• Tidak ada hasil yang ditemukan

Esai-Esai Cak Nun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Esai-Esai Cak Nun"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

Orang Sukses dan Orang Gagal

Orang sukses itu tidak identik dengan orang kaya dan orang gagal itu tidak identik dengan miskin. Menang kalahnya seseorang, atau sukses gagalnya seseorang, tidak ditentukan oleh apakah ia kaya atau ia miskin, melainkan oleh kekalahan atau kemenangan mental orang itu terhadap kekayaan atau kemiskinan.

Maiyah Cinta Segitiga

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh, kepada Jamaah Maiyah di seluruh jagat Allah SWT, dari Kadipiro Kamis 4 November 2010.

1. “Salah sawijine sopo biso anglakoni, insyaAllah Gusti Pengeran ngijabahi”.

“Melakukan salah satu, baik. Melakukan sebagian, ahsan. Melakukan semua, afdhal”.

2. Mulai hari-hari ini, ingat-ingat kembali, gali, perdalam, diskusikan, ijtihadi bersama Ilmu Dasar Maiyah CINTA SEGI TIGA, Tafsir Maiyah tentang Syafaat Rasulullah Muhammad SAW.

3. Sempatkan berkumpul, kalau tidak- sering2 masing-masing bertafakkur: Membaca doa Rasulullah Muhammad SAW di tengah bahaya besar:

Allahummahrusnaa bi ‘ainikallati laa tanaam, waknufnaa bi

kanafikallati laa yuraam, warhamnaa bi qudratika ‘alaina, falaa nahliku wa Anta rajaa’una Laa Ilaaha Illallahul ‘adziimul haliim Laa Ilaaha Illallahu robbil ‘Arsyil ‘Adziim Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin”.

(Allahumma ya Allah jagalah kami dengan mripatMu yang tidak pernah tidur. Peluklah (lindungilah) kami dalam pelukanMu yang tak

terlepaskan. Kasihilah kami dengan kuasaMu atas kami, maka kami tidak akan binasa karena Engkaulah semata harapan kami. Tiada tuhan selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Sabar. Tiada tuhan selain Allah, Penguasa Arasy yang Agung. Segala puji milik Allah Tuhan semesta alam)

4. Membaca kembali, memahami dan meyakini makna Al-Anfal 33. 5. Ber-IJTIHAD menyelami Al-Hasyr 18 sampai 24.

6. Ber-MUJAHADAH dengan mewiridkan AlHasyr 20.

7. Mohon ikhlas sempatkan setiap atau sekali saja malam Jum’at melakukan Shalatullail, kemudian membaca urut surah Al-Ikhlas

▸ Baca selengkapnya: teks esai batman

(2)

AlFalaq AnNas.

Berapa kalipun sekuatnya, syukur sekurang-kurangnya 31 kali. 8. Kapan luang dan ikhlas wiridkan:

“Ya Mannana Ya Karim Ya ‘Adla Ya Hakim Ya Rohmana Ya Rohim Ya Hafiidha ya Halim”.

Berapa kalipun sekuatnya, syukur sekurang-kurangnya 100 kali.

9. Jika muncul rasa takut, cemas, gelisah, wiridkan kalimat Rasulullah Muhammad SAW di saat genting:

“In lam takun ‘alayya ghodhobun fala ubali”.

Semoga Allah SWT mengayomi hamba-hambaNya yang tidak ikut merusak kehidupan, serta mengampuni siapapun yang bertobat, yang mengerti dan mengakui dosa-dosanya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Abadi Meyakini Wa’dullah dan Syafa’at Rasulullah

Untuk Jamaah Maiyah dari Kadipiro hari perenungan Sabat 6 November 2010

1. Alhamdulillah kita semua bersyukur atas lewatnya Kamis dan Jumat 4-5 November 2010 di bawah ayoman rahman rahim Allah SWT. Mulai hari ini kita refresh iman kita lagi, bekerja maiyah lebih lanjut, “narju, nastaghits wa nuslim” kembali.

2. Kita buka kembali edaran Maiyah Cinta Segitiga, kita baca, pilih dan kerjakan dengan lelaku jiwa semampu kita. Di waktu luang kita selami secara akal, firman-firman itu, wirid-wirid itu, doa-doa itu, urutan logikanya, peta konteks syafaatnya, kausalitas langit

buminya, sangkan dan parannya, 5W1H nya, patrap maiyahnya. 3. Kita berhusnudzdzan dan meyakini kandungan cinta dan kekuatan

firman Allah serta transfer frekwensi derita hati Badar Rasulullah SAW. Seluruh pekerjaan maiyah bertahun-tahun adalah pengharapan agar diterima untuk berada sepihak dengan Allah dan kekasihNya. Karena Ia memastikan “Aku tidak mengadzab mereka yang engkau

Muhammad berada di antara mereka”.

4. Kita lebih kecil dan lebih lemah dari sebutir debu Merapi, karena segala gunung adalah milikNya. Yang membuat gunung-gunung ketakutan dan lari terbirit-birit meninggalkan amukannya “khasyi’an mutashoddi’an” adalah “khosyyatillah”, Maha Supreme Kuasa Allah yang kita pegang teguh dalam Maiyah.

5. Pasukan Badar Maiyah di telapak tangan kedahsyatan vulkanik Merapi dan puluhan gunung lainnya, di jepitan lempengan-lempengan tektonik yang bergerak-gerak, secara ilmu wadag dan ilmu katon tidak memiliki kemungkinan untuk “menang”. Tetapi kita teruskan tekad dan

(3)

keyakinan Rasulullah SAW di medan Badar bahwa Allah akan menganugerahkan kemenangan, kasih sayang dan pertolongan. Karena semua prajurit Maiyah sudah menuntaskan keikhlasannya untuk “la ubali” atas apapun di dunia, asalkan“takun ‘alaina ghadhabun” Allah tidak murka kepada kita.

6. Syukur yang mendalam kepada Allah dan terima kasih kepada Jamaah Maiyah, kantung-kantung Kadipiro, yang dengan tulus lelaku mewiridkannya dengan bersila sepenuh jiwa. Sekarang kita berangkat lagi menempuh maiyah, melewati dunia, menuju Allah.

7. Semoga Allah mengizinkan dan mengayomi nanti malam atau kapan kita berkumpul di Kadipiro atau di manapun untuk:

o Memahami kembali muatan Edaran itu dalam situasi Merapi dan irama Nusantara.

o Memasuki ilmu dan wacana Maiyah untuk

menemukan patrap/maqamat taqwa di tengah antara ketakutan dan keberanian.

o Belajar kembali peta ilmu yang membuat kita bisa menentukan dan mengakurasikan takaran bahaya, serta

menemukan momentum dan sebab musabab untuk bersyukur, dengan takaran yang setepat-tepatnya.

o Mempetakan gelembung-gelembung tentang:

 Mbah Petruk, Ki Blotok, Kiai Gringsing, Panembahan

Sapujagat dll,

 Perwujudan sumpah Sabdopalon Noyogenggong

pada sirnaning Majapahit,

 Kiai Semar nagih janji,

 Angin laut dan titik serbu: Kraton Yogya, Gedung Agung.  Supremasi janji Allah tentang gunung berapi, logika dan

peta Syafaat Rasul, konsentrasi lelaku Maiyah, dan “faltandzur nafsun ma qaddamat lighad”.

Perlawanan Badar

Maiyah adalah di mana saja kita berada, di rumah, di tempat bekerja, di rumah ibadah maupun di pasar, di jalan dan di manapun saja, selalu kita bersama Allah dan Rasulullah. Kapan saja kita sadar maupun tidur, di pagi hari, siang sore atau malam hari selalu kita bersama Allah dan Rasulullah. Maiyah adalah membangun perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala tindakan membangun rumah-rumah yang menjauhkan manusia dari Allah dan Rasulullah, terhadap konsep pasar dunia yang menyepelekan Allah, terhadap managemen penataan kehidupan yang mendhalimi Allah dan Rasulullah.

(4)

Maiyah adalah dengan siapapun saja kita berada dengan keluarga,

dengan teman, dengan masyarakat, bahkan ketika kita sedang berada di tengah makhluk-makhluk Allah yang memusuhi kita selalu kita bersama Allah dan Rasulullah.

Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang

terhadap segala kekuasaan yang tidak menghadirkan Allah dan Rasulullah di dalam bangunan keluarga-keluarga manusia, di dalam peta pergaulan masyarakat.

Maiyah adalah apapun yang kita alami kegembiraan atau kesedihan, kekayaan atau kemiskinan, kesepian atau tidak kesepian, di kesunyian atau di keramaian, dalam keadaan sehat atau sakit, dalam kekalahan atau kemenangan selalu kita bersama Allah dan Rasulullah.

Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang

terhadap segala macam sistem dan ideologi kehidupan yang membangun kesedihan manusia, yang memiskinkan manusia di tengah luasnya rahmat dan rizki Allah, yang mengucilkan kemanusiaan, yang menyakiti dan menyakitkan manusia, yang memenangkan energi setan dan menindas Rahman Rahim Allah di dalam bangunan negeri dan negara manusia. Maiyah adalah apapun sebab-sebab dari kehidupan yang menimpa kita ketika dijunjung atau dicaci, ketika dipuji atau dihinakan, ketika ditemani atau dikucilkan, ketika disayang atau tak diperdulikan, ketika disapa atau diacuhkan, ketika diberi atau dicuri akibatnya hanya satu: ialah selalu kita bersama Allah dan Rasulullah.

Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang

terhadap segala jenis kebudayaan, segala jenis benda tekhnologi, sastra dan lagu, kesenian dan kerajinan, berita dan hiburan yang menjunjung kebodohan dan mencaci ilmu, yang memuja kekonyolan dan melecehkan derajat manusia, yang membiayai besar-besaran kehinaan nilai, yang menghancurkan kehormatan, yang mencuri rahmat Allah.

Maiyah adalah apapun yang kita jumpai atau menjumpai kita — batu, air, langit, dedaunan, cahaya, kegelapan, kaca, keburaman, peristiwa, revolusi dan amuk, peluru, otoritas yang memalsukan kekuasaan Tuhan, angin, nafas dan seluruh badan kita sendiri — membawa kita untuk selalu bersama Allah dan Rasulullah.

Maiyah adalah perlawanan badar yang sabar dan berilmu matang terhadap segala bentuk kekuasaan dan pemerintahan yang

memperlakukan alam dan kehidupan manusia untuk makar kepada kehendak suci Allah yang diinformasikan melalui Rasulullah.

(5)

Hal Wilayah Aman

Kenapa sejak 2 hari yang lalu saya tekankan jarak 4 km dan seterusnya dari puncak, kemudian pengungsi pindah turun lagi seterusnya dan kini 20 km dari puncak Merapi — agar kita tahu bahwa:

1. Ilmu dan teknologi manusia tidak mampu menjangkau kepastian kapan Merapi menyembur, seberapa besar muntahannya, wedus gembel ataukah lahar atau debu, berapa jauh jangkauannya.

2. Jadi statemen “mbah Marijan tidak mau turun” itu tak ada dasar rasionalnya: kita berdiri pada KM berapa dari puncak Merapi untuk disebut sudah turun atau belum turun?

3. Letusan terbesar yang membawa korban nyawa mbah Marijan dan lain-lain itu justru terjadi ketika Seismograf tenang. Terasa sekarang kenapa mbah Marijan selalu meletakkan diri sebagai “wong

bodo” sedangkan Pemerintah itu “wong pinter”. So, wong bodo mati karena tidak ada kepastian ilmu dari wong pinter.

4. Ciamis Purwokerto dan lain-lain kena taburan debu, sementara Yogya udara bersih sampai menjelang sore, kemudian hujan sampai sekarang membersihkan debu kemarin lusa. Tapi Pemerintah dan siapapun jangan bilang Yogya wilayah aman, kecuali menyampaikan kabar legal dari Wali Penyangga Arasy.

Ya Allah, Orang Setulus itu….

Sebagaimana manusia biasa sesungguhnya sampai hari ini hati saya belum bisa “menerima” dipanggilnya Mas Heru Yuwono oleh Yang Maha Memilikinya.

Ya Allah, Engkau panggil hamba-Mu, manusia setulus itu, dari tengah keadaan dimana besarnya kepalsuan manusia jauh lebih besar dari besarnya bumi.

Engkau panggil saudara kami yang se-mukhlis itu hati lembutnya, dari tengah masyarakat yang hilang kepribadiannya karena dipenuhi oleh kepercayaan yang berlebihan atas topeng-topeng.

Engkau panggil intelektual yang sesportif itu di dalam memandang kehidupan dan ummat manusia, dari tengah percaturan kaum cerdik pandai yang beramai-ramai mengendarai kereta-kereta kecurangan terhadap akal sehat.

(6)

Engkau panggil pejuang silaturahmi, kooperator kesejahteraan dan perajut kasih sayang yang berjiwa seluas samudera, dari tengah bangsa yang isi utama sejarahnya adalah perilaku penyempitan, pergerakan pendangkalan dan perjuangan individualisme.

Engkau panggil sahabat kami yang selalu menampung dan tidak menuntut siapapun untuk menampungnya, yang selalu santun tanpa menunggu kesantunan siapapun saja kepadanya, yang selalu menjadi ruang dan kami semua adalah kumpulan perabot-perabot yang selalu merepotkannya.

Engkau panggil hamba kiriman-Mu yang senantiasa memperlakukan kami lebih dari saudaranya sekandang dan sedarah, khalifah-Mu yang

senantiasa memurahi kami dengan berbagai bentuk kasih sayang melebihi mereka yang sesungguhnya berkewajiban atas kami.

Engkau memanggil hamba-Mu, Bapak yang amat sangat dicintai, dipatuhi, dan dibanggakan oleh istri anak-anak dan seluruh keluarganya, oleh

semua saudara dan sahabat-sahabatnya, oleh sanak famili dan

masyarakat siapapun yang berkenalan dan merasakan kelembutan dan kesantunannya.

Engkau memanggil pejuang-Mu dan pejuang kami semua dari tengah keadaan sangat genting dari Negeri dan Bangsa kami sehingga sungguh-sungguh kami semua berada di puncak kebutuhan kami atasnya?

“Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridhaanmu menerima segala tiba Kutahu tak setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertahta”

Ya Allah apa sesungguhnya maksud-Mu? Apa saja gerangan alasan, logika dan hikmah di balik iradah-Mu yang penuh keindahan langit namun

memuat keperihan bumi?

Ya Allah betapa faqirnya jiwa kami, betapa rendahnya kesanggupan kami untuk mendayagunakan akal kami, betapa lemahnya kemampuan kami untuk mengendalikan hati kami, di hadapan rahasia iradah-Mu, di

hadapan misteri kehendak-Mu, serta di kandungan luas tak terbatasnya cinta-Mu.

Ya Allah, jika kukatakan “tidak bisa terima kepergiannya”: itu semata-mata merupakan suatu bentuk tangis insaniyah dan kepatuhan uluhiyah yang perih bagi hati kemanusiaan kami. “Inna asyku batstsi wa huzni illa ilaika ya Rabbi”, sesungguhnya kamu mengeluhkan kesedihan dan duka

(7)

derita ini tidak kepada siapapun selain Engkau wahai Maha Pengasuh kami.

Engkau Maha Mendengar hati kami semua serta Ibu Heru dan putra-putri mereka bahwa tangis kehilangan kami sama sekali bukanlah bentuk perlawanan kami kepada-Mu. Engkaulah juga yang menganugerahkan kekuatan bagi hati kami serta ketangguhan mental bagi perjuangan masa depan kami semua sepeninggal hamba-Mu yang sangat kami cintai itu. Tentu saja kukejar hatiku sendiri dengan menungkapkan pernyataan Allah SWT: “Barang siapa tidak mau menerima ketentuan-Ku hendaklah ia berpindah dari bumiku dan mencari Tuhan yang lain”.

Ya Allah Engkau Maha Mengetahui segala sesuatu yang kami nyatakan maupun yang kami sembunyikan, maka sesungguhnya tiadalah

sesuatupun yang kami sembunyikan dari-Mu. Ya Allah Engkau mengarifi segala yang tersurat maupun yang tersirat, segala yang kasat mata dan yang tak kasat mata, segala yang terucapkan maupun yang tersimpan di dalam kebisuan, segala yang dimaksudkan maupun kandungan yang sejati di balik setiap yang kami maksudkan.

Ya Allah, adakah ucapan dari kefaqiran hamba-Mu yang tidak salah? Adakah kalimat, kata, huruf, bahkan setiap titik dari setiap huruf, dari kami semua yang hina dina ini yang tidak khilaf, yang memiliki ketepatan, yang sedikit saja mendekati garis kebenaran sejati yang berada di

keharibaan-Mu?

Ya Allah sesungguhnya niscaya tiadalah satu huruf dari kata-kata kami, tiadalah satu kata dari kalimat-kalimat kami, tiadalah satu kalimat dari pembicaraan kami, tiadalah satu tetes dari deraian tangis kami, tiadalah satu satu debu dari setiap upaya kemakhlukan kami, yang memiliki kadar kebenaran yang memadai di hadapan agungnya kebenaran-Mu.

Ya Allah, kami semua tetap di sini, bersemayam di genggaman cinta-Mu, berpasrah diri di ujung jari kekuasaan-Mu, bersujud di bumi cinta-Mu kepada hamba-hamba-Mu dan di kekumuhan keringat upaya ibadah kami. Ya Allah kami berjalan hanya ketika Engkau perjalankan, kami melakukan apapun hanya karena Engkau memerintahkan kami untuk melakukannya, dan tak seserpihpun dari hidup dan mati kami yang kami relakan untuk siapapun selain Engkau.

Ya Allah, tentulah kami ikhlas atas setiap terbitnya matahari-Mu di fajar pagi dan atas tenggelamnya ia di ufuk senja hari. Tentulah kami rebah pasrah mensyukuri bergoyangnya setiap helai rumput, jatuhnya setiap tetes embun, serta selalu munculnya secercah cahaya dari tengah

kegelapan yang Engkau limpahkan untuk mengasah iman dan cinta kami. Ya Allah namun bimbinglah kami bagaimana memaknai rasa kehilangan ini. Tuntunlah kami mengarifi dan menghikmahi kekagetan besar kami.

(8)

Ajarilah kami sebagaimana Engkau langsung mengajari kakek moyang kami Adam ‘alaihissalam, ” ‘allama Adama al-asma-a kullaha, tsumma ‘aradhahum ‘alal-Malaikah”.

Ya Allah di tengah riuhnya kebodohan dunia, di tengah gemuruhnya kehinaan para penghuninya, rebutlah kami semua keluarga almarhum Mas Heru Yuwono, saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya, tawanlah kami di penjara cinta-Mu, kurunglah kami di dalam tabung cahaya-Mu, hajarlah kami dengan ilmu dan kesabaran, cambukilah kami dengan hikmah dan rasa syukur, bariskan dan latihlah kami di laboratorium

kecerdasan dan ilmu, serta tambahkanlah para Malaikat aparat-aparat-Mu untuk menjadi asisten-Mu di dalam menguji iman dan ilmu kami.

