• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hukum Islam Terhadap Argumentasi Hukum Dalam Peninjauan Kembali Kasus Munir

Substansi dibentuknya hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social engineering) agar suatu komunitas masyarakat dapat menjalankan kehidupan sehari-hari dengan baik, karena dengan adanya peraturan hukum yang baik diharapkan suatu masyarakat dapat tertata secara tertib dan damai, serta terpenuhinya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh jaksa ketika melakukan permohonan PK terhadap terdakwa Pollycarpus dalam kasus pembunuhan Munir, adalah suatu upaya hukum agar substansi dan tujuan daripada hukum dapat dicapai, meski dengan cara-cara yang “liberal” dan menggunakan argumentasi hukum yang seolah-olah melanggar ketentuan hukum.

Menurut penulis argumentasi hukum yang diajukan jaksa dalam mengajukan PK terhadap Pollycarpus pada kasus pembunuhan Munir benar-benar berangkat dari penemuan bukti-bukti baru yang dapat menunjukkan siapa dalang dibalik terbunuhnya Munir, yang mana jika ini tidak diproses dapat melukai rasa keadilan dan melemahkan wibawa lembaga peradilan.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP memberikan limitasi bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, namun pasal ini ditafsirkan secara ekstensif mengingat pasal 263 ayat 3 mengandung disparitas dengan seolah-olah memberikan peluang kepada selain terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK. Mengapa perlu ditafsirkan secara ekstensif adalah mengingat bahwa bukti baru yang ditemukan begitu kuat, sementara Pollycarpus telah diputus bebas dalam sidang kasasi, sedangkan secara formil habis sudah upaya hukum bagi jaksa untuk melanjutkan persidangan, dan pihak Polly tak mungkin mengajukan PK bagi dirinya yang telah diputus bebas.

Dalam kasus konspiratif dan pelik semacam ini memang seorang hakim ataupun jaksa tidak bisa semata-mata mengikuti alur berfikir yang teramat positifistik karena cara berfikir semacam ini dapat menyesatkan,31 pada bab terdahulu penulis sudah memaparkan bahwa pasal 263 merupakan pasal yang memang kontroversial, untuk mengurainya ada beberapa teori hukum yang dapat digunakan yaitu, legislative history dan general public purpose yang mana dengan menggabungkan kedua teori tersebut jaksa dapat menafsirkan undang-undang bahkan menafsirkan undang-undang-undang-undang secara bebas atau liberal,32 jika memang undang-undang yang ada tidak mampu menyelesaikan persoalan hukum yang rumit dan pelik.

31 Andre Uta Ujan dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr,

(Jakarta : KASUM, 2009), hal. 53-56

Dalam dunia akademis ada beberapa aliran atau yang dikenal dengan madzhab hukum, diantaranya kita kenal dengan madzhab Positivistik, yaitu aliran hukum yang mendasarkan hukum pada kondisi faktual dan empiris, dalam aliran ini dikenal adanya pemisahan antara kondisi faktual dan normatif-dalam aras formal, artinya sebuah fakta tidak serta merta menuntut adanya sebuah keharusan, lebih lanjut menurut aliran ini, hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi tujuan yang ingin dicapai dari adanya hukum dan juga hukum yang secara prosedural normatif memenuhi terciptanya sebuah hukum.33 Prinsip inilah yang tidak dipahami secara mendalam dari teori ini.

Sehingga dalam proses implementasinya madzhab positivistik dikenal cenderung dogmatis dan sangat legal formal sehingga fakta yang ada tidak serta merta bisa merubah keadaan formal hukum yang tidak sesuai dengan aturan yang tertulis, cara berfikir yang terlalu positivistik semacam ini membuat manusia harus masuk dalam kerangka hukum atau dengan kata lain hukum yang menguasai manusia dan bukan sebaliknya. Sesungguhnya yang dikehendaki adalah, substansi dari tujuan hukum itu sendiri, sehingga jika terdapat aturan yang dirasa tidak memenuhi asas keadilan maka tak ada alasan untuk tidak melakukan penafsiran atau bahkan perubahan terhadap aturan hukum, karena hukum dibuat adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

