• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh paparan radiasi sinar matahari terhadap kadar bisfenol A dalam botol plastik jenis polikarbonat yang ditetapkan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh paparan radiasi sinar matahari terhadap kadar bisfenol A dalam botol plastik jenis polikarbonat yang ditetapkan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik."

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PAPARAN RADIASI SINAR MATAHARI TERHADAP KADAR BISFENOL A DALAM BOTOL PLASTIK JENIS POLIKARBONAT YANG

DITETAPKAN MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Leonardus Nito Kristiyanto NIM : 098114019

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

A vaincre sans péril, on triomphe sans gloire

-Corneille-

je dédie le recherches pour ma famille, mes amis,

et tout le monde tous ceux qui ont contribué de leur

(7)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya sehingga dapat terselesaikannya skripsi yang berjudul

“PENGARUH PAPARAN RADIASI SINAR MATAHARI TERHADAP

KADAR BISFENOL A DALAM BOTOL PLASTIK JENIS POLIKARBONAT

YANG DITETAPKAN MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI FASE TERBALIK”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Proses pelaksanaan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak sekali memberikan bimbingan, nasihat, serta berbagai dukungan dalam proses pengerjaan, hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji atas masukan, kritik, dan sarannya selama proses penelitian.

(8)

viii

5. Rini Dwi Astuti, M.Sc., Apt. selaku kepala laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menggunakan laboratorium.

6. Pak Sanjaya selaku dosen yang telah memberikan saran, masukan serta nasihat selama proses penelitian.

7. Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto serta segenap laboran Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu selama proses penelitian.di laboratorium. bersama-sama berjalan dan memberi semangat dalam mengerjakan penelitian ini. 11.Temanku Lidia yang selalu menyemangati dalam kegalauan hidup.

12.Teman-teman satu permainan: Kenny, Wanda, Danu, Denny, Putra, Aldo, Felix, Mikhael, dan semuanya yang telah membantu penulis dan memberikan semangat serta tawa ria.

13.Teman-teman satu laboratorium yang heboh dan menyenangkan: Novia, Agnes, Victor, Shinta, Sasya, Metri, Teti, Febrin, Wisnu, dan Ozy

(9)

ix

Akhir kata, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam penyusunan skripsi ini akibat dari keterbatasan dari kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan.

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

PRAKATA... vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI... xx

ABSTRACT... xxi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 3

(11)

xi

3. Manfaat Penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6

A. Wadah ... 6

1. Wadah Plastik ... 6

B. Sinar Matahari ... 8

C. Bisfenol A ... 10

1. Peruraian BPA dan pemejanannya pada manusia ... 13

2. Metabolisme BPA ... 15

3. Dampak BPA ... 18

D. KCKT ... 21

1. Analisis kualitatif dan kuantitatif ... 36

E. Landasan Teori ... 37

F. Hipotesis ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 40

B. Variabel Penelitian ... 40

C. Definisi Operasional ... 41

D. Bahan Penelitian ... 41

E. Alat Penelitian ... 41

(12)

xii

1. Preparasi sampel ... 42

2. Pembuatan larutan baku bisfenol A ... 43

3. Ekstraksi BPA dalam sampel ... 43

4. Optimasi proses ekstraksi ... 44

5. Efisiensi ekstraksi total ... 44

6. Validasi proses ekstraksi dengan metode standar adisi (standard addition method) ... 45

7. Injeksi ke dalam sistem KCKT ... 46

G. Analisis Hasil ... 46

1. Analisis kualitatif ... 46

2. Analisis kuantitatif ... 47

3. Analisis pengaruh paparan radiasi sinar matahari terhadap kadar BPA dalam botol ... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Pemilihan dan Preparasi Sampel ... 52

B. Optimasi Proses Ekstraksi ... 55

C. Efisiensi Ekstraksi ... 55

D. Validasi Proses Ekstraksi ... 57

E. Penetapan kadar dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 61

(13)

xiii

2. Analisis Kuantitatif ... 64

F. Pengaruh Paparan Radiasi Sinar Matahari terhadap Kadar BPA dalam Botol ... 66

G. Disipasi BPA dalam Botol Air Minum Akibat Paparan Radiasi Sinar Matahari ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 79

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Sifat fisika-kimia BPA ... 11 Tabel II. Sifat pelarut yang akan digunakan sebagai fase gerak ... 30 Tabel III. Data % recovery berbagai perbandingan diklorometan

dan aseton ... 55 Tabel IV. Data perolehan kembali (% recovery) efisiensi ekstraksi .. 56 Tabel V. Akurasi dan presisi sampel BPA dalam botol ... 59 Tabel VI. Linearitas sampel dengan adisi ... 59 Tabel VII. Uji t antara slope kurva baku standar BPA dengan kurva

adisi sampel botol ... 60 Tabel VIII. Hasil perbandingan waktu retensi pada sampel, baku dan

sampel dengan adisi ... 62 Tabel IX. Hasil perbandingan AUC pada sampel, dan sampel

dengan adisi ... 62 Tabel X. Kadar BPA dalam sampel dengan dan tanpa perlakuan

paparan radiasi sinar matahari ... 64 Tabel XI. Linearitas penurunan kadar BPA dalam botol berdasarkan

orde 0, 1, dan 2 ... 66 Tabel XII. Laju penurunan kadar BPA perhari dalam botol

(15)

xv

Tabel XIII. Hasil uji t antara kontrol dengan perlakuan paparan

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1. Struktur bisfenol A ... 10

Gambar 2. Proses pembuatan polikarbonat ... 12

Gambar 3. Proses biotransformasi BPA pada manusia dan hewan uji menjadi BPA-glukoronid dan BPA-sulfat ... 16

Gambar 4. Pemisahan secara kromatografi ... 23

Gambar 5. Skema sederhana dari HPLC ... 24

Gambar 6. Puncak kromatografi ... 25

Gambar 7. Kromatogram ... 25

Gambar 8 Reaksi pembentukan silika terikat ... 26

Gambar 9. Selektivitas panjang gelombang pada detektor UV (a) spektra absorbansi dengan dua contoh sampel X dan Y serta kromatogram pada (b) 280 nm, (c) 260 nm dan (c) 210 nm ... 28

Gambar 10. Solvent triangle ... 32

Gambar 11. Difusi eddy ... 33

Gambar 12. Distribusi aliran ... 34

Gambar 13. Difusi longitudinal ... 35

Gambar 14. Partikel dengan banyak pori dan celah ... 35

(17)

xvii

Gambar 16. Kromofor dan auksokrom BPA ... 51 Gambar 17. Perbandingan puncak (a) puncak sampel dan baku, (b)

puncak sampel dan berbagai sampel yang diadisi ... 63 Gambar 18. Penurunan kadar BPA dalam botol dengan dan tanpa

paparan radiasi sinar matahari ... 65 Gambar 19. Kromatogram (a). Kontrol hari ke-0 (b). Perlakuan hari

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1. Label Baku Standar Bisfenol A (E. Merck) ... 80

Lampiran 2. Data Penimbangan ... 81

Lampiran 3. Dokumentasi Proses Ekstraksi ... 85

Lampiran 4. Optimasi Perbandingan Diklorometan dan Aseton ... 86

Lampiran 5. Perhitungan Efisiensi Ekstraksi ... 87

Lampiran 6. Data Perhitungan Validasi, Akurasi, Linearitas serta Pengaruh Metode Ekstraksi ... 90