Ya Allah negeri kami sudah hancur, negara kami sudah dijajah oleh penghuninya sendiri dan diluluh-lantakkan oleh para

penanggung-jawabnya sendiri, bangsa kami sudah melata-lata di dataran terendah dari kehinaan, bahkan lebih dari yang selama ini kami bayangkan tentang “asfala safilin”, masyarakat kami sudah menjadi lambang yang ideal bagi “ajhalul jahiliyah”, sebodoh-bodohnya kebodohan, yang mungkin tak pernah diimaginasikan oleh para Rasul dan tak pernah disangka oleh semua Nabi, sejak awal penciptaan hingga kelak Hari Kebangkitan yang Engkau tentukan.

Ya Allah Engkau Maha Lembut untuk mengerti bahwa kalimat-kalimat kami tentang Negeri kami itu bukanlah ungkapan hamba-hamba yang putus harapan. Engkau Maha Santun untuk mengetahui bahwa yang kami tegakkan adalah usaha kejujuran melihat diri kami sendiri serta upaya keberanian untuk mengakui apapun saja keadaan yang kami timpakan atas diri kami sendiri.

Ya Allah bagaimana mungkin kami akan pernah bisa berputus asa. Sedangkan Engkau menganugerahi kami semua limpahan kasih sayang yang tak Engkau berikan kepada hamba-hambaMu yang lain. Bagaimana mungkin kami akan pernah bisa berputus asa, sedangkan Engkau limpahi kami bangsa Nusantara ini dengan penggalan dari sorga-Mu sendiri, hamparan pulau terindah, terkaya dan paling penuh rahasia cinta-Mu. Ya Allah bagaimana mungkin kami akan pernah bisa putus harapan, sedangkan Engkau letakkan kami untuk bersemayam di bagian yang paling mutiara dari bumi. Engkau nikahkan bangsa tercinta yang penuh bakat, kecerdasan rohani dan ketangguhan mental ini, dengan rahasia tanah tersubur, tetanaman paling ragam, ilmu gunung-gunung berapi dan samudera, yang masa depan seluruh dunia bagaikan sedang menjadi janin di kandungan perut Nusantara.

Ya Allah betapa bersyukurnya kami semua, dan masyaAllah: bersama mendiang Mas Heru Yuwono kami sedang berada di puncak rasa syukur itu, dan sedang menyelami bumi ilmu, lautan penelitian serta cakrawala kreativitas, demi cita-cita mewujudkan Negeri Nusantara ini menjadi

(9)

“Negeri Rahmatan Lil’alamin” bagi kesejahteraan seluruh ummat manusia hamba-hambaMu di muka bumi — tatkala dengan tiba-tiba saja Engkau memanggilnya ke rumah abadi-Mu.

Betapa terkejutnya kami. Namun insyaallah kami tahu karena Mas Heru Yuwono adalah hamba-Mu yang terbaik di antara kami semua. Beliau sudah Engkau pandang lulus sebagai Syeikh Kehidupan, sebagai Sarjana Utama ilmu ajaran-Mu, serta sebagai Panembahan Mumpuni dari kearifan-Mu.

Sedangkan kami semua ini, entah apa akan pernah mencapai ketinggian maqamat yang dicapai oleh mendiang kekasih-Mu itu jika suatu hari Engkau memanggil kami. Namun sungguh kami berterima kasih bahwa Engkau masih memberi luang waktu bagi kami semua, juga keluarga beliau, untuk berjuang meningkatkan ilmu dan kasih sayang di dunia, serta untuk menabung kedekatan kepada-Mu semampu-mampu kami.

Yogyakarta 14 Desember 2010 Muhammad Ainun Nadjib

Indonesia Jangan Sampai Besar

Indonesia adalah bangsa besar. Tanda kebesarannya antara lain adalah lapang jiwanya, sangat suka mengalah, tidak lapar kemenangan dan keunggulan atas bangsa lain, serta tidak tega melihat masyarakat lain kalah tingkat kegembiraannya dibanding dirinya.

Dari lingkaran katulistiwa, Indonesia memiliki 12,5%, dan itu lebih dari cukup untuk menguasai akses angkasa, satelit dan wilayah otoritas politik maupun perekonomian informasi dan komunikasi. Kita adalah a Big

Boss industri teknologi informasi sedunia. Tapi kita sangat rendah hati dan mengalah. Kita tidak tega kepada “Negara Kecamatan” yang bernama Singapura, sehingga kekayaan kita itu kita shadaqahkan kepada tetangga kecil itu.

Keluasan territorial dan kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut bumi, tambang-tambang karun, keunggulan bakat manusia-manusia Indonesia, pelajar-pelajar kelas Olimpiade, kenekadan hidup tanpa managemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan genetic dan antropologisnya, dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki oleh

(10)

“penggalan sorga” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia — sungguh-sungguh merupakan potensialitas yang tak tertandingi oleh Negara dan bangsa manapun di muka bumi.

Tetapi, sekali lagi, kita adalah bangsa yang lembut hati dan jauh dari watak Raja Tega. Kekayaan-kekayaan itu kita persilahkan dikenduri oleh industri multinasional dan orang-orang serakah: emas rojo brono diangkuti tiap hari ke mancanegara. Dan itu bukan kekalahan, itu adalah kebesaran jiwa. Kita bangsa yang kaya raya karena amat sangat disayang Tuhan, sehingga kita pesta shadaqah dan infaq. Rakyat kebanyakan ikhlas

menderita karena memilih sorga, dan toleran kepada sejumlah minoritas yang memang memilih neraka. Itu terkadang rakyat ikut rakus sedikit-sedikit, dengan pertimbangan tak enak atau pekewuh kalau kita dari dunia langsung masuk sorga tanpa menengok saudara-saudara kita yang di neraka. Tak baik-lah itu. Apa salahnya kita mampir juga beberapa saat di neraka, ngerumpi dengan handai tolan di sana .

Pada suatu hari TVRI, RRI, TNI, Polri dan berbagai mesin rumah tangga negara kita sewakan atau jual kepada tetangga. Berikutnya kita bercita-cita tak usah repot-repot menghabiskan ratusan milyar untuk pemilihan Presiden. Kita bisa mengontrak tokoh managemen dunia untuk memimpin negeri kita. Juga Menteri-menteri kita kontrak dari luar negeri,

sebagaimana para pemain sepakbola. Dan puncaknya kelak, MPR bisa mengambil keputusan untuk bikin proposal memohon kepada Kerajaan Belanda agar berkenan memimpin kita lagi.

Bangsa kita adalah bangsa filosof. Kalau Presiden kita kontrakan dan Belanda atau terserah negeri maju manapun kita persilahkan memimpin, itu tidak berarti kita berada di bawah mereka. Dalam teori demokrasi, rakyat selalu tertinggi, Presiden dan Kabinet hanya orang yang kita upah dan harus taat kepada kita. Jadi sesungguhnya bangsa Indonesia tetap di atas. Sebagaimana seorang Imam shalat diangkat oleh makmumnya, Imam pada hakekatnya harus taat kepada makmum. Yang memilih ditaati oleh yang dipilih. Apalagi yang dipilih itu digaji. Makmum yang memilih Imam, tidak ada Imam memilih makmum.

Sejak 200 tahun yang lalu kekuatan bangsa Indonesia membuat dunia miris. Maka perlahan-perlahan, terdisain atau tak sengaja, terdapat semacam perjanjian tak tertulis di kalangan kepemimpinan dunia di berbagai bidang: Jangan sampai Indonesia menjadi bangsa yang besar, jangan sampai Negara Indonesia menjadi Negara yang maju. Sebab potensi alam dan manusia tak bisa dilawan oleh siapapun. Kalau diberi peluang, masyarakat Setan dan Iblispun kalah unggul dibanding ummat manusia Indonesia. Sedangkan orang Indonesia hidup iseng dan sambilan saja dalam melakukan apapun: setan-setan sudah semakin terpinggirkan dan kehilangan pekerjaan.

Dan kitapun sangat supportif kepada kehendak dunia untuk

(11)

untuk mengerkerdilkan diri kita sendiri. Sehari-hari, dalam pergaulan maupun dalam urusan-urusan konstelatif stuktural, kita sangat rajin menghancurkan siapapun saja yang menunjukkan perilaku menuju kemungkinan mencapai kebesaran dan kemajuan bangsa Indonesia. Setiap orang unggul tak kita akui keunggulannya. Setiap orang hebat kita cari buruknya. Setiap orang berbakat kita kipasi agar bekerja di luar

negeri. Setiap orang baik takkan pernah kita percaya. Setiap orang tulus kita siksa dengan kecurigaan. Setiap orang ikhlas kita bantai dengan fitnah. Setiap akan muncul pemimpin sejati harus sesegera mungkin kita bikin ranjau untuk menjebak dan menghancurkannya.

Kita benar-benar sudah hampir lulus menjadi bangsa yang besar. Dan puncak kebesaran kita adalah kesediaan kita untuk menjadi kerdil.

Menundukkan Wajah Di hadapan Ali Audah

1. Hari ini kita bersama-sama menundukkan wajah dan

membungkukkan badan di hadapan beliau Bapak Ali Audah.Saya pribadi, kalau boleh jujur mempraktekkannya, tidak akan

menundukkan wajah, melainkan menutupi wajah, karena rasa malu yang mendalam kepada beliau. Saya juga tidak akan membungkukkan badan, melainkan melarikan diri dan bersembunyi, karena rasa tak berharga di hadapan beliau.

