SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Amiril Mujahidin
NIM : 102043124906
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
H. Zubair Laini, SH Asmawi, M.Ag
NIP : 197210101997031008
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Metode Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II DESKRIPSI YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI A. Pengertian Peninjauan Kembali ... 14
B. Peninjauan Kembali Menurut Pasal 263 KUHAP ... 16
C. Peninjauan Kembali Menurut Undang-Undang No. 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ... 20
BAB III DESKRIPSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI KASUS MUNIR A. Kronologi Pembunuhan Munir ... 23
B. Proses Hukum Kasus Munir ... 28
C. Sidang Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir ... 33
KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR
A. Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam... 52
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus
Munir ... 63
C. Pandangan Hukum Islam terhadap Argumentasi Hukum Dalam
Peninjauan Kembali Kasus Munir ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 80
1
A. Latar Belakang Permasalahan
Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting yang
menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai
yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah
hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat
atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat
keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa
faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas
yang memadai, serta masyarakat yang baik pula.1
Dalam proses penerapan hukum, para penegak hukum akan selalu
menghadapi tantangan antara mengedepankan ketertiban hukum atau ketentraman
umum, dimana keduanya tidaklah kemudian menghendaki pembedaan karena
kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan. Ketertiban hukum atau tertib hukum
sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum sebagai alat dalam menerapkan
aturan hukum dan memperoleh kepastian hukum, sedangkan ketentraman umum
atau kedamaian yang menjadi cita-cita hukum, dalam beberapa kondisi kadang
tidak selalu selaras dengan kepentingan ketertiban hukum. Seringkali kedua hal
penguasa atau negara, sedangkan segi ketentraman dan kedamaian menyangkut
kepentingan warga negara.2
Salah satu contoh dalam diskursus ini adalah ketika proses peradilan dalam
kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dimana terjadi sebuah terobosan hukum
dalam proses beracara sebagai upaya penyelesaian kasus ini, dimana hal ini telah
melampaui tertib hukum acara pidana yang ada, namun hal ini dipandang perlu
untuk tetap dilakukan oleh pihak kejaksaan demi menjaga tujuan hukum yakni
mewujudkan ketenteraman dalam kehidupan warga negara, karena jika kasus ini
tidak dituntaskan secara adil maka akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat.
Maka berangkat dari asumsi apakah putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap sudah memenuhi keadilan materiil atau belum3, maka
Peninjauan kembali (PK) dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan
termohon Pollycarpus Budihari Priyanto dilakukan oleh jaksa (yang menurut
peraturan dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, PK merupakan hak bagi terpidana atau
ahli warisnya) sebagai upaya untuk menjaga wibawa lembaga peradilan. Karena
pemenuhan keadilan atas korban tindak kejahatan merupakan hal yang wajib
dipenuhi oleh negara, karena peran negara adalah melindungi dan mengayomi
2 Dr. Soerjono Soekanto SH., MA dan Mustafa Abdullah..., hal. 25-27.
kepentingan negara disatu pihak jaksa juga mewakili kepentingan korban tindak
kejahatan yang notabene merupakan warga negara yang juga harus mendapatkan
perlindungan di muka pengadilan. Mengutip keterangan Ibn Khaldun, bahwa
negara atau penguasa seringakali memiliki kecenderungan untuk menggunakan
otoritasnya untuk melakukan ketidakadilan, 5 maka negara juga membutuhkan
kontrol dari warga negara itu sendiri. Perwujudan kontrol terhadap negara
difasilitasi melalui undang-undang tentang jaminan perlindungan terhadap
keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.
Yang menarik dalam proses peninjauan kembali kasus Munir adalah, bahwa
peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak bagi
terdakwa atau ahli warisnya, namun ketentuan ini diterobos oleh jaksa penuntut
umum melalui berbagai argumentasi hukum yang akan penulis paparkan pada
bab-bab selanjutnya.
Jika dalam Pasal 263 KUHAP6 dijelaskan bahwa :
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar :
a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
4 Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1996), Cet. Ke-26, hal. 10-16.
5 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Toha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006)
Cet. Ke-6, hal. 187-190.
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Maka pasal ini diterobos oleh pihak kejaksaan dengan menggunakan undang-undang nomor 4 tahun 2004 pasal 23 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi :
Pasal 23
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Lebih lanjut pihak kejaksaan menambahkan bahwa pasal 23 ayat satu
menjelaskan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
peninjauan kembali, sehingga pasal ini mengandung penafsiran bahwa jaksa juga
memiliki hak untuk mengajukan peninjauan kembali kepada mahkamah agung.
Salah satu ketentuan atau syarat dalam mengajukan PK adalah ketika ditemukan
novum atau bukti baru dalam satu perkara pidana yang dapat mengarahkan pada
tanpa cela sebagaimana yang akan Penulis sajikan pada bab-bab selanjutnya,
Sebagai pendahuluan dalam pembahasan ini Penulis kemukakan bahwa
Peninjauan Kembali merupakan aturan hukum yang diproduksi pada zaman
kolonial belanda. Sejarah mencatat bahwa pada mulanya peninjauan kembali
dikenal dengan istilah Herziening dimana lembaga ini tidak berlaku bagi
inlander,7 namun para ahli hukum negara kita menyadari bahwa kondisi yang demikian memberikan peluang bagi penguasa atau negara untuk melakukan
pelanggaran HAM8 tanpa dapat tersentuh oleh hukum, sehingga peninjauan
kembali dirumuskan dalam rangka melindungi terpidana jika di kemudian hari
diketahui telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukuman.
Perdebatan juga terjadi seputar ayat-ayat yang ada dalam pasal 263 KUHAP
terutama ayat 3 yang menyatakan bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan. Ayat ini ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum
bahwa putusan bebas yang dalam ayat 1 pasal 263 sedianya tidak dapat diajukan
peninjauan kembali oleh pihak penuntut umum atau jaksa menjadi dapat diajukan
7 S. Tanusubroto,
Dasar-dasar hukum acra pidana, (Bandung: C.V. Armico, 1989), Cet. II, hal. 161. Inlander adalah kata yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut penduduk pribumi, yang berarti bahwa penduduk pribumi mendapatkan perlakuan yang lebih rendah daripada warga Belanda.
8 Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap hak dasar seseorang karena adanya
terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diartikan sebagai putusan bebas.9
Inilah beberapa kerancuan yang ada dalam pasal-pasal mengenai pengaturan
mekanisme PK.