Lampiran 7. Analisis Kualitatif BPA dalam Botol Air Minum ... 97

Lampiran 8. Perhitungan Penetapan Kadar BPA dari Botol Air Minum ... 99

Lampiran 9. Laju Penurunan Kadar BPA pada Botol Air Minum Kontrol dan dengan Paparan Radiasi Sinar Matahari ... 102

Lampiran 10. Uji Beda Kadar BPA dalam Botol Air Minum antara Kontrol dan Perlakuan Paparan Radiasi Sinar Matahari ... 106

Lampiran 11. Perhitungan Disipasi BPA pada Air dan Botol Air Minum ... 108

Lampiran 12. Data Kromatogram Optimasi Proses Ekstrasi ... 112

(19)

xix

Lampiran 14. Data Kromatogram Perhitungan Validasi, Akurasi,

Linearitas serta Pengaruh Proses Ekstraksi ... 121 Lampiran 15. Kromatogram Penetapan Kadar BPA dalam Sampel

(20)

xx INTISARI

Bisfenol A (2,2-(4,4’-dihidroksifenil) propana, atau BPA) dikenal sebagai senyawa analog esterogen dengan aktivitas merusak kinerja endokrin (Endocrine Discrupting Chemicals), gangguan prostat, maupun gangguan saraf. BPA banyak terdapat dalam botol berbahan dasar polikarbonat (PC) sebagai salah satu monomer utama penyusunnya. BPA diketahui dapat mengalami depolimerisasi sehingga menyebabkan masuknya BPA kedalam sediaannya. Matahari merupakan sumber panas dan energi yang diperkirakan mampu mendepolimerisasi BPA menjadi bentuk bebasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh paparan radiasi sinar matahari terhadap kadar BPA dalam botol polikarbonat.

Jenis dan rancangan penelitian adalah eksperimental murni menggunakan sistem KCKT dengan fase diam C18, fase gerak asetonitril:air (70:30), waktu alir 1

mL/menit, detektor UV dengan panjang gelombang 278 nm, LOD 0,0471 µg/mL, LOQ 8,4701 µg/g, dan rentang 0,3-3 µg/mL.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan kadar BPA tanpa pengaruh paparan radiasi sinar matahari pada hari ke 0, 7, 14, 21 dan 28 berturut-turut adalah314,0381 µg/g, 288,4873 µg/g, 259,9370 µg/g, 192,5441 µg/g, dan 187,5645 µg/g, sementara kadar BPA dengan pengaruh paparan radiasi sinar matahari adalah 301,4602 µg/g, 248,0486 µg/g, 194,8516 µg/g, 117,4447 µg/g, dan 86,6081 µg/g. Ditemukan adanya pengaruh sinar matahari yang signifikan terhadap kadar BPA dalam botol.

(21)

xxi ABSTRACT

Bisphenol A (2,2-(4,4’-dihydroxyphenyl)propane) or known as BPA is an esterogen hormone analogue which could lead into endocrine discrupt, prostate and neural disorder. BPA mainly used to form policarbonate (PC) bottles and plays role as its major monomer. Contact between BPA and human occur when BPA depolymerisate and leach into the water. Solar radiation as heat and energy source, suspected could depolymerisate BPA and further leach BPA into water. The aims of this research is to determine and reveal the effect of solar radiation to BPA concentration on the polycarbonate bottles.

It is a pure experimental research. Reversed phase High Performance Liquid Chromatography is used with C18 as stationary phase, acetonitrile:water (70:30) as

mobile phase and 1 mL.minute-1 flow rate, 278 nm wavelength UV detector, LOD

0,0471 µg/mL, LOQ 8,4701 µg/g, and range 0,3-3 µg/mL.

The results show that BPA concentration without solar radiation from 0, 7th, 14th, 21st, and 28th day are 314,0381 µg/g, 288,4873 µg/g, 259,9370 µg/g, 192,5441 µg/g, and 187,5645 µg/g, and concentration with solar radiation are 301,4602 µg/g, 248,0486 µg/g, 194,8516 µg/g, 117,4447 µg/g, and 86,6081 µg/g. This study reveals that solar radiation affect the BPA concentration on the polycarbonate plastic bottle significantly.

(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wadah merupakan suatu tempat yang biasanya dipergunakan untuk menyimpan atau pembawa berbagai substansi baik cair maupun padat. Penggunaan wadah sangat lekat dengan kehidupan manusia. Mulai dari keperluan rumah tangga seperti wadah makanan, minuman, botol bayi, sampai dengan kebutuhan laboratorium berupa wadah bahan kimia. Sesuai perkembangannya, wadah dibuat dari berbagai bahan yang disesuaikan dengan bahan apakah yang akan dibawa dan kondisi selama membawa substansi tertentu yang salah satu contohnya adalah plastik. Plastik banyak digunakan secara luas karena sifatnya yang kuat, ringan, tidak mudah pecah serta dekoratif.

Berdasarkan kode daur ulangnya, kemasan plastik dibagi menjadi 7 yang salah satunya adalah polikarbonat (PC). Polikarbonat merupakan salah satu jenis plastik yang banyak digunakan sebagai botol air minuman dan wadah makanan karena sifat plastiknya yang kuat serta jernih serta tidak mudah hancur (Rykowska and Wasiak, 2006). Polikarbonat ditandai dengan kode “other”, “PC” atau kode nomor “7 pada kemasannya. Polikarbonat tersusun dari monomer bisfenol A dan difenil karbonat.

(23)

sampai dengan sinar ultraviolet (Kiil and Houmϕller, 2013; Solarradiation, 2013). Sinar matahari yang mencapai bumi akan dipantulkan oleh atmosfer dan sisanya diserap oleh bumi. Sinar matahari yang diserap oleh bumi dapat diubah menjadi energi yang berbeda besarnya antara suatu tempat dengan tempat yang lain bergantung pada letaknya terhadap matahari (Kiil and Houmϕller, 2013).

Dalam penggunaannya sehari-hari, wadah plastik seringkali terpapar oleh radiasi sinar matahari. Energi yang terdapat pada paparan radiasi sinar matahari diduga dapat menyebabkan putusnya ikatan polimer penyusun plastik (depolimerisasi) pada wadah plastik golongan polikarbonat. Terlebih energi dari paparan radiasi sinar matahari terjadi di daerah khatulistiwa yang mana memungkinkan radiasi tersebut terpancar dengan intensitas yang lebih tinggi berdasarkan letak dan posisinya terhadap matahari. Putusnya ikatan polimer polikarbonat ini menyebabkan monomer-monomer penyusunnya yaitu bisfenol A meluruh dan berpindah menuju ke sediaan.

(24)

Belcher, 2008), serta berbagai gangguan genetis, gangguan saraf dan lain-lain (Rykowska dan Wasiak, 2006).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode pemisahan suatu senyawa dalam sampel yang biasanya berupa campuran menurut kecepatan elusinya akibat interaksi oleh fase gerak dan fase diamnya. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi memiliki beberapa keunggulan seperti: sensitif, mempunyai daya pisah baik, cepat, dengan berbagai macam detektor, serta ideal untuk molekul besar dan ion.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sinar matahari berpengaruh terhadap kadar BPA dalam botol serta berapakah kadar bisfenol A pada wadah botol air minum yang dipaparkan pada sinar matahari dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diketahui kadar bisfenol A total yang belum meluruh dan dilihat penurunan kadarnya terhadap kontrol.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut:

(25)

b. Berapakah kadar total bisfenol A dalam wadah botol air minum akibat pengaruh radiasi sinar matahari dibandingkan dengan wadah botol air minum tanpa pengaruh radiasi sinar matahari?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik yang mana metode ini telah dilakukan untuk menetapkan kadar bisfenol A yang terkandung dalam wadah botol air minum. Pada penelitian terdahulu, bisfenol A yang ditetapkan menggunakan pengaruh pemanasan, perbedaan pH, pencucian dan pemakaian berkali-kali (Nam, Seo, and Kim, 2010; Li, Ying, Su, Ying, and Wang, 2010; Biedermann-Brem, S., Grob, K., and Fjeldal, P., 2008). Namun sejauh peneliti ketahui belum ada penelitian mengenai penetapan kadar bisfenol A dalam wadah botol air minum dengan pengaruh paparan radiasi sinar matahari dan dilakukan di daerah dengan intensitas sinar matahari besar seperti di Indonesia.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :

(26)

b. Manfaat metodologi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prosedur penggunaan metode KCKT dalam penetapan kadar bisfenol A dalam wadah botol air minum dengan pengaruh radiasi sinar matahari.

A. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh radiasi sinar matahari terhadap kadar bisfenol A pada wadah botol air minum dibandingkan wadah botol air minum tanpa pengaruh radiasi sinar matahari.

(27)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Wadah

Pengemas diartikan sebagai wadah, tutup, dan selubung sebelah luar, artinya

keseluruhan bahan kemas, dengannya obat ditransportasikan dan disimpan. Bahan

kemas, yang mengalami kontak langsung dengan bahan yang dikemasnya dinyatakan

sebagai bahan kemas primer, sedangkan bahan kemas yang dibungkus terlebih dahulu

dengan kotak, karton dan sebagainya dinyatakan sebagai bahan kemas sekunder.

Plastik sering dinyatakan sebagai bahan sintesis dan dapat digolongkan menjadi bahan

sintesis organik (Voight, 1995).

1. Wadah plastik

Dari semua jenis bahan pengemas, plastik merupakan suatu bahan yang

dikenal paling luas penggunaannya. Menurut American Society for Testing and

Materials (ASTM), plastik merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih

bahan polimer organik esensial dengan massa molar yang besar, bersifat solid dalam

bentuk jadinya dan dalam beberapa proses pembuatannya dapat dengan mudah

dibentuk (Rabinow and Roseman, 2005).

Wadah plastik berdasarkan nomor daur ulangnya (recycle) dapat dibagi

menjadi 7, yaitu:

a. Wadah bernomor daur ulang 1. Wadah dengan nomor daur ulang 1 ditandai

(28)

Terephtalate). PET biasanya digunakan untuk botol minuman (minuman

ringan, minuman sekali minum, minuman olahraga), baskom plastik dan

wadah kosmetik. Wadah jenis ini diperuntukkan hanya sekali pakai, namun

apabila dipakai terus menerus maka akan mengalami peluruhan dan

pertumbuhan bakteri (Plasticfreebottles, 2013).

b. Wadah bernomor daur ulang 2. Wadah dengan nomor daur ulang 2 ditandai

dengan angka 2 atau kode “HDPE” (High Density Polyethylene) pada kode

daur ulangnya. Wadah jenis ini tergolong aman dan biasanya dipakai untuk

tas pasar, botol jus dan susu (Plasticfreebottles, 2013).

c. Wadah bernomor daur ulang 3. Wadah dengan nomor daur ulang 3 ditandai

dengan angka 3 atau kode “PVC” (Polyvinyl Chloride) pada kode daur

ulangnya. Plastik ini tergolong berbahaya dan mengandung bahan racun.

Pemakaiannya berkisar pada peralatan rumah tangga seperti bingkai jendela,

pembungkus daging, penutup kabel dan lain-lain (Plasticfreebottles, 2013).

d. Wadah bernomor daur ulang 4. Wadah bernomor daur ulang 4 ditandai

dengan angka “4” atau kode “LDPE” (Low Density Polyethylene) pada kode

daur ulangnya. Plastik ini tergolong aman digunakan dengan pemakaiannya

sebagai pembungkus makanan, pembungkus roti, plastik dry cleaning, dan

lain-lain (Plasticfreebottles, 2013).

e. Wadah bernomor daur ulang 5. Wadah ini ditandai dengan angka “5” atau

kode “PP” (Polypropylene) pada kode daur ulangnya. Plastik ini tergolong

(29)

membungkus produk makanan dan minuman lainnya (Plasticfreebottles,

2013).

f. Wadah bernomor daur ulang 6. Wadah ini ditandai dengan angka “6” atau

kode “PS” (Polystyrene) pada kode daur ulangnya. Biasanya digunakan

sebagai karton telur, perangkat CD, kemasan busa, dan lain-lain. Pada wadah

jenis ini penggunaannya lebih baik dihindari karena dapat meluruhkan styrene

dari komponen plastik yang dapat menyebabkan kanker (karsinogen) serta

mengganggu fungsi hormon apabila terpejan ke manusia (Plasticfreebottles,

2013).

g. Wadah bernomor daur ulang 7. Wadah ini ditandai dengan angka “7”, “other”,

atau PC(Polycarbonate) pada kode daur ulangnya. Biasanya digunakan

sebagai wadah air minum, botol bayi dan perangkat mobil. Penggunaannya

yang lama dapat membuat monomer bisfenol A yang ada luruh kedalam

sediaan, oleh karena itu penggunaannya lebih baik dihindari

(Plasticfreebottles, 2013).

B. Sinar Matahari

Sinar matahari merupakan sumber dari radiasi elektromagnetik. Ketika

memancarkan radiasi, sebagian dari radiasi matahari masuk ke bumi melewati atmosfer

hingga kemudian sampai ke permukaan bumi. Jumlah dari total radiasi matahari yang

sampai ke bumi disebut insolasi (Kiil and Houmøller, 2013). Radiasi matahari

(30)

matahari. Spektrum ini terdiri dari sinar tampak dan radiasi sinar tampak-dekat seperi

sinar X, ultraviolet, inframerah dan gelombang radio (Solarradiation, 2013). Sinar

matahari ketika sampai di atmosfer akan dipantulkan oleh lapisan ozon, sedangkan

sisanya diserap dan diubah menjadi panas (Kiil and Houmøller, 2013).

Sinar ultraviolet (UV) merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik yang

mempunyai panjang gelombang antara 40 sampai 400 nm (30 hingga 3 eV). Spektrum

UV dibagi menjadi UV vakum (40-190 nm), UV jauh (190-220 nm), UV C (220-290

nm), UV B (290-320 nm), dan UV A (320-400 nm). Sinar ultraviolet mempunyai

panjang gelombang yang lebih pendek dari sinar tampak. Sinar ini tidak tampak mata

oleh manusia, namun nampak bagi sebagian serangga seperti lebah (National

Aeronautics and Space Administration, 2007). Matahari adalah sumber radiasi UV

utama di bumi (Zeman, 2011). Sebagian besar sinar UV B dan UV C dapat diabsorbsi

oleh lapisan ozon bumi, tetapi residu dari sinar UV B masih bisa mencapai tanah.

Residu sinar UV B tersebut bisa diabsorbsi oleh protein dan DNA yang bisa berakibat

fatal, seperti terjadinya kanker (Gruijl, 1999).

