• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN

D. Paksa badan bagi debitor pailit

Pemberlakukan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberi makna bahwa Undang-undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordening Staatsblad 1905-217 juncto Staatsblad

1906-348) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan sudah tidak dapat diberlakukan lagi. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 bertujuan untuk lebih melindungi kepentingan-kepentingan baik kreditur maupun debitur yang merupakan organorgan penting dalam berlakunya Undang-undang ini serta menjadi dasar bagi Hakim Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

49

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dinyatakan pailit. Debitur yang telah dinyatakan pailit melalui putusan pernyataan pailit mengakibatkan debitur pailit tersebut tidak cakap (onbekwaam) untuk mengurus harta-hartanya yang termasuk dalam

boedel/asset pailit. Hal tersebut membawa konsekuensi hukum untuk menunjuk dan menggangkat kurator yang akan menggambil alih dan bertanggung jawab dalam pengurusan dan pemberesan asset pailit debitur pailit.

Bukan tugas yang mudah bagi kurator dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam menelusuri seluruh aset pailit yang ada kalanya bagian

tertentu dari asset pailit tersebut dikuasai oleh pihak ketiga, atau bahkan sikap dari

debitur pailit yang tidak beritikad baik sehingga menyembunyikan atau mengalihkan asset pailit kepada pihak lain. G. P. Wijaya50

dan Pasal 242-258 RBg yang kemudian berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4

mengemukakan bahwa kerap pula dijumpai ancaman-ancaman psikis terhadap kurator dari orang-orang suruhan debitur pailit ataupun kurator dilaporkan kepada polisi oleh debitur karena dianggap telah melakukan tindak-tindak pidana masuk pekarangan tanpa izin atau penggelapan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya hukum yang disebut paksa badan (gijzeling) yang dipandang efektif sebagai sarana pemaksa bagi debitur pailit untuk bersikap kooperatif.

Paksa badan bukan merupakan suatu hal yang baru dalam sistem hukum di negara ini. Paksa badan (gijzeling) sebagaimana diatur dalam Pasal 209-224 HIR

50

G.P. Aji Wijaya, Aspek Pidana dalam Kepailitan dan Permasalahan yang Dihadapi dalam Praktek, Makalah dalam Pelatihan Hakim Niaga, Bogor, 2004, hlm.3

Tahun 1975 yang menginstruksikan kepada seluruh Hakim Indonesia untuk tidak lagi menghidupkan atau menerapkan peraturan-peraturan tentang paksa badan.

Paksa Badan dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 yang ditegaskan kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2000. Penghidupan lembaga paksa badan (gijzeling) tidak hanya mendapatkan tanggapan yang positif,

tetapi juga menimbulkan reaksi negatif seputar itu. Pengenaan paksa badan terhadap seseorang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia orang tersebut.

Menurut Erwin Mangatas Malau51

para kreditur yang dilakukan oleh debitur. Dalam penerapannya terhadap perkara kepailitan, paksa badan masih menimbulkan banyak masalah dan persoalan. Salah satunya yaitu mengenai bagaimana penerapan paksa badan terhadap perkara kepailitan dalam praktek, karena belum ada produk hukum yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan paksa badan dalam perkara kepailitan. Kemudian yang berkaitan dengan mekanisme palaksanaan paksa badan, adalah tempat pelaksanaan paksa badan dimana dalam Undang-Undang Kepailitan disebutkan bahwa pelaksanaan paksa badan dapat ditempatkan di Rumah Tahanan Negara ataupun di rumah debitur pailit itu sendiri dengan

penghidupan kembali lembaga gijzeling sudah pasti menimbulkan sikap pro dan kontra. Bagi pihak yang tidak setuju akan mengatakan perlakuan pemaksaan tidak manusiawi karena melanggar hak asasi debitur yang terkena tindakan, sedangkan bagi pihak yang setuju akan mengatakan bahwa meskipun terjadi pelanggaran hak asasi debitur, akan tetapi pelanggaran hak asasi itu tidak sebanding dengan pelanggaran hak asasi terhadap