Jika kita menarik persoalan peninjauan kembali ke dalam sistem hukum Islam
terlebih dahulu harus diketahui bahwa PK merupakan persoalan dalam rangka
proses beracara di muka sidang peradilan, Kesulitan dalam penulisan skripsi ini
adalah bahwa dalam perkuliahan yang sudah Penulis jalani, Penulis hanya
mendapatkan KUHPnya (hukum materiil) hukum Islam saja, tetapi Penulis belum
mendapatkan bagaimana proses beracara atau KUHAPnya hukum Islam sebagai
pedoman melaksanakan proses peradilan di muka persidangan, misalnya yang
berlangsung di beberapa dunia Islam, katakanlah Mesir atau Arab Saudi, , atau
bagaimana proses beracara pada masa Islam generasi nabi atau era sahabat nabi,
atau generasi dinasti-dinasti Islam, sehingga diperoleh preseden mengenai proses
peradilan yang berlaku di dalam hukum Islam. Sehingga ini merupakan
tantangan tersendiri, setidaknya sebagai usaha untuk belajar menggali khazanah
hukum Islam, tanpa niat sama sekali untuk mengecilkan persyaratan ijtihad yang
ditawarkan atau disyaratkan oleh ulama-ulama Islam terdahulu,10 serta sebagai
9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Jakarta,
Sinar Grafika, 2006 ) Cet. 8, Hal. 649.
10 Karena penting untuk dipahami bahwa al-Qur’an secara berulang-ulang menegaskan
hukum Islam.
Ide dalam skripsi ini adalah, bahwa dalam rangka mencari keadilan dan
kebenaran, cara-cara yang melampaui norma-norma yang bersifat positifistik
perlu untuk dilakukan karena hukum yang sudah terpositifisasi kadang sudah
tidak mampu lagi digunakan sebagai upaya mendapatkan keadilan, sementara
bukti-bukti yang dapat mengarahkan didapatkannya kebenaran secara materiil
seringkali terbentur aturan-aturan hukum yang sudah terpositifisasi.
Berdasar pada ide di atas tersebut maka Penulis ingin menelusuri sejauh mana
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan
dan kebenaran, memberikan dukungan dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu, dalam rangka proses pengungkapan
nilai-nilai dasar tersebut di depan pengadilan di dunia, sebelum mempertanggung
jawabkan semuanya di akhirat nanti.
Kronik dalam pemikiran ini menjadi sesuatu yang menarik karena Penulis
meyakini bahwa nilai dan norma dalam ajaran agama Islam mampu memberikan
ketenteraman dalam kehidupan, menjangkau dan melintasi batas ras, suku, dan
bangsa. Namun tanpa pengkajian yang mendalam, nilai-nilai universal yang ada
dalam hukum Islam menjadi sesuatu yang usang, yang pada akhirnya kita sendiri
sumber ide dalam mewarnai kehidupan dalam rangka menuju perdamaian.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang diatas didapat beberapa rumusan permasalahan
berikut ini :
1. Bagaimanakah prosedur peninjauan kembali dalam kasus Munir menurut
KUHAP ?
2. Bagaimanakah substansi argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa
terhadap upaya peninjauan kembali dalam kasus Munir ?
3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan substansi
argumentasi hukum peninjauan kembali dalam kasus Munir ?
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar maka masalah dalam skripsi
ini dibatasi dengan dua hal, yakni :
1. Pandangan hukum Islam mengenai peninjauan kembali dalam kasus Munir.
2. Ketentuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam pasal 263 KUHAP dan UU
No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
jaksa dalam pengajuan peninjauan kembali kasus Munir.
3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan
substansi argumentasi hukum dalam peninjauan kembali kasus Munir.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Pengembangan wacana bagi hukum pidana Islam.
2. Memberikan informasi tentang hal-hal terkait peninjauan kembali dalam
hukum acara pidana di Indonesia.
3. Memberikan informasi mengenai pandangan hukum Islam terhadap upaya
mencari keadilan keadilan melalui peninjauan kembali seperti yang dilakukan
oleh jaksa dalm kasus Munir.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena data-data yang
digunakan dalam skripsi ini merupakan data yang bersifat normatif doktriner,
yakni berupa perundang-undangan dan putusan pengadilan.11 Disamping data
primer tersebut, data yang akan digunakan sebagai pendukung juga merupakan
data kualitatif yang merupakan data sekunder berupa artikel, buku-buku terkait
dalam kategori penelitian kualitatif.12
Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni sebagai
upaya untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan memberikan
analisis yang cermat mengenai fenomena hukum yang ada, dimana dalam skripsi
ini akan dijelaskan mengenai upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa
atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
2. Sumber Data
Adapun data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
data-data sekunder karena merupakan data-data-data-data berupa peraturan
perundang-undangan juga buku-buku yang telah dibuat oleh peneliti-peneliti terdahulu.13
Data-data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu : 14
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Al-Qur’an al-karim dan al-Hadits
c. Undang-undang No. 4 tahun 2004 mengenai kekuasaan kehakiman
12Ibid, hal. 25,
13 Lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinajauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal.1
oleh jaksa.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan untuk
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku
pidana, artikel, dan lain-lain.
3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lelebih dikenal dengan
nama bahan acuan bidang hukum dan bahan rujukan bidang hukum, seperti
bibliografi hukum, ensiklopedia, kamus hukum, dan sebagainya.
Dari data-data yang telah dikumpulkan kemudian menganalisis data tersebut,
dengan menggunakan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh
kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif
untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.15
3. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan tekhnik studi dokumenter, yakni dengan cara
mengumpulkan berbagai informasi berupa dokumen-dokumen hukum selama
proses persidangan kasus Munir, maupun data-data berupa artikel dan tulisan
beberapa ahli hukum yang membicarakan topik yang dimaksud dalam penelitian
ini.
15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
4. Teknik Analisis Data
Karena data-data yang sudah dikumpulkan merupakan data-data dokumen
tertulis maka data kemudian dianalisis dengan teknik analisis isi secara kualitatif
(qualitative content analysis),16
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh U I N Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 M.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini ditulis dalam empat bab pembahasan dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :
Bab Pertama Pendahuluan, Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar
Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Metodologi Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
Bab kedua berjudul Deskripsi Yuridis Peninjauan Kembali Dalam KUHAP,
Dalam Bab Ini Akan membahas tentang Pengertian Peninjauan Kembali menurut
Pasal 263 KUHAP, serta Pengertian Peninjauan Kembali Menurut
Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
16 Drs. Sumadi Suryabrata, B.A, M.A, Ed.S, Ph.D, Metodologi Penelitian ( Jakarta : Raja
Bab ini akan membahas mengenai kronologi pembunuhan Munir, Proses Hukum
Kasus Munir, Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir, dan Hubungan Antara
Pasal 263 KUHAP dengan Undang-undang Kehakiman Dalam Kasus Munir.
Bab keempat adalah analisis hukum Islam terhadap upaya peninjauan kembali
(PK) dalam perkara pidana pembunuhan munir, Pada bab ini akan diuraikan
Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam, Analisi Hukum Islam Terhadap Prosedur
Peninjauan Kembali Kasus Munir Sebagai Upaya Untuk Mendapatkan Keadilan.
Serta Pandangan Hukum Islam Terhadap Substansi Argumentasi Hukum Dalam
Peninjauan Kembali Kasus Munir.
