• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. IKHTIAR DAN TAKDIR

B. Pandangan beberapa Aliran Ilmu Kalam

Dalam disiplin ilmu kalam istilah qadariyah dipakai bagi nama suatu aliran yang memberikan penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya14. Istilah qadariyah mengandung dua arti. Pertama, qadariyah yang berasal dari kata qadara yang berarti berkuasa. Qadariayah dalam pengertian pertama ini adalah mereka yang memandang manusia berkuasa dan bebas dalam perbuatannya15. Kedua, qadariyah berasal dari kata qadara tetapi dengan arti menentukan. Qadariyah dalam pengertian ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan sejak zaman azali. Dalam pembahasan ini, qadariyah yang dimaksud adalah pengetian pertama, sedangkan pengetian kedua seperti dikenal dalam sejarah ilmu kalam yang disebut Jabariyah.

13 Kamil Y. Avdich,

Meneropong Doktrin Islam, pen. Shonhadji Sholeh, Cet I, (Bandung: Alma’arif, 1987), h. 32

14 M. Yunan Yusuf,

Alam pikiran Islam: Pemikiran Kalam (Jakarta: BPKM, 1990), h. 21 15 M. Dawam Raharjo, Insan Kamil: konsep manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafiti

44

Paham qadariyah kelihatannya ditimbulkan pertama kali oleh seorang yang bernama Ma’bad al-Juhani, menurut Ibn Nabata, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengabil paham ini dari seorang kristen yang masuk Islam di Irak. Dan menurut Dzahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’in yang baik16. Tetapi

ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abdurrahman ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj Ma’bad meninggal terbunuh dalam tahun 80 H17.

Dalam hal itu Ghailan sendiri yang terus mensyiarkan paham qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantanga dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Ghailan di hukum mati pada masa pemeritahan Hisyam ibn Abul Malik karena berkenaan pahamnya. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri manusia sendiri yang melakukan dan menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan daya sendiri. dalam hal ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauan dan kehendaknya sendiri. di sini tak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang talah ditentukan sejak zaman azali18.

16 Harun Nasution,

Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 34

17 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 34 18 Harun Nasution,

2. Aliran Jabbariyah

Aliran ini timbul bersamaan dengan timbulnya aliran Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi dari paham qadariyah. Daerah tempat timbulnya paham ini juga tidak berjauhan. Aliran Qadariyah timbul di Irak, sedangkan Jabariyah timbul di Khurasan Persia.

Jabariyah adalah infiltrasi dari paham luar Islam yang sengaja dimasukan ke dalam Islam untuk merusak keyakinan Islam. Orang Yahudilah yang mempunyai paham ini, bernama Thalut ibn A’shom, paham sengaja diinfiltrasikan ke dalam Islam pada zaman Khulafaur Rasyidin, yang disebabkan oleh Ibban ibn Sam’an dan Ja’ad ibn Dirham. Keduanya dibantu oleh Jaham ibn Shafwan (maka aliran ini dinamakan Jahamiyah). Jaham mati terbunuh pada tahun 131 H pada akhir pemerintahan Bani Umayyah19.

Dalam istilah Inggris paham Jabariyah disebut fatalism, atau prestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa pebuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan20. Menurut paham ekstrim ini, segala perbuatan manusia yang dilakukan bukan merupakan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksa atas dirinya sendiri. misalkan orang mencuri, maka perbuatannya itu bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan menghendaki demikian. Dengan kata lain, ia mencuri bukan atas kehendaknya, tetapi Tuhan lah yang memaksa untuk mencuri. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang bergerak yang hanya digerakan oleh dalang,

19 Umar Hasyim,

Seluk Beluk Takdir, (Jakarta: CV Ramadhan, 1992), cet ke 5, h. 84 20 Abudin Nata, Ilmu Kalam: Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), cet.

46

demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena gerakan Tuhan. Tanpa gerakan dari Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa21.

