• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Pajak Bumi dan Bangunan

1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Ada beberapa macam pengertian atau definisi mengenai pajak bumi dan bangunan yang diungkapkan oleh beberapa ahli, tetapi pada intinya berbagai definisi tersebut mempunyai inti dan maksud yang sama. Di antara para ahli yang mendefinisikan pajak bumi dan bangunan seperti berikut:

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas Bumi dan Bangunan. Subjek pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hal atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki penguasaan dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak bumi dan bangunan belum tentu pemilik bumi dan bangunan, tetapi dapat pula orang atau badan yang memanfaatkan Bumi dan Bangunan tersebut ( Valentina Sri S.-Aji Suryo, 2006: 14-2).

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan bangunan. Kepada subjek (siapa yang membayar) tidak ikut serta menentukan besar pajak ( Erly Suandy, 2005:61).

Jadi kesimpulan dari semua penjelasan diatas dari pengertian Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan, besarnya pajak ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah/bangunan.

2. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah undang-undang No.

12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 12 Tahun 1994.

3. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar pengenaan PBB adalah NJOP atau Nilai Jual Objek Pajak. NJOP adalah Harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli, dalam hal ini objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. NJOP biasanya ditetapkan tiap tahunya oleh Manteri Keuangan dan NJOP tiap-tiap wilayah baerbeda.

Beberpa Faktor yang menentukan Dasar Penetapan NJOP Bumi:

1) Letak

2) Pemanfaatan 3) Peruntukan

4) Kondisi Lingkungan

Beberapa Faktor yang menentukan Dasar Penetapan NJOP Bangunan:

1) Bahan yang digunakan dalam bangunan 2) Rekayasa

3) Letak kondisi Lingkungan 4. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Subjek PBB menurut Pasal 4 UU PBB adalah otang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu ha katas bumi, dan memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat atas bangunan.

Selanjutnya dapat dirinci, bahwa yang dimaksud subjek pajak sebagaimana dimaksudkan diatas adalah terdiri dari orang atau badan, yaitu:

1) Memiliki atau mempunyai hak atas bumi dan atau bangunan:

a. Memiliki atau mempunyai hak atas bumi (tanah) saja;

b. Memiliki atau mempunyai hak atas bangunan saja; dan

c. Memiliki atau mempunyai hak atas bumi (tanah dan bangunan).

2) Menguasai bumi dan atau bangunan:

a. Menguasai bumi (tanah) saja;

b. Menguasai bangunan saja;

c. Menguasai bumi (tanah) dan bangunan.

3) Memperoleh manfaat atas bumi dan atau bangunan:

a. Memperolah manfaat atas bumi (tanah) saja;

b. Memperoleh manfaat atas bangunan saja; dan

c. Memperoleh manfaat atas bumi (tanah) dan bangunan.

Berdasarkan rincian diatas, dapat disimpulakn bahwa subjek PBB adalah:

a) Pemilik;

b) Pemegang kekuasaan;

c) Penyewa atau sebagainnya 5. Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Berdasarkan Pasal 2 (UU No 12 Tahun 1985) Objek Pajak Bumi dan Bangunan, permukaan bumi, tanah (perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan yang juga dijadikan objek PBB adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau perairan.

Selanjutnya penjelasan dari Pasal 1 Angka (2) UUPBB, menguraikan lebih lanjut mengenai pengertian bangunan yang menjadi objek PBB adalah:

1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu komplek suatu bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

2) Jalan TOL;

3) Kolam renang;

4) Pagar mewah;

5) Tempat olahraga;

6) Galangan kapal;

7) Dermaga;

8) Taman mewah;

9) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas;

10) Pipa minyak;

11) Fasilitas lain yang memberi manfaat 6. Penilaian Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Besarnya PBB yang akan dibayarkan oleh WP akan tergantung pada nilainya.

Penilaian objek PBB pedesaan dan perkotaan meliputi penilaian objek tanah dan bangunan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (Pemerintah daerah Menurut UU No. 28 Tahun 2009) untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak.