33 Antonius Cahyadi, E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta :

Apa yang dilakukan oleh jaksa dalam kasus ini harus dipandang dalam kerangka yang proporsional, dimana inti dari suatu proses peradilan adalah ditemukannya kebenaran, meski hal inipun tetap akan menyisakan persoalan. Dalam kasus pengajuan PK yang dilakukan oleh jaksa terhadap Pollycarpus menyisakan satu pertanyaan serius yaitu bahwa dengan diterobosnya ketentuan formil maka kepastian hukum menjadi dipertanyakan. Barangkali pertanyaan ini dapat kita jawab manakala kita kembali merujuk pada nilai-nilai filosofis dibentuknya hukum yakni agar kedamaian dan ketenteraman dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dapat dijaga, dengan pandangan ini maka barangkali tidaklah berlebihan jika dengan ditemukannya kebenaran juga merupakan kepastian hukum itu sendiri.

Beberapa argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa dalam upaya mengajukan PK terhadap terdakwa Pollycarpus antara lain :

1. Pasal 263 KUHAP.

2. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP: Tidak adanya larangan bagi JPU untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, oleh karena itu JPU dapat melakukan permohonan PK.

3. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan, atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil. Oleh karena itu, KUHAP harus secara maksimal digunakan dengan melenturkan atau mengembangkan atau menafsirkan secara ekstensif ketentuan-ketentuannya, in casu 263 KUHAP.

4. Pembacaan Pasal 263 (2) KUHAP secara harafiah mengakibatkan terdakwa tidak dapat lagi diapa-apakan meskipun kemudian ditemukan novum yang dapat dipergunakan untuk membuktikan perbuatan pidana dan kesalahan terdakwa. Supaya adil, ayat tersebut hendaknya dibaca secara a contrario,

5. Perlu pergeseran perspektif hukum acara dari offender oriented menjadi victim oriented, dari keadilan retributif menjadi restoratif/sosiologis. Upaya hukum dalam hal ini merupakan mekanisme perlindungan korban kejahatan dalam lingkup prosedural ketika peradilan sering tidak memenuhi rasa keadilan. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, termasuk PK, JPU mewakili kepentingan masyarakat, kolektif maupun individual.

6. Atas dasar Asas Keseimbangan Hak, JPU harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan PK. Hal ini sesuai dengan Model Keseimbangan Kepentingan yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara, umum, individu, pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.

7. Dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, JPU lah pihak yang mengajukan PK. Hal ini sejalan dengan Pasal 263 (3) KUHAP perihal PK terhadap putusan yang menyatakan dakwaan terbukti tapi tidak diikuti pemidanaan. PK pasti tidak diajukan oleh terpidana karena tidak adanya pemidanaan, jadi oleh JPU. Tidak adil bila terdakwa telah melakukan tindak pidana tetapi tidak dapat dihukum karena alasan formal.

8. Untuk memperoleh penyelesaian perkara yang lebih fair dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi (“according to the principle of justice”) MA telah melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk growth of meaning atau melakukan

overrule terhadap ketentuan-ketentuan imperatif dalam KUHAP.

9. Meskipun hukum acara pidana tidak menganut Asas Kekuatan Mengikat dari Preseden (binding force of precedent), namun untuk memelihara keseragaman putusan (consistency in court decision), MA dalam perkara PK berikutnya telah cenderung mengikuti putusan perkara PK terdahulu. Putusan-putusan a quo merupakan pedoman dalam memeriksa dan mengadili perkara yang sama, sekaligus sumber hukum dan pembentukan hukum.

10.MA telah beberapa kali menerima permohonan PK oleh JPU, yaitu:

• Perkara atas nama terdakwa Muchtar Pakpahan (Putusan MA Nomor: 55PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996)

• Perkara atas nama terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram (Putusan MA Nomor: 3PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001)

• Perkara dengan terdakwa Soettiyawati alias Ahua binti Kartaningsih (Putusan MA Nomor: 15PK/Pid/2006 tanggal 9 Juni 2006).