Energi yang didapat dari matahari cenderung konstan, namun dapat pula

bervariasi tergantung letak dari tempat tersebut pada matahari (Kiil and Houmøller,

(31)

C. Bisfenol A

Gambar 1. Struktur bisfenol A (NTP-CERHR, 2008)

Bisfenol A (CAS 80-05-7) merupakan nama yang umum digunakan untuk

senyawa 2,2-(4,4’-dihidroksifenil) propana, 4,4’-isopropilidendifenol, atau 2,2’

-bis(4-hidroksifenil)propana. BPA mempunyai berat molekul sebesar 228,29 g/mol dan

rumus kimia C15H16O2. BPA dihasilkan melalui kondensasi fenol oleh aseton dengan katalis resin penukar ion yang kuat (Rykowska and Wasiak, 2006) ataupun dengan

kondensasi fenol dan aseton dengan katalis asam (NTP-CERHR, 2008). Bisfenol A

(BPA) berwujud padatan putih dan berbau fenolik lembut atau bau seperti “rumah

sakit” (NTP-CERHR, 2008). Produk yang berbahan dasar atau menggunakan BPA

(bisfenol A) sudah secara luas digunakan lebih dari 50 tahun yang lalu (Felis,

(32)

Tabel I. Sifat fisika-kimia BPA (Staples, Dorn, Klecka, O’block and Harris, 1998)

Sifat Fisika-kimia BPA Nilai

Titik didih 2200C pada 4 mmHg; 3990C pada 760 mmHg

Titik lebur 150-1570C

Grafitasi 1.060-1.195 g/mL pada 20-250C

Kelarutan di air 120-300 mg/L pada 20-250C

Tekanan uap 8.7 x 10-10 -3.96 x 10-7 mmHg pada 20-250C

Stabilitas/reaktivitas -

Log Kow 2.20-3.82

Konstanta Henry 1.0 x 10-10 atm m3/mol

BPA biasanya digunakan sebagai intermediet dalam pembuatan plastik polikarbonat

dan resin epoksi (Ternes and Joss, 2006). Bisfenol A juga biasanya digunakan sebagai

bahan penstabil atau antioksidan pada banyak jenis plastik seperti polivinil klorida

(Ash and Ash, 1995).

BPA merupakan suatu bahan kimia yang diproduksi oleh pabrik dalam jumlah

massal. Pada tahun 1991, volume produksi BPA mencapai 7,26 milyar g (atau setara

16 juta pon) (HSDB, 2003). Pada pertengahan 2004, produksi BPA di Amerika Serikat

tercatat sebanyak 1,024 juta kubik ton (atau setara 2,3 milyar pon) (NTP-CERHR,

2008). Pada tahun 2006, produksi BPA diseluruh dunia mencapai 3,8 juta kubik ton

(Plastic Europe, 2007), sedangkan konsumsinya pada tahun 2003 di Amerika Serikat

sendiri sebesar 856.000 kubik ton (1,9 milyar pon); dimana 619.000 kubik ton (1,4

milyar pon) sebagai resin polikarbonat, 184.000 (406 juta pon) sebagai resin epoksi

dan 53.000 kubik ton (117 juta pon) digunakan untuk lain-lain (NTP-CERHR, 2008).

Polikarbonat merupakan polimer dari BPA yang mana akan menghasilkan

(33)

mencampur BPA dengan difenil karbonat pada suhu 573 K seperti pada gambar 2

(Rykowska and Wasiak, 2006).

Gambar 2. Proses pembuatan polikarbonat (Rykowska and Wasiak, 2006)

Polikarbonat banyak digunakan dalam pembuatan media optik seperti CD dan

DVD, pada bidang kelistrikan dan perlengkapan elektronik serta bahan bangunan,

poliester unsaturated, resin polisulfon (Olea, Pulgar, Perez, Olea-Serrano, Rivas,

Novillo-Tertrell et al., 1996) serta pada peralatan yang tahan banting (NTP-CERHR,

2008). BPA juga secara luas digunakan pada bidang medis, perlengkapan kesehatan

serta kemasan botol dan wadah (Beronius and Hanberg, 2011). Selain digunakan

murni, plastik polikarbonat dapat pula dicampur dengan material lain untuk membuat

material seperti yang digunakan di industri telepon genggam, peralatan rumah tangga

dan industri otomotif. Plastik polikarbonat ditandai dengan kode nomor daur ulang “7”

(34)

Resin epoksi juga luas penggunaannya dan biasanya digunakan dalam

pembuatan pelindung dan salut pada serbuk. Penggunaan lainnya pada bidang elektrik

dan elektronik, teknik sipil, dan pelindung dalam industri otomotif (Beronius and

Hanberg, 2011). Resin epoksi juga umum digunakan sebagai bahan pelapis logam

seperti pada kaleng minuman, tutup botol serta pipa air (NTP-CERHR, 2008).

1. Peruraian BPA dan pemejanannya pada manusia

Pemejanan BPA dari suatu polikarbonat atau resin epoksi terjadi apabila

monomer BPA lepas dari bentuk polimernya(dari suatu polikarbonat atau resin epoksi).

Lepasnya suatu monomer BPA dapat terjadi akibat dari proses polimerisasi yang tidak

sempurna atau hidrolisis yang disebabkan peningkatan suhu atau pH yang ekstrim

(European Chemicals Bureau, 2008) serta pemakaian berkali-kali (Nam, Seo, and Kim,

2010).

Pemejanan BPA pada manusia terjadi terutama akibat dari makanan yang

tercemar BPA sebagai akibat dari penggunaan wadah polikarbonat (atau yang

mengandung monomer BPA lainnya seperti botol bayi, peralatan makan, dan wadah

makanan serta kaleng makanan dan minuman yang dilapisi oleh resin epoksi)

(Beronius and Hanberg, 2011). Selain dari wadah makanan secara langsung, BPA juga

dapat terpejan dari sumber berupa debu, udara dan air (terutama akibat berenang dan

mandi dimana BPA mengkontaminasi lewat kulit). BPA dalam bentuk serbuk juga

dapat terpejan melalui permukaan beberapa thermal printing papers, misalnya nota

kasir dimana serbuk BPA tersebut terpejan ke kulit ketika bersentuhan dengan kulit

(35)

BPA yang terbebas ke lingkungan pada tahun 2004 adalah sebesar 181.768 pon:

dimana 132.256 pon ke udara, 3.533 pon ke air, 172 pon injeksi, dan 45.807 ke tanah

(NTP-CERHR, 2008). Menurut Staples et al. (1998), degradasi BPA tersebut terjadi

akibat BPA yang mampu menyerap sinar ultraviolet terutama sinar yang masuk dan

diserap oleh larutan bawaannya serta diketahui bahwa fotolisis dari permukaan air

dapat terjadi terutama akibat pengaruh pH, turbiditas, turbulensi, dan sinar matahari.

Waktu paruh akibat foto-oksidasi dari BPA berkisar antara 66 jam sampai 160 hari.

BPA yang meluruh dari botol dapat mengkontaminasi manusia dan dapat

berakibat fatal. BPA mempunyai struktur mirip dengan esterogen sehingga dapat

berikatan dengan reseptor esterogen dan meningkatkan aktivitas esterogen dalam tubuh

(Ternes and Joss, 2006), BPA juga diklasifikasikan sebagai endocrine discrupting

chemical (EDC), yang mana BPA berperan sebagai agen eksogen yang mengganggu

produksi, pelepasan, transportasi, metabolisme, pengikatan, aksi, maupun eliminasi

dari hormon alami (US-FDA, 2008). Sejumlah efek dari BPA pada hewan uji telah

banyak dilakukan dengan target organ yang meliputi usus, hati dan ginjal. Lebih jauh,

BPA juga dapat mengacaukan efek pada sistem-sistem endokrin yang lain seperti efek

yang dimediasi androgen, hormon tiroid, prolaktin, insulin, dan lainnya (Wetherill,

Akingbemi, Kanno, McLachian, Nadal, et al., 2007).

