• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peninjauan kembali (PK) kasus Munir dalam perkara terpidana Pollycarpus menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peninjauan kembali (PK) kasus Munir dalam perkara terpidana Pollycarpus menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Hukum Islam"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Amiril Mujahidin

NIM : 102043124906

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

H. Zubair Laini, SH Asmawi, M.Ag

NIP : 197210101997031008

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II DESKRIPSI YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI A. Pengertian Peninjauan Kembali ... 14

B. Peninjauan Kembali Menurut Pasal 263 KUHAP ... 16

C. Peninjauan Kembali Menurut Undang-Undang No. 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ... 20

BAB III DESKRIPSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI KASUS MUNIR A. Kronologi Pembunuhan Munir ... 23

B. Proses Hukum Kasus Munir ... 28

C. Sidang Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir ... 33

(3)

KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR

A. Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam... 52

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus

Munir ... 63

C. Pandangan Hukum Islam terhadap Argumentasi Hukum Dalam

Peninjauan Kembali Kasus Munir ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 80

(4)

1

A. Latar Belakang Permasalahan

Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting yang

menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai

yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah

hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat

atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat

keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa

faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas

yang memadai, serta masyarakat yang baik pula.1

Dalam proses penerapan hukum, para penegak hukum akan selalu

menghadapi tantangan antara mengedepankan ketertiban hukum atau ketentraman

umum, dimana keduanya tidaklah kemudian menghendaki pembedaan karena

kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan. Ketertiban hukum atau tertib hukum

sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum sebagai alat dalam menerapkan

aturan hukum dan memperoleh kepastian hukum, sedangkan ketentraman umum

atau kedamaian yang menjadi cita-cita hukum, dalam beberapa kondisi kadang

tidak selalu selaras dengan kepentingan ketertiban hukum. Seringkali kedua hal

(5)

penguasa atau negara, sedangkan segi ketentraman dan kedamaian menyangkut

kepentingan warga negara.2

Salah satu contoh dalam diskursus ini adalah ketika proses peradilan dalam

kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dimana terjadi sebuah terobosan hukum

dalam proses beracara sebagai upaya penyelesaian kasus ini, dimana hal ini telah

melampaui tertib hukum acara pidana yang ada, namun hal ini dipandang perlu

untuk tetap dilakukan oleh pihak kejaksaan demi menjaga tujuan hukum yakni

mewujudkan ketenteraman dalam kehidupan warga negara, karena jika kasus ini

tidak dituntaskan secara adil maka akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat.

Maka berangkat dari asumsi apakah putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap sudah memenuhi keadilan materiil atau belum3, maka

Peninjauan kembali (PK) dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan

termohon Pollycarpus Budihari Priyanto dilakukan oleh jaksa (yang menurut

peraturan dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, PK merupakan hak bagi terpidana atau

ahli warisnya) sebagai upaya untuk menjaga wibawa lembaga peradilan. Karena

pemenuhan keadilan atas korban tindak kejahatan merupakan hal yang wajib

dipenuhi oleh negara, karena peran negara adalah melindungi dan mengayomi

2 Dr. Soerjono Soekanto SH., MA dan Mustafa Abdullah..., hal. 25-27.

(6)

kepentingan negara disatu pihak jaksa juga mewakili kepentingan korban tindak

kejahatan yang notabene merupakan warga negara yang juga harus mendapatkan

perlindungan di muka pengadilan. Mengutip keterangan Ibn Khaldun, bahwa

negara atau penguasa seringakali memiliki kecenderungan untuk menggunakan

otoritasnya untuk melakukan ketidakadilan, 5 maka negara juga membutuhkan

kontrol dari warga negara itu sendiri. Perwujudan kontrol terhadap negara

difasilitasi melalui undang-undang tentang jaminan perlindungan terhadap

keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.

Yang menarik dalam proses peninjauan kembali kasus Munir adalah, bahwa

peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak bagi

terdakwa atau ahli warisnya, namun ketentuan ini diterobos oleh jaksa penuntut

umum melalui berbagai argumentasi hukum yang akan penulis paparkan pada

bab-bab selanjutnya.

Jika dalam Pasal 263 KUHAP6 dijelaskan bahwa :

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar :

a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,

4 Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,

1996), Cet. Ke-26, hal. 10-16.

5 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Toha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006)

Cet. Ke-6, hal. 187-190.

(7)

tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Maka pasal ini diterobos oleh pihak kejaksaan dengan menggunakan undang-undang nomor 4 tahun 2004 pasal 23 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi :

Pasal 23

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Lebih lanjut pihak kejaksaan menambahkan bahwa pasal 23 ayat satu

menjelaskan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan

peninjauan kembali, sehingga pasal ini mengandung penafsiran bahwa jaksa juga

memiliki hak untuk mengajukan peninjauan kembali kepada mahkamah agung.

Salah satu ketentuan atau syarat dalam mengajukan PK adalah ketika ditemukan

novum atau bukti baru dalam satu perkara pidana yang dapat mengarahkan pada

(8)

tanpa cela sebagaimana yang akan Penulis sajikan pada bab-bab selanjutnya,

Sebagai pendahuluan dalam pembahasan ini Penulis kemukakan bahwa

Peninjauan Kembali merupakan aturan hukum yang diproduksi pada zaman

kolonial belanda. Sejarah mencatat bahwa pada mulanya peninjauan kembali

dikenal dengan istilah Herziening dimana lembaga ini tidak berlaku bagi

inlander,7 namun para ahli hukum negara kita menyadari bahwa kondisi yang demikian memberikan peluang bagi penguasa atau negara untuk melakukan

pelanggaran HAM8 tanpa dapat tersentuh oleh hukum, sehingga peninjauan

kembali dirumuskan dalam rangka melindungi terpidana jika di kemudian hari

diketahui telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukuman.

Perdebatan juga terjadi seputar ayat-ayat yang ada dalam pasal 263 KUHAP

terutama ayat 3 yang menyatakan bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum apabila dalam putusan itu

suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak

diikuti oleh suatu pemidanaan. Ayat ini ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum

bahwa putusan bebas yang dalam ayat 1 pasal 263 sedianya tidak dapat diajukan

peninjauan kembali oleh pihak penuntut umum atau jaksa menjadi dapat diajukan

7 S. Tanusubroto,

Dasar-dasar hukum acra pidana, (Bandung: C.V. Armico, 1989), Cet. II, hal. 161. Inlander adalah kata yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut penduduk pribumi, yang berarti bahwa penduduk pribumi mendapatkan perlakuan yang lebih rendah daripada warga Belanda.

8 Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap hak dasar seseorang karena adanya

(9)

terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diartikan sebagai putusan bebas.9

Inilah beberapa kerancuan yang ada dalam pasal-pasal mengenai pengaturan

mekanisme PK.