Untuk menilai objek property tersebut digunakan beberapa metode penilaian sebagai berikut:

1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)

a. NJOP dihitung dengan cara membandingkan Objek pajak yang sejenis dengan Objek lain yang telah diketahui harga pasarnya.

b. Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP tanah, namun dapat juga dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.

2) pendekatan Biaya (Cost Approach)

pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai tanah atau bangunan terutama untuk menentukan NJOP bangunan dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis dikurangi dengan penyusutan fisiknya.

3) pendekatan Pendapatan (Income Approach)

a. pendekatan ini digunakan untuk menentukan NJOP yang tidak dapat dilakukan berdasarkan pendekatan data pasar atau pendekatan biaya, tetapi ditentukan berdasarkan hasil bersih objek pajak tersebut.

b. Pendekatan ini terutama digunakan untuk menentukan NJOP galian tambang atau objek parairan.

7. Mekanisme atau Prosedur pemungutan Pajak Bumi dan bangunan

Sistem pemungutan pajak yang digunakan dalam memungut pajak bumi dan bangunan yaitu self assessment system, dimana pihak wajib pajak yang bersangkutan yang berhak menentukan besarnya pajak yang terutang. Dalam system ini, wajib pajak bertugas untuk memungut pajak bumi dan bangunan mulai dari melakukan pendataan, menghitung dan menetapkan PBB yang harus dibayar oleh wajib pajak sampai penagihan pajak apabila wajib pajak belum menyetorkan pajaknya sampai jatuh tempo yang telah ditentukan. Sedangkan Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang hanya sebagai pengawas. Pengawas yang dilakukan sebaiknya tidak hanya pada saat terjadi penyimpangan atau penyelewengan pajak PBB tetapi dengan membina sikap mental petugas atau aparatur untuk bekerja lebih baik lagi, jujur, dan bertanggungjawab.

8. Cara perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah sebagai berikut:

Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah sebagai berikut:

9. Dasar Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan Dasar penagihan PBB terdiri dari tiga macam yaitu:

1) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)

SPPT adalah surat yang digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak. Surat pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Pajak yang terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.

2) Surat Tagihan Pajak (STP)

STP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:

PBB = 0,5% × 20% × (NJOP - NJOP TKP) Atau 0,5% × 40% × (NJOP – NJOP TKP)

PBB = max 0,3% × (NJOP – NJOP TKP)

a. Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam skp, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak.

b. Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak. Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

3) Surat Ketetapan Pajak (SKP).

SKP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:

a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan

setelah ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan Wajib Pajak.

Pajak Yang terutang berdasarkan skp harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. Jadi, bila seorang Wajib Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2009, ia sudah harus melunasi PBB selambat-lambatnya tanggal 31 maret 2009. Tanggal 31 Maret 2009 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SKP.

Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh pengembalian SPOP Lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25%

dihitung dari pokok pajak.

Sedangkan jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak yang terutang berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya 25% dari selisih pajak yang terutang.

E. Efesiensi dan Efektivitas

Dalam rangka mendorong perkembangan ekonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, pembiayaan pemerintah dan

pembangunan daerah yang bersumber dari pendapatan daerah khususnya yang berasal dari pajak bumi dan bangunan pengaturannya lebih ditingkatkan lagi.

Sejalan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta usaha peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah, diperlukanan penyediaan sumber-sumber pendapatan daerah yang hasilnya semakin meningkat pula. Upaya peningkatan penyediaan dana dari sumber-sumber tersebut antara lain dilakukan dengan peningkatan kinerja pemungutanya, penyempurnaan dan penembahan jenis pajak. Langkah-langkah tersebut diharapkan akan meningkatakan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak dan bangunan serta mutu dan jenis pelayanan kepada masyarakat.

Dua konsepsi utama untuk mengatur prestasi kerja manajemen adalah efisiensi dan efektivitas. Untuk lebih memahami lebih memahami tentang efisiensi dan efektivitas, maka dalam bagian ini akan diuraikan pengertian efisiensi dan efektivitas yang disampaikan beberapa ahli, yaitu:

1) Pengertian Efisiensi

Efisiensi menurut Hani Handoko (1995:7) efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. Ini merupakan perhitungan perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input).