Penggunaan BPA sebagai polimer untuk produk tambahan makanan baik

langsung maupun tidak langsung serta alat-alat kedokteran gigi masih diperbolehkan

oleh FDA menurut Peraturan Regulasi Federal (Code of Federal Regulations/CFR).

(36)

penggunaannya sebagai anoksomer, dan pelindung pada permukaan wadah makanan

dan bahan resin gigi (FDA, 2006).

Dosis perhari yang diperbolehkan (Tolerable daily intake/TDI) dari BPA telah

ditetapkan oleh European Food Safety Authority (EFSA, 2006) adalah sebesar 50

µg/KgBB.hari. Walau bagaimanapun, hasil dosis perhari/TDI yang diperbolehkan ini

diragukan oleh banyak ilmuwan karena hasil EFSA ditetapkan berdasarkan petunjuk

yang disetujui dan dikategorikan sebagai petunjuk yang terpercaya dan berkualifikasi

sangat baik. Pada kenyataannya, banyak penelitian yang dilakukan tidak berdasarkan

petunjuk EFSA menunjukkan hasil yang kontroversi bahwa TDI yang ditemukan

dibawah 50 µg/kgBB/ hari bahkan beberapa µg/kgBB.hari (Richter, Birnbaum,

Farabollini, Newbold, Rubin and Talsness, 2007).

Beberapa lembaga didunia menetapkan dosis harian yang diperbolehkan atau

TDI, seperti di Eropa 0,01 mg/KgBB.hari (SCF, 2012), 0,05 mg/KgBB.hari (EFSA,

2013); Amerika Serikat; Kanada sebesar 0,025 mg/KgBB.hari (Health Canada, 2008);

dan Jepang 0,05 mg/KgBB.hari (AIST, 2007).

2. Metabolisme BPA

Pada manusia dan primata lainnya, BPA yang dikonsumsi secara oral akan

dengan cepat terabsorbsi pada dinding usus, terikat dengan asam glukoronat dan diubah

menjadi BPA-glukoronid pada metabolisme fase satu (first pass metabolism) oleh

suatu enzim di hati (NTP-CERHR, 2008) dan sejumlah kecil BPA diubah menjadi

konjugat sulfat (gambar 3). Reaksi ini digolongkan sebagai reaksi deaktivasi. Proses

(37)

mudah untuk dieliminasi melalui urin dan meminimalisir kemungkinan untuk

berinteraksi dengan proses-proses biologis lainnya. Lebih dari 80% BPA yang

dikonsumsi secara oral akan dibuang dari tubuh dalam waktu 5 jam. Bentuk konjugat

sulfat inilah yang berperan sebagai pengganggu endokrin (INFOSAN, 2009).

Gambar 3. Proses biotransformasi BPA pada manusia dan hewan uji menjadi BPA-glukoronid dan BPA-sulfat (Aschberger, Castello, Hoekstra, Karakitsios, Munn, Pakalin et al., 2010)

Penelitian oral yang dilakukan pada tikus ditemukan bahwa BPA pada

jaringan tubuh ditemukan terkonsentrasi pada jaringan hati, ginjal, jaringan mati serta

pada otak dan testis konsentrasinya paling rendah (Aschberger et al., 2010).

Pada kasus yang melibatkan janin, jumlah BPA pada jaringan fetus sama

dengan jumlah BPA yang ada pada darah ibu sehingga ini menunjukkan bahwa BPA

dapat terdistribusi melalui plasenta. BPA juga dapat berpindah melalui air susu dengan

konsentrasi 1-3µg/L atau sedikit lebih tinggi dari BPA yang terdapat dalam darah ibu.

Data toksikologi menunjukkan bahwa fase embrionik/neonatal tidak mempunyai

(38)

embrionik/neonatal dapat tetap memetabolisme BPA lewat sulfatasi (enzim

sulfo-transferase). Fetus merupakan individu yang paling rentan dimana pemaparan BPA

tidak hanya terjadi akibat penularan dari induknya melewati plasenta atau air susu

namun juga terjadi akibat pemakaian wadah berbahan PC (terutama botol susu bayi)

(INFOSAN, 2009). Menurut penelitian dari Domoradzki, Thornton, Pottenger,

Hansen, Card, Markham et al. (2004), kemampuan hewan uji tikus yang sangat muda

untuk memetabolisme BPA kurang baik dibandingkan dewasa terkait dengan kurang

berkembangnya proses glukoronidasi saat tikus berada dalam fase awal kehidupan.

Menurut penelitian Ikezuki, Tsutsumi, Takai, Kamei, dan Taketani (2002) serta

Welshons, Nagel dan vom Saal (2006), peningkatan dosis pada induk juga akan

memicu peningkatan akumulasi sirkulasi BPA pada fetus.

Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadi pula peristiwa dekonjugasi BPA

yang menyebabkan BPA yang sudah dideaktivasi (BPA yang telah terglukoronidasi

dan tersulfatasi) menjadi aktif kembali/reaktivasi oleh enzim -glukoronidase dan

arilsulfatase C menjadi BPA bebas (Ginsberg and Rice, 2009). Enzim -glukoronidase

merupakan enzim yang tidak hanya terdapat pada saluran pencernaan usus halus,

namun juga terdapat pada seluruh bagian tubuh, termasuk plasenta dan hati fetus (yang

diduga turut berperan dalam akumulasi pada fetus). Arilsulfatase C berkembang pada

masa awal kehidupan dan dapat mendekonjugasi BPA sulfat menjadi bentuk bebasnya

(Aschberger et al., 2010).

Pada manusia, BPA yang diekskresikan lewat urin mempunyai waktu paruh

(39)

berbeda dengan hewan pengerat akibat proses resirkulasi enterohepatik yang

menyebabkan waktu paruh yang lebih lambat yaitu antara 15 sampai 22 jam

(Aschberger et al., 2010). Ditemukan pula fakta lain bahwa konsentrasi BPA tidak akan

berkurang dengan cepat dengan puasa (Stahlhut, Welshons, and Swan, 2009).

3. Dampak BPA

Sejumlah efek dari BPA pada hewan uji telah banyak diteliti terutama dengan

target organ yang meliputi usus, hati dan ginjal. Efek yang lebih terlihat pada

pemejanan BPA berupa efek secara fisik, saraf dan perubahan pada perkembangan sifat

atau tingkah laku. BPA bersifat sebagai oesterogen lemah dimana mempunyai afinitas

yang lebih lemah terhadap reseptor oesterogen (ERα dan ER ) daripada oesterogen

endogen dan secara cepat dimetabolisme oleh tubuh menjadi BPA-glukoronid dimana

secara hormon tidak aktif. Namun BPA mempunyai afinitas yang tinggi terhadap

reseptor esterogen-terhubung (ERR- ), dimana afinitas yang tinggi inilah yang

dilaporkan mengganggu kinerja dari endokrin (Endocrine Discrupting Chemical)

(INFOSAN, 2009).