51

Erwin Mangatas Malau, Gijzeling dalam Kepailitan, Makalah dalam Pelatihan Hakim Niaga, Bogor, 2004, hlm. 1

pengawasan di bawah jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, yang menjadi persoalan adalah jika penahanan ditempatkan di rumah debitur pailit itu sendiri, rasanya tidak memungkinkan bagi jaksa untuk mengawasi dan mengetahui setiap kegiatan yang dilakukan oleh debitur pailit. Selain itu, menurut Imran Nating bagaimana jaksa dalam melaksanakan paksa badan belum diatur mekanismenya.52

Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-undangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Paksa badan (Lifsdwang) adalah upaya penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu disuatu tempat tertentu terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik.

Permasalahan lainnya yang timbul kemudian adalah hambatan yang dihadapi dalam menerapkan paksa badan sebagai upaya pemaksa terhadap debitur pailit sehingga debitur pailit bersikap kooperatif mengenai keadaan asset/hartanya.

53

Undang Undang Kepailitan inilah dikenal adanya Lembaga Paksa Badan (gijzeling) yang merupakan suatu solusi dalam menghadapi Debitur yang tidak kooperatif. Sesungguhnya, Paksa Badan (Penyanderaan - Gijzeling) sudah merupakan sarana yang sangat efektif dalam pengurusan dan penyelesaian perkara kepailitan, khususnya terhadap Debitur yang tidak mempunyai iktikad baik. Permasalahanya dalam

52

Imran Nating, Op.Cit, hlm. 111

53

Andryawal Simanjuntak, Gizeling/Lembaga Paksa Badan,

mengefektifkan lembaga gijzeling adalah masalah praktek “kedekatan atau mafia peradilan” yang masih ditemui dalam perkara-perkara di Pengadilan. 54

54

BAB IV

PERAN KURATOR TERKAIT DENGAN KEWENANGAN DEBITUR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS HARTANYA A. Pengangkatan Kurator oleh Pengadilan Niaga

Sutan Remy Sjahdeini mendefinisikan Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya dengan tidak memihak. Dari istilah menurut kamus-kamus yang dikutip dapat diartikan bahwa Kurator dalam hukum kepailitan itu adalah pengampu/wali dari seseorang yang karena hukum kewenangan dan haknya untuk mengurus harta bendanya sendiri dicabut, atau pengampu/wali dari seseorang yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit. Singkatnya yaitu pihak yang berwenang untuk mengurus dan membereskan maupun menguangkan harta kekayaan yntuk membayar utang debitur pailit.55

1. Permohonan kurator sendiri

Kurator diangkat oleh pengadilan bersamaan dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Jika debitur atau kreditur yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan bertindak selaku kurator. Ketentuan Pasal 71 ayat (1) memungkinkan pengadilan untuk setiap saat mengabulkan usul penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator dan mengangkat kurator lain dan/atau mengangkat kurator tambahan atas:

2. Permohonan kurator lainnya jika ada

3. Usul Hakim Pengawas

4. Permintaan debitur pailit.

Seorang Kurator atau pihak yang telah ditentukan dalam Undang-undang

55

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, jika ingin mengganti seorang Kurator ia harus mengajukan permohonan tersebut ke Pengadilan Niaga. Atas permohonan tersebut Pengadilan Niaga kemudian memanggil dan mendengar Kurator yang bersangkutan. Dan setelah itu pengadilan mengambil

keputusan untuk mengangkat Kurator lain sebagai pengganti Menurut Aria Suyudi "ada dua mekanisme yang dapat dilalui dalam proses penggantian Kurator".56 Proses yang pertama57

c. atas usulan Hakim Pengawas adalah:

a. atas permintaan Kurator sendiri;

b. atas permintaan Kurator lainnya, jika ada; 58

56

Aria Suyudi, Op. Cit, hlm. 112

57

Menurut Ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU KPKPU yaitu proses dimana Pengadilan dapat mengabulkan usul penggantian Kurator, mengangkat Kurator lain, dan atau mengangkat Kurator tambahan, setelah memanggil dan mendengar Kurator:

a. atas permintaan Kurator sendiri;

b. atas permintaan Kurator lainnya, jika ada; c. atas usulan Hakim Pengawas;

d. atas permintaan Debitor yang pailit

58

Menurut ketentuan Pasal 90 UU KPKPU Hakim Pengawas dapat mengadakan rapat Kreditor tersebut apabila dianggap perlu atau atas permintaan:

a. panitia Kreditor; atau

b. paling sedikit 5 (lima) Kreditor yang mewakili 1/5 (satu per lima) bagian dari semua piutang yang diakui atau diterima dengan syarat.