Jika kita menarik persoalan peninjauan kembali ke dalam sistem hukum Islam

terlebih dahulu harus diketahui bahwa PK merupakan persoalan dalam rangka

proses beracara di muka sidang peradilan, Kesulitan dalam penulisan skripsi ini

adalah bahwa dalam perkuliahan yang sudah Penulis jalani, Penulis hanya

mendapatkan KUHPnya (hukum materiil) hukum Islam saja, tetapi Penulis belum

mendapatkan bagaimana proses beracara atau KUHAPnya hukum Islam sebagai

pedoman melaksanakan proses peradilan di muka persidangan, misalnya yang

berlangsung di beberapa dunia Islam, katakanlah Mesir atau Arab Saudi, , atau

bagaimana proses beracara pada masa Islam generasi nabi atau era sahabat nabi,

atau generasi dinasti-dinasti Islam, sehingga diperoleh preseden mengenai proses

peradilan yang berlaku di dalam hukum Islam. Sehingga ini merupakan

tantangan tersendiri, setidaknya sebagai usaha untuk belajar menggali khazanah

hukum Islam, tanpa niat sama sekali untuk mengecilkan persyaratan ijtihad yang

ditawarkan atau disyaratkan oleh ulama-ulama Islam terdahulu,10 serta sebagai

9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Jakarta,

Sinar Grafika, 2006 ) Cet. 8, Hal. 649.

10 Karena penting untuk dipahami bahwa al-Qur’an secara berulang-ulang menegaskan

(10)

hukum Islam.

Ide dalam skripsi ini adalah, bahwa dalam rangka mencari keadilan dan

kebenaran, cara-cara yang melampaui norma-norma yang bersifat positifistik

perlu untuk dilakukan karena hukum yang sudah terpositifisasi kadang sudah

tidak mampu lagi digunakan sebagai upaya mendapatkan keadilan, sementara

bukti-bukti yang dapat mengarahkan didapatkannya kebenaran secara materiil

seringkali terbentur aturan-aturan hukum yang sudah terpositifisasi.

Berdasar pada ide di atas tersebut maka Penulis ingin menelusuri sejauh mana

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan

dan kebenaran, memberikan dukungan dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai

kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu, dalam rangka proses pengungkapan

nilai-nilai dasar tersebut di depan pengadilan di dunia, sebelum mempertanggung

jawabkan semuanya di akhirat nanti.

Kronik dalam pemikiran ini menjadi sesuatu yang menarik karena Penulis

meyakini bahwa nilai dan norma dalam ajaran agama Islam mampu memberikan

ketenteraman dalam kehidupan, menjangkau dan melintasi batas ras, suku, dan

bangsa. Namun tanpa pengkajian yang mendalam, nilai-nilai universal yang ada

dalam hukum Islam menjadi sesuatu yang usang, yang pada akhirnya kita sendiri

(11)

sumber ide dalam mewarnai kehidupan dalam rangka menuju perdamaian.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari paparan latar belakang diatas didapat beberapa rumusan permasalahan

berikut ini :

1. Bagaimanakah prosedur peninjauan kembali dalam kasus Munir menurut

KUHAP ?

2. Bagaimanakah substansi argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa

terhadap upaya peninjauan kembali dalam kasus Munir ?

3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan substansi

argumentasi hukum peninjauan kembali dalam kasus Munir ?

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar maka masalah dalam skripsi

ini dibatasi dengan dua hal, yakni :

1. Pandangan hukum Islam mengenai peninjauan kembali dalam kasus Munir.

2. Ketentuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam pasal 263 KUHAP dan UU

No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

(12)

jaksa dalam pengajuan peninjauan kembali kasus Munir.

3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan

substansi argumentasi hukum dalam peninjauan kembali kasus Munir.

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Pengembangan wacana bagi hukum pidana Islam.

2. Memberikan informasi tentang hal-hal terkait peninjauan kembali dalam

hukum acara pidana di Indonesia.

3. Memberikan informasi mengenai pandangan hukum Islam terhadap upaya

mencari keadilan keadilan melalui peninjauan kembali seperti yang dilakukan

oleh jaksa dalm kasus Munir.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena data-data yang

digunakan dalam skripsi ini merupakan data yang bersifat normatif doktriner,

yakni berupa perundang-undangan dan putusan pengadilan.11 Disamping data

primer tersebut, data yang akan digunakan sebagai pendukung juga merupakan

data kualitatif yang merupakan data sekunder berupa artikel, buku-buku terkait

(13)

dalam kategori penelitian kualitatif.12

Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni sebagai

upaya untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan memberikan

analisis yang cermat mengenai fenomena hukum yang ada, dimana dalam skripsi

ini akan dijelaskan mengenai upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa

atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

2. Sumber Data

Adapun data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

data-data sekunder karena merupakan data-data-data-data berupa peraturan

perundang-undangan juga buku-buku yang telah dibuat oleh peneliti-peneliti terdahulu.13

Data-data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dapat

dibedakan menjadi tiga yaitu : 14

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum dalam bentuk peraturan

perundang-undangan, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Al-Qur’an al-karim dan al-Hadits

c. Undang-undang No. 4 tahun 2004 mengenai kekuasaan kehakiman

12Ibid, hal. 25,

13 Lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinajauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal.1

(14)

oleh jaksa.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan untuk

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku

pidana, artikel, dan lain-lain.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lelebih dikenal dengan

nama bahan acuan bidang hukum dan bahan rujukan bidang hukum, seperti

bibliografi hukum, ensiklopedia, kamus hukum, dan sebagainya.

Dari data-data yang telah dikumpulkan kemudian menganalisis data tersebut,

dengan menggunakan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh

kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif

untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.15

3. Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan tekhnik studi dokumenter, yakni dengan cara

mengumpulkan berbagai informasi berupa dokumen-dokumen hukum selama

proses persidangan kasus Munir, maupun data-data berupa artikel dan tulisan

beberapa ahli hukum yang membicarakan topik yang dimaksud dalam penelitian

ini.

15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia

(15)

4. Teknik Analisis Data

Karena data-data yang sudah dikumpulkan merupakan data-data dokumen

tertulis maka data kemudian dianalisis dengan teknik analisis isi secara kualitatif

(qualitative content analysis),16

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh U I N Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 M.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini ditulis dalam empat bab pembahasan dengan sistematika penulisan

sebagai berikut :

Bab Pertama Pendahuluan, Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar

Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Metodologi Penelitian, dan Sistematika

Penulisan.

Bab kedua berjudul Deskripsi Yuridis Peninjauan Kembali Dalam KUHAP,

Dalam Bab Ini Akan membahas tentang Pengertian Peninjauan Kembali menurut

Pasal 263 KUHAP, serta Pengertian Peninjauan Kembali Menurut

Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

16 Drs. Sumadi Suryabrata, B.A, M.A, Ed.S, Ph.D, Metodologi Penelitian ( Jakarta : Raja

(16)

Bab ini akan membahas mengenai kronologi pembunuhan Munir, Proses Hukum

Kasus Munir, Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir, dan Hubungan Antara

Pasal 263 KUHAP dengan Undang-undang Kehakiman Dalam Kasus Munir.

Bab keempat adalah analisis hukum Islam terhadap upaya peninjauan kembali

(PK) dalam perkara pidana pembunuhan munir, Pada bab ini akan diuraikan

Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam, Analisi Hukum Islam Terhadap Prosedur

Peninjauan Kembali Kasus Munir Sebagai Upaya Untuk Mendapatkan Keadilan.

Serta Pandangan Hukum Islam Terhadap Substansi Argumentasi Hukum Dalam

Peninjauan Kembali Kasus Munir.

