlaku terhadap pekerja wanita yang baru gugur kan- dung, karena gugur kandung selalu datangnya raendadak dan karena itu datangnya tidak dapat diketahui atau diperkira- kan sepuluh hari sebelumnya.

Walaupun Undang-undang Kerja sendiri tidak memuat- nya, tetapi dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 194-8 ditetapkan bahwa kepada pe­ kerja yang diberi istirahat dalam hal melahirkan anak itu harus diberi upah penuh untuk waktu istirahat itu. letira- hatmelahirkan dengan upah penuh ini menimbulkan keseganan pada pihak pengusaha untuk mempekerjakan orang wanita yang bersuami.

Dengan adanya pemberian istirahat pada waktu hamil pernah dipersoalkan apakah pemberian istirahat pada waktu hamil itu dibatasi pada .pekerja wanita yang mempunyai ; suami atau tidak.

Dalam Undang-undang Kerja sendiri dan memori pen- jelasannya serta aturan pelaksanaannya tidak memuat se- suatu mengenai persoalan itu. Oleh karena itu dapat saya katakan bahwa dalam hal ini bersuami atau tidak, tidaklah dijadikan persoalan.

Maternity Protection Convention 1919 (konvensi ten­ tang Perlindungan Melahirkan 1919) yang mengatur maternity protection for women employed in industrial and commercial

undertakings, menetapkan bahwa dengan istilah wanita di- maksud tiap orang perempuan, tidak memandang usianya atau kebangsaannya, baik kawifi atau tidak kawin dan dengan is­ tilah anak dimaksud tiap anak, baik yang sah maupun yang tidak sah.®

Untuk memperlengkap bahan perbandingan, kita kutip beberapa hal lainnya dari Maternity Protection Convention 1919 sebagai berikut:

1. Di perusahaan perindustrian atau perniagaan, baik milik negara~maupun milik swasta atau suatu cabang perusahaan itu, lain dari pada perusahaan yang hanya anggota-ang- gota dari satu keluarga dipekerjakan seorang wanita: a. harus tidak boleh melakukan pekerjaan selama enam

minggu sesudah melahirkan;

b. harus diberi hak untuk meninggalkan pekerjaannya jika ia dapat memperlihatkan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa ia akan melahirkan anak dalam waktu enam minggu;

c. selama tidak masuk bekerja berdasarkan sub-paragraf (a) dan (b) harus diberi tunjangan;

d. bagaimanapun juga, jika ia masih menyusukan anaknya harus dibolehkan untuk keperluan itu dua kali 6ehari selama setengah jam.

2. Selama pekerja wanita tidak masuk bekerja sesuai dengan ketentuan sub-paragraf (a) dan (b) angka 1 di atas atau tetap tidak masuk bekerja untuk waktu yang lebih lama karena menurut ketentuan dokter menderita sakit sebagai akibat dari hamil atau melahirkan dan karena itu tidak mampu melakukan pekerjaan, maka harus jangka waktu yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang lampau, peng­ usaha harus tidak di bolehkan mengakhiri hubungan kerja. 3. Tunjangan termaksud pada angka 1 sub (a) dan (b) di

atas, harus cukup untuk seluruh pemeliharaan yang sehat baginya dan anaknya, disediakan oleh dana negara atau dengan jalan suatu pertanggungan, sedang jumlahnya yang pasti harus ditetapkan oleh instansi yang berwenang dan sebagai tambahan harus diberikan bantuan berupa pemerik­ saan dengan cuma-cuma oleh dokter atau bidan.

if* Kekeliruan dokter dalam memperkirakan tanggal melahir- kan, tidak akan menutup hak pekerja wanita itu untuk meneriraa tunjangan antara saat yang tertera dalam sur.at keterangan sampai saat melahirkan yang sebenarnya.°

Dari ketentuan nomer 3 diatas, terlihat bahwa pe­ kerjaan wanita yang bersangkutan tidak menerima upah penuh, tetapi hanya sekedar bantuan dan tunjangan yang diberi nama "provision for maternity" dan juga tidak ditanggung sepe- nuhnya oleh pihak pengusaha, tetapi dibayar dari suatu dana negara atau suatu pertanggungan, yaitu suatu jenis jaminan sosial (social security).