Zaman pendudukan Jepang, awal era 1940an, bagi saya adalah masa silam yang sangat jauh. Kemudian kemerdekaan tiba, lantas

berlangsung era Orde Lama yang sangat lama, tiga tahun sesudah era itu berakhir, saya mulai menulis cerita pendek. Melewati era Orde Baru yang lebih lama lagi dibanding Orde Lama, dan ketika orde itu

berakhir, saya sudah berhenti menulis. Sehingga hari ini saya merasa pekerjaan menulis adalah masa silam yang sangat jauh.

Sedangkan beliau Bapak Ali Audah, sudah menulis cerita pendek pada era Jepang masa silam saya yang jauh itu, dan terus menulis selama Orla yang lama, terus menulis selama Orba yang lebih lama lagi, terus menulis selama era Reformasi yang sangat memuakkan dan yang paling memuakkan dibanding segala sesuatu yang memuakkan, terus menulis dan terus menulis sampai hari ini.

Bagaimana mungkin saya sanggup tidak melarikan diri dari beliau. Jangan-jangan andaikan Allah mengambil saya kemudian melahirkan kembali sampai tiga kali: yang saya saksikan adalah beliau Bapak Ali Audah tetap juga terus menulis dan menulis.

(12)

Maka hari ini, jika saya mengucapkan “Asyhadu an-la ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah”, perkenankan saya

meneruskan “wa asyhadu anna Ali Audah ya’malu ‘amalan shalihan wa ya’malu ‘amalan shalihan wa ya’malu ‘amalan shalihan….” Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa

Muhammad utusan Allah, dan aku bersaksi bahwa Ali Audah beramal shaleh dan beramal shaleh dan beramal shaleh….

Sebab saya seorang Muslim, dan cukup sudah bekal Islam saya dengan Al-Qur’an, kemudian Hadits, Sunnah dan Sirah Rasul yang saya telusuri melalui Sejarah Hidup Nabi Muhammad karya Husain Haekal yang diterjemahkan oleh beliau Bapak Ali Audah.

Saya membaca buku itu sejak remaja. Saya pikir itu adalah buku yang diterjemahkan oleh penulis dari masa silam, kalau dilihat dari usia generasi saya. Tapi yang saya tidak sangka adalah ternyata buku itu diterjemahkan oleh seorang penulis masa depan, ketika saya lihat dari kenyataan bahwa dunia penulisan sudah menjadi masa silam saya. 2. Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang pembelajar ototidak.Ia tidak

tamat Madrasah Ibtidaiyyah dan juga tidak pernah belajar di

pesantren. Tetapi ia mampu menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab dengan sangat baik. Bukan main-main, karya yang

diterjemahkannya adalah buku-buku yang berkualitas dan menjadi acuan atau referensi utama.

Puluhan tahun saya juga berbangga bahwa saya seorang pembelajar otodidak. Dan saya pura-pura tidak tahu kekalahan dan kepalsuan saya. Beliau Bapak Ali Audah tidak tamat Madrasah, sedangkan saya kurang murni otodidak, sebab saya sekolah sampai SMA meskipun lulus paksa. Beliau Bapak Ali Audah tidak pernah nyantri di Pesantren, sementara saya santri Gontor meskipun diusir di tengah jalan.

Kekalahan utama saya ada dua hal. Pertama, saya santri Gontor tapi tidak mampu menterjemahkan karya apapun, jangankan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia: dari bahasa Jawa bahasa Ibu saya

sendiripun tak ada sebiji karya terjemahan yang saya pernah hasilkan. Kedua, kekalahan yang sangat memalukan. Masyarakat dan ummat Islam tidak pernah menyebut ‘Kiai Ali Audah’, sementara ‘Kiai Ainun Nadjib’ ada dalam daftar dan ranking Kiai-Kiai di Indonesia. Padahal yang menguasai bahasa AlQur’an adalah Kiai yang tidak terdaftar itu. Saya tidak kawatir akan merasa malu atas kenyataan itu di Indonesia, karena Indonesia benar-benar semakin kehilangan parameter untuk membedakan mana yang sungguh-sungguh Kiai dan mana yang sekedar Ngiyai. Bahkan andaikanpun Indonesia masih punya

pengetahuan untuk mampu membedakan, insya allah tidak perduli juga dan enteng-enteng saja untuk mengkiaikan yang bukan Kiai dan mem-bukan-Kiaikan yang benar-benar Kiai.

(13)

Namun demikian saya berdoa dan meronta sejadi-jadinya agar para Malaikat kelak di akhirat tak usahlah menggoda dan ngerjain saya soal itu. Apalagi kalau itu disaksikan oleh beliau Bapak Ali Audah dari

sebuah jendela di sorga, sementara saya masih magang di antara sorga dan neraka.

Lebih mempermalukan saya lagi kalau satu Malaikat ngerjain saya, beberapa lainnya duduk-duduk di sekitarnya membaca “Abu Bakar As-Sidiq yang Lembut Hati”, “Umar Bin Khattab: Sebuah Telaah

Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu”, “Usman bin Affan: antara Kekhalifahan dengan Kerajaan”,

“Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam”….

Lebih celaka lagi kalau ejekan kepada saya itu ditambahi dengan memanggil rekan-rekan sesama magang antara sorga dan neraka, dikumpulkan, dikasih dan diperintahkan untuk membaca “Malam Bimbang”, “Hari Masih Panjang”, “Jalan Terbuka”, “Icih”, bahkan “Peluru dan Asap”, “Saat Lonceng Berbunyi” dll.

Ya Allah, please jangan permalukan hamba-Mu yang toh sudah penuh malu ini.

3. Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang hamba Allah yang hidup syahid.Orang yang hidup syahid bukanlah orang yang tidak perlu mati untuk menjadi syahid. Sebab dua hal. Pertama, Allah sendiri

menyatakan secara lugas bahwa hamba-hambaNya yang syahid tidak mati. Kedua, konteks syahid memang tidak terutama terkait dengan hidup atau mati.

Syahid adalah orang yang menyaksikan keagungan Allah dengan karya dan lelaku hidupnya, dengan perjuangannya, ketekunannya, kesetiaannya, keikhlasannya, tentu saja yang dilandasi oleh akar ketaqwaannya, totalitas kepasrahannya, tunai lillahi-ta’alanya, serta tanpa reserve kepatuhan uluhiyahnya.

Apakah beliau Bapak Ali Audah seorang yang hebat? Jangan. Jangan hebat. Jangan bawa dan tenteng-tenteng kehebatan kesana kemari kepada sesama manusia karena sesungguhnya yang hebat bukan engkau. Jangan persembahkan kehebatan ke hadirat Allah wahai laron-laron di permukaan matahari wahai debu di tengah ruang hampa jagat raya….

Hebatilah dirimu sendiri 87 tahun. Hebatlah atas dirimu sendiri 87 tahun. Taklukkan dirimu sendiri 87 tahun. Kuraslah dirimu sampai kosong dan Allah akan mengisinya dengan kehebatan-Nya. Allah akan mengisikan diri-Nya padamu.

87 tahun tidak membangun kehebatan, melainkan ketekunan. 87 tahun tidak menegakkan kebesaran, melainkan kepatuhan. 87 tahun

(14)

tidak mengibarkan kegagahan, melainkan kesetiaan. 87 tahun tidak memperjuangkan keunggulan, melainkan keikhlasan.

Manusia yang berdiri di muka bumi dengan kehebatan, kebesaran, kegagahan dan keunggulan, yang diatas-namakan dirinya sendiri, menjadi bahan tertawaan di kalangan masyarakat langit….

Beliau Bapak Ali Audah syahid atas hakekat itu, sehingga penuh tawadlu’ hidupnya. Beliau Bapak Ali Audah bersyahadah atas sifat sejati itu, sehingga selalu tenteram jiwanya.

4. Kita mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada beliau Bapak Ali Audah yang telah berkenan memberi peluang kepada kita untuk menjalankan kewajiban yang sangat terlambat kami sadari, yakni menghormati, menghargai dan menjunjung beliau.Bapak Ali Audah tidaklah membutuhkan apa yang kita laksanakan hari ini, demi Allah kitalah yang butuh menghormati, menghargai dan menjunjung beliau.

Pun sesungguhnya, kata “menghormati, menghargai dan menjunjung” tidaklah tepat mewakili apa yang kami maksudkan. Mungkin malah bermakna terbalik.

Kita belum pernah matang benar menggunakan bahasa, atau Bahasa Indonesia juga masih belum benar-benar teruji untuk mewakili kwalitas nilai yang dimaksudkannya.

Menghormati bukanlah memberi kehormatan. Karena memberi kehormatan haruslah kepada orang yang tidak punya kehormatan, sehingga perlu diberi kehormatan. Menghargai bukanlah

menyampaikan harga kepada orang yang tidak berharga. Dan

menjunjung, adalah tindakan untuk menaikkan seseorang dari posisi yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi.

Maka dengan segala kerendahan hati kami mohon bimbingan kepada beliau Bapak Ali Audah, agar sesudah ini kami mulai punya

kemampuan untuk menterjemahkan apa yang sebenarnya kami maksudkan melalui atau menjadi kata, idiom dan susunan kalimat yang lebih tepat dan aman.

Dengan kata lain, apa yang kita lakukan hari ini, bukanlah

kesombongan untuk menghargai, melainkan kerendahan hati untuk belajar kepada Bapak Pendekar Penterjemahan Nasional. Inipun salah. Seharusnya Bapak Pendekar Penterjemahan Internasional, sebab pekerjaan perterjemahan pastilah berskala antara bahasa Nasional dengan Bahasa Nasional lainnya, alias internasional.