Beberapa argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa dalam pengajuan PK ini adalah dilakukannya penafsiran secara ekstensif oleh jaksa terhadap pasal 263, yang mana hal ini didasarkan pada yurisprudensi MA RI yang telah melakukan penafsiran secara ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau

overrule, yang mana hal ini adalah diskresi demi memenuhi rasa keadilan. Juga perlu menggeser perspektif offender oriented menjadi victim oriented, dari keadilan retributive menjadi keadilan restorative atau sosiologis.34

Sekali lagi bahwa aturan administrasi hukum acara pidana tidak kita dapati secara valid dalam khazanah hukum Islam, maka untuk mengkaji bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap argumentasi hukum dalam PK kasus Munir, nampaknya penulis harus menghubungkannya dengan prinsip-prinsip dalam hukum Islam.

Yang menjadi kontroversi dalam proses pengajuan PK terhadap terdakwa Pollycarpus adalah tentang argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa, yakni dengan menafsirkan pasal 263 KUHAP secara ekstensif.

Jika dalam teori hukum umum kita dapati teori to growth the meaning

(mengembangkan maksud undang-undang) atau overrule, yang dapat mana hal ini membuat undang-undang dapat ditafsirkan secara ekstensif demikianlah anjuran dari MA. Dalam kaidah fiqih35 juga terdapat suatu teori yang menyatakan ﹸﺔﱠﻘﺸﻤﹾﻟﹶﺍ

ﻟﱠﺍ ﺐﻠﺠﹶﺛ ﺘﻴ ِﺴ

ﻴﹺﺮ (kesulitan itu membawa kemudahan) dari kaidah pokok ini melahirkan

34 Risalah Kasus Munir………..283

beberapa kaidah cabang antara lain kaidah yang menyatakan ﻊﺴﺘﻟﺍ ﻕﺎﺿ ﺍﹶﺫ ﺍ ﻣﺮ ﹶﺍﹾﻟﹶﺎ

(sesuatu itu apabila sempit, maka menjadi luas), Dengan demikian penafsiran secara ekstensif terhadap pasal 263 sesuai dengan kaidah fikih ini. Jaksa menafsirkan pasal 263 secara ekstensif karena hukum formil yang ada dirasa mempersempit ruang gerak lembaga peradilan untuk memperjuangkan keadilan bagi korban Munir, sedangkan bukti baru yang ditemukan sangat kuat.

Dari informasi diatas kiranya kita dapati bahwa terobosan hukum serta argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa dalam penuntasan kasus Munir merupakan upaya hukum yang sudah memperhatikan aturan-aturan hukum yang ada.

Bagaimana mungkin seorang hakim bisa tidur nyenyak manakala ada seorang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman, dan bagaimana pula seorang hakim bisa tidur dengan nyenyak manakala seorang yang bersalah berkeliaran bebas ditengah-tengah masyarakat. Demikianlah sebuah petuah mengingatkan.

82

A. Kesimpulan

“...bahkan apabila masyarakat politik bersepakat membubarkan diri, harus dipastikan bahwa orang terakhir yang sudah dinyatakan bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya, ini penting agar pelaku kejahatan tidak dibiarkan berbaur dengan anggota masyarakat lainnya hanya karena masyarakat gagal menghukumnya” (Imanuel Kant).1 Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting yang menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas yang memadai, serta masyarakat yang baik pula.2

Demikian penting arti dari sebuah penegakan supremasi hukum, karena hukum merupakan alat untuk mencapai tujuan agar penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia bisa dicapai dan dijaga. Untuk itulah hukum acara atau hukum formil disusun sedemikian rupa sebagai upaya untuk memberikan

1 Andre Ata Ujan Ph.D, Mengevaluasi Argumen Dalam Kasus Hukum H. Muchdi Puwopranjono, Sebuah Persepsi Filosofis, Dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, ( Jakarta : KASUM, 2009), hal : 52

2 Dr. Soerjono Soekanto SH.,MA dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1980), hal. 13-18.

keadilan pada hukum materiil, karena keadilan yang bersifat materiil lebih penting untuk dipenuhi daripada keadilan formil, sehingga jika hukum formil sudah tidak mampu lagi memberikan keadilan materiil, maka hukum formil haruslah dirubah sehingga memenuhi keadilan materiil.

