• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISA PEMIKIRAN MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN

A. Pemikiran Muhammad al-Ghazali

Muhammad al-Ghazali berpandangan mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan ikhtiar dan takdir, apabila hadis-hadis tersebut dimaksudkan hanya untuk menjelaskan bahwa ilmu dan hukum-hukum Ilahi itu menyeru dan meliputi segalanya, dan bahwa masa-masa awal kehidupan sebagian manusia kadang berbeda dengan masa-masa akhir hidup mereka, maka tak ada keberatan untuk menerimanya. Tentu setelah ada keterangan yang menghilangkan kesalapahaman dan menjauhkan diri dari paham jabariyyah.1

Hukum-hukum Allah adalah perundangan yang baku. Al-Qur’an telah menggambarkan hukum-hukum yang berlaku bagi hidup dan kehidupan. Bentuk hukum serupa ini merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur perkembangan sejarah, sosial, psikologi, dan hukum jatuh bangunnya suatu bangsa. Hal ini biasanya digambarkan dalam kisah-kisah al-Qur’an, sebagai penegasan bahwa hukum-hukum itu berlaku untuk keseluruhan umat manusia dan ini juga harus dijadikan contoh yang jelas demi menelusuri peradaban (mengisi jagat raya sebagai tugas khalifahan manusia) sekaligus sebagai pembimbing umat manusia.2

1 Muhammad al-Ghazali,

Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, terj. Abas M. Basalamah (Jakarta, Khatulistiwa press, 2008), h. 250.

2 Muhammad al-Ghazali,

al-Qur’an Kitab Zaman Kita; Mengaplikasi pesan kitab suci dalam konteks masa kini, pen. Masykur Hakim dan Ubaidilah, (Bandung, Mizan, 2008), h. 183

62

Usaha mengungkapkan hukum-hukum alam menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan negara-negara maju berkembang begitu pesat, sebaliknya kelalaian umat Islam terhadap hukum tersebut merupakan salah satu kunci penyebab kemunduran dan kejatuhan. Umat Islam yang seharusnya menjadi pemimpin justru banyak bergantung pada negara-negara maju.3

Allah Swt berfirman:          

Dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi Sunnah Allah itu. (Q.S Fathir: 43).

Ini mengharuskan kita kembali melihat hakikat Islam secara keseluruhan, setelah kita tempatkan pada sebuah tantangan, yakni system tahapan pengajaran yang erat hubungannya dengan individu, kelompok, dan Negara.4

Kalau diperhatikan tidak sedikit jumlah umat Islam saat ini yang, memasuki lapangan dakwah dan berusaha melakukan purifikasi maslah-masalah akidah, padahal sejak dahulu masalah ini cukup banyak menumbulkan perdebadan dan polemic berkepanjangan.5

Jika situasi umat sekarang ini sudah mengalami banyak perselisihan mengapa harus mencari masalah pelik?, dapatkah itu dijadikan titik awal

3 Muhammad al-Ghazali,

al-Qur’an Kitab Zaman Kita; Mengaplikasi pesan kitab suci dalam konteks masa kini, h. 184

4 Muhammad al-Ghazali,

Berdialog dengan al-Qur’an, terj. Masykur Hakim dan Ubaidilah, cet IV (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 149

5 Muhammad al-Ghazali,

purifikasi. Baiknya mengajarkan hal-hal yang memang diperlukan orang-orang tentang al-Qur’an dan Sunnah.6

Lalu apakah kita hanya akan membiarkan hal itu semua sekedar mengungkapkan sejumlah hukum yang dimuat al-Qur’an dan Sunnah, umat sendiri-sekarang ini-secara kongkret lemah mengungkapkandan membuktikan tema-tema hukum itu agar dijadikan dasar pembentukan peradaban. Hukum-hukum itu antara lain:7

1. Hukum yang bertahap (hukum gradual)

Yaitu penjelasan tentang Islam secara bertahap sesuai dengan tahapan-tahapan, atau tingkatan yang dapat menghantarkan kepada Islam secara benar, dengan catatn menggunakan metode yang ditetapkan Islam, misalkan kita memperkenalkan Islam di Timur berbeda dengan di Barat, dan membicarakan Islam dihadapan para penganut Hindu, berbeda dengan membicarakan di hadapan penganut Sikh, begtupun seterusnya.