Ya Allah, betapa rapuh dan lemahnya kesanggupan hamba-hambaMu dalam menterjemahkan kehidupan. Sehingga terkutuklah manusia,

(15)

masyarakat, Pemerintah, Negara dan Bangsa yang buta matanya, tuli telinganya dan bebal akalnya, di dalam memahami betapa pentingnya seorang Penterjemah di dalam kehidupan, kebudayaan dan

peradaban.

Sungguh terkutuk, dan patut dilaknat kami semua ini. Oleh karena itu jalannya tinggal satu ya Allah: ampunilah kami semua.

5. Yang kita lakukan hari ini bukanlah peristiwa menjunjung beliau Bapak Ali Audah, melainkan Bapak Ali Audah menjunjung kita

semua.Hampir satu abad beliau Bapak Ali Audah menjunjung dirinya ke maqamat yang sangat tinggi, dan hari ini dari dataran yang rendah kita melemparkan tali ke atas, tangan beliau Bapak Ali Audah

menyambut dan menggenggam tali itu, kemudian kita memanjat naik ke maqamat beliau.Bahkan dengan tali itu beliau Bapak Ali Audah menarik kita ke atas. Sebagaimana kalau kita mendekat kepada Allah sehasta, Allah mendekat kepada kita sedepa. Kemudian kita lebih mendekat kepada Allah sedepa, Allahpun langsung mendekat kepada kita sepenggalah.

Maksud saya, seharusnya kita semua yang hadir di sini pergi beramai-ramai sowan ke rumah beliau Bapak Ali Audah untuk menyampaikan rasa hormat dan hajat junjungan. Bukannya beliau yang kita minta datang dan kita tunggu di rumah kita.

Tetapi demikianlah al-khalish wal-mukhlis beliau Bapak Ali Audah sekarang berada di sini, dan bukannya kita yang berada di ruang tamu rumah beliau – menunjukkan secara sangat nyata bahwa beliau Bapak Ali Audah bukan sekedar orang yang memang paling berhak menjadi pancer cahaya acara ini, melainkan lebih dari itu: Allah telah memilih beliau Bapak Ali Audah untuk menjadi penghantar hidayah agar

menumbuhkan kesadaran betapa kebanyakan dari kita telah abai dan alpa terhadap betapa pentingnya jenis amal shaleh yang Allah

amanatkan kepada beliau Bapak Ali Audah.

Demi Allah, apapun kata yang saya ocehkan ini, juga apapun yang kita semua lakukan dengan acara ini, tidaklah sedikitpun menambah

derajat kemuliaan hidup beliau Bapak Ali Audah. Sesungguhnya kitalah yang sedang ditaburi cipratan kemuliaan oleh beliau Bapak Ali Audah. Prinsip martabat dan logika moral sosial tidak mengizinkan kita

menghormati orang yang minta dan menunggu-nunggu untuk dihormati. Tetapi tingginya derajat ilmu dan sucinya pengetahuan sejati mewajibkan kita untuk menyampaikan rasa hormat kepada orang yang tidak pernah menagih untuk dihormati.

Maka acara ini kita langsungkan semata-mata untuk kepentingan dan keselamatan kita di hadapan Allah dan beliau Bapak Ali Audah. Acara

(16)

ini sama sekali tidaklah mengandung apapun yang beliau Bapak Ali Audah berkepentingan atasnya.

Kalau kita menjunjung beliau, tidaklah membuat beliau menjadi berderajat lebih tinggi, sebab bagaimana mungkin kerendahan

sanggup mempersembahkan ketinggian, apalagi kepada orang yang ketinggiannya tidak terjangkau oleh kerendahan.

Kalau kita tidak menjunjung beliau, sama sekali tidaklah membuat beliau menjadi lebih rendah dari ketinggiannya, sebab kerendahan itu terletak di luar diri beliau Bapak Ali Audah tanpa pernah bisa

menyentuh ketinggian beliau.

6. Itulah sebabnya saya bersyukur sampai hari ini di baju beliau Bapak Ali Audah tidak tersemat tanda penghargaan atau penghormatan apapun dari Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gadis yang berwajah cantik jangan berbangga dipuji kecantikannya oleh pemuda yang buta matanya.Rumah Puisi mungkin tidak pasti bukan pemuda yang buta matanya, tetapi hari ini ia membuktikan kedalaman nuraninya, ketajaman akal sosial dan kearifan budayanya, untuk menemukan kecantikan sejati gadis itu yang terdapat tidak pada wajahnya, melainkan pada kandungan jiwanya serta bau keringat kerja kerasnya.

Beliau Bapak Ali Audah telah benar dan dibenarkan oleh Allah memilih wilayah amanah kehidupannya. Benar memilih nilai dan pekerjaan di antara berbagai-bagai kemungkinan nilai dan pekerjaan manusia di muka bumi. Kemudian beliau membangunnya dengan kesungguhan, kesetiaan dan keikhlasan yang sukar dicari tandingannya.

Masing-masing kita yang hadir di sini mungkin juga orang yang bersungguh-sungguh, setia dan ikhlas bekerja. Tetapi jangan pernah pamerkan itu di hadapan orang yang bekerja sungguh-sungguh, setia dan ikhlas selama 87 tahun. Tataplah wajah beliau, yang sama sekali bukan wajah 87 tahun. Rasakanlah ketangguhan mental, kekhusyukan hati dan keluasan jiwa beliau. Andaikan Allah tidak rikuh atau pekewuh kepada kita yang jauh lebih muda tapi rapuh, mungkin akan

dipaparkan di depan kesombongan dan kekerdilan kita semua bahwa sampai kelak 50 tahun lagi tetap secerah dan sebercahaya itu wajah beliau Bapak Ali Audah.

(17)

Demokrasi Yatim Piatu

Demokrasi merupakan puncak pencapaian ilmu, ideologi dan wisdom hasil karya ummat manusia abad 20-21. Demokrasi telah disepakati untuk menjadi satu-satunya “kiblat” dalam urusan kehidupan bernegara dan berbangsa. Hampir tidak ada ketidak-sepakatan terhadap demokrasi. Semua orang menjunjung demokrasi. Semua orang merasa salah, bodoh dan dekaden kalau ragu terhadap demokrasi. Tidak ada pidato Presiden, bahkan Soeharto, apalagi sesudahnya, yang tak mengerek bendera

demokrasi. Tak ada pendapat dalam diskusi, perdebatan dalam talk-show, seminar, disertasi dan tesis, pun pidato Pak Lurah dan Ketua RT, bahkan ketika terbaring sendiri di bilik pribadi, kita bergumam-gumam sendiri“I love you democracy!” dalam pikiran dan hati.

Itu tak lain karena saking sucinya demokrasi. Sayapun dipersilahkan oleh demokrasi untuk mengabadikannya dalam tulisan, meskipun sungguh sangat sulit. Orang kotor mustahil menggagas kesucian. Dan meskipun tulisan ini berangkat dari niat menjunjung tinggi demokrasi,

sesungguhnya modal hidup kotor saya tidak menambah tingginya kesucian demokrasi yang saya junjung. Kesucian tidak memerlukan pengakuan dari kekotoran bahwa ia suci.

Mungkin kalimat-kalimat saya ini ibarat ungkapan Iblis yang mencoba menjunjung Tuhan, karena pada dasarnya ia sangat takut kepada Tuhan dan hanya mau “menyungkurkan diri” di hadapan Tuhan. Saya sangat mencintai demokrasi, tetapi itu tidak berarti saya mampu menerapkan demokrasi dalam perilaku hidup saya.

Demokrasi itu bak “perawan”, yang merdeka dan memerdekakan.

Watak utama demokrasi adalah “mempersilahkan”. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama si Perawan, bahkan berhak

memperkosanya: yang melarang memperkosa bukan si Perawan itu sendiri, melainkan “sahabat”nya yang bernama Moral dan Hukum. Si Perawan bisa ditunggangi oleh kaum kapitalis di Eropa untuk menyingkirkan kekuasaan Gereja dan dulu Kerajaan-kerajaan. Dan sesudah kapitalisme menguasai panggung bangsa dan masyarakat,

demokrasi tidak mengharuskan para kapitalis untuk bersikap demokratis, karena demokrasi tidak memiliki karakter untuk mengharuskan.

Para Capres, Caleg, Cagub-Cawagub, Cabup-Cawabup, bisa mengendarai Perawan untuk berhak menyerap dana dari siapapun demi menerapkan strategi mencapai jabatan yang hendak diraihnya. “Money politic” tidak dilirik atau diawas-awasi oleh si Perawan, karena yang bertugas untuk itu

(18)

adalah Undang-undang. Demokrasi bukan tak punya daya untuk

mengantisipasi korupsi dan penyelewengan, tetapi memang itu bukan bagiannya. Demokrasi bahkan mempersilahkan siswa SD menenggak narkoba, murid SMP nonton bareng video porno, lelaki berpoligami atau bermonogami, suami-suami istri-istri bertukar teman tidur, warga ikut nyoblos atau memilih golput, atau melakukan apapun dan tidak

melakukan apapun dalam kehidupan yang merdeka semerdeka-merdekanya.

Yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja

peradabannya yang bernama Ilmu Kesehatan. Yang mengantisipasi video porno adalah Moral dan Keselamatan Hidup. Yang merespon pertukaran suami istri adalah Keseimbangan Sosial. Yang mewaspadai pemilu dan golput adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.

Demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu. Tak punya Bapak Ibu, nasabnya belum pernah diperjelas. Ia memerdekakan manusia sepenuh-penuhnya. Semua dan setiap manusia sangat membutuhkan kesucian demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai.

Hendaklah setiap manusia menikahi demokrasi, memperistri atau

mempersuami si Perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah Hukum, yang berfundamen Ilmu, di lingkungan pertetanggaan Moral, dengan sirkulasi udara Budaya, dengan menjaga pertatapan wajah dan sorot mata nurani, serta pemeliharaan rahasia iman dan perhubungan sunyi Tuhan.