Bab kelima penutup, Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang penulis

(17)

14

A. Pengertian Peninjauan Kembali

Dilihat secara gramatikal, peninjauan adalah proses atau cara meninjau.

Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia meninjau bisa berarti melihat sesuatu dari ketinggian, mempelajari dengan cermat, dan memeriksa untuk memahami.21 Dari ketiga makna tersebut, istilah peninjauan lebih relevan dengan makna yang ketiga yaitu memeriksa untuk memahami, karena memeriksa itu berarti melihat dengan teliti untuk mengetahui keadaan.22 Dengan demikian, peninjauan kembali secara gramatikal berarti melihat dan memahami kembali dengan teliti suatu keadaan untuk memperoleh pemahaman baru.

Tujuan dilakukannnya PK sebagai upaya hukum adalah untuk memeriksa

sebuah putusan hukum di tingkat kasasi yang dianggap belum memenuhi keadilan

materiil agar benar-benar memenuhi asas keadilan sekaligus demi menjaga

wibawa hukum di hadapan masyarakat, karena keadilan hukum materiil itu lebih

penting daripada kepastian hukum yang bersifat formil. Dengan demikian secara

ilmiah kepastian hukum itu dapat diterobos oleh keadilan hukum materiil. Jadi

untuk kepentingan keadilan itulah KUHAP mengatur PK sebagai upaya hukum

21Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, hal. 1198

(18)

luar biasa.23 Disebut hukum luar biasa, karena sejatinya PK adalah memeriksa

kembali putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Zainul Bahry dalam buku Kamus Umum di Bidang Hukum dan Politik

menjelaskan bahwa PK merupakan suatu upaya hukum luar biasa, dari keputusan

hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diajukan kepada

Mahkamah Agung oleh terpidana, ahli warisnya atau kejaksaan.24

Dalam bukunya, Yahya Harahap menyebut PK sebagai upaya hukum luar

biasa yang dilakukan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap

sehingga kasus yang belum memperoleh ketetapan hukum tidak dapat diajukan

PK.25 Sementara S. Tanusubroto menyebut PK sebagai lembaga Herziening, yang diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan

peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh suatu kekuatan hukum

yang tetap.26

Dari uraian mengenai pengertian PK di atas, maka dapat disarikan sebuah

definisi bahwa PK adalah sebuah upaya hukum luar biasa yang dilakukan sebagai

23Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir; Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007), Cet. I, h. 281

24Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,

1996), h. 238

25 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006), Edisi Kedua, Cet. VIII, h. 614

26 S. Tanusubroto,

(19)

usaha untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang dilakukan terhadap

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

B. Peninjauan Kembali Dalam Pasal 263 KUHAP

Pada sub bab pengertian PK menurut Pasal 263 KUHAP ini akan

dipaparkan terlebih dahulu pengertian KUHAP dan hal-hal yang terkait dengan

KUHAP secara singkat agar diperoleh pemahaman PK secara komprehensif.

KUHAP merupakan kependekan dari Kitab27 Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

Membahas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu

tidak terlepas dari pembahasan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) itu sendiri.

KUHAP biasanya disebut juga dengan hukum pidana formil, sedangkan KUHP

bisanya disebut juga dengan hukum pidana materiil.

Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hukum pidana materiil itu

menunjukkan peristiwa-peristiwa pidana atau peristiwa-peristiwa yang dikenai

hukum beserta hukumannya.28 Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara

bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana

27

Kitab berasal dari bahasa Arab yang berarti kumpulan atau buku.

28L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), Cet.

(20)

materiil.29 Artinya pembagian hukum pidana menjadi dua bagian ini secara

aplikasi tidak bisa dipisahkan.

Terkait dengan Hukum Acara Pidana ini, Zainul Bahri merumuskan

pengertian Hukum Acara Pidana ini dengan ketentuan-ketentuan hukum yang

mengatur bagaimana caranya tertib hukum pidana dapat ditegakkan dan

dipertahankan jika terjadi suatu pelanggaran ataupun tindak kejahatan.30

Secara filosofis, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

dibentuk dalam rangka untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya

(sejati) dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang

dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti

bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu

dapat dipersalahkan.31

Penjelasan filosofis di atas menunjukkan bahwa pembentukan KUHAP itu

ditetapkan bertujuan untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang tidak sekedar

hitam-putih suatu peristiwa pidana. Kebenaran selengkap-lengkapnya adalah

29Ibid.,h. 335

30Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,

1996), h. 99

31S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet. II,

(21)

kebenaran yang memenuhi aspek formil dan materiil yang didasarkan pada

keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

S. Tanusubroto mengidentifikasi pokok-pokok Hukum Acara Pidana

sebagai berikut:

1. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan.

2. Siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, bagaimana caranya menangkap, menahan dan memeriksa orang itu.

3. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu. 4. Cara bagaimana memeriksa dalam sidang Pengadilan terhadap terdakwa oleh

hakim sampai dijatuhkannya pidana.

5. Siapa dan cara bagaimana putusan hakim itu harus dilaksanakan.32

Dengan demikian kedudukan KUHAP merupakan instrument untuk

mengungkap suatu peristiwa pidana dari awal kejadian sampai dengan eksekusi di

pengadilan. Namun untuk mengungkap suatu peristiwa pidana tersebut tidak

cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat legalistic-positifistik semata

melainkan juga harus bersifat subtantif, karena dalam proses persidangan

kadangkala beberapa kasus pidana bisa sangat rumit dan kompleks.

Berbicara PK berdasarkan KUHAP di atas, maka PK dijelaskan

sebagaimana pada pasal 263 sampai dengan 269 sebagai berikut;

Pasal 263

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

(22)

2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar :

a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.

Pasal 264

1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.

3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang

memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. 5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali

beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.

Pasal 265

1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).

2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

(23)

berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.

4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.

5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.

Pasal 266

1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya

2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;

b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:

1. putusan bebas;

2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;

4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh

melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.

Pasal 267

1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4)

dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.

Pasal 268

(24)

2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.

3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.

PasaI 269

Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.33

Dari paparan pasal 263-269 KUHAP di atas ternyata tidak didapati

pengertian atau definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, namun di

dapat beberapa hal-hal yang terkait dengan PK, seperti unsur atau syarat yang

membuat sebuah keputusan dapat dilakukan peninjauan kembali. Sehingga

mengenai definisi mengenai PK kiranya penulis cukupkan pada beberapa definisi

umum yang sudah penulis kemukakan di atas.

Mencermati isi pasal 263 diatas secara eksplisit didapat penjelasan bahwa

secara formil pihak-pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli

warisnya, dan tidak ada keterangan secara eksplisit mengenai kewenangan jaksa

untuk mengajukan PK. Sehingga PK dalam hal ini adalah milik terdakwa serta

ahli warisnya dalam upaya hukum luar biasa.