; d. atas permintaan Debitur yang pailit

Proses yang kedua ialah proses saat pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat Kurator atas permintaan Kreditur konkuren berdasarkan putusan rapat Kreditur dengan persyaratan putusan tersebut diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Kreditur konkuren yang hadir dalam rapat dan yang mewakili lebih dari ½ (satu per dua) jumlah piutang Kreditur konkuren yang hadir dalam rapat tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UUK PKPU.

Seorang Kurator akan mengundurkan diri, Kurator menyatakan pengunduran diri secara tertulis kepada pengadilan dengan tembusan kepada Hakim Pengawas, Panita Kreditur, Debitur atau Kurator lainnya, jika ada.59

Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Jika terjadi kesalahan atau Pengertian Kurator pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan. Kurator sendiri pada Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan disebutkan dalam kedudukannya harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.

Tugas Kurator sendiri adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Dalam melaksanakan tugas, Kurator tidak harus memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan, dan Kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, untuk meningkatkan nilai harta pailit.

59

kelalaian dalam tugas pengurusan harta pailit, Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.60

Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa pengadilan yang berwenang mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Niaga, yang merupakan bagian dari peradilan umum, mempunyai kompetensi untuk memeriksa perkara-perkara sebagai berikut:61

1. Perkara kepailiatan dan penundaan pembayaran, dan

2. Perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan yang telah ditetapkan dengan aturan pemerintah.

B. Tugas Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit Hal-hal yang termasuk dalam pengurusan harta pailit antara lain:62

1. Segera setelah menerima penetapan/putusan kepailitan dari Pengadilan Niaga, berdasarkan Pasal 13 ayat (4) Undang- Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang kepailitan tersebut dalam Berita Negara Repulik Indonesia serta dalam sekurangkurangnya 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, hal-hal sebagai berikut ini:

a. ikhtisar pusan pernyataan pailit;

60

61

Munir Fuady, Op. Cit. hlm 35

62

Usman Rangkuti, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau PKPU, dalam: Rudhy A. Lontoh, dkk (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 382.

b. identitas, alamat dan pekerjaan debitur;

c. identitas, alamat dan pekerjaan anggota panitia sementara kreditur, apabila telah ditunjuk;

d. tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur, dan e. identitas Hakim Pengawas.

2. Mengadakan atau membuat pencatatan/pendaftaran harta kekayaan dari si pailit dan memisah-misahkan barang-barang yang cepat rusak karena barang-barang yang cepat rusa/busuk akan dapat dijual secepatnya untuk menghindari kerugian pada harta pailit, hal ini dapat dilakukan atas persetujuan Hakim Pengawas.

3. Memanggil si pailit untuk meminta keterangan sebab-sebab menjadi pailit,apakah ada perjanjian kawin atau tidak, usaha apa yang dijalankan, kemungkinan untuk dapat dijalankan usaha tersebut, dan sebagainya.

4. Mengirim surat kepada kantor surat-surat yang beralamat kepada sipailit, untuk selanjutnya dialamatkan kepada Kurator.

5. Memanggil kreditur/debitur untuk menagih/membayar utangutangnya sambil membawa bukti-bukti tagihan.

6. Membuat daftar kreditur/debitur sementara

7. Mengajukan kepada Hakim Pengawas, hari, tanggal, ditetapkannya rapat verifikasi. Dalam pengumuman rapat/verifikasi harus ditetapkan tempat dan tanggal di mana akan diadakan rapat verifikasi. Dalam rapat verifikasi dapat terjadi dimajukanya

Accoord (perdamaian) dan tidak dimajukanya Accoord hingga si pailit benar-benar dalam keadaan insolvensi.