Sebagai Endocrine discrupting chemical, BPA berperan sebagai agen eksogen

yang mengganggu produksi, pelepasan, transportasi, metabolisme, pengikatan, aksi,

maupun eliminasi dari hormon alami (US FDA, 2008). BPA digolongkan sebagai

oesterogen lingkungan yang lemah (weak environmental oesterogen) dikarenakan BPA

berikatan dengan reseptor oesterogen alfa dan beta dengan kekuatan ikatan

10.000-100.000 kali lipat lebih lemah daripada 17 -oestradiol (hormon alami) (Aschberger et

(40)

BPA dan efek merusaknya pada jaringan yang berhubungan dengan androgen atau

oesterogen, misalnya sistem imun, tiroid dan sistem saraf. Penelitian tersebut

melaporkan bahwa BPA dapat menstimulasi aforemention cellular response pada dosis

kecil baik lewat mekanisme genomik (reseptor inti oesterogen) ataupun non-genomik

(berhubungan dengan membran atau transduksi intraseluler) (Wetherill et al., 2007).

Dilaporkan pula efek dari BPA mungkin dimediasi lewat reseptor permukaan sel

oesterogen (GPR30). BPA diketahui pula ekuipoten dengan 17 -oestradiol dan

dietilstilbestrol (Alonso-Magdalena, Laribi, Ropero, Fuentes, Ripoll, Soria et al., 2005)

dan menunjukkan sifat merusak sifat normal reseptor inti hormon oesterogen di

pankreas (Adachi, Yasuda, Mori, Yoshinaga, Aoki, Tsujimoto et al., 2005).

Penelitian di laboratorium membuktikan bahwa pemejanan dengan level

tinggi selama masa kehamilan dan/atau laktasi menunjukkan efek berupa kurangnya

daya hidup, masalah pada berat badan, pertumbuhan, dan masa awal pubertas yang

tertunda pada tikus jantan dan betina. Efek ini terlihat pada dosis yang sama dimana

pada dosis ini menimbulkan penurunan berat badan pada hewan yang mengandung.

Dosis yang tejadi dapat dihubungkan dengan efek: pubertas yang terlambat (≥50

mg/KgBB.hari); pertumbuhan yang lambat (≥300 mg/KgBB.hari); berkurangnya daya

hidup (≥500 mg/KgBB.hari) (NTP-CERHR, 2008).

Studi pada mencit dan tikus telah membuktikan bahwa paparan BPA pada

uterus dapat menyebabkan perubahan susunan bentuk payudara pada remaja dan

(41)

Ucci, Sonnenschein, and Soto, 2007; Moral, Wang, Russo, Lamartiniere, Pereira, and

Russo, 2008). Pada kelenjar susu mamalia prenatal yang dipaparkan BPA, secara

spesifik dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah struktur epithelial yang

belum terdiferensiasi, peningkatan jumlah reseptor progesterone receptor-positive (PR

+), penurunan tingkat apoptosis dan meningkatkan sensitivitas estradiol (Murray et al.,

2007; Moral et al. 2008). Pada hewan prenatal yang dipaparkan BPA juga

menunjukkan peningkatan jumlah saluran hiperplastik pada hewan dewasa (Durando

et al., 2007; Murray et al., 2007), lebih pekanya hewan dewasa terhadap paparan BPA

yang bersifat karsinogen (Durando et al., 2007), serta meningkatkan luka neoplasik

pada payudara (Murray et al., 2007).

Efek pada prostat atau jalur reproduksi laki-laki terjadi pada dosis 2

µg/KgBB.hari; pada dosis 475mg/KgBB.hari menunjukkan keterlambatan dalam onset

pubertas pada tikus jantan dan betina namun tidak ada pengaruhnya pada kesuburan.

Beberapa studi juga melaporkan bahwa perlakuan dengan BPA selama masa

pertumbuhan dapat menyebabkan perubahan sifat dan perkembangan otak pada tikus.

Pada studi karsinogenisitas yang dilakukan dibawah US National Toxicology Program

menggunakan mencit F344 dan B6C3F1 menunjukkan pertumbuhan kecil leukemia

dan sel tumor testikular interstisial pada tikus jantan. Pada penelitian lainnya,

percobaan secara in vivo membuktikan bahwa tidak terdapat aktivitas androgenik

(42)

LD50 yang ditetapkan untuk tikus secara oral adalah sebesar 3250 mg/kg, sedangkan pada mencit secara per oral adalah 2400 mg/kg dan peritoneal sebesar 150

mg/kg, pada kelinci ditemukan 2230 mg/kg secara per-oral dan pemejanan kulit 3

mL/kg. Pada hamster 4000 mg/kg secara oral serta pada mamalia umumnya 6500

mg/kg (Sigma-Aldrich, 2004). Menurut penelitian Pant and Deshpande (2012), LD50 bisfenol A adalah sebesar 841 mg/kg (i.p.) dan 35,26 mg/kg (i.v.) pada tikus.

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase

diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) dan merupakan teknik

pemisahan yang paling umum dan paling banyak digunakan untuk dalam bidang

analisis (kualitatif, kuantitatif maupun preparatif) baik farmasi, lingkungan dan

lain-lain (Gandjar dan Rohman, 2007). KCKT banyak digunakan untuk mengukur kuantitas

dalam suatu formulasi. Prinsipnya adalah suatu fase gerak cair dipompa dibawah

tekanan kolom yang mengandung partikel-partikel fase diam dengan diameter 3-10

µm. Analit tersebut dimasukkan melalui bagian atas kolom melalui katup lengkung dan

pemisahan dilakukan berdasarkan lamanya waktu relatif yang diperlukan oleh

komponen di dalam fase diam. Penentuan elemen yang keluar dapat ditentukan dengan

berbagai detektor (Watson, 2005).

Pemisahan dengan kromatografi merupakan pemisahan dimana solut atau

sampel terpisah oleh karena perbedaan kecepatan elusi akibat melewati suatu fase

(43)

gerak dan fase diam. Untuk memisahkan secara optimal, hal-hal yang harus

diperhatikan diantaranya: jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom,

kecepatan alir fase gerak, suhu kolom dan ukuran sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fungsi KCKT yang paling banyak digunakan adalah sebagai pemisah untuk

senyawa-senyawa anorganik, senyawa organik, senyawa biologis serta dapat pula

untuk senyawa yang tidak mudah menguap, untuk analisis ketidakmurnian. Selain itu,

dapat pula menganalisis molekul netral, ionik maupun zwitter ion. KCKT juga cocok

untuk senyawa yang strukturnya hampir sama, analisis dalam jumlah sangat sedikit

(trace analysis) ataupun dalam jumlah banyak (skala industri) (Gandjar dan Rohman,

(44)

Gambar 4. Pemisahan secara kromatografi (Meyers, 2004)

Sistem instrumentasi standar untuk elusi isokratik meliputi :

a. Reservoir pelarut

b. Pompa bertekanan

c. Injektor lengkung yang bervolume tetap antara 1 dan 200 µL

d. Kolom yang biasanya berupa tabung baja yang dikemas dengan gel silica tersalut

oktadesilsilan (ODS-bond)

e. Detektor, biasanya berupa detektor UV/Visibel

f. Sistem penangkap data yang biasanya berupa suatu integrator komputansi atau

(45)

Gambar 5. Skema sederhana dari HPLC (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010)

Pada gambar 5 diatas menunjukkan gambaran skematis dari HPLC dimana

terlihat pelarut/fase gerak (solvent) mengalir dari fase gerak (solvent reservoir) menuju

pipa injektor membawa sampel menuju detektor melewati kolom dimana pada kolom

inilah terjadi pemisahan sampel berdasarkan komponen-komponennya (sampel

terelusi) dan kemudian terbaca oleh detektor (biasanya spektrometer UV atau massa

atau detektor lainnya) (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010).