Penjelasan diatas juga memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya PK

digunakan sebagai perlindungan terhadap terpidana, karena dalam konteks hukum

pidana, terpidana berhadapan dengan negara yang notabene memiliki kekuatan,34

(25)

sehingga dalam situasi seperti ini antisipasi terhadap penyalahgunaan

kewenangan negara serta perlindungan terhadap terdakwa mutlak menjadi

perhatian hukum. Kehadiran RUU pasal 263 ini bebrbarengan dengan

mengemukanya wacana tentang penegakan HAM, sehingga RUU pasal ini juga

mendapat perhatian dari publik agar terdakwa mendapat perlakuan yang lebih

baik, untuk itulah jaksa (yang dalam konteks ini mewakili negara) kemudian

dibatasi agar tidak diberi hak melakukan peninjauan kembali.35

Tetapi pada ayat 3 pasal 263 terdapat kerancuan hukum (Il concidere)

seiring dengan adanya frase “...suatu perbuatan yang didakwakan telah

dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.” Frase ini

mengandung pengertian bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan PK, namun

dengan dibatasinya pihak yang berhak mengajukan PK pada ayat 1, serta ketidak

mungkinan terdakwa untuk mengajukan PK terhadap putusan bebas yang telah

diberikan pada terdakwa, memunculkan penafsiran bahwa ayat 3 memberikan

peluang bagi jaksa untuk mengajukan PK.36 Dalam undang-undang tentang

kekuasaan kehakiman pasal 23 juga disebutkan bahwa pihak-pihak yang

berkepentingan dapat mengajukan PK, tanpa ada limitasi bagi terdakwa atau ahli

35 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 651. Menurut pemikiran penulis jika dalam kasus ini jaksa mengajukan peninjauan kembali adalah bukan dalam konteks membela kepentingan negara secara langsung, tetapi membela kepentingan warga negara atau dalam kasus ini menuntut dan memberikan keadilan bagi keluarga Munir, sehingga perlu adanya perubahan keadilan retributif manjadi keadilan sosiologis.

(26)

warisnya, sementara pihak-pihak yang berkepentingan dalam peradilan adalah

terdakwa, hakim, dan jaksa. Inilah beberapa “kontroversi” yang ada dalam pasal

263 KUHAP, sehingga pasal ini menurut M. Yahya Harahap dinilai sebagai pasal

yang Il concider atau tidak jelas.37

Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif tetap perlu

dilakukan bila ada fakta hukum baru yang dapat mengarahkan pembuktian pada

kebenaran demi tercapainya kebenaran materiil. Jika kita tarik dalam kasus

pembunuhan Munir, maka kejahatan terhadap Munir adalah kejahatan yang

dilakukan oleh aparatur negara,38 sehingga dalam hal ini negara harus membenahi

aparaturnya melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Mengingat rumitnya

kasus ini, maka tanpa penafsiran ulang yang progresif terhadap undang-undang

yang ada, kasus ini mustahil dapat diselesaikan secara adil.

Kiranya pembahasan seputar siapa yang berhak untuk mengajukan PK

dalam bab ini kita cukupkan dengan merujuk pada undang-undang yang ada,

karena berbagai penafsiran terhadap undang-undang ini akan penulis sajikan pada

pembahsan mengenai tinjauan yuridis terhadap peninjauan kembali kasus Munir.

Selanjutnya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak

yang berkepentingan, agar permohonan PK dapat diproses di pengadilan antara

lain seperti yang dijelaskan dalam pasal 263 KUHAP.

37 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP...hal. 649 38 Pollycarpus adalah pilot maskapai penerbangan Garuda, dimana maskapai ini adalah milik

(27)

Dari kandungan pasal 263 KUHAP dapat diidentifikasi beberapa syarat

formil yang harus menyertai permohonan PK. 39

1. Putusan pengadilan harus telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena

bagi putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, cukup ditempuh

dengan pengadilan biasa dan banding, karena memang PK merupakan

upaya hukum luar biasa.

2. Menurut pasal 263 pihak yang boleh mengajukan PK adalah terpidana

atau ahli warisnya, karena pasal ini diperuntukkan untuk melindungi

terdakwa dari kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan upaya hukum

luar biasa yang dapat ditempuh oleh jaksa adalah upaya kasasi demi

kepentingan hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 260

KUHAP.40

3. Apabila ditemukan keadaan baru (novum) yang dapat membebaskan terpidana dari segala tuntutan atau meringankan hukuman, jika

diketemukan bukti baru yang demikian maka terpidana boleh mengajukan

PK. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika novum yang diketemukan belakangan justru mengarah pada bersalahnya terpidana,

sementara PK hanya diperuntukkan buat terdakwa. Persoalan ini akan

dibahas pada bab IV mengenai proses persidangan kasus Munir.

39 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 619

(28)

4. Adanya putusan yang saling bertentangan, biasanya hal ini terjadi antara

peraturan yang diatur dalam KUHP dengan peraturan yang diatur dalam

KUHPerdata, namun pertentangan yang dimaksud dalam kasus ini

haruslah pertentangan yang nampak secara jelas sebagaimana dapat dilihat

dalam putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983,

sehingga dibutuhkan kecermatan oleh pihak pengadilan sebelum

memutuskan apakah pertentangan putusan tersebut pantas untuk dibawa

pada persidangan PK.41

5. Adanya kekhilafan dari hakim, dengan kapasitasnya sebagai manusia

biasa tentu seorang hakim dapat saja khilaf atau lalai dalam memutuskan

suatu perkara, sehingga terpidana dapat mengajukan PK jika diketahui

dikemudian hari didapati bahwa hakim telah khilaf dalam memutuskan

persoalan.

Adapun batas waktu pengajuan PK tanpa dibatasi waktu, sesuai dengan

ketentuan pasal 264 ayat (3) KUHAP. Demikianlah syarat-syarat formil yang

harus dipenuhi agar permohonan PK dapat diterima oleh pengadilan.

Selanjutnya mengenai tata cara mengajukan PK sesuai dengan ketentuan

yang tercantum dalam pasal 264, terpidana dapat mengajukan PK dengan

ketentuan sebagai berikut :

1. Permohonan PK diajukan secara tertulis kepada pihak panitera,

(29)

2. Menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari permintaan PK,

3. Boleh diajukan secara lisan, dengan demikian sesuai ketentuan dalam pasal

264 ayat 4, panitera harus membantu pemohon dengan menuangkan dan

merumuskan permohonan PK oleh terdakwa dalam bentuk surat permintaan

PK yang berisi alasan-alasan yang dikemukakan pemohon.

Setelah semua proses diatas dilakukan, selanjutnya untuk pertanggung

jawaban yuridis akta permintaan peninjauan kembali ditandatangani oleh panitera

dan pemohon, kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.

Demikianlah proses pengajuan PK yang diatur dalam pasal 264 ayat 2 jo.

Pasal 245 ayat 2 KUHAP.42

C. Peninjauan Kembali Dalam Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang atau

pemerintah (yang berwenang) untuk dapat bertindak atau mengurus sesuatu

seperti apa-apa yang telah digariskan. Kehakiman adalah hal-hal yang

menyangkut peradilan dan hukum.43 Berarti Kekuasaan Kehakiman adalah hak

yang diberikan oleh undang-undang atau pemerintah terhadap lembaga tertentu

untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan peradilan dan hukum. Di

42

Ibid, hal : 625

43Zainul Bahry,

(30)

Indonesia, peradilan atau kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah

Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.44

PK dalam UU Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

dijelaskan pada pasal 23 sebagai berikut;

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.45

Penjelasan pasal 23 ayat (1) di atas diterangkan bahwa yang dimaksud

dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah

ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim

dalam menerapkan hukumnya.