Demokrasi adalah makhluk terindah hasil karya ummat manusia selama peradaban. Manusia Jawa meromantisirnya dengan sebutan Kiai Demos dan Pangeran Kratos. Makhluk penjunjung demokrasi sangat meyakini bahwa puncak pencapaian kecerdasan dan nurani mereka sejak

“Renaissance” ini belum pernah digapai oleh ummat manusia pada era manapun sebelumnya: Atlantis dan Lemorian, Hastinapura, Inka dan Maya, Hud iradzatim’imad, ribuan tahun Dinasti Pharao, Jawa-Dwipa, Medang Kamulan, atau kurun apapun, tidak juga pernah dicapai oleh makhluk Laserta, Smarabhumi, Nyi Roro Kidul dan siapapun.

Peradaban modern hingga post-modernism hingga post-globalism bahkan sangat mudah menemukan keunggulannya: yakni meyakini bahwa

apapun saja yang mereka belum tahu, apapun saja yang akal pikiran dan penelitian ilmu mereka belum menjangkau — itu berartiinexist, unbeing, tiada. Yang ada dalam kehidupan ini hanyalah yang orang sekarang

mengetahuinya ada dan menganggapnya ada. Mengetahui dengan kasat mata dan jasad telinga.

Kiai Demos dan Pangeran Kratos, yang melahirkan “maha” – teknologi, dari gedung-gedung sangat tinggi hingga se-debu chip yang dipasang di jidat setiap orang, dunia maya yang memperkerdil jagat menjadi

(19)

persenjataan kimia rahasia, atau apapun — sama sekali jangan

dibandingkan dengan teknologi lidi Lombok Pawang Hujan, helai rambut santet, celak-Arab dan tanah kuburan Jin, Ilmu Katuranggan, takir Dewi Sri, dan apapun yang dibangga-banggakan di masa silam.

Kekuasaan Tuhan dengan seluruh jajaran birokrasi-Nya, dari para Malaikat Menteri hingga Datu Laut, Danyang gunung, Kepala Dinas Awan dan Hujan dan ribuan “PNS” maupun “Angkatan Bersenjata” – Nya — sudah digantikan oleh Kongres Amerika, 3 juta hadirin pelantikan Obama, strategi Java Tel-Aviv, bursa modal di tangan anak turun Ismail ben Ibrahim dan tata kelola jagat raya di genggaman turunan Ishaq ben

Ibrahim, dipembantu-umumi Bill Gates dan Steve Job. Bahkan perusahaan penyelenggaraan haji internasional berada dalam kendali ben Laden. Semua itu kini sedang mencapai puncak dan ujungnya. Jika sebentar lagi tiba suatu hari di mana yang inexist tiba-tiba exist,

yang unbeing mendadak nongol being, yang nothingmencegatmu sebagai a real true thing: si Perawan akan mulai belajar menjanda.

Puji Tuhan, Indonesia Kurang Diperhatikan

Sejumlah teman, yang untuk pertimbangan etik tidak saya sebut

namanya, melalui diskusi dunia maya, mengeluhkan kenapa Timur Tengah kurang memperhatikan Indonesia. Universitas-universitas di

Negara-negara Islam di sana tak satu pun yang memiliki jurusan Asia Tenggara, apalagi tentang Islam Indonesia. Satu-satunya tempat yang bagus untuk mempelajari itu justru Yerussalem, Israel.

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tapi wilayah asal usul Islam tak menoleh untuk meminatinya. Padahal pusat-pusat ilmu dan kebudayaan yang ‘jauh’ dari Indonesia dan Islam, misalnya Amerika Serikat, Canada, Nederlands, Jerman, Perancis atau Inggris, justru memberikan atensi tinggi kepada Asia Tenggara, Indonesia dan Islamnya. Anak-anak rakyat Indonesia bahkan di tempat-tempat itu banyak

menempuh S2-S3 untuk mempelajari “dirinya sendiri”.

Teman-teman merasa betapa Timteng agak “kurang tahu diri”, karena berbagai perguruan tinggi seperti IAIN, UIN, dan bahkan UI, terdapat jurusan dan bahkan pusat kajian tentang banyak aspek keagamaan, pemikiran, kebudayaan, sastra Arab atau Timteng umumnya. Hitung saja berapa banyak skripsi, tesis, dan disertasi tentang subjek-subjek yang berkenaan dengan Dunia Arab dan Timteng. Masyarakat, terutama kaum

(20)

cendekiawan Indonesia jauh lebih tahun tentang Timteng dibanding orang Timteng tahu tentang Indonesia.

Ketidakseimbangan pengetahuan itu menimbulkan hubungan yang agak kurang enak: Islam Indonesia “look up” kepada Timteng, sementara Timteng cenderung “look down” kepada Islam Indonesia.

Timteng tahunya Islam Indonesia tidak dibawa oleh Ulama, tapi oleh pedagang. Itupun terlalu banyak kecampuran klenik, kebatinan, unsur Hindu dan Budha. Tidak murni Islam. Jadi kalau ada orang Indonesia ke Arab, setiap orang Arab harus berbaik hati dan rajin mengamati perilaku tamu-tamunya, kemudian siap teriak “Haram! Haram!”, agar bangsa klenik itu mulai belajar tentang ketidak-murnian Islamnya, sehingga mereka tidak terlalu masuk neraka.

Orang Indonesia, terutama kaum Nahdhiyin yang budaya Islamnya dekat dengan tradisi, masih agak ‘selamat’ kalau ke Mesir, Yaman, Syria, Jordan atau terutama Sudan. Pandangan dan perilaku keislaman mereka agak mirip. Aplikasi 4-Madzhab di manapun masih tidak terlalu berbenturan satu sama lain, tetapi di Saudi Arabia orang Islam Indonesia harus merunduk-runduk jangan sampai terlalu ketahuan ‘ketidak-murnian’ Islamnya. Saudi bukan satu dari 4-Madzhab, dan tak usah disebut bahwa anti-madzhab adalah juga suatu madzhab. Saudi tempat lahirnya Rasul Muhammad, maka Islamnya paling murni. Di luar itu kurang murni, terutama karena bukan Saudi.

Teman-teman itu sangat gelisah, karena pada saat yang sama: bagi kalangan Muslim Indonesia, Islam Timteng penuh pesona; menjadi

“panutan” dalam berbagai hal, tidak hanya dalam pemikiran dan praktik keagamaan, tetapi juga dalam berperilaku, bahkan dalam cara

berpakaian. Itulah Islam yang kaffah.

Maka direkomendasikan: hubungan Indonesia dan Timteng memerlukan pemahaman timbal balik yang lebih baik. Bukan hanya dalam konteks keagamaan, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, dan politik. Ini akan membuka kemungkinan hubungan politik dan ekonomi khususnya menjadi dapat dikembangkan lebih jauh. Hubungan Indonesia dan

Timteng tidak cukup hanya bermuatan hubungan keagamaan. Diperlukan hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak, terutama ujungnya nanti di bidang kesejahteraan.

“Kalau tidak”, kata salah seorang teman yang berdiskusi itu, “puncak pengetahuan Timteng tentang Indonesia sebatas TKW. Indonesia adalah TKW, manusia rendahan yang tak punya ketrampilan dan prestasi kecuali ngepel, masak dan segala macam pekerjaan “kasar”. Sebagian dari TKW itu disebut “Siti Rahmah”, bisa “dipakai” dengan “khomsina (50) reyal”. Pasti di Indonesia belum ada gedung tinggi, belum punya pesawat, kulkas dan handphone….”

(21)

Saya tidak berani tampil turut berpendapat. Hanya berani membawa tema itu ke forum bulanan saya di Jombang, Surabaya, Yogya, Semarang dan Jakarta, di mana ribuan orang berkumpul dari pukul 20.00 hingga 03.00. “Saya tidak termasuk manusia Indonesia yang ‘nge-fans’ sama Timteng”, berkata salah seorang, “Sepengetahuan saya sangat sedikit orang

Indonesia yang beranggapan bahwa untuk mencapai Islam kaffah harus berorientasi ke Timteng”.

Yang lain berpendapat, “Kita dipelajari habis oleh Belanda, khasanah utama sejarah kita ada di Leiden, dan kita mengeluh. Sekarang bangsa lain tidak mempelajari kita, kita juga mengeluh. Apakah kelak kalau kampus-kampus Timteng menyelenggarakan studi Islam Indonesia, sehingga mereka akan lebih mengerti kita dibanding kita sendiri, lantas kita juga akan mengeluh”.

Lainnya lagi menyatakan, “Saya kok bersyukur mereka tidak memperhatikan kita. Memang tak usahlah Timteng mempelajari Indonesia, kita saja yang mempelajari Timteng. Kita pandai tentang mereka, dan mereka bodoh tentang kita. Yang mempelajari pasti lebih unggul, menang dan mulia dibanding yang dipelajari. Kita pelihara anggapan Timteng bahwa Indonesia adalah TKW, sehingga duta utama kita di sana ya TKW saja”.

Emha Ainun Nadjib, 1 Januari 2009

Edaran Untuk Jamaah Maiyah

Kepada semua Khalifah Jamaah Maiyah Nusantara (KJMN) Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Dimulai bulannya Rasulullah SAW, terutama dalam jangka pendek menyongsong bulan Maret dan Mei 2012, serta untuk seterusnya, saya mohon kepada para KJMN untuk bersama-sama bahu membahu

menyangga Nusantara.