Kromatografi fase terbalik (Reverse phase chromatography) merupakan

pilihan pertama ketika akan dilakukan suatu pemisahan senyawa yang mempunyai

bentuk ionik atau bersifat netral, menggunakan kolom yang terdiri dari fase yang lebih

kurang polar seperti C8 atau C18. Eluen atau fase gerak umumnya adalah campuran antara air dengan asetonitril (ACN) atau metanol (MeOH) atau pelarut organik lainnya

(misalnya isopropanol (IPA), atau tetrahidrofuran (THF)). Pelarut organik yang dipakai

(46)

penggunaan, serta tidak mempengaruhi pembacaan oleh detektor serta harganya

terjangkau (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010).

Pada kromatografi data yang dihasilkan berupa puncak Gaussian yaitu apa yang

dikenal sebagai puncak (peak) seperti yang ditunjukkan gambar 6. Puncak (peak)

menunjukkan hasil solut yang terelusi dan terbaca dalam kromatogram, yaitu

keseluruhan data kromatografi.

Gambar 6. Puncak kromatografi (Meyers, 2004)

Gambar 7. Kromatogram (Meyers, 2004)

Kolom merupakan suatu komponen inti dari sebuah rangkaian alat

(47)

untuk menjadi semakin efisien, stabil dan reprodusibel. Fase diam (stationary phase)

pun begitu banyak dikembangkan untuk meningkatkan pemisahan menjadi lebih

fleksibel untuk semua jenis sampel serta lebih efektif dimana suatu kolom dapat

memisahkan sampel yang tidak mungkin dapat dipisahkan pada masa lampau.

Sekarang pada umumnya digunakan kolom dengan panjang antara 30 sampai 250 mm

serta partikel dengan diameter antara 1,5 sampai 5 μm (Snyder, Kirkland, and Dolan,

2010).

Fase diam dalam suatu sistem kromatografi sangat menentukan waktu retensi

dan selektivitas dalam pembacaan data. Pada kromatografi fase terbalik, fase diam

yang biasanya digunakan adalah organosilan yang diikat kovalen dengan gugus silanol

pada permukaan silika untuk membentuk fase gerak atau ligan R seperti pada gambar

8. Gugus fungsi R biasanya adalah –Cl, -Oet, atau –CH3 (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010).

Gambar 8. Reaksi pembentukan silika terikat (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010).

Spektrofotometer UV dan visibel merupakan detektor yang paling luas

digunakan dalam sistem oktadesilsilan (ODS) dengan formasi R = – (CH2)17CH3, merupakan fase diam yang paling luas penggunaannya. Sifatnya sangat nonpolar dan

(48)

Detektor UV/vis mempunyai tingkat sensitivitas yang cukup tinggi, namun

suatu solut harus dapat menyerap sinar pada panjang gelombang UV atau visibel

(190-600 nm) untuk dapat terdeteksi oleh sistem ini. Konsentrasi sampel dihitung melalui

fraksi cahaya yang ditransmisikan melalui suatu solut yang mengikuti hukum Beer,

yaitu:

log (�� �) = εbc

dari persamaan diatas, lo menunjukkan intensitas cahaya, l menunjukkan intensitas

cahaya yang ditransmisikan, ε merupakan absorbtivitas molar, b lebar kuvet (dalam

cm), dan c merupakan konsentrasi sampel (dinyatakan dalam mol/L). Absorbsi

cahaya pada detektor KCKT biasanya dirancang untuk menghasilkan data berupa

absorbansi (A), mengikuti persamaan :

A = log (��

�) = εbc (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010).

Pembacaan sampel yang terdeteksi dan terukur oleh detektor ditunjukkan oleh

gambar 9. Sampel yang terbaca oleh detektor digambarkan oleh peak yang dipengaruhi

oleh besarnya absorbansi yang diserap pada panjang gelombang tertentu yang

dipancarkan oleh sumber sinar pada spektra. Pada gambar 9, suatu solut yang

dimisalkan dengan sampel X, dan sampel Y. Pada panjang gelombang 280 nm (gambar

9b) analit Y menunjukkan absorbansi yang kuat, sehingga puncak yang dihasilkan pun

akan semakin besar. Pada panjang gelombang 260 nm (gambar 9c) karena absorbansi

keduanya hampir sama, maka puncak yang dihasilkan pun hampir sama. Pada 210 nm

(49)

puncak yang tinggi pula. Perlu diingat bahwa munculnya puncak baru (puncak Z) akan

terjadi dan kemunculan ini tidak teramati pada panjang gelombang yang lebih tinggi.

Hal ini berhubungan dengan mulai lemahnya selektivitas detektor (Snyder, Kirkland,

and Dolan, 2010).

Gambar 9. Selektivitas panjang gelombang pada detektor UV

(50)

Fase gerak harus dipilih berdasarkan sifat kromatografisnya, yaitu dapat

berinteraksi dengan fase diam yang sesuai dan dapat memisahkan campuran sampel

secepat dan seefisien mungkin. Pemilihan fase gerak harus mempertimbangkan faktor

berikut:

a. Viskositas. Dengan viskositas yang rendah maka tekanan kolom dapat lebih ringan

dan meminimalisir adanya fenomena transfer massa.

b. Transparan saat pengukuran. Apabila suatu fase gerak tidak transparan maka akan

dapat mengganggu absorbansi dari sampel.

c. Indeks bias. Apabila digunakan, maka indeks bias pada pelarut dan sampel harus

berbeda sejauh mungkin terlebih saat pengukuran dekat dengan LOD.

d. Titik didih. Apabila suatu sampel akan melewati proses selanjutnya maka akan lebih

baik dipilih pelarut dengan titik didih rendah, namun untuk pelarut dengan tekanan

uap tinggi harus diwaspadai karena akan mengganggu proses deteksi.

e. Kemurnian. Hal ini bergantung pada pemakaian. Apabila pelarut tidak murni

digunakan tentu akan mengganggu saat elusi dengan gradien.

f. Inert dengan sampel. Apabila terjadi proses oksidasi-reduksi maka dapat digunakan

pengawet yang tidak mengganggu pembacaan kromatogram.

g. Tahan terhadap korosi. Pelarut harus tahan terhadap korosi yang disebabkan

lepasnya HCl dari pelarut terklorinasi akibat cahaya.

h. Toksisitas. Pelarut yang digunakan harus seaman mungkin agar tidak menimbulkan

efek toksik pada peneliti.

(51)

Proses pemisahan dapat dioptimumkan dengan berbagai cara seperti

menyesuaikan fase diam (misalnya, antara oktadesil dengan fenil silika) atau dengan

mengganti fase gerak, sesuai dengan sifat selektivitasnya seperti pada tabel 2.

(52)

Selain itu, dalam menentukan sifat pelarut dipergunakan pula segitiga pelarut (solvent

triangle) yang mengelompokkan berbagai pelarut menurut sifatnya, antara lain: asam

(α), basa (β), dan sifat dipolarnya (π*). Pemilihan pelarut turut menentukan pola dari

waktu retensi yang muncul, semakin jauh suatu pelarut dengan pelarut lainnya dalam

segitiga maka semakin berbeda pula pola yang ditunjukkan. Dalam banyak pemisahan,

dilakukan pencampuran antara dua pelarut. Pelarut pertama yang digunakan biasanya

adalah air (pada kromatografi fase terbalik) dan heksan (pada kromatografi fase

normal), sedangkan yang kedua merupakan pelarut organik lain yang ditambahkan

(Meyers, 2004). Sebelum dilewatkan pada fase diam, fase gerak harus terlebih dahulu

di-degassing untuk menghilangkan gelembung udara. Dalam sebuah penelitian,

gelembung udara merupakan suatu masalah yang dapat mengganggu penghantaran fase

gerak oleh pompa maupun berpengaruh terhadap puncak yang dihasilkan (Snyder,

(53)

Gambar 10. Solvent triangle (Meyers, 2004)

Pompa merupakan komponen penting dalam KCKT. Pompa harus dapat

mengalirkan fase gerak pada tekanan tinggi hingga 350 bar bahkan 400 bar, serta

menyediakan akurasi dan presisi aliran yang tinggi pada flow rate yang digunakan.

