• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAK JANGKEP

Dalam dokumen Esai-Esai Cak Nun (Halaman 87-184)

PAK JANGKEP

Keputihan…. Keputihan…. Sembelit….

KI JANGGAN

Mohon maaf Pak Jangkep, saya merasa salah telah menjadikan Ruwat seperti anak yang salah didik.

PAK JANGKEP

Salah asuhan. Saya juga salah dalam mengasuh anak saya ini.

KI JANGGAN

Saya tidak pernah mengajarkan semua yang dia omongkan tadi.

PAK JANGKEP

Kalau mikirmu seperti itu, lama-lama kamu bisa jadi Teroris, Ruwat.

RUWAT SENGKOLO

Guru pernah mengajarkan bahwa pikiran kita memerlukan terror, supaya dinamis dan kreatif.

PAK JANGKEP

Maksudku bukan terror pikiran, tapi terror…. Yaaa terornya teroris itu lho!

KI JANGGAN

Pak Jangkep bapakmu ini was-was, Ruwat, jangan sampai kamu melanggar hukum. Negara kita ini Negara Supremasi Hukum.

RUWAT SENGKOLO

Ampun Guru. Hukum itu mutlak penting, tapi letaknya paling bawah. Kalau kita tidak menolong orang yang menderita, tidak dipersalahkan oleh hukum. Koruptor harus dihukum, tetapi kalau petugas hukum tidak

menghukum koruptor, atau pura-pura tidak tahu bahwa atasannya terlibat tipikor, petugas itu tidak dihukum oleh hukum.

PAK JANGKEP

Kamu ini sekolah kebatinan kok ngomong hukum.

KI JANGGAN

Kamu ini sedang menuduh ada petinggi yang korupsi tapi bebas hukuman, begitu?

RUWAT SENGKOLO

Bukan, Guru. Yang saya bicarakan ini soal supremasi. Yang berpikir Supremasi Hukum itu petugas Negara. Kalau rakyat dan wakil-wakilnya berpikir supremasi keadilan. Kalau masyarakat dan guru-guru bangsa berpikir supremasi moral. Atau kalau bangsa dan negara kita mau dewasa, ya semua warganegara berpikir 3 supremasi itu sekaligus.

Soalnya, hukum itu cuma salah satu anaknya keadilan saja. Anak lainnya masih banyak.

Oalah Ruwaaat Ruwat…. Kamu ini penganggur, makan saja sering masih minta-minta, kok sempat-sempatnya mikir hukum….

KI JANGGAN

Justru karena ndak punya kerjaan maka murid saya ini pikirannya ngomyang ke mana-mana, Pak Jangkep.

RUWAT SENGKOLO

Bahkan, seharusnya, Jaksa jangan hanya pandai mencari kesalahan: Jaksa juga harus pinter mencari kebenaran.

PAK JANGKEP

….Jaksa kok disuruh cari kebenaran. Terus isi tuntutannya apa….

KI JANGGAN

Mungkin maksudnya Ruwat, Jaksa ke Pengadilan tidak hanya menyeret terdakwa kejahatan, tapi bisa juga terdakwa kebaikan. Kalau terbukti jahat, Hakim menghukum. Kalau terbukti baik, Hakim memerintahkan kepada pemerintah agar memberinya hadiah.

RUWAT SENGKOLO

Aslinya memang begitu. Hakim di Pengadilan, modal utamanya bukan pasal-pasal hukum, melainkan rasa keadilan dan keteguhan moral. Sangat mungkin manusia melakukan kesalahan yang belum ada pasal hukumnya. Buah catur saja yang jumlahnya hanya 32, punya 114 juta kemungkinan langkah. Lha kalau buah caturnya sebanyak penduduk Indonesia, 235 juta, berapa trilyun probabilitas pelanggaran hukumnya? Maka Hakim harus selalu siap menciptakan pasal-pasal baru berdasarkan kejujuran nuraninya, rasa keadilan dan keteguhan moralnya.

GASPOL

Ini Negara Supremasi Hukum. Jangan ditambah-tambah dengan

supremasi-supremasi macam-macam lainnya. Hukum thok saja sudah repot!

Saya anggap, semua yang di luar Supremasi Hukum adalah pelanggaran hukum.

Dan saya akan bertindak tegas.

Hukum itu tidak pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta warna, bahkan kalau perlu buta huruf….

Tidak perduli apakah Syiah, Si-B, Si-C, Silalahi, Sikeas — kalau diduga melanggar hukum, akan saya panggil, saya periksa….