Ketentuan dalam UU ini nampaknya tidak ingin menghilangkan begitu

saja hak jaksa dalam upaya peninjauan kembali, mengingat dalam beberapa kasus

konspiratif, seringkali novum baru ditemukan justru ketika terdakwa dinyatakan

bebas, sehingga tertutup upaya hukum apapun bagi penyelasaian suatu kasus

hukum. Menganut asas posteriori derogat lex priori maka menurut Nur Syamsi penggunaan UU ini dapat diterapkan.46

44Ibid

45http://www.hukumunsrat.org/uu/uu_4_04.htm

46

http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita ,data diakses tanggal 30 Agustus 2009

(31)

Dalam pasal ini juga tidak ditemukan definisi secara eksplisit mengenai

peninjauan kembali, dalam penjelasan pasal ini hanya diterangkan beberapa unsur

atau syarat mengenai diperbolehkannya mengajukan PK. Dan hanya ditekankan

bahwa PK dapat dilakukan karena adanya bukti baru (novum) atau karena adanya

kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Dengan

ditemukannya bukti-bukti baru yang mengarah kuat pada keterlibatan Pollycarpus

dalam peristiwa terbunuhnya Munir, menjadikan MA yakin untuk mengabulkan

(32)

29

A. Kronologi Pembunuhan Munir

Untuk memulai pembahasan mengenai proses hukum kasus Munir, akan

kita mulai dengan terlebih dahulu mengetahui tentang proses kematian aktivis

HAM Munir yang tergolong sebagai kematian yang misterius, mengingat bahwa

kematiannya disebabkan oleh racun arsenik serta tempat kematiannya yang sangat

mencengangkan yakni di dalam pesawat Garuda sebuah pesawat terbang milik

Indonesia yang notabene adalah maskapai milik instansi pemerintah.

Berikut ini adalah kronologi proses pembunuhan Munir berdasarkan

monitoring persidangan yang dilakukan oleh Kontras dan KASUM (Komite

Solidaritas Aksi Untuk Munir).1 Berdasarkan temuan investigasi yang dilakukan

oleh tim pencari fakta (TPF)2 kasus munir, serta berdasarkan keterangan para

saksi didapat narasi fakta tentang kronologi pembunuhan Munir sebagai berikut.3

Bahwa terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto yang sejak tahun 1999 telah

melakukan berbagai kegiatan dengan dalih untuk menegakkan negara kesatuan

republik Indonesia (NKRI), melihat sosok Munir, S.H, yang merupakan ketua

1 http://www.kontras.org/munir/sidang.php

2 Anggota TPF terdiri atas Sdr. Brigjend Pol.Drs. Marsudhi Hanafi SH., MH; Sdr. Asmara

Nababan; . Sdr. Bambang Widjajanto; . Sdr. Hendardi; . Sdr. Usman Hamid; Sdr. Munarman;. Sdr. Smita Notosusanto; Sdr. I Putu Kusa; . Sdri. Kamala Tjandrakirana; Sdr. Nazarudin Bunas; Sdri. Retno L.P. Marsudi; Sdr. Arif Havas Oegroseno; Sdr. Rachland Nashidik; Sdr. dr. Mun’im Idris

(33)

dewan pengurus Kontras dan direktur eksekutif Imparsial merupakan orang yang

seringkali mengidentifikasi dirinya adalah pelopor dan penggerak pembangunan

demokrasi serta pembela Hak-Hak Asasi Manusi (HAM), dimana dalam berbagai

kesempatan, Munir seringkali melontarkan kritikan tajam dan negatif terhadap

beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai oleh Munir dan kawan-kawan

seperjuangannya sebagai sesuatu yang melanggar ketentuan undang-undang serta

tidak mencerminkan demokrasi serta mencederai hak-hak kemanusiaan. Namun

dimata terdakwa Pollycarpus serta pihak-pihak tertentu, kegiatan yang dilakukan

oleh Munir dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengganggu dan menghalangi

pelaksanaan program-program pemerintah, sehingga hal ini membuat terdakwa

dan pihak-pihak tertentu merasa tidak terima dan terganggu. Berbagai kegiatan

Munir, S.H diatas membuat terdakwa merasa perlu untuk menghentikan kegiatan

korban Munir, dengan merencanakan cara-cara yang matang.

Untuk memuluskan rencana tersebut terdakwa memulai untuk menyusun

langkah-langkah serta cara bagaimana menghilangkan nyawa Munir. Rencana

tersebut dimulai dengan memantau berbagai aktifitas dan kegiatan Munir, baik

secara langsung maupun tidak langsung, sampai akhirnya terdakwa mendapat

kabar bahwa Munir akan melakukan perjalanan ke Belanda demi melanjutkan

pendidikannya.

Kemudian untuk memastikan keberangkatan Munir, pada tanggal 4

September 2004 Polly menghubungi Munir yang ternyata diterima oleh istrinya

(34)

September 2004. Setelah memperoleh kepastian tanggal keberangkatan Munir ke

Belanda, terdakwa Pollycarpus mengusahakan cara agar dapat berangkat

bersama-sama Munir, yakni dengan cara meminta perubahan tugas penerbangan

sebagai ekstra crew, sedangkan sesuai jadwal tugasnya terdakwa harus ke Peking

China tanggal 5 hingga 9 September 2004, perubahan jadwal penerbangan

terdakwa tersebut tertuang dalam nota perubahan nomor : OFA/219/04 tanggal 6

September 2004 yang dibuat oleh Rohainil Aini, yang menurut terdakwa surat

tersebut sebagai surat tugas atas dirinya karena tugas dari saksi Ramelgia Anwar

selaku Vice President Corporate Security PT. Garuda Indonesia, yang mana

kemudian penugasan tersebut tidak pernah ada. Namun karena alasan tersebut

maka diterbitkanlah General Declaration bagi keberangkatan Terdakwa ke

Singapura sebagai Extra Crew dinyatakan untuk melaksanakan tugas Aviation

Security, sementara tugas Aviation Security tersebut bukanlah merupakan

spesialisasi tugas Terdakwa yang tugas pekerjaannya di lingkungan PT. Garuda

Indonesia adalah sebagai Pilot, atau setidak-tidaknya Terdakwa tidak mempunyai

surat khusus sebagai Aviation Security.

Selanjutnya pada tanggal 6 September 2004 tibalah waktunya Munir dan

terdakwa Pollycarpus untuk berangkat ke Singapura untuk transit sebelum

berangkat ke Belanda, namun sebelum keberangkatan, Munir dan terdakwa

sempat bertemu dan berbincang, terdakwa menanyakan tempat duduk Munir yang

oleh munir ditunjukkan yakni no. 40 kelas ekonomi, namun kemudian terdakwa

(35)

Munir, yang mana hal ini dilakukan untuk mempermudah terdakwa untuk

melaksanakan rencananya. Hal inipun dilaporkan oleh terdakwa kepada saksi

Brahmanie Hastawati selaku purser pesawat, bahwa ada perubahan tempat duduk,

dengan tujuan menghilangkan berbagai kecurigaan.