Bab kelima penutup, Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang penulis
14
A. Pengertian Peninjauan Kembali
Dilihat secara gramatikal, peninjauan adalah proses atau cara meninjau.
Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia meninjau bisa berarti melihat sesuatu dari ketinggian, mempelajari dengan cermat, dan memeriksa untuk memahami.21 Dari ketiga makna tersebut, istilah peninjauan lebih relevan dengan makna yang ketiga yaitu memeriksa untuk memahami, karena memeriksa itu berarti melihat dengan teliti untuk mengetahui keadaan.22 Dengan demikian, peninjauan kembali secara gramatikal berarti melihat dan memahami kembali dengan teliti suatu keadaan untuk memperoleh pemahaman baru.
Tujuan dilakukannnya PK sebagai upaya hukum adalah untuk memeriksa
sebuah putusan hukum di tingkat kasasi yang dianggap belum memenuhi keadilan
materiil agar benar-benar memenuhi asas keadilan sekaligus demi menjaga
wibawa hukum di hadapan masyarakat, karena keadilan hukum materiil itu lebih
penting daripada kepastian hukum yang bersifat formil. Dengan demikian secara
ilmiah kepastian hukum itu dapat diterobos oleh keadilan hukum materiil. Jadi
untuk kepentingan keadilan itulah KUHAP mengatur PK sebagai upaya hukum
21Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, hal. 1198
luar biasa.23 Disebut hukum luar biasa, karena sejatinya PK adalah memeriksa
kembali putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Zainul Bahry dalam buku Kamus Umum di Bidang Hukum dan Politik
menjelaskan bahwa PK merupakan suatu upaya hukum luar biasa, dari keputusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diajukan kepada
Mahkamah Agung oleh terpidana, ahli warisnya atau kejaksaan.24
Dalam bukunya, Yahya Harahap menyebut PK sebagai upaya hukum luar
biasa yang dilakukan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
sehingga kasus yang belum memperoleh ketetapan hukum tidak dapat diajukan
PK.25 Sementara S. Tanusubroto menyebut PK sebagai lembaga Herziening, yang diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan
peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh suatu kekuatan hukum
yang tetap.26
Dari uraian mengenai pengertian PK di atas, maka dapat disarikan sebuah
definisi bahwa PK adalah sebuah upaya hukum luar biasa yang dilakukan sebagai
23Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir; Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007), Cet. I, h. 281
24Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,
1996), h. 238
25 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), Edisi Kedua, Cet. VIII, h. 614
26 S. Tanusubroto,
usaha untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang dilakukan terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. Peninjauan Kembali Dalam Pasal 263 KUHAP
Pada sub bab pengertian PK menurut Pasal 263 KUHAP ini akan
dipaparkan terlebih dahulu pengertian KUHAP dan hal-hal yang terkait dengan
KUHAP secara singkat agar diperoleh pemahaman PK secara komprehensif.
KUHAP merupakan kependekan dari Kitab27 Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Membahas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu
tidak terlepas dari pembahasan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) itu sendiri.
KUHAP biasanya disebut juga dengan hukum pidana formil, sedangkan KUHP
bisanya disebut juga dengan hukum pidana materiil.
Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hukum pidana materiil itu
menunjukkan peristiwa-peristiwa pidana atau peristiwa-peristiwa yang dikenai
hukum beserta hukumannya.28 Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara
bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana
27
Kitab berasal dari bahasa Arab yang berarti kumpulan atau buku.
28L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), Cet.
materiil.29 Artinya pembagian hukum pidana menjadi dua bagian ini secara
aplikasi tidak bisa dipisahkan.
Terkait dengan Hukum Acara Pidana ini, Zainul Bahri merumuskan
pengertian Hukum Acara Pidana ini dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur bagaimana caranya tertib hukum pidana dapat ditegakkan dan
dipertahankan jika terjadi suatu pelanggaran ataupun tindak kejahatan.30
Secara filosofis, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dibentuk dalam rangka untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
(sejati) dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan.31
Penjelasan filosofis di atas menunjukkan bahwa pembentukan KUHAP itu
ditetapkan bertujuan untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang tidak sekedar
hitam-putih suatu peristiwa pidana. Kebenaran selengkap-lengkapnya adalah
29Ibid.,h. 335
30Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,
1996), h. 99
31S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet. II,
kebenaran yang memenuhi aspek formil dan materiil yang didasarkan pada
keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
S. Tanusubroto mengidentifikasi pokok-pokok Hukum Acara Pidana
sebagai berikut:
1. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan.
2. Siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, bagaimana caranya menangkap, menahan dan memeriksa orang itu.
3. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu. 4. Cara bagaimana memeriksa dalam sidang Pengadilan terhadap terdakwa oleh
hakim sampai dijatuhkannya pidana.
5. Siapa dan cara bagaimana putusan hakim itu harus dilaksanakan.32
Dengan demikian kedudukan KUHAP merupakan instrument untuk
mengungkap suatu peristiwa pidana dari awal kejadian sampai dengan eksekusi di
pengadilan. Namun untuk mengungkap suatu peristiwa pidana tersebut tidak
cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat legalistic-positifistik semata
melainkan juga harus bersifat subtantif, karena dalam proses persidangan
kadangkala beberapa kasus pidana bisa sangat rumit dan kompleks.
Berbicara PK berdasarkan KUHAP di atas, maka PK dijelaskan
sebagaimana pada pasal 263 sampai dengan 269 sebagai berikut;
Pasal 263
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar :
a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.
Pasal 264
1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang
memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. 5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali
beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
Pasal 266
1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya
2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh
melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 267
1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4)
dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 268
2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
PasaI 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.33
Dari paparan pasal 263-269 KUHAP di atas ternyata tidak didapati
pengertian atau definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, namun di
dapat beberapa hal-hal yang terkait dengan PK, seperti unsur atau syarat yang
membuat sebuah keputusan dapat dilakukan peninjauan kembali. Sehingga
mengenai definisi mengenai PK kiranya penulis cukupkan pada beberapa definisi
umum yang sudah penulis kemukakan di atas.
Mencermati isi pasal 263 diatas secara eksplisit didapat penjelasan bahwa
secara formil pihak-pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli
warisnya, dan tidak ada keterangan secara eksplisit mengenai kewenangan jaksa
untuk mengajukan PK. Sehingga PK dalam hal ini adalah milik terdakwa serta
ahli warisnya dalam upaya hukum luar biasa.