Siapa kere-kere ini? Ati-ati. Jaga kelakuannya. Nanti saya sortir siapa yang cocok dituduh sebagai teroris di antara kalian….

Nyicil Simpati Kepada Setan

Tulisan ini saya bikin dengan mencuri waktu di sela-sela forum,

menyelinap beberapa momentum untuk bisa menulis. Kerja saya seperti Setan: berupaya pandai menggali peluang untuk memasukkan partikel energi dan nilainya ke pori-pori kejiwaan manusia.

Dan untuk manusia di jaman ini, hal yang dilakukan Setan semacam itu bukan pekerjaan sulit, karena manusia sudah hampir tidak memiliki pertahanan apapun terhadap penetrasi Setan.

Juga karena manusia sudah semakin tidak mengenali dirinya sendiri, apalagi mengenali Setan, sehingga tidak pernah secara sadar atau instinktif mengetahui apakah ia sedang dipengaruhi oleh Setan, apakah sedang berjalan didorong dan dimotivasi oleh Setan, apakah ia sedang menyelenggarakan sesuatu yang pengambil keputusan sebenarnya adalah Setan di dalam dirinya.

Tentu saja Setan tidak bisa kita pandang dengan terminologi materi atau jasadiyah. Ia lebih merupakan enerji, atau gelombang. Sedemikian rupa manusia harus mempelajari dirinya sendiri: dari wujud materiilnya, psiche-nya, roh atau rohaninya.

Kita sedang meyakini bahwa kita adalah manusia, adalah makhluk sosial, adalah warganegara Indonesia, adalah bagian dari masyarakat dunia, adalah kaum profesional, adalah Ulama, anggota Parlemen, pejabat, aktivis Ornop, golongan intelektual atau apapun. Tetapi itu semua adalah termin-termin yang sangat materiil, baku dan elementer. Sesungguhnya

kita tidak benar-benar mengenali diri kita pada atau sebagai dimensi-dimensi yang lebih substansial.

Kita, pada konteks tertentu, dan itu sangtat serius dan merupakan

mainstream: mungkin sekali adalah boneka-bonekanya Setan. Kita hanya robot yang diremot oleh kehendak Setan. Kita hanya instrumen dari kemauan-kemauan Setan.

Anda mungkin menganggap saya main-main retorika. Tidak. Ini sungguh-sungguh. Jangan mengandalkan ilmu pengetahuan baku dari sekolahan dan universitas, sebab penelitian-penelitian di wilayah itu tidak akan sampai pada hipotesis, identifikasi atau invensi tentang Tuhan, Malaikat, Iblis, Jin dlsb — yang sesungguhnya merupakan wujud nyata sehari-hari kehidupan kita.

Kita sedang menghabiskan waktu untuk bermain-main menunggu kematian tiba. Mainan kita namanya Negara, demokrasi, Pemilu, clean governance, pengajian, tausiyah, mau’idhah hasanah, band dan lagu-lagu, tayangan dan sinetron…. Semua itu tidak benar-benar kita pahami bahwa bukanlah kita subyek utamanya.

Tentu ini semua harus sangat panjang ditelusuri, dianalisis, dipaparkan dan disosialisasikan. Tulisan ini sekedar membukakan pintu agar manusia mulai mempelajari Setan, sebagai salah satu metoda paling pragmatis dan efektif untuk mengenali dirinya. Sebab hanya dengan benar-benar mengenali dirinya maka manusia akan bisa berpartisipasi untuk turut menjamin keselamatan dirinya, keluarganya, anak cucunya, lewat Negara, sistem sosial atau apapun.

Anda semua semua sedang menjadi korban tipu daya dari segala sesuatu yang Anda sangka kemajuan, kesejahteraan, pembangunan, segala yang indah-indah di layar teve, di halaman koran, di kantor-kantor

pemerintahan dan perusahaan, bahkan di pasar, di panggung, di gardu dan di manapun.

Tolong jangan membantah dulu sebelum mempelajari Setan, dalam segala wilayah, konteks dan skala. Pelajari setan untuk individumu, untuk

keluargamu, untuk keselamatan anak-anakmu tahun-tahun yang akan datang, untuk masyarakat dan bangsamu. Tuhan bilang“Mereka

melakukan tipu daya, dan Aku juga…. Aku kasih waktu sejenak kepada mereka….”