8. Apabila si pailit sudah benar-benar dalam keadaan insolvensi,kreditor membuat suatu daftar tetap dari utangpiutang yang diakui dan didaftar ini harus disahkan Oleh Hakim Pengawas. Daftar tersebut ditempelkan di Pengadilan untuk dapat dilihat oleh para kreditor maupun Debitor.

Hal-hal yang termasuk dalam pemberesan harat pailit antara lain: 1. Melakukan penjualan secara lelang maupun dibawah tangan harta pailit;

2. Membayar pajak (PPN) sebesar 5% dari harga jual yang tertera dalam akta jual bela kepailitan Kantor Pajak setempat

3. Membayar terlebih dahulu upah karyawan dari perusahaan si pailit apabila ada; 4. Membayar pajak kalau masih ada hutang pajak dari usaha si pailit;

5. Membayar upah/biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator yang harus ditetapkan oleh Hakim Pengawas;

6. Setelah semua biaya-biaya sudah dikeluarkan, dan kreditur-kreditur preferen juga sudah dibayar, sisa harta pailit dibagikan kepada para kreditor konkuren dengan berpedoman pada besarnya tagihan masing-masing;

7. Membuat perhitungan dan pertanggung jawabanatas semua pengeluaran dan pemasukan uang selama pengurusan dan pemberesan harta pailit. Perhitungan dan pertanggung jawaban dimaksud harus disetujui dan disahkan oleh Hakim Pengawas; 8. Mengiklankan kembali yang telah selesai tersebut dalam surat kabar dan dengan

demikian berakhirlah pekerjaan kurator.

Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitur sejak putusan itu dikeluarkan dimasukkan ke dalam harta pailit. Undang-Undang kepailitan memang tidak memberikan ketentuan yang eksplisit mengenai dimasukkannya harta debitur ke dalam, atau berubahnya status harta debitur menjadi harta pailit setelah putusan pernyataan pailit oleh pengadilan. Hal itu hanya tersirat dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Kepailitan. Istilah “harta pailit” atau aslinya dalam bahasa Belanda disebut

“faillieten boedel”, dipakai di dalam berbagai Pasal-Pasal Undang-Undang Kepailitan.63 Menurut Pasal 19 Faillissements Verordening dan Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

63

Sutan Remi Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta: Penerbit PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm.197

kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu diputuskan maupun terhadap semua kekayaan yang diperoleh oleh debitur selama debitur berada dalam kepailitan, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Mengingat ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut diatas, maka harta kekayaan debitor bukan saja terbatas pada harta kekayaan berupa barang-barang tetap seperti tanah, tetapi juga barang-barang bergerak, seperti perhiasaan, mobil, mesin-mesin, bangunan. Termasuk pula barang-barang yang berwujud maupun yang tidak berwujud seperti piutang/tagihan. Termasuk bila di dalamnya adalah barang-barang, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang berada di dalam penguasaan orang lain yang terhadap barang-barang itu debitur memiliki hak seperti barang-barang debitor yang disewa oleh pihak lain atau yang dikuasai oleh orang lain secara melawan hukum atau tanpa hak. Kreditur dalam melaksanakan pemberesan harta pailit memiliki tugas dan kewenangan di antaranya :

a. Setelah kepailitan dinyatakan dibuka kembali, Kurator harus seketika memulai pemberesan harta pailit. (Pasal 175 UUK PKPU)

b. Memulai pemberesan dan menjual harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan Debitur. (Pasal 184 UUK PKPU)

c. Memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap benda yang tidak lekas atau sama sekali tidak dapat dibereskan. (Pasal 185 UUK PKPU)

d. Menggunakan jasa bantuan Debitur pailit guna keperluan pemberesan harta pailit, dengan memberikan upah. (Pasal 186 UUK PKPU)