Suatu kerja organisasi dikatakan efisiensi apabila mencapai keluaran yang lebih tinggi berupa hasil, produktivitas, performance, dibanding masukan-masukan yang berupa tenaga kerja, bahan, mesin, uang dan waktu yang

digunakan. Dengan kata lain, dengan meminimunkan biaya pengguna sumber daya-sumber daya untuk mencapai keluaran yang telah ditentukan.

Atau sebaliknya disebut efisien apabila dapat memaksimunkan keluaran dengan jumlah masukan yang terbatas.

Pengertian efisiensi menurut Abdul Halim (200:72) efisiensi adalah perbandingan antara output dengan input. Ukuran efisiensi dapat dikembangkan dengan menghubungkan antara biaya yang sesungguhnya dengan biaya standar yang telah ditetapkan sebelumnya (misalnya anggaran). Definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa efisiensi adalah perbandingan antara keluaran (Output) dengan masukan (Input) yang digunakan.

Efisiensi mengukur bagian dari hasil pajak yang digunakan untuk menutup biaya pemungutan pajak yang bersangkutan (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000:11). Insukindro, dkk (1994:22) bahwa sebagai alat untuk melihat penghematan yang dilakukan untuk mendapatkan besarnya dana Pajak Bumi dan bangunan dengan membandingkan biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (Input) terhadap realisasi Pajak Bumi dan bangunan (Output). Dari perhitungan dapat dilihat besar relative biaya pemungutan pajak Bumi dan Bangunan yang dikeluarkan dibandingkan dengan PBB yang dapat ditarik dari pemerintah daerah.

2) Efektivitas

Pengertian efektivitas menurut Hani Handoko (1995:7) efektivitas merupakan kemampuan memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dikatakan efektif jika dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan atau metode (cara) yang tepat untuk mencapai tujuan. Efektivitas juga diartikan melakukan pekerjaan yang benar. Sedangkan definisi yang dikemukakan Abdul halim (2000:7), efektivitas adalah hubungan antara output pusat tanggungjawabnya dan tujuannya. Makin banyak kontribusi output terhadap tujuan makin efektiflah satu unit tersebut.

Pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa efektivitas adalah perbandingan antara keluaran (Output) dengan tujuan. Sehingga untuk mengetahui efektivitas pemungutan PBB yaitu dengan membandingkan antara realisasi penerimaan PBB (Output) dengan tujuannya (target yang telah ditetapkan).

F. Pengertian Kontribusi

Menurut kamus ekonomi (T Guritno 1992:76) Kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi yang dimaksud dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap besarnya pendapatan asli daerah.

Jika potensi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan semakin besar dan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumber penerimaannya dengan meningkatkan target dan realisasi Pajak Bumi dan Bangunan yang berlandaskan potensi sesungguhnya, hal ini dapat meningkatkan total hasil dana perimbangan.

Sehingga akan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. untuk mengetahui bagaimana dan seberapa besar kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan.

G. Kerangka Pikiran

Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah, karena Pajak Bumi dan Banguna termasuk jenis pajak yang penerimaannya 90% dikembalikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (Revenue Sharing). Banyak hal yang justru menggejala pada awal implementasi otonomi daerah, seperti tarik menarik keuangan pusat dan daerah, bermunculannya perda dan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya.

Di Indonesia, salah satu kebijakan pajak dari pemerintah pusat yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap pendapatan daerah yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Oleh karena itu dalam memuaskan kebijakan PBB, pemerintah pusat dan pemerintah daerah senantiasa melakukannya dengan penu kehati-hatian karena PBB terkait dengan berbagai aspek lainnya yang sangat sensitive baik secara ekonomi maupun secara politik. PBB jika dirancang dengan baik dapat menjadi sumber penerimaan yang besar, stabil dan elastis. Namun demikian, PBB termasuk

jenis pajak yang sulit dalam pengadministrasiannya dan mempunyai efisiensi pemungutan yang rendah.