Sesaat setelah pesawat tinggal landas Oedi Iriato selaku pramugara

pesawat bergegas menyiapkan welcome drink kapada para penumpang, sementara terdakwa Pollycarpus bergegas menuju pantry dekat bar premium. Terdakwa

memasukkan racun ke dalam orange juice karena terdakwa tahu bahwa Munir

tidak minum alkohol, sedangkan welcome drink hanyalah orange juice dan wine. Saat itu Munir duduk bersebelahan dengan Lie Khie Ngian yang

berkewarganegaraan Belanda. Saksi Yeti Susmiarti yang bertindak sebagai

pramugari kemudian menawarkan welcome drink kepada Munir dan Lie Khie Ngian, sementara terdakwa, Oedi Irianto, dan Yeti Susmiarti tahu dan dapat

memastikan bahwa Lie Khie Ngian yang warga belanda pasti akan mengambil

wine, sedangkan Munir tanpa ragu mengambil orange juice yang telah dicampur

dengan racun arsen. Pada saat bersamaan terdakwa terus mengamati segala

kegiatan yang telah direncanakannya.

Pada pukul 23.32 wib, atau kurang lebih 120 menit perjalanan, pesawat

dengan nomor penerbangan GA-974 mendarat di bandara Changi Singapura

untuk transit. Pukul 00.45 wib pesawat tinggal landas dari bandara Changi

Singapura, selang 15 menit setelah pesawat tingal landas, Munir mulai merasa

(36)

mual dan muntah-muntah, mendapati keadaan korban yang demikian, crew

pesawat memutuskan untuk membawa korban ke bisnis class untuk dibaringkan

dan sempat mendapat perawatan dari dokter Dr. Tarmizi.

Namun dua jam sebelum mendarat Munir dinyatakan meninggal dunia

akibat sakit perut dan muntaber, selanjutnya Dr. Tarmizi membuatkan surat

kematian. Namun berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat pro justitia

dari Kementrian Kehakiman lembaga Forensik Belanda tanggal 13 Oktober 2004

yang ditandatangani oleh dr. Robert Visser, dokter dan patolog bekerja sama

dengan dr. B. Kubat, menerangkan bahwa berdasar otopsi yang telah dilakukan

dari tanggal 8 September 2004 hingga 13 Oktober 2004, menyimpulkan bahwa

kematian Munir disebabkan konsentrasi arsen yang meningkat sangat tinggi

dalam tubuh Munir.

Demikianlah paparan singkat tentang kronologi Pembunuhan Munir.

B. Proses Hukum Kasus Munir

Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Negeri 4

Sidang kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus di pengadilan negeri

berlangsung dari tanggal 17 Agustus 2005 sampai dengan 20 Desember 2005,

dalam persidangan tingkat pertama ini pengadilan menjerat Pollycarpus dengan

dua dakwaan, dakwaan pertama yaitu ikut serta dalam pembunuhan berencana,

oleh karena itu Pollycarpus dijerat dengan pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1)

(37)

KUHP, sedangkan dakwaan kedua yaitu tentang menggunanakan surat tugas

palsu, dimana dalam hal ini Pollycarpus dijerat dengan pasal 263 KUHP jo pasal

55 (1) ke-1 KUHP.

Dalam Sidang Pollycarpus ke-II. Pembela Pollycarpus, Moh. Assegaf

dalam eksepsinya menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak lengkap, tidak cermat,

dan prematur, namun dalam sidang Pollycarpus ke-III. jaksa Domu P Sihite yang

juga mantan anggota TPF meminta majelis hakim untuk menolak eksepsi (nota

keberatan) yang diajukan terdakwa Pollycarpus. Permintaan jaksa tersebut

dikabulkan majelis hakim pada sidang Pollycarpus ke-IV. Dengan demikian

sidang terus dilanjutkan.

Dalam persidangan-persidangan selanjutnya dihadirkan keterangan para

saksi terkait kasus pembunuhan terhadap Munir, beberapa saksi tersebut antara

lain Suciwati (istri Munir) yang memberikan kesaksian seputar upaya Pollycarpus

untuk mengontak Munir sebelum Munir bertolak ke Belanda. Saksi kedua adalah

Indra Setiawan (mantan Dirut P.T Garuda). Kesaksian Indra seputar penugasan

Pollycarpus sebagai extra crew pada penerbangan Jakarta-Singapura. Indra Setiawan hanya mengakui adanya kesalahan administrative dalam penugasan

kerja Pollycarpus.

Pada sidang tingkat pertama ini pengadilan juga menghadirkan beberapa

saksi, baik dari jajaran PT. Garuda Indonesia, Badan Intelejen Negara (BIN),

kepolisian maupun beberapa saksi ahli, saksi-saksi tersebut antara lain sebagai

(38)

1. Ramelgia Anwar, yang pada saat sidang ini ia selaku Mantan Vice President

Corporate Security PT Garuda.

2. Rohainil Aini selaku Sekretaris Chief Pilot Airbus

3. Karmel Sembiring selaku Chief Pilot Airbus.

4. Eddy Santoso dan Akhirina, selaku bagian administrasi penjadwalan.

5. Hermawan selaku crew tracking.

6. Sabur Muhammad Taufiq, selaku Kapten pilot GA-974 Jakarta-Singapura.

7. Alex Maneklarang, selaku bagian keuangan PT. Garuda

8. Brahmanie Hastawati, selaku purser Garuda

9. Oedi Irianto, seorang pramugara Garuda

10.Tri Wiryasmadi, seorang pramugara

11.Pantun Matondang, kapten pilot GA-974 Singapura-Amsterdam

12.Yeti Susmiarti, seorang pramugari Garuda

13.Tia Ambari, seorang pramugari Garuda

14.Majib Nasution, Purser Garuda

15.Bondan, Pramugara

16.Addy Quresman, Puslabfor Mabes Polri

17.DR. Tarmizi, dokter yang sempat memberikan perawatan kepada Munir.

18.Ridla Bakri, Ahli di bidang racun

19.Budi Sampurna, Ahli forensic

Setelah mendengarkan berbagai keterangan dari para saksi, jaksa

(39)

namun pengadilan tingkat pertama memutuskan, bahwa Pollycarpus dihukum

dengan hukuman penjara selama empat belas tahun.

Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Tinggi

Pada persidangan tingakt pertama ada dua hal yang didakwakan kepada

Pollycarpus, yang pertama yaitu pembunuhan berencana dan kedua pemalsuan

surat, yang mana pada sidang tingkat pertama Pollycarpus sudah dikenakan

hukuman penjara selama 14 tahun. Namun pada sidang permohonan banding di

pengadilan tinggi DKI Jakarta majelis hakim memutuskan untuk membebaskan

terdakwa dari tuduhan pembunuhan berencana, karena menurut majelis hakim

dakwaan kesatu dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Sehingga melalui putusan pengadilan tinggi hari Senin tanggal 27 Maret

2006, dengan surat putusan bernomor 16/PID/2006/PT.DKI, memutuskan untuk

membebaskan Pollycarpus dari dakwaan ke satu dan hanya menghukum terdakwa

selama 4 tahun karena pidana pemalsuan surat.

