• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Pajak

1. Pengertian Pajak

a. Pajak menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 adalah:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

b. Menurut Prof.Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

c. Menurut P.J.A Andriani ( pernah menjabat guru besar hukum pajak di Universitas Amsterdam dan pemimpin International Bureau of Fiscal Documentation), pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

d. MenurutMJH Smeets dalam bukunya yang berjudul de Economische Betekenis der Belastingen tahun 1951, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual: maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

e. Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul

“Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjajaran,

Bandung, 1964, menyatakan bahwa pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

2. Penggolongan Pajak

Pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok adalah sebagai berikut (Waluyo,2010:12):

a. Menurut golongan

a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.

b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. b. Menurut sifat

1) Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.

2) Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. c. Menurut lembaga pemungut dan pengelolanya

1) Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

2) Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Reklame, Pajak Hiburan.

3. Fungsi Pajak

The four R adalah istilah populer yang mengacu pada fungsi pajak yang dipungut oleh negara, yaitu (Purwono,2010:8-10):

a. Revenue (Penerimaan)

Fungsi penerimaaan atau dikenal pula dengan istilah fungsi budgetair (anggaran) adalah fungsi utama dari pemungutan pajak. Dewasa ini pajak telah menyumbang hampir lebih dari 70% total pendapatan negara kita. Hal ini menunjukkan bahwa pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

b. Redistribution (Pemerataan)

Pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan fasilitas publik di seluruh wilayah negara.

c. Repricing (Pengaturan Harga)

Fungsi ini sama pengertiannya dengan fungsi Regulerent (mengatur) yang lebih sering digunakan dalam literatur perpajakan. Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksabaab pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh dari fungsi ini adalah pajak yang tinggi dikenakan

terhadap minuman keras dan barang-barang mewah dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi minuman keras dan mengurangi gaya hidup konsumtif.

d. Representation (Legalitas Pemerintahan)

Pemerintah membebani pajakatas warga negara dan warga negara meminta akuntabilitas dari pemerintah sebagai bagian dari kesepakatan (pengenaan pajak tidak diputuskan secara sepihak oleh penguasa tetapi merupakan kesepakatan bersama dengan rakyat melalui perwakilannya di parlemen). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemungutan pajak langsung seperti Pajak Penghasilan memberikan tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi dan perwujudan pemerintahan yang lebih baik dibandingkan dengan pemungutan pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai.

4. Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut (Mardiasmo,2013:2-3):

a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umu dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan

masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemngutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

5. Teori Pendukung Pemungutan Pajak

Ada beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain (Mardiasmo,2013:3-4):

a. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

b. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayar.

c. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk menentukan daya pikul dapat digunakan dua pendekatan yaitu unsur objektif dan unsur objektif.

d. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti,

rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

e. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

6. Kedudukan Hukum Pajak

Pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut (Mardiasmo,2013:4):

a. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.

b. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.

7. Hukum Pajak

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni (Mardiasmo,2013:5):

a. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-Undang Pajak Penghasilan.

b. Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk

mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain:

1) Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.

2) Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.

3) Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.

8. Stelsel Pajak

Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu sebagai berikut (Waluyo,2010:16-17):

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak , yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).

b. Stelsel anggapan (fictive stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh; penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.

c. Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada

pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat diminta kembali.

9. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi (Waluyo,2010:17): a. Official Assesssment system

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System adalah sebagai berikut:

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus.

2) Wajib pajak bersifat pasif.

3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

b. Self Assessment System

Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk mengitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terrutang oleh Wajib Pajak. 10. Asas Pemungutan Pajak

Ada beberapa asas pemungutan pajak yaitu (Mardiasmo,2013:7): a. Asas domisili (tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.

b. Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

c. Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

11. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak

Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (Waluyo,2010:19):

a. Ajaran Formil

Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan oleh official assessment system.

b. Ajaran Materiil

Utang pajak timbul karena undang-undang. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.

Adapun hapusnya utang pajak disebabkan oleh hal-hal berikut: a. Pembayaran

Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan dihapus karena pembayaran pajak yang dilakukan ke kas negara.

b. Kompensasi

Kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak.

c. Daluwarsa

Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan penagihan pajak, daluwarsa telah lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun daluwarsa penagihan pajak tertangguhkan, antara lain dapat terjadi apabila diterbitkan surat teguran dan surat paksa.

d. Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya, tetapi karena ditiadakan. Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi administrasi. e. Penghapusan

Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan Wajib Pajak, misalnya: keadaan keuangan Wajib Pajak.

12. Hambatan Pemungutan Pajak

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi (Mardiasmo,2013:8-9):

a. Perlawanan pasif

Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang disebabkan antara lain:

1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

2) Sistem perpajakan yang yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.

3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

b. Perlawanan aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:

1) Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.

2) Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara

melanggar undang-undang (menggelapkan pajak). 13. Tarif Pajak

Ada 4 macam tarif pajak (Mardiasmo,2013:9-10): a. Tarif sebanding/proporsional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh: Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

b. Tarif tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

Contoh: Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp 3.000,00.

c. Tarif progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar apabila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi: 1) Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin

besar

2) Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap

3) Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil

d. Tarif degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Dokumen terkait