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara efisien dan efektif diharapkan akan menciptakan sumber penerimaan bagi pemerintah daerah dalam memperkuat posisi fiscal dalam pelaksanaan otonomi daerah. PBB juga mempunyai kontribusi yang penting terhadap bagi hasil pajak dan pendapatan daerah. Efisiensi dan efektivitas pemungutan PBB diharapkan juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingat pendapatan daerah sehingga dapat menganalisis sejauh mana efisien dan efektifnya hasil pemungutan PBB dalam suatu daerah. Berlakunya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah dimana PBB sector pedesaan dan sector perkotaan menjadi pajak daerah, pelaksanaannya efektif diberlakukan paling lama tanggal 1 Januari 2014. Hal tersebut menjadikan PBB bagian dari desentralisasi fiscal bersamaan dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah

.

Kerangka Pikiran dalam penulisan Penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

H. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan anggapan dasar yang kemudian membuat suatu teori yang masih harus diuji kebenarannya. Hipotesis akan ditolak jika salah atau palsu dan akan diterima jika fakta membenarkannya.

Penolakan atau penerimaan hipotesis tergantung pada hasil penyelidikan terhadap fakta – fakta. Dengan demikian hipotesis adalah suatu teori sementara yang kebenarannya masih perlu diuji. Berdasarkan landasan teori diatas dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Diduga bahwa hasil Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sudah efisien.

2. Diduga bahwa hasil Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sudah efektif.

3. Diduga bahwa Kontribusi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sudah besar.

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

Tingkat Efisiensi Tingkat

Efektivitas

Kontribusi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan daerah

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dimana dalam penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui atau menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga memudahka penulis untuk mendapatkan data yang objektif dalam rangka untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas hasil pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di DISPENDA Kabupaten Polewali Mandar.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan untuk penyusunan penelitian ini, penulis melakukan penelitian pada Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Kab. Polewali Mandar Jl. Manunggal No. 11 Pekkabata. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei-Juni 2016.

C. Jenis dan Sumber data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dimana data hasil penelitian didapatkan melalui 2 sumber data, yaitu :

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data yaitu informan yang yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan dan sebenarnya di lapangan melalui wawancara.

44

2. Data sekunder, yaitu data pendukung yang diperoleh dari litelatur-litelatur dan dokumen-dokumen serta laporan-laporan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder peneliti menggunakan beberapa instrumen pengumpulan data yaitu :

1. Wawancara

Menurut Miles dan Huberman, wawancara (interview) adalah kegiatan yang dilakukan pada saat konteks yang dianggap tepat guna dalam mendapatkan data yang mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan berkalikali secara frekuentatif sesuai dengan keperluan peneliti tentang kejelasan masalah penelitian yang difokuskannya. Teknik ini dimaksudkan agar peneliti mampu mengeksplorasi data dari informan yang bersifat nilai,makna, dan pemahamannya.

2. Observasi

Observasi yakni pencatatan yang sistematis terhadapa gejala-gejala yang diteliti.

Kegiatan pengamatan terhadap obyek penelitian ini untuk memperoleh keterangan yang lebih akurat mengenai hal-hal yang ditelitiyang terkait dengan efisiensi dan efektivitas pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di DISPENDA di Kab. Polewali Mandar.

3. Dokumentasi

Dokumen yaitu mengkaji dokumen-dokumen baik berupa buku referensi maupun peraturan atau pasal yang berhubungan dengan penelitian ini guna melengkapi materi-materi yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan.

E. Teknik Analisis Data

Teknik Analisis Data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif yang di dalam penelitian kualitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif menggunakan statistik. Dan statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif.

Deskriptif kualitatif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

Adapun analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Analisis Rasio efesiensi

Analisis Rasio Efesiensi digunakan untuk mengetahui tingkat efesiensi biaya pemungutan pajak bumi dan bangunan daerah Kabupaten Polewali Mandar. Mardiasmo dan Makhfatih (2000:11) mengemukakan bahwa efesiensi mengukur bagian dari hasil pajak yang digunakan untuk menutup biaya pemungutan pajak yang bersangkutan.