Jatah untuk menyembuhkan diri bagi bangsa kita sudah berlalu. Ramadlan dan Idul Fitri sudah kita lalui tanpa makna apa-apa. Metabolisme zaman sudah tiba di putaran di mana kita memerlukan jangka waktu yang akan jauh lebih lama lagi untuk bisa menyembuhkan dan menyelamatkan kita semua sebagai bangsa. Segala sesuatu sudah kita jalani, kita junjung, tanpa melahirkan paradigma baru apapun di bidang apapun. Indonesia sudah “mati”. Tahun 2008-2015 akan semakin terpecah, semakin tertipu

daya, semakin lapar dan panas, semakin stress dan deppressed, karena kita sendiri sudah terbiasa menipu daya diri kita sendiri.

Semua sisi kehidupan kita sudah palsu. Setan bilang kepada saya: “Tidak ada tantangan lagi. Manusia bukan tandingan Setan sama sekali. Manusia sangat mudah kami kendalikan. Sangat tidak memiliki kepegasan dan ketahanan untuk mempertahankan kemanusiaannya. Sungguh sudah tidak menarik lagi bertugas sebagai Setan….”

Di dalam Kitab Suci ada disebutkan: “Dan ketika dikatakan kepada Malaikat: Bersujudlah kepada Adam, maka bersujudlah mereka, kecuali Iblis, karena sombong dan lalai…”

Diam-diam dibisikkan kepada saya oleh Setan: “Kami sengaja tidak bersujud kepada Adam, kami minta satu periode zaman saja kepada Tuhan untuk membuktikan argumentasi kenapa kami tidak bersujud

kepada Adam. Hari ini saya nyatakan: Tidak relevan Iblis bersujud kepada Adam, karena anak turun Adam sekarang terbukti sangat beramai-ramai dan kompak menyembah Iblis….”

Kafir Politis

Kalau menjelaskan pada jemaah-jemaah kecil kaum muslimin yang awam tentang kufur atau kafir, biasanya saya memakai entry point soal bersih atau kebersihan.

Misalnya begini: sepanjang seseorang masih mandi dan makan tiap hari, maka ia tak bisa disebut sebagai kafir dalam arti total. Orang

mandi, ightisal alias membersihkan diri sendiri, berarti melaksanakan amanat atau perintah Allah untuk menjaga kebersihan badan. Bahwa di luar itu otaknya, perilakunya, perusahaan atau jabatannya, belum di-ghusl atau belum dibersihkan — di situlah barangkali letak fungsi

kufurnya. Tetapi tindakan memandikan badan sendiri itu adalah pekerjaan kemusliman.

Demikian juga sepanjang orang masih makan dan minum, maka ia masih memiliki eksistensi kemusliman, karena makan dan minum adalah

memenuhi kehendak Tuhan agar hamba-hamba-Nya bersetia kepada kehidupan, antara lain dengan menjaga kesehatan.

Jadi menurut cara berpikir ini, hampir tak ada orang yang seratus persen dikategorikan sebagai orang kafir. Apalagi orang yang meskipun tidak bersyahadat, tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji; biasanya

masih berbuat baik kepada anak istrinya, mencintai mereka, mencarikan nafkah, dan sebagainya.

Maka tidak bisa saya bayangkan bahwa ada orang yang sehari-harinya masih mandi, makan, menafkahi keluarganya, bertetangga baik-baik dan santun kepada orang banyak — bisa pada suatu sore kita tuding sebagai kafir, lantas kita halalkan darahnya, atau minimal kitapersonanongrata-kan dan kita kucilkitapersonanongrata-kan.

Dalam konteks keilahian dan keagamaan saja pun tak bisa saya

bayangkan terjadi pengkafiran semacam itu. Apalagi dalam konteks yang lebih duniawi dan pada tataran yang lebih lemah dan relatif kriteria nilai-nilainya — umpamanya dunia politik.

Kalau mulut kekuasaan politik di suatu Negara menuding seseorang “Kamu tidak bersih lingkungan”, di kepala saya muncul berjilid-jilid buku yang menguraikan beribu-ribu pertanyaan dan kegelisahan. Dari

pertanyaan dan kegelisahan yang berkonteks politik praktis, keanehan budaya kekuasaan, sampai yang berkonteks filosofis, etimologis, atau bahkan ideologis dan teologis.