Kasasi 5

Putusan sidang kasasi dengan No. 1185 K/PID/2006 dibacakan pada

sidang terbuka untuk umum pada tanggal 3 Oktober 2006, beberapa pokok-pokok

pertimbangan putusan MA adalah sebagai berikut :

- Pertimbangan Judex factie hanya didasarkan pada asumsi dan bukan didasarkan pada alat bukti yang terungkap dipersidangan.

(40)

- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwalah yang menyebabkan kematian

Munir dengan memberikan racun arsen ke dalam juice atau mie goreng yang

dimakan atau diminum korban.

- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa telah memasukkan atau menyuruh

memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan

kepada korban dalam penerbangan Jakarta-Singapura GA 974.

- Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat bahwa unsur-unsur

dakwaan kesatu tidak terpenuhi sehingga dakwaan kesatu tidak dapat

dibuktikan secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa harus dibebaskan.

- MA dalam pertimbangannya juga memisahkan antara dakwaan kesatu dan

kedua sebagai tindak pidana yang terpisah dan berdiri sendiri, sehingga tindak

pidana tersebut tidak terkait satu sama lainnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut MA menetapkan amar

putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu;

2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan kesatu;

3. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “ menggunakan surat palsu “;

4. Menjaruhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua)

(41)

Dari amar putusan diatas jelas terlihat bahwa MA terlampau positifistik

dalam memutuskan sebuah persoalan, hal ini nampak dalam putusan MA yang

seolah menghendaki adanya saksi yang melihat secara kasat mata terdakwa

memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan untuk

Munir di dalam pesawat, dengan mengabaikan sama sekali fakta hukum yang

sebenarnya saling berkaitan.

Beberapa fakta hukum yang diabaikan begitu saja oleh MA misalnya :

1. Bahwa benar Pollycarpus dan Munir menggunakan pesawat terbang yang

sama ke Singapura;

2. Bahwa benar Pollycarpus menggunakan surat tugas palsu untuk berangkat ke

Singapura;

3. Bahwa benar Pollycarpus hanya beberapa jam di Singapura;

4. Bahwa benar Pollycarpus melakukan beberapakali pembicaraan melalui

telepon dengan personil Badan Intelijen Negara (BIN);

5. Bahwa benar Pollycarpus memiliki kegiatan sampingan selain sebagai pilot

Garuda.

Sedangkan penjelasan dari fakta-fakta hukum diatas sudah dijelaskan

dalam rangkaian peristiwa pembunuhan Munir pada sidang tingkat pertama, dan

(42)

C. Sidang Peninjauan Kembali Kasus Munir

Dengan ditemukannya bukti baru (novum) dalam perkara pidana terdakwa

Pollycarpus maka Jaksa memutuskan untuk melakukan peninjauan kembali meski

dalam KUHAP pasal 263 tidak diatur secara eksplisit tentang pengajuan

peninjauan kembali oleh jaksa, untuk itu jaksa kemudian menggunakan

penafsiran secara ekstensif 6 pada pasal tersebut serta merujuk pada UU Nomor

04 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Usman Hamid mengatakan bahwa

“Ada sejumlah saksi-saksi baru yang memperkuat pengajuan peninjauan kembali

(PK) kasus pembunuhan Munir”. Saksi-saksi itu memperkuat fakta konspirasi

pembunuhan aktivis HAM itu. Setidaknya ada 4-5 orang. Itu untuk yang lama.

Belum lagi untuk fakta yang menunjuk ke arah konspirasi, jadi cukup kuat.

Hendarman juga mengungkapkan sejumlah bukti baru (novum). Novum itu

antara lain saksi yang melihat mantan terpidana kasus pembunuhan Munir

membawa gelas minuman untuk Munir. Semua disebutkan oleh Hendarman

Supandji, baik itu dari saksi yang melihat tersangka, atau mantan terpidana kasus

pembunuhan munir, membawa gelas minuman untuk Munir. Maupun keterangan

lain yang berasal dari lingkungan Garuda yang mengindikasikan konspirasi.

Bahwa apa yang dilakukan pihak Garuda Indonesia, bukan semata-mata inisiatif

sendiri. Tapi atas permintaan dari lingkungan di luar Garuda. Hal-hal itulah yang

menjadi novum PK kasus Munir. Pihaknya merasa novum ini cukup meyakinkan

untuk dibuktikan dalam majelis PK. Dalam sidang PK dapat diketahui siapa-siapa

(43)

yang terlibat dalam konspirasi ini. Dan tentu setelah PK ini selesai, tahap

selanjutnya adalah mengejar atau menuntut nama-nama baru, baik itu dari

kalangan Garuda maupun dari Badan Intelijen Negara (BIN). Ada yang lebih

baru, semuanya disebutkan Hendarman. Hendarman tidak nutup-nutupi semua,

tapi malah menjelaskan secara langsung yang menjadi novum. Hanya memang

tidak semua hal bisa disampaikan. Hendarman berharap setelah majelis PK

dibuka, baru bisa diketahui publik secara keseluruhan, termasuk nama-nama

barunya.7

Pro kontra pengajuan PK oleh Jaksa tidak menyurutkan tekad mahkamah

agung untuk meninjau kembali kasus pembunuhan terhadap Munir, maka pada

tanggal 9 Agustus 2007 digelar sidang pertama PK atas terdakwa Pollycarpus

Budihari Prijanto.

Sidang PK ini diselenggarakan dalam enam kali persidangan, dalam

permohonan PK nya jaksa melandasi permohonan tersebut dengan Bab XVIII

tentang Upaya Hukum Luar Biasa, Bagian Kedua tentang Peninjauan Kembali

(PK) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pasal

263-268, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).

Saksi-saksi baru dalam persidangan PK ini adalah :

1. Saksi Fakta:

7

http://ad.detik.com/link/peristiwa/prs-relion.ad Detikcom, 03 Agustus 2007 14:54 WIB

(44)

a. Indra Setiawan (Mantan Dirut. PT. Garuda Indonesia)

b. Raden Mohamad Patma Anwar, alias Ucok, alias Empe, alias Aa. (Mantan Agen BAKIN)

c. Raymond J. J. Latuihamallo, alias Ongen (Penumpang GA-974) d. Asrini Putri (Penumpang GA-974 di 2J)

e. Joseph Ririmase (Penumpang GA-974 di 2K)

2. Saksi Konfrontasi/Verbalisan:

a. BrigJen. (Pol) Matius Salempang (Penyidik Polri, Ketua Tim Pemeriksa)

Makasar, 9 Juli 1953. Kristen Protestan

b. KomBes. (Pol) Pambudi Pamungkas (Penyidik Poldi, Anggota Tim

Pemeriksa) Tuban, 12 Maret 1963. Asrama Polisi Pejaten. Islam.

3. Saksi Ahli:

Dr. Rer. Nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Msi., Apt. (Apoteker, Peneliti, Dosen Kimia Universitas Udayana)

20 April 1968. Jimbaran. Hindu

Farmasi ITB. Doktor toksikologi forensik.