Kembali kepada Undang-undang Kerja mengenai istira­ hat tertentu bagi pekerja wanita, pasal 1 3 ayat k memberi kesempatan sepatutnya kepada pekerja wanita yang anaknya masih menyusu, untuk menyusukan anaknya, jika hal itu ha­ rus dilakukan selama waktu kerja.

Dalam memori penjelasan Undang-undang Kerja maupun dalam peraturan pelaksanaannya, tidak disebutkan berapa kali sehari dan tiap kali berapa lama kesempatan itu harus diberikan, sehingga patokan "sepatutnya" dalam praktek da­ pat menimbulkan kesukaran. Dalam hubungan ini, seperti di atas telah diuraikan, Maternity Protection Convention 1919 tersebut di atas raenentukan dua kali sehari selama ee-

tengah jam.

Demikianlah sekedar mengenai istirahat yang khusus ditujukan kepada pekerja wanita, yang bertujuan untuk me- lindunginya dari pekerjaan yang dijalankan agar adanya ke- seimbangan jasmani dan rohani dari para pekerja dalam ke- sehatannya dan lebih khusus lagi keselamatannya di dalam

bekerja, Oleh-:'karena itu para pekerja juga menikmati is­ tirahat lainnya yang secara umum berlaku bagi semua tenaga kerja disamping istirahat yang khusus tersebut.

BAB III

BENTUK DAN MAVAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA 1* Perlindungan Terhadap Hubungan Kerja

Hubungan kerja terjadi bila ada kata sepakat antara seorang pencari kerja (yang telah diterima be­ kerja) dengan pengusaha (orang yang memberi pekerjaan).

Prof.Iman Soepomo dalam bukunya Hukum Perburuhan di Bidang Hubungan Kerja menjelaskan:

Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian ker- j■& antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, pekerja/buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain (pengusaha/majikan; yang mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan mem- bayar upah.

Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut: 1

pertama: Bahwa hubungan kerja terjadi setelah adanya per- jaiyjan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha/

majikan yang mengikatkan diri mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar suatu upah.

kedua: Bahwa hubungan kerja tersebut telah menunjukkan kedudukan masing-raasing pihak dalam proposinya, yakni unsur diperintah dan unsur memerintah dan pada dasarnya menimbulkan adanya hak dan kewajiban.

ketiga: bahwa adanya hubungan kerja karena adanya kesepa- katan antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan.

perjanjian kerja adalah faktor penting di dalam timbul-nya hubungan kerja. Begitu pula apabila kita lihat pasal 1601-a KUHPerdata, pada intinya adalah sama, yaitu hu­ bungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja dan bekerja di bawah perintah orang lain dengan menerima upah* Dengan demikian perjanjian kerja merupakan awal adanya hubungan kerja.

Ketentuan perjanjian kerja belum diatur tersendiri sehingga dapat dilakukan secara li6an, maupun oecara ter- tulis atau dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sedangkan isi dari perjanjian kerja pada da- sarnya harus memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban pe* , kerja.

Kelemahan dari perjanjian kerja adalah dari bentuk perjanjian kerja yakni bebas atau tidak dipersyaratkan yaitu perjanjian yang berupa akte dibawah tangan. Karena bentuknya tidak dipersyaratkan berarti kekuatan mengikat- nya perjanjian kerja itu masih harus dipertimbangkan* Selain itu pada perjanjian kerja masih tampak adanya pe- ngaruh aliran liberalisme yang menunjukkan para pihak yang mengadakan perjanjian kerja yaitu pekerja dan peng­ usaha yang berbeda tingkat ekonominya tidak ada per­ lindungan karena adanya azas kebebasan berkontrak.