Di dalam perspektif nilai akidah dan hukum agama saja pun term “kafir”, “musyrik”, “munafik”, “muslim” atau “mukmin”, tetap terbatasnya

maknanya oleh konteks-konteks dalam ruang dan waktu, di mana suatu peristiwa dan perilaku berlangsung. Kalau ada pedagang agama Isalam menipu pembeli beragama Budha, tidak bisa kita katakana “orang muslim menipu orang kafir”. Perbuatan menipu itu adalah kekufuran, sehingga tidak bisa membuat kita mengatakan bahwa dalam kasus penipuan itu si penipu adalah muslim. Kalau seseorang menipu, maka dalam dunia ruang dan waktu penipuan itu si penipu adalah kafir.

Maka sesungguhnya kalau kita berpikir jujur, di dalam kehidupan sosial masyarakat kita, kata “kafir”, “muslim”, “munafik”, “musyrik”, dan seterusnya itu selama berabad-abad mengalami pengorbanan-pengorbanan yang sungguh-sungguh tidak kecil dan tidak sepele.

Mengalami distorsi, pembiasan, pembelokan, bahkan pembalikan arti. Dan kalau pembangkangan makna sebiji kata itu berada di genggaman tangan seseorang atau sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan tak

terbatas — memiliki ribuan senapan dan prajurit — maka

peristiwa-peristiwa besar sejarah yang tragis berlangsung berdasarkan sulutan yang sebenarnya amat sepele.

Ratusan ribu orang bisa tertumpas nyawanya berkat satu kata yang dipelesetkan maknanya. Puluhan ribu orang terpuruk nasibnya ke dalam kegelapan ekonomi dan politik, hanya oleh pembiasan kata

“pembangunan” misalnya. Jutaan lainnya bisa kehilangan tanah,

kehilangan sawah, kehilangan nafkah, kehilangan kios jualan, kehlangan pekerjaan, kehilangan lingkungan pergaulan, atau bahkan meringkuk di dalam sel-sel sempit berdinding batu tebal dingin — hanya oleh

pembangkangan sekelompok manusia terhadap perjanjian murni arti sebuah kata.

Jika pemelesetan makna kata itu sekadar merupakan kasus kebodohan, maka kita hanya bersedih dan menangis. Tetapi kalau pemelesetan itu justru disadari — bahkan didayagunakan untuk rekayasa-rekayasa kekuasaan — maka mungkin seseorang akan hanya menghadapi dua kemungkinan. Pertama, diam, menyerah, dan hancur. Kedua, berang, marah, melawan, dan mati.

Jadi, secara keseluruhan kita sedang berhadapan dengan tiga masalah besar. Pertama, siapakah atau pihak manakah di dalam sejarah, yang disepakati sebagai berwenang untuk menentukan makna sebuah kata? Kedua, dalam sebuah sistem politik yang berlaku, adalah institusi hukum atau lembaga kebudayaan yang memiliki otoritas dan kewibawaan untuk mengontrol subyektivisme kekuasaan yang seringkali memaknakan kata “bersih”, “PKI”,“balela”, “subversif”, dan seterusnya seenaknya sendiri dari sudut kepentingan kelompoknya — yang apalagi dibungkus di dalam jargon kepentingan umum? Ketiga, berapa dekade sejarah diperlukan untuk menyembuhkan situasi di mana — setidaknya sebagian — kekuasaan yang melakukan pembangkangan kata itu justru secara mantab dan kusyuk merasa bahwa yang dilakukannya itulah paling benar?

Ataukah pertanyaan-pertanyaan semacam yang saya ajukan ini justru dianggap sebagai “cacat politik” atau bahkan “kafir politis”?

Untuk Umbu

Presiden Malioboro

Malioboro

Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis

kebudayaan 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.

Kemudian sebagai “jebolan Universitas Malioboro”, hampir setengah abad saya lalui jalan sesat, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan

kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan.

Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan “Pelopor Yogya” yang berkantor di ujung utara Jl Malioboro Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar nulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam “Persada Studi Klub”. Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan “Kehidupan Puisi” – demikian menurut idiom Umbu sendiri.

Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat (4) jalan.

Pertama, Margoutomo. Terusannya, sesudah rel KA, bernama Malioboro. Jalan lanjutannya adalah Margomulyo. Kemudian dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan. Sekarang jalan itu bernama Jl.

Mangkubumi dan Jl. Jendral Ahmad Yani: wacananya, filosofinya,

kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan, dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme sejarah. Hari ini bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan hedonism pop.