Berbicara mengenai PK tentu kita akan berbicara mengenai Pasal 263 karena pasal inilah yang dijadikan rujukan awal yang mengatur seluk beluk PK. Pasal 263 juga harus tetap dipandang sebagai upaya untuk melindungi terdakwa dalam sebuah proses persidangan, karena terdakwa dalam hal ini berperkara dengan negara yang menurut Ibn Khaldun memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk memaksa, sehingga apapun kondisi dan seberapapun besar kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa, dia harus tetap benar-benar dilindungi, hal ini sebagai perwujudan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif terhadap undang-undang perlu dilakukan jika undang-undang formil yang ada belum cukup untuk menuntaskan kasus yang ada, ini penting karena ini untuk memenuhi rasa keadilan.

Jaksa selain sebagai perwakilan negara juga mewakili kepentingan umum. Dalam konteks kasus Munir Jaksa memiliki kewajiban memenuhi keadilan pada terdakwa sekaligus terhadap keluarga Munir, karena pembunuhan Munir merupakan konspirasi yang melibatkan negara. Kasus ini terbilang sebagai kasus yang kompleks dan berat sehingga hakim tidak bisa semata-mata mengikuti alur berfikir linear formal, karena seringkali cara berfikir semacam ini dapat

menyesatkan, sehingga pada kasus-kasus semacam ini hakim tidak hanya dituntut untuk cerdas tetapi juga memiliki moral dan dedikasi yang tinggi terhadap kebenaran dan keadilan, hingga pada titik tertentu, melalui analisa yang komprehensif hakim dapat melakukan terobosan hukum yang waras demi tercapainya keadilan materiil.

Pengajuan PK dengan menerobos pasal 263 sebagai upaya penuntasan kasus Munir patut diapresiasi dengan baik, mengingat bukti yang diajukan dalam persidangan PK begitu kuat, terlepas dari berbagai kontroversinya. Ini sebagai preseden bahwa hukum harus ditegakkan tidak peduli bahwa terdakwa terlibat dengan aparatur negera atau dengan dalih menjalankan tugas negara.

Tentang kontroversi penerobosan jaksa terhadap pasal 263 memang logis. Benar bahwa pada ayat 1 pasal 263 memberikan batasan tentang siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali, tetapi ayat 3 pasal 263 memberikan peluang kepada jaksa karena jika ditemukan bukti baru yang kuat seorang terdakwa tidak akan mau mengajukan PK bagi dirinya sendiri yang sudah diputus bebas.

Bahwa baik prosedur maupun argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa dalam mengajukan PK adalah dengan menggunakan undang-undang sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa sudah memenuhi kaidah dalam hukum Islam, yakni bahwa “dalam memproses dan memutuskan suatu perkara hukum tidak boleh menyederhanakan kaidah hukum secara gegabah juga tidak boleh mempersempit hukum” kaidah inilah yang harus diteladani dari percakapan

Nabi dengan Mu’adz bin Jabal. Begitu juga dengan argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa dalam menafsirkan pasal 263 secara ekstensif untukl mengajukan PK bisa kita dapati “padanannya” dalam hukum Islam.

Dengan demikian upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa dalam menuntaskan kasus pembunuhan Munir, dapat dikatakan memenuhi beberapa kaidah dalam hukum Islam. Tetapi yang menggembirakan dalam upaya PK yang dilakukan oleh jaksa adalah, bahwa jaksa berhasil membuktikan independensinya, ditengah sistem peradilan kita yang masih belum sepi dari campur tangan penguasa.

B. Saran

1. Pengkajian terhadap konsep hukum acara pidana dalam hukum Islam tetap harus dilanjutkan, karena belum ada literatur yang menjelaskan secara berani bahwa hukum acara dalam hukum Islam tidak ada.