Juga dalam Keputusan Komisi I dalam Pra Seminar Munas Persahi di Solo tanggal 10 dan 11 Juli 1969

ber-pendapat bahwa timbulnya sengketa-sengketa atau perseli- sihan-perselisihan perburuhan tersebut adalah bersumber pada ketiadaan tertib hubungan kerja serta tertib persya- ratan perburuhan poeitip yang hingga sekarang belum ada undang-undangnya *11

Kepincangan seperti ini membawa berbagai macam kasus sengketa antara pekerja dan pengusaha karena kesa- lahpahaman. Hal ini harus ditangani secara baik oleh pe- raerintah antara lain dengan peraturan perundang-undangan, Adapun undang-undang yang telah dibuat yang berkaitan de­ ngan masalah ini adalah UU No. 21 Thn. 1954 yaitu undang- undang tentang perjanjian perburuhan atau Undang-Undang Ke- sepakatan Kerja Bersama^i (KKB) antara serikat pekerja dan pengusaha.

Dengan adanya undang-undang perjanjian kerja yang berdasarkan Pancasila maka manusia bukan lag! sebagai obyek.

Perjanjian perburuhan berbeda dengan perjanjian kerja, karena perjanjian perburuhan mengenai syarat-syarat perburuhan harus diperhatikan dalam membuat perjanjian kerja serta tidak ada unsur wenang perintah.

Sedangkan perjanjian kerja mengenai penunaian kerja dengan upah serta ada unsur wenang perintah.

Untuk memperkuat secara yurudis, KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) yang dibuat antara serikat pekerja dengan pengusaha maka selama proses pembuatannya harus di damping! Notaris yang berwenang membuat akte perjanjian KKB.

Hal ini untuk menjaga kemungkinan terjadinya perselisihan perburuhan di kemudian hari bila ada tuntutan ganti rugi sudah diatur secara rinci tanpa harus merugikan pihak pe­ kerja.

Kehadiran serikat pekerja di perusahaan adalah se­ bagai salah satu sarana untuk terciptanya hubungan kerja yang serasi, selaras, dan seimbang antara pengusaha dan pekerja dalam rangka peningkatan produksi dan produktivi- tas kerja.

Dibentuknya Serikat Pekerja di perusahaan adalah sebagai sarana dan wahana yang efektif untuk menampung aspirasi para pekerja agar mereka merasa dilindungi ke- pentingannya dan tidak mencari penyelesaian sendiri-sendi- ri apabila terjadi suatu permasalahan. Dengan pengertian bahwa kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan adalah meru­ pakan partner pengusaha di dalam membuat Kesepakatan Ker­ ja Bersama (KKB) yang memuat syarat-syarat yang harus di perhatikan dalam perjanjian kerja.

Serikat pekerja di perusahaan harus dapat membina serta mengueahakan agar para pekerja mempunyai kesadaran yang tinggi dan turut bertanggung jawab atas kelancaran tugas, kemajuan dan kelangsungan hidup perusahaan. Penyimpangan-penyimpangan dari tujuan atas dibentuknya serikat pekerja di perusahaan baik yang dilakukan oleh anggota-anggotanya maupun dari pengurus unit kerja itu sendiri dapat berakibat tergoncangnya ketenangan kerja dan kelangsungan berusaha, bahkan dapat berakibat

putus-nya hubungan kerja ataupun penutupan perusahaan.

Tetapi kenyataannya di bidang usaha entertainment (night club) yang telah saya araati di wilayah Kecamatan Genteng Kodya Surabaya masih belum ada SPSI.

Berbagai alasan pengusaha yang timbul atas tidak diadakan-nya SPSI ini, antara lain pekerja dianggap masih belum

me-12 ngerti kegunaan adanya SPSI*

Hemat saya, dengan tidak dibentuknya SPSI ini pengusaha berusaha untuk menghindar dari tuntutan-tuntutan pekerja atas hak-haknya yang dilanggar oleh pengusaha.