Penjelasan diatas juga memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya PK
digunakan sebagai perlindungan terhadap terpidana, karena dalam konteks hukum
pidana, terpidana berhadapan dengan negara yang notabene memiliki kekuatan,34
sehingga dalam situasi seperti ini antisipasi terhadap penyalahgunaan
kewenangan negara serta perlindungan terhadap terdakwa mutlak menjadi
perhatian hukum. Kehadiran RUU pasal 263 ini bebrbarengan dengan
mengemukanya wacana tentang penegakan HAM, sehingga RUU pasal ini juga
mendapat perhatian dari publik agar terdakwa mendapat perlakuan yang lebih
baik, untuk itulah jaksa (yang dalam konteks ini mewakili negara) kemudian
dibatasi agar tidak diberi hak melakukan peninjauan kembali.35
Tetapi pada ayat 3 pasal 263 terdapat kerancuan hukum (Il concidere)
seiring dengan adanya frase “...suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.” Frase ini
mengandung pengertian bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan PK, namun
dengan dibatasinya pihak yang berhak mengajukan PK pada ayat 1, serta ketidak
mungkinan terdakwa untuk mengajukan PK terhadap putusan bebas yang telah
diberikan pada terdakwa, memunculkan penafsiran bahwa ayat 3 memberikan
peluang bagi jaksa untuk mengajukan PK.36 Dalam undang-undang tentang
kekuasaan kehakiman pasal 23 juga disebutkan bahwa pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan PK, tanpa ada limitasi bagi terdakwa atau ahli
35 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 651. Menurut pemikiran penulis jika dalam kasus ini jaksa mengajukan peninjauan kembali adalah bukan dalam konteks membela kepentingan negara secara langsung, tetapi membela kepentingan warga negara atau dalam kasus ini menuntut dan memberikan keadilan bagi keluarga Munir, sehingga perlu adanya perubahan keadilan retributif manjadi keadilan sosiologis.
warisnya, sementara pihak-pihak yang berkepentingan dalam peradilan adalah
terdakwa, hakim, dan jaksa. Inilah beberapa “kontroversi” yang ada dalam pasal
263 KUHAP, sehingga pasal ini menurut M. Yahya Harahap dinilai sebagai pasal
yang Il concider atau tidak jelas.37
Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif tetap perlu
dilakukan bila ada fakta hukum baru yang dapat mengarahkan pembuktian pada
kebenaran demi tercapainya kebenaran materiil. Jika kita tarik dalam kasus
pembunuhan Munir, maka kejahatan terhadap Munir adalah kejahatan yang
dilakukan oleh aparatur negara,38 sehingga dalam hal ini negara harus membenahi
aparaturnya melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Mengingat rumitnya
kasus ini, maka tanpa penafsiran ulang yang progresif terhadap undang-undang
yang ada, kasus ini mustahil dapat diselesaikan secara adil.
Kiranya pembahasan seputar siapa yang berhak untuk mengajukan PK
dalam bab ini kita cukupkan dengan merujuk pada undang-undang yang ada,
karena berbagai penafsiran terhadap undang-undang ini akan penulis sajikan pada
pembahsan mengenai tinjauan yuridis terhadap peninjauan kembali kasus Munir.
Selanjutnya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak
yang berkepentingan, agar permohonan PK dapat diproses di pengadilan antara
lain seperti yang dijelaskan dalam pasal 263 KUHAP.
37 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP...hal. 649 38 Pollycarpus adalah pilot maskapai penerbangan Garuda, dimana maskapai ini adalah milik
Dari kandungan pasal 263 KUHAP dapat diidentifikasi beberapa syarat
formil yang harus menyertai permohonan PK. 39
1. Putusan pengadilan harus telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena
bagi putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, cukup ditempuh
dengan pengadilan biasa dan banding, karena memang PK merupakan
upaya hukum luar biasa.
2. Menurut pasal 263 pihak yang boleh mengajukan PK adalah terpidana
atau ahli warisnya, karena pasal ini diperuntukkan untuk melindungi
terdakwa dari kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan upaya hukum
luar biasa yang dapat ditempuh oleh jaksa adalah upaya kasasi demi
kepentingan hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 260
KUHAP.40
3. Apabila ditemukan keadaan baru (novum) yang dapat membebaskan terpidana dari segala tuntutan atau meringankan hukuman, jika
diketemukan bukti baru yang demikian maka terpidana boleh mengajukan
PK. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika novum yang diketemukan belakangan justru mengarah pada bersalahnya terpidana,
sementara PK hanya diperuntukkan buat terdakwa. Persoalan ini akan
dibahas pada bab IV mengenai proses persidangan kasus Munir.
39 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 619
4. Adanya putusan yang saling bertentangan, biasanya hal ini terjadi antara
peraturan yang diatur dalam KUHP dengan peraturan yang diatur dalam
KUHPerdata, namun pertentangan yang dimaksud dalam kasus ini
haruslah pertentangan yang nampak secara jelas sebagaimana dapat dilihat
dalam putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983,
sehingga dibutuhkan kecermatan oleh pihak pengadilan sebelum
memutuskan apakah pertentangan putusan tersebut pantas untuk dibawa
pada persidangan PK.41
5. Adanya kekhilafan dari hakim, dengan kapasitasnya sebagai manusia
biasa tentu seorang hakim dapat saja khilaf atau lalai dalam memutuskan
suatu perkara, sehingga terpidana dapat mengajukan PK jika diketahui
dikemudian hari didapati bahwa hakim telah khilaf dalam memutuskan
persoalan.
Adapun batas waktu pengajuan PK tanpa dibatasi waktu, sesuai dengan
ketentuan pasal 264 ayat (3) KUHAP. Demikianlah syarat-syarat formil yang
harus dipenuhi agar permohonan PK dapat diterima oleh pengadilan.
Selanjutnya mengenai tata cara mengajukan PK sesuai dengan ketentuan
yang tercantum dalam pasal 264, terpidana dapat mengajukan PK dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Permohonan PK diajukan secara tertulis kepada pihak panitera,
2. Menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari permintaan PK,
3. Boleh diajukan secara lisan, dengan demikian sesuai ketentuan dalam pasal
264 ayat 4, panitera harus membantu pemohon dengan menuangkan dan
merumuskan permohonan PK oleh terdakwa dalam bentuk surat permintaan
PK yang berisi alasan-alasan yang dikemukakan pemohon.
Setelah semua proses diatas dilakukan, selanjutnya untuk pertanggung
jawaban yuridis akta permintaan peninjauan kembali ditandatangani oleh panitera
dan pemohon, kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.
Demikianlah proses pengajuan PK yang diatur dalam pasal 264 ayat 2 jo.
Pasal 245 ayat 2 KUHAP.42
C. Peninjauan Kembali Dalam Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang atau
pemerintah (yang berwenang) untuk dapat bertindak atau mengurus sesuatu
seperti apa-apa yang telah digariskan. Kehakiman adalah hal-hal yang
menyangkut peradilan dan hukum.43 Berarti Kekuasaan Kehakiman adalah hak
yang diberikan oleh undang-undang atau pemerintah terhadap lembaga tertentu
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan peradilan dan hukum. Di
42
Ibid, hal : 625
43Zainul Bahry,
Indonesia, peradilan atau kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.44
PK dalam UU Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dijelaskan pada pasal 23 sebagai berikut;
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.45
Penjelasan pasal 23 ayat (1) di atas diterangkan bahwa yang dimaksud
dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah
ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim
dalam menerapkan hukumnya.