2. Pasal 263 harus tetap dalam kerangka melindungi terdakwa, karena terdakwa berhadapan dengan negara dengan segala kekuasaannya. Meski dalam kasus tertentu tidak harus selalu demikian.

3. Dalam menerapkan sebuah aturan hukum sebaiknya jangan terlampau positifistik formal, mengingat aturan hukum formil tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan dalam mengungkap kebenaran materiil.

4. Memenuhi kebenaran materiil adalah tujuan diadakannya proses persidangan, sehingga kebenaran formil harus diutamakan.

5. Dilakukanya perbaikan pada aturan-aturan hukum yang masih rancu, serta peningkatan profesionalitas di lingkungan peradilan, hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi prasyarat terbentuknya masyarakat yang sehat, karena jika syarat-syarat terbentuknya masyarakat yang sehat tidak dapat terpenuhi secara keseluruhan, setidaknya aturan dan penegak hukumnya haruslah benar-benar sehat. Karena dalam hal ini negara memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih besar dalam proses sosial engineering ke arah yang lebih baik.

6. Independensi lembaga peradilan harus di tingkatkan, karena tanpa independensi yang penuh dari lembaga peradilan, maka mustahil lembaga peradilan dapat membuat keputusan yang menenteramkan masyarakat.

87 Akademika Pressindo, 2004

Amin, Darori. Islam dan Kebudaya Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2000

An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa Ahmad Suaedy, Amirudin ar-Rany, (Yogyakarta : LKIS, 2004

Apeldoorn, Prof. Dr. Mr. L.J. Van Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1996

Arikunto, Prof. Dr. Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi V. Jakarta : Rineka Cipta, 2002

Bahry, Zainul, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, Bandung: Angkasa, 1996

Bisri, Drs. Moh. Adib, Terjemah Al-Faraidul Bahiyyah, Kudus : Menara Kudus, tt

Cahyadi, Antonius, M. Manulang, E. Fernando, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007)

Daud, Abu, Sunan Abu Daud ,juz 6,Kairo : Dar el-Hadits, 2001

El Fadl, Khaled M, Abou. Atas Nama Tuhan, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004

Friedman, Lawrence M, Sistem HukumPerspektif Ilmu Social, Alih Bahasa : M Khozim, Bandung : Nusa Media, 2009

Gilissen, Prof. Dr. Emeretus John, Gorle, Prof. Dr. Emeretus Frits, Sejarah Hukum, Alih Bahasa : Drs. Freddy Tengker, SH., CN, Bandung : Refika Aditama, 2007 Harahap, S.H, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jakarta,

Sinar Grafika, 2006

Harahap, S.H, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta : Sinar Grafika, 2005

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang, 2005 Hamzah, Dr. Andi. KUHP & KUHAP. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004

Khaldun, Ibn. Muqaddimah. Penerjemah: Ahmadie Toha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2006 Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Dr. H. Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan

Peradilan, (Jakarta : Kencana, 2007),

Mujieb, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002

Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES, 1985

Scacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. Penerjemah : Joko Supomo. Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003

Simon S.H dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban Seri Buku Saku , Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Kontras Aceh, Catholic Agency for Overseas Development, t.t

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002

Soekanto SH.,MA, Dr. Soerjono dan Abdullah Mustafa, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta : CV. Rajawali, 1980

Soetcipto, Adi Andojo, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali Putusam MA, Dalam Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir (KASUM),

Risalah Kasus Munir,Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007

Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008 Tanusubroto, S. Dasar-dasar hukum acra pidana. Bandung: C.V. Armico, 1989

Zahrah, Muhammad Abu, Imam Syafi’I, Penerjemah : Abdul Syukur, Ahmad Rivai Uthman, Jakarta : Lentera, 2007

Data Dari Media Internet :

http://www.hukumunsrat.org/uu/uu_4_04.htm http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita http://www.kontras.org/munir/sidang.php http://ad.detik.com/link/peristiwa/prs-relion.ad Detikcom http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita http://www.nu.or.id/page.php