Sebab kalau kita lihat jumlah pekerja yang bekerja di klab malam sudah memenuhi syarat untuk menjadi anggota SPSI, yakni lebih dari 2 5 orang di tiap tempat usaha, misalnya di Blue Sixteen yang jumlah karyawan/pekerjanya yang secara organik sebanyak 62 orang dan yang non organik (pramuria) sebanyak 4 0 orang.^

Eksistensi SPSI sebagai wadah aspirasi para pekerja tetap mengadakan perlindungan bagi setiap pekerja baik yang sudah menjadi anggota maupun belum menjadi anggota SPSI. Jadi terbuka bagi semua pekerja tanpa terkecuali. ffalaupun pekerja di bidang usaha entertainment ini belum/ bukan anggota SPSI tetap berhak mendapat perlindungan da­ ri SPSI seperti para pekerja yang sudah menjadi anggota bila kepentingannya dirugikan oleh pengusaha*

Oleh karena itu SPSI sebaiknya mengontrol sendiri (self control) atas perkara yang timbul antara pekerja dan peng­ usaha, sehingga tidak menimbulkan anggapan yang

menafsir-kan bahwa SPSI seolah-olah merupakan oposiei bagi pengusa- ha.11*

Peranan yang lebih penting yang telah diatur dalam UU No. 12 Thn. 196*f tentang Undang-Undang Pemutusan Hubu­ ngan Kerja di Perusahaan Swasta, bahwa bagi pengusaha yang mempunyai maksud akan memutuskan hubungan kerjanya dengan pekerja terlebih dahulu harus merundingkan maksudnya ini kepada pengurus serikat pekerja di unit kerja perusahaan, karena ketentuan tersebut adalah merupakan prasyarat dapat atau tidaknya permohonan ijin pengusaha di terima oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan untuk disi- dangkan.

Ketentuan konkret dapat kita lihat pada pasal 1 UU No. 12 Thn. 196k sebagai berikut:

ayat 1: "Pengusaha harus mengusahakan agar jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja."

ayat 2:

Pemutusan hubungan kerja dilarang selama pekerja ber- halangan menjalankan pekerjaan karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui batas 12 (dua belas) bulan terus menerus.

Selama pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara atau karena menjalankan ibadah yang di perintah agamanya dan di-

setujui oleh pemerintah.

Di sini tampak jelas adanya musyawarah untuk m»ricapai mufa-kat dalam PHK, baik yang dilakukan oleh pengusaha maupun oleh pekerja itu sendiri.

Dalam praktek selama ini tidaklah demikian.

Banyak pengusaha memutuskan hubungan kerjanya dengan pe­ kerja tanpa melalui pertimbangan-pertimbangan sesuai

di hotel dikenakan 10 jam booking. Karena untuk mem- booking seorang pramuria per jamnya Rp.10.000,00 maka 10 janrnya sejumlah Rp.100*000,00 yang harus di bayarkan ke­ pada pengusaha* Pembayaran ini belum termasuk pembayaran kepada pramurianya.^^

Ditinjau dari sudut service terhadap tamu, memang setiap pramuria berusaha secara optimal untuk dapat . mem­ berikan service sebaik mungkin, sehingga tamu tersebut akan 6ungguh-sungguh raerasa puas dan dapat menjadi tamu tetap bagi pramuria itu sendiri. Hal ini membuka peluang bagi pramuria untuk mengadakan hubungan atau jatuh cinta kepada tamu. Akibatnya tamu lain tidak dihiraukan, atau dapat juga pramuria tersebut jadi isteri simpanan bagi tamu yang biasanya dari kalangan pejabat atau pengusaha besar. Hal ini menimbulkan dilema bagi pengusaha dalam me- nyelesaikan masalah ini. Sebab disatu sisi pengusaha ber­ usaha untuk mendapatkan pemasukan perusahaan sebanyak mungkin melalui penjualan makanan dan minuman serta dari hasil booking tamu terhadap pramuria. Di sisi lain peng­ usaha harus merelakan pramurianya yang jadi isteri simpan- nan para pejabat/pengusaha tersebut untuk memberi kelong- garan waktu bekerja karena permintaan pejabat/pengusaha yang bersangkutan, karena pejabat/pengusaha tersebut di- anggap sebagai tamu tetap di perusahaan tersebut yang da­ pat menambah pemasukan perusahaan.17

Masa berlakunva ikatan ker.ia

Dokumen terkait