Ketentuan dalam UU ini nampaknya tidak ingin menghilangkan begitu
saja hak jaksa dalam upaya peninjauan kembali, mengingat dalam beberapa kasus
konspiratif, seringkali novum baru ditemukan justru ketika terdakwa dinyatakan
bebas, sehingga tertutup upaya hukum apapun bagi penyelasaian suatu kasus
hukum. Menganut asas posteriori derogat lex priori maka menurut Nur Syamsi penggunaan UU ini dapat diterapkan.46
44Ibid
45http://www.hukumunsrat.org/uu/uu_4_04.htm
46
http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita ,data diakses tanggal 30 Agustus 2009
Dalam pasal ini juga tidak ditemukan definisi secara eksplisit mengenai
peninjauan kembali, dalam penjelasan pasal ini hanya diterangkan beberapa unsur
atau syarat mengenai diperbolehkannya mengajukan PK. Dan hanya ditekankan
bahwa PK dapat dilakukan karena adanya bukti baru (novum) atau karena adanya
kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Dengan
ditemukannya bukti-bukti baru yang mengarah kuat pada keterlibatan Pollycarpus
dalam peristiwa terbunuhnya Munir, menjadikan MA yakin untuk mengabulkan
29
A. Kronologi Pembunuhan Munir
Untuk memulai pembahasan mengenai proses hukum kasus Munir, akan
kita mulai dengan terlebih dahulu mengetahui tentang proses kematian aktivis
HAM Munir yang tergolong sebagai kematian yang misterius, mengingat bahwa
kematiannya disebabkan oleh racun arsenik serta tempat kematiannya yang sangat
mencengangkan yakni di dalam pesawat Garuda sebuah pesawat terbang milik
Indonesia yang notabene adalah maskapai milik instansi pemerintah.
Berikut ini adalah kronologi proses pembunuhan Munir berdasarkan
monitoring persidangan yang dilakukan oleh Kontras dan KASUM (Komite
Solidaritas Aksi Untuk Munir).1 Berdasarkan temuan investigasi yang dilakukan
oleh tim pencari fakta (TPF)2 kasus munir, serta berdasarkan keterangan para
saksi didapat narasi fakta tentang kronologi pembunuhan Munir sebagai berikut.3
Bahwa terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto yang sejak tahun 1999 telah
melakukan berbagai kegiatan dengan dalih untuk menegakkan negara kesatuan
republik Indonesia (NKRI), melihat sosok Munir, S.H, yang merupakan ketua
1 http://www.kontras.org/munir/sidang.php
2 Anggota TPF terdiri atas Sdr. Brigjend Pol.Drs. Marsudhi Hanafi SH., MH; Sdr. Asmara
Nababan; . Sdr. Bambang Widjajanto; . Sdr. Hendardi; . Sdr. Usman Hamid; Sdr. Munarman;. Sdr. Smita Notosusanto; Sdr. I Putu Kusa; . Sdri. Kamala Tjandrakirana; Sdr. Nazarudin Bunas; Sdri. Retno L.P. Marsudi; Sdr. Arif Havas Oegroseno; Sdr. Rachland Nashidik; Sdr. dr. Mun’im Idris
dewan pengurus Kontras dan direktur eksekutif Imparsial merupakan orang yang
seringkali mengidentifikasi dirinya adalah pelopor dan penggerak pembangunan
demokrasi serta pembela Hak-Hak Asasi Manusi (HAM), dimana dalam berbagai
kesempatan, Munir seringkali melontarkan kritikan tajam dan negatif terhadap
beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai oleh Munir dan kawan-kawan
seperjuangannya sebagai sesuatu yang melanggar ketentuan undang-undang serta
tidak mencerminkan demokrasi serta mencederai hak-hak kemanusiaan. Namun
dimata terdakwa Pollycarpus serta pihak-pihak tertentu, kegiatan yang dilakukan
oleh Munir dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengganggu dan menghalangi
pelaksanaan program-program pemerintah, sehingga hal ini membuat terdakwa
dan pihak-pihak tertentu merasa tidak terima dan terganggu. Berbagai kegiatan
Munir, S.H diatas membuat terdakwa merasa perlu untuk menghentikan kegiatan
korban Munir, dengan merencanakan cara-cara yang matang.
Untuk memuluskan rencana tersebut terdakwa memulai untuk menyusun
langkah-langkah serta cara bagaimana menghilangkan nyawa Munir. Rencana
tersebut dimulai dengan memantau berbagai aktifitas dan kegiatan Munir, baik
secara langsung maupun tidak langsung, sampai akhirnya terdakwa mendapat
kabar bahwa Munir akan melakukan perjalanan ke Belanda demi melanjutkan
pendidikannya.
Kemudian untuk memastikan keberangkatan Munir, pada tanggal 4
September 2004 Polly menghubungi Munir yang ternyata diterima oleh istrinya
September 2004. Setelah memperoleh kepastian tanggal keberangkatan Munir ke
Belanda, terdakwa Pollycarpus mengusahakan cara agar dapat berangkat
bersama-sama Munir, yakni dengan cara meminta perubahan tugas penerbangan
sebagai ekstra crew, sedangkan sesuai jadwal tugasnya terdakwa harus ke Peking
China tanggal 5 hingga 9 September 2004, perubahan jadwal penerbangan
terdakwa tersebut tertuang dalam nota perubahan nomor : OFA/219/04 tanggal 6
September 2004 yang dibuat oleh Rohainil Aini, yang menurut terdakwa surat
tersebut sebagai surat tugas atas dirinya karena tugas dari saksi Ramelgia Anwar
selaku Vice President Corporate Security PT. Garuda Indonesia, yang mana
kemudian penugasan tersebut tidak pernah ada. Namun karena alasan tersebut
maka diterbitkanlah General Declaration bagi keberangkatan Terdakwa ke
Singapura sebagai Extra Crew dinyatakan untuk melaksanakan tugas Aviation
Security, sementara tugas Aviation Security tersebut bukanlah merupakan
spesialisasi tugas Terdakwa yang tugas pekerjaannya di lingkungan PT. Garuda
Indonesia adalah sebagai Pilot, atau setidak-tidaknya Terdakwa tidak mempunyai
surat khusus sebagai Aviation Security.
Selanjutnya pada tanggal 6 September 2004 tibalah waktunya Munir dan
terdakwa Pollycarpus untuk berangkat ke Singapura untuk transit sebelum
berangkat ke Belanda, namun sebelum keberangkatan, Munir dan terdakwa
sempat bertemu dan berbincang, terdakwa menanyakan tempat duduk Munir yang
oleh munir ditunjukkan yakni no. 40 kelas ekonomi, namun kemudian terdakwa
Munir, yang mana hal ini dilakukan untuk mempermudah terdakwa untuk
melaksanakan rencananya. Hal inipun dilaporkan oleh terdakwa kepada saksi
Brahmanie Hastawati selaku purser pesawat, bahwa ada perubahan tempat duduk,
dengan tujuan menghilangkan berbagai kecurigaan.