Aliran ini juga mengatakan bahwa Allah membuat perbuatan-perbuatan dan alat-alatnya dan sebab-sebabnya pada semua perbuatan manusia. Semua perbuatan manusia tidak ada yang muncul dari manusia, bahkan keinginan pun dari Allah. Kebaikan dan keburukan yang dikerjakan manusia adalah merupakan paksaan belaka dari Allah, yang akhirnya Allah membalasnya dengan surga atau neraka itu bukan balasan pada manusia atas kebaikan dan kejahatannya, tatapi hanyalah menunjukan bahwa Allah itu Maha Pemurah22.

3. Mu’tazilah

Walaupun Qadariyah telah lenyap dengan meninggalnya Ma’bad al-Jauhani, namun pandangan tentang qadar tidak hilang sama sekali. Pandangan takdir yang mirip dengan qadariyah dilanjutkan kembali oleh mazhab Mu’tazilah, yang dipandang sebagai aliran rasionalisme dalam Islam.

Menurut sejarah, pendiri aliran Mu’tazilah adalalah Washil ibn Atho’ (w 748), bekas murid Hasan al-Basri (w. 110 H/728 M),23 tokoh sentral dalam sejarah yurisprudensi, asktisme, dan dogma teologi Islam. Pebedaan antara Washil dan gurunya muncul setelah ia mengotak-atik pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu yang dilontarkan oleh Khawarij mengenai kedudukan seorang muslim ketika melakukan dosa besar. Dalam hal ini, Khawarij menyatakan kafir,

21 Harun Nasution,

Teologi Islam, h. 34 22 Umar Hasyim,

Memahami Seluk Beluk Takdir, h. 84

23 Kamil Y. Avdich, Meneropong Doktrin Islam, pen. Shonhadji Sholeh, Cet I, (Bandung: Alma’arif, 1987), h. 157.

sedangkan Murji’ah lebih moderat dalam menyikapi hal ini. Namun berbeda dengan kedua aliran di atas, Washil menjawab dengan cara baru tapi sulit dipahami secara jelas. Pendosa besar, katanya, harus ditempatkan pada posisi menengah antara kufur dan iman. Washil tampaknya mengatakan bahwa pendosa seperti itu, tidak lebih tidak kurang dari apa yang secara semantik disebut pendosa besar (fasiq)24.

Pandangan Mu’tazilah tentang perbuatan manusia bukan ciptaan Allah didasarkan kepada ajaran keadilan, yaitu ajaran kedua dari lima ajaran pokoknya. Washil menegaskan bahwa Allah itu bijak dan adil.25 Allah memberikan balasan

kepada manusia karena mereka adalah pelaku kebikan dan kejelekan, keimanan atau kekafiran, keta’atan atau kedurhakaan. Tuhan adalah zat yan memberikan kemampuan untuk semua itu. Sangat tidak baik jika seorang diperintahkan untuk berbuat sesuatu, sedangkan dia tidak bisa melaksanakan perintah tersebut. Mengingkari yag demikian berarti mengingkari keniscayaan26.

4. Asy’ariyah

Berbeda dengan ketiga alirfan diatas, paham ini lebih moderat dan kompromistis. Karena paham nini berupaya mengambil jalan tengah antara Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah. Paham ini didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari kelahiran basrah pada tahun 260 H. Abu Hasan merupakan mantan

24 Mulyadi Kartanegara,

“Ilmu Kalam” dalam cetakan Taufiq Abdullah et.al, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet 1, Jilid 4, h. 119-120

25 Kamil Y. Avdich,

Meneropong Doktrin Islam, h. 165.

48

penganut paham Mu’tazilah karena berselisih, lalu keluar dan memploklamirkan diri sebagai pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah27.

Menurut Asy’ariyah perbuatan manusia harus dibedakan antara pebuatan yang terpaksa dan kasb. Bentuk pertama adalah sesuatu yang berifat memaksa. Walaupun seorang berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari hal itu, ia tidak dapat keluar dari hal yang bersifat memaksa itu.28 Sedangkan bentuk kedua adalah perbuatan yang tidak mempunyai sifat-sifat keterpaksaan. Orang dapat membendakan keduanya. Dalam hal kedua terdapat ketidakmampuan. Karena dalam hal pertama terdapat kemampuan, ia tidak dapat disebut paksa, yang demikian itu dinamakan kasb.

Dokumen terkait