KJMN meneguhkan di dalam batinnya, fikiran:

1. Selalu eling untuk menjaga kepenuhan Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW di hati, fikiran dan jiwa.

(22)

2. Selalu sadar dan peka untuk tidak berlaku menyakiti Allah SWT dan membuat sedih hati Rasulullah Muhammad SAW.

3. Memohon kepada Allah SWT perlindungan dan keselamatan bagi semua yang hidupnya menomersatukan Allah dan mensyukuri

kecukupan rahmat-Nya serta nikmat syafaat Rasul-Nya, yang berupa wujud sunnah qudroh keduniaan apapun asalkan di dalam rohani cinta kepada Beliau berdua.

4. Memohon perkenan Allah SWT untuk meneguhkan mandat khilafah kepada kesungguhan perjuangan dan cita-cita rahmatan lil’alamin para KJMN.

5. Memohon peneguhan kuasa dan keadilan yang maujud atas semua yang membelakangi Allah dan Rasul-Nya, yang merusak bumi dan memperhinakan martabat manusia.

6. Memohon anugerah ma’rifatul-jihad, hidayatul-jihad dan hifdhul-jihad, sebatas hak kekhalifahan, agar menolong KJMN dalam

menyusun langkah-langkah Jihad Ilahiyah yang sudah dan sedang dijalankan.

7. Memohon keluangan waktu atau kelonggaran kesempatan karena menurut batas ilmu yang diselami oleh KJMN dari hamparan ilmu Allah, diperlukan era-era yang tidak pendek untuk mewujudkan

jihadul-ma’iyah.

8. Memohon tambahan ilmu, quwwah dan “sulthan”, memohon

tuntunan dan panduan, agar para KJMN diperjalankan oleh Allah SWT di jalur yang tepat sebatas daya dan skala yang Allah perkenankan. 9. Memohon perlindungan bagi akar dan pohon Maiyah, bagi hutan-hutan dan taman-taman Maiyah, dari segala marabahaya dari bumi maupun angkasa.

KJMN meneguhkan di dalam lelaku:

1. Banyak melakukan puasa seikhlasnya dan sekuatnya.

2. Meningkatkan kesungguhan ibadah makhdloh serta memperdalam kekhusyukannya.

3. Memperluas dan memperdalam manfaat di dalam setiap

persentuhan dan keterlibatan individu, keluarga maupun masyarakat. 4. Memperbanyak tadarrus Al-Quran serta shalawat pada setiap

kesempatan yang memungkinkan.

5. Secara khusus menyempatkan membaca semua atau yang mana saja di antara Surah Yasin, Surah Khasyr, Surah Muhammad, Al-Ahzab, Al-Hajj dan Al-Waqi’ah.

6. Bagi yang kemampuannya terbatas mohon banyak-banyak membaca ayat-ayat terpenting dari Allah SWT yang menyangkut kekuasaan, penjagaan dan keadilan-Nya, seperti Ayat Kursi, doa atau firman yang berkaitan dengan Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, Nabi Musa, serta doa-doa Rasulullah Muhammad SAW.

(23)

7. Sebanyak mungkin membangun atmosfir rumah dan lingkungan dengan lantunan qiro’atul-Qur’an, shalawat-shalawat, serta suara-suara dari “Sohibu Baiti”.

8. Tidak berpikir, berorientasi dan melangkah ke arah tujuan

kekuasaan dan kehebatan keduniaan, karena dua hal tersebut adalah milik Allah, yang wajib diterima oleh para Khalifah jika Allah SWT meminjamkannya, namun tidak boleh disentuh oleh para KJMN pada posisi sebagai sesuatu yang diinginkan dan dikejarnya.

9. Sehari-hari, membaca Al-Fatihah untuk Rasulullah Muhammad SAW, untuk Syekh al Kurdi al-akbar Bahauddin Syah Naqsyaband, serta untuk Syekh Nursamad Kamba, kemudian membaca 11 kali.

(Ya khafiyyal althaf adriknaa biluthfikal khafiy; Ya muhawwilal hawli wal ahwal hawwil haalana ila ahsanil ahwal).

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Muhammad Ainun Nadjib

Kadipiro, 4.02.2012

Pengantar BangbangWetan Mei 2012

Empat Retakan Jiwa Bangsa Nusantara

“Perahu Retak” aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980an yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti

kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar) Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.

Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas. Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun Kerajaan atau (sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari konstitusi, hukum, persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem perekonomian, hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau memelihara kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.

(24)

Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya, kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil. Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan

pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda.

Embrio kemusnahan kepribadian sosial Bangsa Nusantara itu dimulai secara substansial di akhir era Majapahit. Mulai retaknya kepribadian Bangsa Nusantara itu yang disebut “Perahu Retak”, di mana lakon teater ini berkisah tentang upaya “Seorang Pengelana” untuk menghindarkan kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi sebagai Syekh Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga

memerankan Smarabhumi di “Tikungan Iblis” dan Ruwat Sengkolo di “Nabi Darurat”).

Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga

bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah Mada.

Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk

memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di wilayah Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur meskipun tidak ada manusia lain di luar Majapahit.

Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin lama semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah Mada. Memelihara apa yang pernah diperjuangan dan kemudian dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit

terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut Gubernur salah satu wilayah Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.

Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan

kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar mengalami “Sirno Ilang Kertaning Bumi”, kebesaran Gadjah Mada berubah menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah Bangsa Nusantara.

Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang

(25)

pernah mereka capai. Bahkan ummat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. Anak-anak muda, bahkan banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir Penguasa dan Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran kita di masa silam.

Hari ini bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang hidup tenteram dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan untuk menghina dan merendahkan dirinya sendiri.

Sunan Ampel dan seluruh Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan kepada Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali retakan-retakan yang terjadi pada Bangsa Nusantara.

Disain Kalijagan sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi dan

persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri beserta keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata

Majapahit dan para Dewan Sesepuh Kerajaan. Kanjeng Sunan Kalijaga dengan tandas dan efektif serta dalam waktu yang relatif singkat mengeksekusi transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak. Melakukan reformulasi kenegaraan dari Kerajaan Kesatuan ke Persemakmuran Perdikan-Perdikan. Dengan langsung menyebar kader-kader utamanya, yakni sebagian besar dari 117 putra Prabu Brawijaya V untuk menjadi Kepala-Kepala Tanah Perdikan di seantero Nusantara.

Sebagai contoh Harya Dewa Ketuk dijadikan Kepala Tanah Perdikan di Bali, Harya Lembu Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan, Retna Bintara di Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta berpuluh-puluh lain di berbagai “Negara Bagian” dan rata-rata menjadi legenda di tempat masing-masing; Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng Mangir, dlsb. Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden Jaka Praba atau Raden Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi penerus Bapaknya dalam transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.

Akan tetapi itu semua justru menunjukkan jenis retakan lain pada kejiwaan Bangsa Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah

menyangka hal itu, padahal beliau dianugerahi hidup dengan usia sangat panjang, melalui empat zaman di mana beliau berperan langsung sebagai Pemangku Sejarah.

Bangsa Nusantara tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan di dalam jiwa dan alam berpikirnya.

Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada.

Kedua, tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang membayang-bayangi kedaulatan mereka, yang berkeliaran di

(26)

lautan-lautan Nusantara tanpa mereka memiliki kepemimpinan, kesatuan dan peralatan sebagai di masa lalu tatkala Gadjah Mada memimpin.

Ketiga, datangnya alam pikiran baru, spiritualitas Bumi Langit baru yang berupa Agama Islam.

Keempat, ketidak-siapan mereka untuk mandiri dan otonom, untuk hidup dalam semacam Persemakmuran Kemandirian, dan bukan hidup menjadi satu kesatuan tidak di bawah Raja Besar sebagaimana di jaman kejayaan Majapahit.

Sirnanya kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan sendiri dan bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau

pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Datangnya kekuatan dari Eropa juga bukan mempersatukan mereka, melainkan menambah koloni-koloni untuk menyelamatkan diri masing-masing berdasarkan satuan-satuan sosial seketemunya saat itu.

“Kelemahan” sejarah mereka antara lain adalah karena jenis ekspansi kolonialisme yang dilakukan oleh Gadjah Mada bukan murni imperialism dan penjajahan kekuasaan, melainkan bersemangat pemersatuan dengan watak memangku semua wilayah yang dipersatukan. Sebab memang demikian filosofi dasar Bangsa Jawa sejak ribuan tahun sebelumnya. “Seharusnya” mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga untuk mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.

Datangnya Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam satuan yang berbeda. Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk

mempersiapkan Bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang tak bisa ditaklukkan oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa Bangsa Nusantara memerlukan waktu yang panjang untuk menjadi Kaum

Muslimin yang matang dan berpengalaman mengantisipasi tantangan-tantangan.

Pada saat yang sama Raden Patah memimpin mereka tidak dengan metoda dan kekuatan seperti Bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau adalah salah satu murid utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir secara “rahmatan lilalamin”. Raden Patah menawarkan rintisan

Demokrasi, otonomi daerah, peralihan cara berpikir dari “kawulo” ke “khalifatullah”, persemakmuran yang saling berangkai, dan seterusnya. Dan ‘mantan’ rakyat Majapahit tidak siap.

Empat retakan atau berbagai ketidak-siapan itu melahirkan beragam-ragam perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar hak kekuasaan, itu berlangsung di kalangan keluarga Kerajaan yang cabang-cabang pohon nasabnya sudah sangat besar dan lebar.

(27)

Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme kekuasaan di lokal-lokal.

Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir Agama. Antara yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang menerima Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkat-tingkat.

Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru,

menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan semacam “padatan Muhammad kecil” bekerja dan berjuang sangat keras dalam skema sosial yang penuh

retakan-retakan semacam itu.

Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik Kraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan, “hanya” berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang sangat Islami dan dahsyat, namun memerlukankontinyuasi dan akselerasi perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.

Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan “terganggu” sangat serius oleh keras dan meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya Kesultanan Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana kepemimpinan Demak belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam Kalijagan, dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan aktif dari

reformulasi Kalijagan.

Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas Karebet, Sultan Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan kontinyuasi kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya, dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat itulah lahir Indonesia….

Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang dikisahkan dalam “Perahu Retak” adalah cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.

Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas

(28)

Kalong (kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang seharusnya memegang kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung Pajang.

Pangeran Benowo pergi menyingkir dari Kesultanan karena tidak tahan hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan makin parah. Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak berada pada garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian menjadi Kraton Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai hari ini).

Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun Masyarakat Nusantara Baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik dengan metoda sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun bijak oleh Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha

“memaiyahkan” Masyarakat Nusantara, namun jatah waktu kehidupan beliau tidak mencukupi, sebagaimana Sunan Kalijaga sendiri

“seharusnya” berusia tiga kali lipat dari 126 tahun.

Mataram adalah Indonesia kecil yang “meresmikan” retakan-retakan mental dan cara berpikir Bangsa Nusantara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Mataram besar yang memuncaki keretakan itu, sampai pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara ini, dari berbagai sudut

pandang, cara pandang maupun jarak pandang.

Hari ini dan seterusnya, Anda semua para Jamaah Maiyah adalah Jangkung-Jangkung Kalong-Kalong yang sedang ditantang oleh sejarah.

Muhammad Ainun Nadjib Yogya 6 Mei 2012.

Antara Tiga Kota

di Yogya aku lelap tertidur angin di sisiku mendengkur

seluruh kota pun bagai dalam kubur pohon-pohon semua mengantuk di sini kamu harus belajar berlatih

(29)

tetap hidup sambil mengantuk

kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga?

Jakarta menghardik nasibku melecut menghantam pundakku tiada ruang bagi diamku

matahari memelototiku

bising suaranya mencampakkanku jatuh bergelut debu

kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga

Surabaya seperti ditengahnya tak tidur seperti kerbau tua tak juga membelalakkan mata tetapi di sana ada kasihku yang hilang kembangnya ika aku mendekatinya

kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga?

Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997 (Dokumentasi Progress)

(30)

(Kesunyian Manusia dalam Negara)

Titik Nadir Demokrasi

Yang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang sangat rawan-rawannya bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan. Hari-hari penghancur logika, penjungkir-balik rasionalitas dan peremuk kejujuran. Hari-hari di mana pengetahuan dan ilmu manusia diselubungi oleh kegelapan, atau sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari di mana manusia, kelompok-kelompok masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah, bukan saja tidak memiliki akurasi, kejernihan dan kejujuaran dalam

menatap hal-hal di dalam kegelapan – tapi lebih dari itu bahkan tidak semakin bisa mereka pilahkan beda antara cahaya dan kegelapan. Inilah hari-hari di mana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan alamat kemanusiaannya, alamat rohaninya, alamat moralnya, lebih dari itu juga kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan

kebudayaannya. Inilah hari-hari di mana standar-standar pengetahuan bersifat terlalu cair, di mana pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada dirinya sendiri, di mana kepastian hukum bersifat terlalu gampang dilunakkan dan diubah bentuk maupun substansinya sehingga juga sangat gampang kehilangan kepastiannya.

Inilah hari-hari di mana makhluk kekal yang bernama rakyat tidak dipandang sebagai Ibu dari siapapun, melainkan lebih diperlakukan sebagai anak-anak kecil, yang sangat banyak di antara mereka diperhatikan hanya sebagai anak tiri yang hampir selalu dianggap potensial untuk bodoh dan bersalah. Inilah hari-hari di mana makhluk yang bernama politik tidak lagi mengenali dirinya sebagai anak dari

kedaulatan rakyat. Di mana para pelakunya melakukan perjalanan sejarah yang berpangkal tidak di kepentingan rakyat dan berujung juga tidak di kesejahteraan rakyat, tanpa kondisi itu disadari oleh subyek-subyeknya. Para pelaku kedhaliman merasa tidak enak terhadap perasaannya sendiri, sehingga mereka berusaha menutup-nutupinya bungkus kemuliaan dan label keluruhan – sampai pada akhirnya mereka kehilangan obyektivitas dan benar-benar percaya bahwa yang mereka lakukan memang bukan kedhaliman. Para pekerja kediktatoran bisa meminta bantuan kepada para pekerja ilmu untuk meyakinkan diri mereka bahwa itu bukan kediktatoran. Para penerap monopoli, oligopoly, subyektivisme kekuasaan dan

hedonism keduniaan, bisa dengan gampang membeli ‘parfum-parfum’ untuk mengubah kebusukan menjadi seakan-akan berbau harum, sampai akhirnya mereka yakin bahwa yang terpancar dari diri mereka adalah aroma-aroma harum.

(31)

Orang-orang yang paling tidak eling dengan mantap menganjurkan agar orang lain eling. Orang-orang merasa menjalankan etos waspada, padahal yang diwaspadainya adalah geliat dan kemungkinan gerak dari musuh-musuh yang mereka ciptakan sendiri: kewaspadaan bukan lagi kehati-hatian berperilaku di hadapan mata pandang Tuhan, moralitas dan nurani kemanusiaan. Adapun — siapakah yang sesungguhnya gila, edan dan sinting di zaman serba kabur dan rabun ini– tatkala hampir setiap ‘aku’ dan ‘kami’ telah sedemikian yakin bahwa ‘dia’, ‘kalian’ dan ‘mereka’ yang edan? Sedangkan para ‘dia’, para ‘kamu’, para ‘kalian’ dan ‘mereka’

adalah ‘aku’ dan ‘kami’ juga bagi diri mereka sendiri?

Inilah hari-hari di mana kejahatan memproduk kebodohan. Di mana kebodohan, yang bekerja sama dengan suatu jenis kepandaian tertentu, mendorong terciptanya kejahatan. Di mana kebodohan berdialektika dengan kejahatan untuk memproses lahir dan berkembangnya destruksi-destruksi sistemik dan structural atas bumi, nilai-nilai dan manusia.

Inilah hari-hari sarat penyakit. Hari-hari penuh penyakit di dalam diri manusia. Penyakit dalam kalbu, yang meruak pikiran, kita suburkan, bahkan kita agung-agungkan, sehingga Tuhan membengkak menjadi gumpalan-gumpalan besar – karena memang demikian sifat dan kesukaanNya.

Penyakit-penyakit dengan omset ekonomi politik yang tinggi, dengan mobolitas total di hampir seluruh wilayah penjaringan kekuasaan, dengan penekanan-penekanan konstan agar institusi-institusi informasi dan

komunikasi menjadi kepanjangan tangan dari kedholiman, serta kemudian dengan peraihan sejumlah kambing-hitam yang periodik, juga dengan sejumlah sesaji zaman yang bukan hanya dilabuh melainkan juga dicacah-cacah secara kolektif dalam atmosfir hukum rimba kebudayaan.

Jalanan zaman yang sedang kita lewati sekarang ini adalah jalanan yang sedang licin-licinya, namun berserakan batu-batu terjal di sana-sini. Di tempat-tempat tertentu yang semula tidak licin, hari-hari ini ia ditaburi cairan-cairan penggelincir. Jalanan ini menggelincirkan manusia ke berbagai arah, di mana sebagian itu dirancang, direkayasa, dengan tingkat kecanggihan strategis dan taktis yang gelap di mata para pakar namun seluruh dunia tak meragukannya.

Jalanan ini licin tidak hanya bagi siapapun saja yang mendambakan dan mempertahankan tegaknya akal sehat, bagi kejujuran, bagi murninya nurani dan teguhnya prinsip-prinsip nilai: ia juga licin bagi para

penguasanya. Para pelaku ketidakjujuran tergelincir untuk sedemikian khusyuk meyakini bahwa yang mereka lakukan adalah kejujuran. Orang-orang yang menghancurkan bangunan moral di dalam diri mereka sendiri, tergelincir untuk percaya bahwa yang mereka kerjakan adalah kemuliaan dan budi luhur. Orang-orang mengangkat penipu menjadi pahlawan, orang-orang yang menguburkan para pecinta kebenartan di kubur busuk, atau sekurangnya melemparinya dengan batu-batu kutukan, yang

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pranata sosial adalah sistem tata kelakuan dan hubungan yang terpusat pada kegiatan pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat ( Fungsi Manifes / yang terlihat dan

analizing dalam penelitian ini digunakan untuk mengadakan penggalian, penganalisaan terhadap seluruh data mengenai metode yang di pakai dalam menentukan arah kiblat masjid

Blomgren ja Kivipelto (2012) ovat selvittäneet valtakunnallisessa aikuissosiaalityön kartoituksessa myös aikuissosiaalityön yhteistyökumppaneita. Eniten sosiaalityöntekijät

Pada zona pemanfaatan pariwisata pihak pengelola tidak melakukan pembangunan fasilitas karena hutan konservasi adalah hutan yang dilindungi, dan pihak pengelola

Untuk jenis salah saji potensial yang berkaitan dengan setiap tujuan audit yang berkaitan dengan transaksi, rancanglah pengujian substantif atas transaksi

Kajian Kandungan Mineral Sari Buah Timun Suri, Pisang dan Pepaya untuk Upaya Peningkatan Performa Pascalarva Udang Vaname selama Masa Adaptasi Penurunan Salinitas. Prosiding

Pertanyaan merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dilepaskan dari mekanisme pengawasan yang dijalankan oleh lembaga legislatif, di dalam setiap negara yang