Setelah dilakukan pemberesan terhadap harta pailit, maka kemungkinan akan terjadi suatu kondisi bahwa harta pailit tersebut mencukupi untuk membayar utang-utang Debitur kepada para Krediturnya atau sebaliknya harta pailit tidak dapat mencukupi pelunasan terhadap utang-utang Debitur kepada para Kreditur. Dalam hal harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang Debitur pailit kepada para Krediturnya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi atau pemulihan status Debitur pailit menjadi subjek hukum penuh atas harta kekayaannya, hal ini sesuai dengan isi Pasal 215 Undang-Undang Nomor 37 Tahun tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Syarat utama adanya rehabilitasi adalah bahwa si pailit telah membayar semua utangnya pada Kreditur dengan dibuktikan surat tanda bukti pelunasan dari para Kreditur bahwa uang Debitur pailit telah dibayar semuanya. Putusan pengadilan mengenai diterima atau ditolaknya permohonan rehabilitasi adalah putusan final dari upaya hukum terhadap putusan tersebut.

C. Kewenangan Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Kurator memiliki peran utama dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit demi kepentingan Kreditur dan Debitur itu sendiri. Dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diberikan defenisi "Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur pallit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini". Pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada Kurator yang diangkat oleh Pengadilan, dengan diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjukoleh Hakim Pengadilan.

Untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, seorang Kurator perlu memilah kewenangan yang dimilikinya berdasarkan undang-undang, yaitu:

1. Kewenangan yang dapat dilaksanakan tanpa diperlukannya persetujuan dari instansi atau pihak lain;

2. Kewenangan yang dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari pihak lain, dalam hal ini Hakim Pengawas.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, Kurator paling tidak harus mempunyai kemampuan antara lain:

1. penguasaan hukum perdata yang memadai; 2. penguasaan hukum kepailitan;

3. penguasaan manajemen (jika Debitur pailit, apakah perusahaan masih dapat diselamatkan kegiatan usahanya atau tidak); dan

4. penguasaan dasar mengenai keuangan.

Kemampuan tersebut idealnya harus dimiliki oleh seorang Kurator karena dalam praktiknya masih ada beberapa Kurator yang kurang maksimal dalam pengurusan dan pemberesan budel pailit atau seringkali Kurator tidak didukung sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan due diligent dan/atau penelitian terhadap laporan keuangan Debitur pailit sehingga budel pailit pun menjadi tidak maksimal.64

64

Imran Nating, Op Cit. hlm. 13

Pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak Debitur dinyatakan pailit. Kurator yang ditetapkan dalam putusan pailit segera bertugas untuk melakukan pengurusan dan penguasaan boedel pailit, dibawah pengawasan hakim pengawas, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum baik berupa kasasi ataupun peninjauan kembali. Kurator dalam

kepailitan adalah pihak yang telah ditetapkan oleh undang-undang untuk melakukan penguasaan dan pengurusan harta pailit.

Dalam tahapan kepailitan, ada satu lembaga yang sangat penting keberadaannya, yakni kurator. Kurator merupakan lembaga yang diadakan oleh undang-undang untuk melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Vollmar dalam buku Hadi Subhan mengatakan bahwa “ De kurator is belast, aldus de wet, met het beheer en de vereffening van de failliete boedel “ (kurator adalah bertugas, menurut undang-undang, mengurus dan membereskan harta pailit). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah menunjuk kurator sebagai satu-satunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pemberesan termasuk pengurusan harta pailit. Secara umum hal tersebut dinyatakan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merumuskan “seluruh gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan Debitur pailit, harus diajukan terhadap atau oleh Kurator”.

Kurator diangkat oleh pengadilan dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Jika Debitur atau Kreditur yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak selaku Kurator. Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator atas harta pailit milik Debitur pailit tidak dimonopoli oleh BHP sebagai satu-satunya Kurator, melainkan juga dibuka kemungkinan bagi pihak lain untuk turut menjadi Kurator bagi harta pailit, dengan ketentuan bahwa pihak tersebut haruslah :

1. Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit; dan

2. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman.

Penjelasan UUK PKPU ada menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keahlian khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan kurator dan pengurus, jadi tidak semua orang bisa menjadi kurator, sehinga jika seseorang untuk menjadi kurator, maka orang tersebut harus memenuhi syarat ketentuan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusi (HAM) RI.No.M.01.HT.05.10 tahun

Dokumen terkait