Sesaat setelah pesawat tinggal landas Oedi Iriato selaku pramugara
pesawat bergegas menyiapkan welcome drink kapada para penumpang, sementara terdakwa Pollycarpus bergegas menuju pantry dekat bar premium. Terdakwa
memasukkan racun ke dalam orange juice karena terdakwa tahu bahwa Munir
tidak minum alkohol, sedangkan welcome drink hanyalah orange juice dan wine. Saat itu Munir duduk bersebelahan dengan Lie Khie Ngian yang
berkewarganegaraan Belanda. Saksi Yeti Susmiarti yang bertindak sebagai
pramugari kemudian menawarkan welcome drink kepada Munir dan Lie Khie Ngian, sementara terdakwa, Oedi Irianto, dan Yeti Susmiarti tahu dan dapat
memastikan bahwa Lie Khie Ngian yang warga belanda pasti akan mengambil
wine, sedangkan Munir tanpa ragu mengambil orange juice yang telah dicampur
dengan racun arsen. Pada saat bersamaan terdakwa terus mengamati segala
kegiatan yang telah direncanakannya.
Pada pukul 23.32 wib, atau kurang lebih 120 menit perjalanan, pesawat
dengan nomor penerbangan GA-974 mendarat di bandara Changi Singapura
untuk transit. Pukul 00.45 wib pesawat tinggal landas dari bandara Changi
Singapura, selang 15 menit setelah pesawat tingal landas, Munir mulai merasa
mual dan muntah-muntah, mendapati keadaan korban yang demikian, crew
pesawat memutuskan untuk membawa korban ke bisnis class untuk dibaringkan
dan sempat mendapat perawatan dari dokter Dr. Tarmizi.
Namun dua jam sebelum mendarat Munir dinyatakan meninggal dunia
akibat sakit perut dan muntaber, selanjutnya Dr. Tarmizi membuatkan surat
kematian. Namun berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat pro justitia
dari Kementrian Kehakiman lembaga Forensik Belanda tanggal 13 Oktober 2004
yang ditandatangani oleh dr. Robert Visser, dokter dan patolog bekerja sama
dengan dr. B. Kubat, menerangkan bahwa berdasar otopsi yang telah dilakukan
dari tanggal 8 September 2004 hingga 13 Oktober 2004, menyimpulkan bahwa
kematian Munir disebabkan konsentrasi arsen yang meningkat sangat tinggi
dalam tubuh Munir.
Demikianlah paparan singkat tentang kronologi Pembunuhan Munir.
B. Proses Hukum Kasus Munir
Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Negeri 4
Sidang kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus di pengadilan negeri
berlangsung dari tanggal 17 Agustus 2005 sampai dengan 20 Desember 2005,
dalam persidangan tingkat pertama ini pengadilan menjerat Pollycarpus dengan
dua dakwaan, dakwaan pertama yaitu ikut serta dalam pembunuhan berencana,
oleh karena itu Pollycarpus dijerat dengan pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1)
KUHP, sedangkan dakwaan kedua yaitu tentang menggunanakan surat tugas
palsu, dimana dalam hal ini Pollycarpus dijerat dengan pasal 263 KUHP jo pasal
55 (1) ke-1 KUHP.
Dalam Sidang Pollycarpus ke-II. Pembela Pollycarpus, Moh. Assegaf
dalam eksepsinya menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak lengkap, tidak cermat,
dan prematur, namun dalam sidang Pollycarpus ke-III. jaksa Domu P Sihite yang
juga mantan anggota TPF meminta majelis hakim untuk menolak eksepsi (nota
keberatan) yang diajukan terdakwa Pollycarpus. Permintaan jaksa tersebut
dikabulkan majelis hakim pada sidang Pollycarpus ke-IV. Dengan demikian
sidang terus dilanjutkan.
Dalam persidangan-persidangan selanjutnya dihadirkan keterangan para
saksi terkait kasus pembunuhan terhadap Munir, beberapa saksi tersebut antara
lain Suciwati (istri Munir) yang memberikan kesaksian seputar upaya Pollycarpus
untuk mengontak Munir sebelum Munir bertolak ke Belanda. Saksi kedua adalah
Indra Setiawan (mantan Dirut P.T Garuda). Kesaksian Indra seputar penugasan
Pollycarpus sebagai extra crew pada penerbangan Jakarta-Singapura. Indra Setiawan hanya mengakui adanya kesalahan administrative dalam penugasan
kerja Pollycarpus.
Pada sidang tingkat pertama ini pengadilan juga menghadirkan beberapa
saksi, baik dari jajaran PT. Garuda Indonesia, Badan Intelejen Negara (BIN),
kepolisian maupun beberapa saksi ahli, saksi-saksi tersebut antara lain sebagai
1. Ramelgia Anwar, yang pada saat sidang ini ia selaku Mantan Vice President
Corporate Security PT Garuda.
2. Rohainil Aini selaku Sekretaris Chief Pilot Airbus
3. Karmel Sembiring selaku Chief Pilot Airbus.
4. Eddy Santoso dan Akhirina, selaku bagian administrasi penjadwalan.
5. Hermawan selaku crew tracking.
6. Sabur Muhammad Taufiq, selaku Kapten pilot GA-974 Jakarta-Singapura.
7. Alex Maneklarang, selaku bagian keuangan PT. Garuda
8. Brahmanie Hastawati, selaku purser Garuda
9. Oedi Irianto, seorang pramugara Garuda
10.Tri Wiryasmadi, seorang pramugara
11.Pantun Matondang, kapten pilot GA-974 Singapura-Amsterdam
12.Yeti Susmiarti, seorang pramugari Garuda
13.Tia Ambari, seorang pramugari Garuda
14.Majib Nasution, Purser Garuda
15.Bondan, Pramugara
16.Addy Quresman, Puslabfor Mabes Polri
17.DR. Tarmizi, dokter yang sempat memberikan perawatan kepada Munir.
18.Ridla Bakri, Ahli di bidang racun
19.Budi Sampurna, Ahli forensic
Setelah mendengarkan berbagai keterangan dari para saksi, jaksa
namun pengadilan tingkat pertama memutuskan, bahwa Pollycarpus dihukum
dengan hukuman penjara selama empat belas tahun.
Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Tinggi
Pada persidangan tingakt pertama ada dua hal yang didakwakan kepada
Pollycarpus, yang pertama yaitu pembunuhan berencana dan kedua pemalsuan
surat, yang mana pada sidang tingkat pertama Pollycarpus sudah dikenakan
hukuman penjara selama 14 tahun. Namun pada sidang permohonan banding di
pengadilan tinggi DKI Jakarta majelis hakim memutuskan untuk membebaskan
terdakwa dari tuduhan pembunuhan berencana, karena menurut majelis hakim
dakwaan kesatu dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Sehingga melalui putusan pengadilan tinggi hari Senin tanggal 27 Maret
2006, dengan surat putusan bernomor 16/PID/2006/PT.DKI, memutuskan untuk
membebaskan Pollycarpus dari dakwaan ke satu dan hanya menghukum terdakwa
selama 4 tahun karena pidana pemalsuan surat.
Kasasi 5
Putusan sidang kasasi dengan No. 1185 K/PID/2006 dibacakan pada
sidang terbuka untuk umum pada tanggal 3 Oktober 2006, beberapa pokok-pokok
pertimbangan putusan MA adalah sebagai berikut :
- Pertimbangan Judex factie hanya didasarkan pada asumsi dan bukan didasarkan pada alat bukti yang terungkap dipersidangan.
- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwalah yang menyebabkan kematian
Munir dengan memberikan racun arsen ke dalam juice atau mie goreng yang
dimakan atau diminum korban.
- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa telah memasukkan atau menyuruh
memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan
kepada korban dalam penerbangan Jakarta-Singapura GA 974.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat bahwa unsur-unsur
dakwaan kesatu tidak terpenuhi sehingga dakwaan kesatu tidak dapat
dibuktikan secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa harus dibebaskan.
- MA dalam pertimbangannya juga memisahkan antara dakwaan kesatu dan
kedua sebagai tindak pidana yang terpisah dan berdiri sendiri, sehingga tindak
pidana tersebut tidak terkait satu sama lainnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut MA menetapkan amar
putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu;
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan kesatu;
3. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “ menggunakan surat palsu “;
4. Menjaruhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua)
Dari amar putusan diatas jelas terlihat bahwa MA terlampau positifistik
dalam memutuskan sebuah persoalan, hal ini nampak dalam putusan MA yang
seolah menghendaki adanya saksi yang melihat secara kasat mata terdakwa
memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan untuk
Munir di dalam pesawat, dengan mengabaikan sama sekali fakta hukum yang
sebenarnya saling berkaitan.
Beberapa fakta hukum yang diabaikan begitu saja oleh MA misalnya :
1. Bahwa benar Pollycarpus dan Munir menggunakan pesawat terbang yang
sama ke Singapura;
2. Bahwa benar Pollycarpus menggunakan surat tugas palsu untuk berangkat ke
Singapura;
3. Bahwa benar Pollycarpus hanya beberapa jam di Singapura;
4. Bahwa benar Pollycarpus melakukan beberapakali pembicaraan melalui
telepon dengan personil Badan Intelijen Negara (BIN);
5. Bahwa benar Pollycarpus memiliki kegiatan sampingan selain sebagai pilot
Garuda.
Sedangkan penjelasan dari fakta-fakta hukum diatas sudah dijelaskan
dalam rangkaian peristiwa pembunuhan Munir pada sidang tingkat pertama, dan
C. Sidang Peninjauan Kembali Kasus Munir
Dengan ditemukannya bukti baru (novum) dalam perkara pidana terdakwa
Pollycarpus maka Jaksa memutuskan untuk melakukan peninjauan kembali meski
dalam KUHAP pasal 263 tidak diatur secara eksplisit tentang pengajuan
peninjauan kembali oleh jaksa, untuk itu jaksa kemudian menggunakan
penafsiran secara ekstensif 6 pada pasal tersebut serta merujuk pada UU Nomor
04 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Usman Hamid mengatakan bahwa
“Ada sejumlah saksi-saksi baru yang memperkuat pengajuan peninjauan kembali
(PK) kasus pembunuhan Munir”. Saksi-saksi itu memperkuat fakta konspirasi
pembunuhan aktivis HAM itu. Setidaknya ada 4-5 orang. Itu untuk yang lama.
Belum lagi untuk fakta yang menunjuk ke arah konspirasi, jadi cukup kuat.
Hendarman juga mengungkapkan sejumlah bukti baru (novum). Novum itu
antara lain saksi yang melihat mantan terpidana kasus pembunuhan Munir
membawa gelas minuman untuk Munir. Semua disebutkan oleh Hendarman
Supandji, baik itu dari saksi yang melihat tersangka, atau mantan terpidana kasus
pembunuhan munir, membawa gelas minuman untuk Munir. Maupun keterangan
lain yang berasal dari lingkungan Garuda yang mengindikasikan konspirasi.
Bahwa apa yang dilakukan pihak Garuda Indonesia, bukan semata-mata inisiatif
sendiri. Tapi atas permintaan dari lingkungan di luar Garuda. Hal-hal itulah yang
menjadi novum PK kasus Munir. Pihaknya merasa novum ini cukup meyakinkan
untuk dibuktikan dalam majelis PK. Dalam sidang PK dapat diketahui siapa-siapa
yang terlibat dalam konspirasi ini. Dan tentu setelah PK ini selesai, tahap
selanjutnya adalah mengejar atau menuntut nama-nama baru, baik itu dari
kalangan Garuda maupun dari Badan Intelijen Negara (BIN). Ada yang lebih
baru, semuanya disebutkan Hendarman. Hendarman tidak nutup-nutupi semua,
tapi malah menjelaskan secara langsung yang menjadi novum. Hanya memang
tidak semua hal bisa disampaikan. Hendarman berharap setelah majelis PK
dibuka, baru bisa diketahui publik secara keseluruhan, termasuk nama-nama
barunya.7
Pro kontra pengajuan PK oleh Jaksa tidak menyurutkan tekad mahkamah
agung untuk meninjau kembali kasus pembunuhan terhadap Munir, maka pada
tanggal 9 Agustus 2007 digelar sidang pertama PK atas terdakwa Pollycarpus
Budihari Prijanto.
Sidang PK ini diselenggarakan dalam enam kali persidangan, dalam
permohonan PK nya jaksa melandasi permohonan tersebut dengan Bab XVIII
tentang Upaya Hukum Luar Biasa, Bagian Kedua tentang Peninjauan Kembali
(PK) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pasal
263-268, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Saksi-saksi baru dalam persidangan PK ini adalah :
1. Saksi Fakta:
7
http://ad.detik.com/link/peristiwa/prs-relion.ad Detikcom, 03 Agustus 2007 14:54 WIB
a. Indra Setiawan (Mantan Dirut. PT. Garuda Indonesia)
b. Raden Mohamad Patma Anwar, alias Ucok, alias Empe, alias Aa. (Mantan Agen BAKIN)
c. Raymond J. J. Latuihamallo, alias Ongen (Penumpang GA-974) d. Asrini Putri (Penumpang GA-974 di 2J)
e. Joseph Ririmase (Penumpang GA-974 di 2K)
2. Saksi Konfrontasi/Verbalisan:
a. BrigJen. (Pol) Matius Salempang (Penyidik Polri, Ketua Tim Pemeriksa)
Makasar, 9 Juli 1953. Kristen Protestan
b. KomBes. (Pol) Pambudi Pamungkas (Penyidik Poldi, Anggota Tim
Pemeriksa) Tuban, 12 Maret 1963. Asrama Polisi Pejaten. Islam.