Berikut adalah rumus untuk mengukur tingkat efesiensi:

=Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PBB

Realisasi Penerimaan PBB × 100%

Hasil analisis data yang diperoleh dari pengukuran tingkat efesiensi di atas, selanjutnya dinyatakan dalam beberapa kriteria tabel sebagai berikut:

Tabel : Kriteria Pengukuran Efesiensi Kinerja Keuangan 0 – 20 % Sangat efisien

21% - 40% Efisien

41% - 60% Cukup efesien 61% - 80% Tidak efesien

>80% Sangat tidak efesien

2. Analisis Rasio Efektivitas

Analisis rasio efektivitas digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas pajak bumi dan bangunan daerah Kabupaten Polewali Mandar. Mahsun (2013:187) mengemukakan efektivitas yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukut tingkat output dari organisasi sektor publik terhadap target-target pendapatan sektor publik. Pengukuran tingkat efektivitas memerlukan data-data realisasi pendapatan dan anggaran atau target pendapatan.

Berikut adalah rumus untuk mengukur tingkat efektivitas:

=Realisasi Penerimaan PBB

Target Penerimaan PBB × 100%

Tabel : Kriteria Pengukuran Efektivitas Kenerja Keuangan 0 – 40 % Sangat tidak efektif

40% - 60% Tidak efektif 60% - 80% Cukup efektif 80% - 100% Efektif

>100% Sangat Efektif

Sumber: Sidik (dikutip oleh Enggar, Sri Rahayu dan Wahyudi,2011)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sebelum dinamai Polewali Mandar, daerah ini bernama Kabupaten Polewali Mamasa diangkat POLMAS, yang secara administrasi berada dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Setelah daerah ini dimekarkan dengan berdirinya Kabupaten Mamasa sebagai kabupaten tersendiri, maka nama Polewali Mamasa pun diganti menjadi Polewali Mandar. Nama kabupaten ini resmi digunakan dalam proses administrasi pemerintah sejak tanggal 1 Januari 2006 setelah ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang perubahan nama Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mandar.

Kabupaten Polewali Mnadar beribukota di kecamatan Polewali yang berada dibagian barat Sulawesi, letaknya kurang lebih 170 KM di sebelah Timur Kabupaten Mamuju ibukota Provinsi Mandar sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju dan Mamasa;

b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pinrang;

c. Sebelah selatan dengan Teluk Mandar/Selat Makassar, dan d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Majene.

Pembentukan Kabupaten Mamasa yang sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten POLMAS, berimplikasi terhadap dimensi wilayah administrasi

49

Kabupaten POLMAS, disatu sisi lain berkurangnya jumlah potensi sumber daya yang dikelola. Pemekaran kabupaten ini mengurangi luas wilayah Kabupaten Polewali Mandar dari 4.781,52 km2 menjadi 2.022,30 km2. Selain itu juga menyebabkan hilangnya daerah pegunungan/daratan tinggi karena wilayah pegunungan/daratan tinggi. Terkait dengan penyempitan wilayah administrasi karena pemekaran kabupaten, jumlah kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Polewali Mandar masing-masing 16 kecamatan , 144 desa, dan 23 kelurahan, jadi total keseluruhan desa dan kelurahan yang ada yaitu 167 dimana terdapat 612

Kabupaten POLMAS, disatu sisi lain berkurangnya jumlah potensi sumber daya yang dikelola. Pemekaran kabupaten ini mengurangi luas wilayah Kabupaten Polewali Mandar dari 4.781,52 km2 menjadi 2.022,30 km2. Selain itu juga menyebabkan hilangnya daerah pegunungan/daratan tinggi karena wilayah pegunungan/daratan tinggi. Terkait dengan penyempitan wilayah administrasi karena pemekaran kabupaten, jumlah kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Polewali Mandar masing-masing 16 kecamatan , 144 desa, dan 23 kelurahan, jadi total keseluruhan desa dan kelurahan yang ada yaitu 167 dimana terdapat 612

Dokumen terkait