2. Hukum ajal.

Hukum ini terkadang berdekatan dengan hukum bertahap (gradual), segala sesuatu memiliki ajal (batas waktu) tertentu yang tidak mungkin dapat ditunda atau mendahului sebelum masa yang ditetapkan:

     

Tiap-tiap umat mempunyai ajal. (QS Yunus :49)

6 Muhammad al-Ghazali,

Berdialog dengan al-Qur’an, h. 149 7 Muhammad al-Ghazali,

64

Misalnya para ilmuan sosiologi menentukan umur perubahan suatu generasi antara 25 sampai 30 tahun.

3. Hukum jatuh bangunnya peradaban.

Kalau kita mengingat perang Uhud, dan kelalaian kaum Muslim terhadap hukum alam, sehingga mereka jatuh dan meyebankan kekalahan.

4. Hukum pembelaan.

Inilah hukum kemasyarakatan yang mengatur kelompok manusia dan tetap mempengaruhi tindakan manusia, karena manusia di dalam kehidupannya tidak boleh melepaskan usaha pembelaan yang besar kemungkinan menambah tinggi getaran iman serta menggerakan potensi-potensi internal lainnya di saat datang benturan-benturan dan konflik internal. Hal semacam inilah yang menjadi penyebab adanya rasa optimis dalam kehidupan kita menuju kehidupan yang baru.

5. Hukum Pragmatis-Fungsional

Salah satu dari hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya ini adalah hukum pragmatis-fungsional dan hukum adanya perubahan pada diri manusia. Terbaginya manusia pada bidang-bidang keahlian juga termasuk dalam hukum ini, dan Allah menciptakan alam raya ini hal itu mendorong untuk manusia berpikir dengan menggunakan keahlian dan pengetahuan untuk mengatur semuanya.

Manusia merupakan makhluk yang terpaksa dan bebas sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia dalam kondisi terpaksa karena terbatasnya kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya serta kondisi lingkungannya. Namun ia juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atau sikap terhadap sesuatu. Dan

ditegaskan disini, bahwa kita tidak akan ditanya atau diminta pertanggungjawaban mengenai sesauatu yang tidak berkuasa menghindarinya dan tidak bisa memilih. Tetapi kita pasti akan ditanya tentang sikap dan tindakan kita yang kita diberi “ kebebasan untuk memilih” (free choice) antara melakukan dan tidak.8

Banyak orang gemar mencampur adukan kedua hal tersebut. Dan perdebatan mengenai hal itu sangat tak berharga dan bahkan merupakan penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kita mungkin perlu waktu cukup panjang untuk menghadapi orang-orang seperti itu.

Demi sesuatu hikmah yang kita tidak ketahui, Allah Ta’ala telah berkehendak menciptkan kita, lalu membebani kita denga taklif . sebagaimana Allah Swt berfirman:                   

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (al-Mulk : 2)

Maka sangat aneh kalau ada pernyataan bahwa hidup ini hanya sandiwara yang menipu. Dan bahwa taklif (kewajiban dari Allah) adalah main-main, bukan sungguhan. Dan manusia digiring kepada nasib mereka yang telah ditentukan sejak azali, secara sukrala atau terpaksa, juga pernyataan bahwa para Rasul diutus tidak untuk menyanggah alasan ketidaktahuan sebagaian manusia. Bahkan para rasul itu sendiri merupakan bagian dari penipuan itu, untuk menyempurnakan adegan-adegan dalam sandiwara tersebut.

8 8 Muhammad al-Ghazali,

Sunnah Nabi; dalam pandangan ahli fikih dan ahli hadis, h. 245.

66

Kebanyakan umat muslim justru cenderung membenarkan kebohongan seperti itu. Bahkan banyak kaum muslimin mempercayai akidah Jabariyyah

(fatalisme) itu secara sembunyi-sembunyi. Namun demikian, karena malu kepada Allah, mereka mencoba menutupi akidah keliru tersebut dengan ikhtiar yang lemah dan keraguan.

Kerancuan berfikir itu tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa “hadis”, yang bahkan memperkuat pikiran keliru tersebut. Atau dengan kata lain “hadis-hadis” itu turut menjadi penyebab rusaknya pemikiran Islam serta runtuhnya peradaban dan etos kerja masyarakat .

Dokumen terkait