3. Saksi Ahli:
Dr. Rer. Nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Msi., Apt. (Apoteker, Peneliti, Dosen Kimia Universitas Udayana)
20 April 1968. Jimbaran. Hindu
Farmasi ITB. Doktor toksikologi forensik.
Berikut ini akan Penulis paparkan permohonan serta tanggapan terhadap
permohonan PK oleh jaksa. 8
8 Seluruh data penulis dapatkan dari hasil monitoring sidang PK kasus Munir yang dilakukan
Dasar hukum yang dipergunakan oleh jaksa untuk mengajukan peninjauan
kembali dalam kasus Munir adalah KUHAP pasal 263, jaksa juga menggunakan
keputusan menteri kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang
Pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyatakan bahwa tidak adanya larangan
bagi JPU untuk mengajukan permohonan Peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, oleh karena itu JPU dapat melakukan permohonan PK.
Selain itu jaksa juga mengemukakan bahwa KUHAP pasal 263 ayat 3,
tentang putusan bebas dari segala tuntutan hukum, dimana ayat tersebut
menyatakan “terhadap dakwaan yang terbukti tetapi diikuti pemidaan”, dipandang
oleh jaksa sebagai hak yang diberikan kepada jaksa mengingat terpidana tidak
akan mungkin mengajukan PK terhadap keputusan bebas yang telah ia dapatkan,
maka penafsiran terhadap KUHAP pasal 263 secara harfiah akan membuat
seorang terdakwa tidak dapat lagi dapat diproses secara hukum meskipun
ditemukan novum yang dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, sehingga perlu ada pergeseran hukum acara dari offender oriented
menjadi victim oriented, serta dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif atau sosiologis, sehingga upaya hukum dalam hal ini merupakan mekanisme
perlindungan korban kejahatan dalam lingkup prosedural ketika peradilan sering
tidak memenuhi rasa keadilan. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, termasuk
PK, jaksa mewakili kepentingan masyarakat, kolektif maupun individual.
Dalam dunia hukum dikenal prinsip persamaan hak dan persamaan hukum
dimuka pengadilan, sehingga jaksa juga merasa memiliki kepentingan untuk
melakukan PK karena jaksa mewakili kepentingan negara, masyarakat, ,maupun
individu.
Namun berbagai dasar serta argumentasi hukum diatas dibantah oleh
pihak kuasa hukum Pollycarpus terutama mengenai KUHAP pasal 263. Menurut
kuasa hukum Pollycarpus, KUHAP memuat hukum limitatif terbatas apa yang
ditulis, sehingga apa yang dilarang berarti tidak diperbolehkan, sehingga menurut
kuasa hukum Polly, penafsiran yang dilakukan oleh jaksa berada diluar batas
karena hukum formil memuat prosedur.
Lebuh lanjut tim kuasa hukum Polly menyatakan bahwa pergeseran
perspektif hukum acara tersebut adalah pendapat DR. H. Parman Soeparman,
S.H., M.H. dari bukunya Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali (Refika Aditama; 2007). jaksa mencuplik seadanya sehingga konteksnya
bergeser. Dalam bukunya (hal. 11) yang disebut “offender” itu sudah jelas pelakunya, offender yang nyata. Dalam perkara yang diajukan PK ini, offender -nya tidak atau belum jelas. Selain itu Polly telah dibebaskan secara hukum oleh
MA, sehingga secara hukum offender-nya bukan Polly karena dia telah dibebaskan. Selain itu menurut kuasa hukum Pollycarpus, peraturan mengenai PK
Selanjutnya mengenai alasan peninjauan kembali, jaksa mengemukakan
bahwa Dalam pertimbangannya, Judex Jurist dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan nyata. Jaksa menyatakan bahwa MA salah
mengutip amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam pertimbangan putusan
Kasasinya.
Selain itu menurut jaksa Judex Jurist telah khilaf dan keliru langsung menyimpulkan bahwa unsur-unsur Dakwaan Kesatu tidak terpenuhi secara sah
dan meyakinkan, tanpa terlebih dahulu membatalkan putusan Judex Factie.
Ketidak cermatan Judex Jurist juga ditunjukkan ketika Judex Jurust keliru atau salah dalam pertimbangannya sehingga menyatakan Judex Factie salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena Judex Jurist tidak menghubungkan fakta satu dengan yang lain, dengan sama sekali tidak
mempertimbangkan bahwa pembunuhan Munir tidak lepas dari penggunaan surat
palsu oleh Pollycarpus. Seharusnya, karena penggunaan surat palsu terbukti,
maka pembunuhan yang didakwakan juga terbukti. Oleh karena itu, Hakim
Kasasi telah salah menyimpulkan bahwa pendapat Judex Factie terhadap dakwaan kesatu tidak didukung satu pun alat bukti. Padahal surat palsu bukan
hanya alat bukti dalam dakwaan kedua, tetapi juga dalam dakwaan kesatu, yaitu
sebagai sarana untuk melakukan pembunuhan berencana.
Kekhilafan lain yang meurut jaksa dilakukan oleh Hakim Kasasi adalah,
terhadap fakta hukum yang diterangkan oleh Judex Factie. Hakim Kasasi menganggap kesimpulan Judex Factie yang menyatakan bahwa masuknya racun arsen adalah dalam penerbangan Jakarta-Singapura sebagai kesimpulan yang
salah, karena terdapat tiga kemungkinan saat masuknya racun arsen ke dalam
tubuh korban (Munir), yaitu sebelum penerbangan, dalam penerbangan, dan
sesudah penerbangan Kakarta-Singapura.
Menurut jaksa, Judex Jurist seharusnya tidak melakukan penilaian terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan Judex Factie. Sesuai jurisprudensi MA No. 14PK/Pid/1997 yang menegaskan bahwa penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat
dipertimbangkan dalam tingkat kasasi, dan pemeriksaan mengenai faktas-fakta
hukum berakhir pada tingkat banding, sehingga pemeriksaan kasasi bukan
mengenai peristiwa dan pembuktiannya.
Alasan peninjauan kembali yang digunakan oleh jaksa penuntut umum
ditanggapi oleh kuasa hukum Polly bahwa kekhilafan Judex Jurist Hanyalah kesalahan redaksional semata. Masih menurut kuasa hukum Polly, bahwa
kesimpulan tersebut juga ditarik tanpa pertimbangan yang jelas, bertentangan
dengan Pasal 25 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman dan Pasal
197 (1) butir d KUHAP. Pasal 197 (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan tanpa