Berikut ini akan Penulis paparkan permohonan serta tanggapan terhadap

permohonan PK oleh jaksa. 8

8 Seluruh data penulis dapatkan dari hasil monitoring sidang PK kasus Munir yang dilakukan

(45)

Dasar hukum yang dipergunakan oleh jaksa untuk mengajukan peninjauan

kembali dalam kasus Munir adalah KUHAP pasal 263, jaksa juga menggunakan

keputusan menteri kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang

Pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyatakan bahwa tidak adanya larangan

bagi JPU untuk mengajukan permohonan Peninjauan kembali kepada Mahkamah

Agung, oleh karena itu JPU dapat melakukan permohonan PK.

Selain itu jaksa juga mengemukakan bahwa KUHAP pasal 263 ayat 3,

tentang putusan bebas dari segala tuntutan hukum, dimana ayat tersebut

menyatakan “terhadap dakwaan yang terbukti tetapi diikuti pemidaan”, dipandang

oleh jaksa sebagai hak yang diberikan kepada jaksa mengingat terpidana tidak

akan mungkin mengajukan PK terhadap keputusan bebas yang telah ia dapatkan,

maka penafsiran terhadap KUHAP pasal 263 secara harfiah akan membuat

seorang terdakwa tidak dapat lagi dapat diproses secara hukum meskipun

ditemukan novum yang dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan

terdakwa, sehingga perlu ada pergeseran hukum acara dari offender oriented

menjadi victim oriented, serta dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif atau sosiologis, sehingga upaya hukum dalam hal ini merupakan mekanisme

perlindungan korban kejahatan dalam lingkup prosedural ketika peradilan sering

tidak memenuhi rasa keadilan. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, termasuk

PK, jaksa mewakili kepentingan masyarakat, kolektif maupun individual.

(46)

Dalam dunia hukum dikenal prinsip persamaan hak dan persamaan hukum

dimuka pengadilan, sehingga jaksa juga merasa memiliki kepentingan untuk

melakukan PK karena jaksa mewakili kepentingan negara, masyarakat, ,maupun

individu.

Namun berbagai dasar serta argumentasi hukum diatas dibantah oleh

pihak kuasa hukum Pollycarpus terutama mengenai KUHAP pasal 263. Menurut

kuasa hukum Pollycarpus, KUHAP memuat hukum limitatif terbatas apa yang

ditulis, sehingga apa yang dilarang berarti tidak diperbolehkan, sehingga menurut

kuasa hukum Polly, penafsiran yang dilakukan oleh jaksa berada diluar batas

karena hukum formil memuat prosedur.

Lebuh lanjut tim kuasa hukum Polly menyatakan bahwa pergeseran

perspektif hukum acara tersebut adalah pendapat DR. H. Parman Soeparman,

S.H., M.H. dari bukunya Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan

Kembali (Refika Aditama; 2007). jaksa mencuplik seadanya sehingga konteksnya

bergeser. Dalam bukunya (hal. 11) yang disebut “offender” itu sudah jelas pelakunya, offender yang nyata. Dalam perkara yang diajukan PK ini, offender -nya tidak atau belum jelas. Selain itu Polly telah dibebaskan secara hukum oleh

MA, sehingga secara hukum offender-nya bukan Polly karena dia telah dibebaskan. Selain itu menurut kuasa hukum Pollycarpus, peraturan mengenai PK

(47)

Selanjutnya mengenai alasan peninjauan kembali, jaksa mengemukakan

bahwa Dalam pertimbangannya, Judex Jurist dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan nyata. Jaksa menyatakan bahwa MA salah

mengutip amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam pertimbangan putusan

Kasasinya.

Selain itu menurut jaksa Judex Jurist telah khilaf dan keliru langsung menyimpulkan bahwa unsur-unsur Dakwaan Kesatu tidak terpenuhi secara sah

dan meyakinkan, tanpa terlebih dahulu membatalkan putusan Judex Factie.

Ketidak cermatan Judex Jurist juga ditunjukkan ketika Judex Jurust keliru atau salah dalam pertimbangannya sehingga menyatakan Judex Factie salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena Judex Jurist tidak menghubungkan fakta satu dengan yang lain, dengan sama sekali tidak

mempertimbangkan bahwa pembunuhan Munir tidak lepas dari penggunaan surat

palsu oleh Pollycarpus. Seharusnya, karena penggunaan surat palsu terbukti,

maka pembunuhan yang didakwakan juga terbukti. Oleh karena itu, Hakim

Kasasi telah salah menyimpulkan bahwa pendapat Judex Factie terhadap dakwaan kesatu tidak didukung satu pun alat bukti. Padahal surat palsu bukan

hanya alat bukti dalam dakwaan kedua, tetapi juga dalam dakwaan kesatu, yaitu

sebagai sarana untuk melakukan pembunuhan berencana.

Kekhilafan lain yang meurut jaksa dilakukan oleh Hakim Kasasi adalah,

(48)

terhadap fakta hukum yang diterangkan oleh Judex Factie. Hakim Kasasi menganggap kesimpulan Judex Factie yang menyatakan bahwa masuknya racun arsen adalah dalam penerbangan Jakarta-Singapura sebagai kesimpulan yang

salah, karena terdapat tiga kemungkinan saat masuknya racun arsen ke dalam

tubuh korban (Munir), yaitu sebelum penerbangan, dalam penerbangan, dan

sesudah penerbangan Kakarta-Singapura.

Menurut jaksa, Judex Jurist seharusnya tidak melakukan penilaian terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan Judex Factie. Sesuai jurisprudensi MA No. 14PK/Pid/1997 yang menegaskan bahwa penilaian hasil

pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat

dipertimbangkan dalam tingkat kasasi, dan pemeriksaan mengenai faktas-fakta

hukum berakhir pada tingkat banding, sehingga pemeriksaan kasasi bukan

mengenai peristiwa dan pembuktiannya.

Alasan peninjauan kembali yang digunakan oleh jaksa penuntut umum

ditanggapi oleh kuasa hukum Polly bahwa kekhilafan Judex Jurist Hanyalah kesalahan redaksional semata. Masih menurut kuasa hukum Polly, bahwa

kesimpulan tersebut juga ditarik tanpa pertimbangan yang jelas, bertentangan

dengan Pasal 25 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman dan Pasal

197 (1) butir d KUHAP. Pasal 197 (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan tanpa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah radiasi sinar matahari dapat mempengaruhi kadar bisfenol A total pada wadah botol air minum dibandingkan dengan wadah

Penetapan asas keadilan dalam ketentuan perundang-undangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah dalam arti, bahwa disatu sisi masyarakat yang terkena dampak harus

Dengan judul PKM “D’NUTS IT’S YOUR NUTRIENTS: Sebagai Peluang Usaha Jus Kacang- Kacangan dengan Aneka Buah Melalui Penjualan Media Online”, m enyatakan tidak melakukan

Tanah yang akan diuji dengan alat oedometer test, adalah tanah tak teganggu. Sampel tak terganggu ini mengambilnya dengan menggunakan tabung undisturb sampling. Tanah

Pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan Izin Usaha atau

Sebuah skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Seni dan

Peramalan penjualan yang akan diterapkan dengan menggunakan metode pemulusan eksponensial tunggal ( Single Exponential Smoothing ), dengan tujuan untuk memprediksi

脱硫石膏,バイオブリケット灰による中国アルカリ土壌の改良(2000年度報告) 石川, 晴雄Ishikawa, Haruo 定方, 正毅Sadakata, Masayoshi 松本, 聡Matsumoto,