Wali Pengembara

Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh “jalan utama”. Tafsir atas “jalan utama” sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan menomersatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi atau eksistensialisme “ngelmu katon” alias kemasyhuran yang pop dan industrial. Bisa juga jalan utama adalah “berbadan sehat, berbudi tinggi, berpengetahuan luas, berpikiran bebas”, atau apapun yang intinya memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi “rahmat bagi seluruh alam semesta”.

Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka “Malio-boro”. “Malio” artinya “jadilah Wali”, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk memperindah dunia, “mamayu hayuning bawana”. Malioboro

artinya jadilah Wali yang mengembara (“boro”): mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif, berkelana di langit ruhani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (Margo-mulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham (inspirasi) dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), ma’unah (keistimewaan) dan karomah (kemuliaan).

Di ujung jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah “urakan” (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970an?): sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, “ya dunya ghurri

ghoiri, laqat thalaqtuka tsalatsatan”: wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga. Bahkan “diri sendiri” sudah ditalak, karena “diri sejati” adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya untuk menomersatukan orang banyak. Parameter manusia bukanlah “siapa dia”, melainkan “seberapa pengabdiannya kepada sesama”. Memilih Presiden 2014 sangat mudah: pandangi wajahnya dan pelajari perilaku hidupnya, apakah penempuh jalan Margoutomo, Malioboro dan Margomulyo. Raja-raja sejati nenek moyang kita mengakhiri hidupnya dengan merohanikan diri, menjadi Begawan, Pandita, Panembahan. Raja yang sibuk mengatur agar penguasa berikutnya adalah sanak familinya, tidak punya kwalitas memasuki jiwa Pangurakan, karena memang tidak pernah memilih jalan utama, mewali-pengembara sehinga lolos masuk jalan mulia.

Kekasih Umbu

Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.

Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat

sekolah.

Umbu mengajak saya “mlaku”, bukan “mlaku-mlaku”. “Jalan”, bukan “jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara “ngepit” dengan “pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira. Sangat beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng, antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sunggugan dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu merenungi, lainnya memenggal.

Harian lokal Yogya pernah memuat foto sangat besar almarhum Prof. Dr. Umar Kayam di halaman depan sedang naik sepeda, menempuh jarak 150 meter dari Bulaksumur B-12 ke kantornya di E-12. Pak Bon kantor

menyongsong juragannya, menyodorkan koran itu dan nyeletuk: “Bapak ampuh tenan. Baru mulai kemarin naik sepeda ke kantor sudah keluar di koran. Kok saya sudah 30 tahun lebih naik sepeda 30-an km tiap hari pulang pergi dari Gunung Kidul ke kantor, kok ndak masuk koran ya Pak..” Maklumlah Pak Bon tidak mengerti apa-apa tentang jurnalisme.

Sambil jalan kaki dengan Umbu saya tersenyum-senyum sendiri kalau ingat protesnya Pak Bon.

Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat, menempuh sekitar 3 km, Umbu mengajak berhenti di warung kecil

seberang THR. Duduk. Pesan tehnasgithel, berjam-jam tidak bicara sepatah katapun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga pukul empat fajar hari. Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan rokok di kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya — jangankan mengeluarkan bungkusnya dan menawarkan agar saya juga menikmatinya.

Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, “Coba lihat keluar, Em….”. Saya bertanya, “Lihat apa, Mas?”, dia menjawab, “Perhatikan nanti ada Bis Malam dari Malang masuk Yogya….”. Saya melompat keluar, berdiri, berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti, “Bus” nya tidak penting, tapi “kota Malang” itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya.

Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang pelukis mahasiswi ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis, kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai

tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya.Job description saya mengamati rumah tempat ia kost, posisi kamarnya, arah pintunya, route kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah memakai rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah mini. Ketika pada suatu malam Minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai “Duta Cinta”, jauh malam sesudahnya saya diinterogasi: “Apakah dia nemuin Emha pakai rok? Bagaimana bentuk kakinya?”

Ketika mendadak Bis Malam “AA” meluncur dari arah selatan, saya kaget. Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru ketika suara bis menderu, wajahnya makin menunduk.

Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih bukan sedang naik bis dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang dialaminya. Ia cukup mendengar suara bus itu lewat, cukup baginya untuk menghadirkan kekhusyukan cintanya. Begitu bus sudah lewat, Umbu mengajak saya pulang, dia ke ujung Malioboro utara, saya balik ke barat

Dalam dokumen Esai-Esai Cak Nun (Halaman 87-184)

Dokumen terkait