Flow rate yang digunakan biasanya berkisar antara 0,1 mL min-1 hingga 5-10 mL min -1 (Meyers, 2004).

Dalam pemisahan dengan kromatografi, sering ditemukan berbagai

permasalahan dalam prosesnya. Permasalahan yang paling utama adalah pelebaran

puncak (peak) yang muncul sehingga pemisahan tidak sempurna. Hal ini disebabkan

oleh berbagai fenomena, yaitu :

a. Difusi Eddy. Difusi Eddy merupakan suatu fenomena suatu partikel yang

(54)

dikarenakan adanya suatu rintangan fase diam dalam kolom sehingga membuat

suatu partikel akan terbentur dan mengambil jalan lain sehingga membuat waktu

tempuh yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan partikel yang tidak

terkena rintangan fase diam dan berjalan relatif lurus seperti yang digambarkan

gambar 11 (Meyers, 2004).

Gambar 11. Difusi eddy (Meyers, 2004)

b. Distribusi aliran. Merupakan suatu aliran yang tidak sama antara fase gerak ketika

fase gerak tersebut melewati celah diantara dua atau lebih partikel fase diam. Pada

kondisi ini, fase gerak yang berada ditengah tentu akan lebih cepat alirannya

(55)

Gambar 12. Distribusi aliran (Meyers, 2004)

Difusi Eddy dan distribusi aliran dapat dikurangi dengan cara membuat partikel fase

diam dalam kolom seoptimal mungkin. Distribusi ukuran dalam kolom hendaknya

dibuat serapat mungkin. Partikel juga harus seragam dengan perbandingan partikel

terkecil dan terbesar sebaiknya tidak melebihi dua, apabila perbandingannya 1,5

maka akan lebih baik (misalnya yang terkecil 5 µm, maka partikel yang terbesar

tidak boleh lebih dari 7,5 µm) (Meyers, 2004).

c. Difusi longitudinal. Difusi longitudinal terjadi apabila solut terelusi tidak hanya ke

satu bidang, namun melebar ke bidang lainnya. Difusi longitudinal hanya

mempengaruhi pelebaran puncak apabila partikel: fase diam ukurannya relatif kecil,

velositas fase gerak terlalu rendah dalam kaitannya dengan ukuran partikel, dan

koefisien difusi sampel yang besar. Prinsip agar difusi longitudinal tidak

mempengaruhi pelebaran puncak adalah dengan menyesuaikan velositas aliran fase

(56)

Gambar 13. Difusi longitudinal (Meyers, 2004)

d. Transfer massa. Fenomena ini dapat terjadi apabila partikel yang digunakan sebagai

fase diam mempunyai pori-pori dan celah, contohnya pada gambar 14.

Gambar 14. Partikel dengan banyak pori dan celah (Meyers, 2004) Pada kondisi ini terdapat kemungkinan suatu solut akan masuk berdifusi ke celah

atau pori tersebut dan diperlukan waktu untuk suatu solut berdifusi kembali keluar

dan terelusi. Kondisi ini akan menyebabkan pelebaran puncak bahkan

mempengaruhi pembacaan karena mungkin terjadi suatu solut akan berdifusi keluar

pada saat sampel lain diinjek. Prinsip yang dilakukan agar mengurangi resiko

terjadinya transfer massa diantaranya: dengan menggunakan partikel kecil berpori

namun tipis sebagai fase gerak, pelarut dengan viskositas rendah sebaiknya

digunakan, ini berkaitan dengan tingkat difusi yang lebih tinggi pada medium yang

(57)

Gambar 15. Transfer massa (Meyers, 2004)

1. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif

Suatu sistem KCKT yang digunakan dapat untuk menganalisa sampel baik

secara kualitatif maupun kuantitatif. Pengujian secara kualitatif akan menyediakan

informasi tentang keberadaaan suatu analit dalam sampel, dan kuantitatif menghasilkan

data seberapa banyak analit tersebut tersedia dalam sampel. Untuk mengukur analit

dalam sampel, detektor dalam KCKT mengubah konsentrasi atau massa analit yang

terelusi menjadi sinyal listrik. Sinyal listrik ini yang kemudian diplot lawan waktu

menjadi data yang disebut kromatogram. Data dalam bentuk digital ini disajikan

dengan x merupakan waktu dan y merupakan intensitas, yang didapat dari waktu

retensi dan area puncak (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010).

Pada analisis data kualitatif, puncak analit ditentukan dengan waktu retensi (tR),

waktu retensi merupakan waktu analit dideteksi setelah terelusi pada fase diam. Waktu

retensi biasanya dinyatakan dalam menit, namun untuk pengukuran dalam waktu cepat

(58)

merupakan jumlah total analit yang dihitung dari awal puncak (peak-start point) hingga

titik akhir puncak (peak-end point) (Snyder, Kirkland, and Dolan, 2010). Untuk

pengukuran kualitatif diukur dengan membandingkan waktu retensi (tR) antara standar

dengan analit (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pada analisis data, cara yang paling umum untuk mengetahui jumlah analit

dalam sampel adalah dengan membuat plot kurva kalibrasi dengan menggunakan

standar eksternal. Larutan standar (kalibrator) dibuat dengan konsentrasi yang telah

diketahui dan dibuat plot antara konsentrasi dengan area puncak. Untuk menghitung

analit, dapat dipreparasi dengan cara yang sama. Konsentrasi analit kemudian dihitung

melalui area puncak yang terukur pada kromatogram dengan plot grafik kurva kalibrasi

standar eksternal (Snyder, Kirkland, and Glajch, 1997).

Landasan Teori

Wadah atau pengemas merupakan suatu tempat dimana suatu sediaan

ditempatkan untuk disimpan sebelum digunakan. Pengemas berfungsi melindungi dan

sebagai media pembawa suatu sediaan untuk keperluan tertentu. Wadah terdiri dari

berbagai jenis seperti kaca, plastik, dan lain-lain. Wadah plastik merupakan wadah

yang paling luas penggunaannya. Wadah plastik memiliki beberapa keunggulan

sehingga digunakan untuk berbagai keperluan seperti kuat, jernih, fleksibel, mudah

dibentuk dan memenuhi aspek estetis.

Wadah plastik dapat dibentuk melalui proses polimerisasi dari berbagai

(59)

polimer plastik yang luas penggunaannya. Polikarbonat sering digunakan untuk

berbagai keperluan seperti wadah/botol minuman, peralatan otomotif, Compact Disc,

serta peralatan rumah tangga lainnya. Polikarbonat dikenal dengan kode “7” atau kode

“PC” pada lambang daur ulangnya. Polikarbonat dibuat dengan monomer berupa

bisfenol A dan difenil karbonat.

Sinar matahari merupakan beragam gelombang radiasi elektromagnetik yang

dipancarkan oleh matahari dan diterima bumi. Radiasi yang dipancarkan matahari

apabila sampai ke bumi akan melewati atmosfer dan beberapa akan dipantulkan dan

beberapa akan diserap oleh permukaan bumi. Sinar yang diserap oleh bumi akan diubah

menjadi energi panas. Sinar matahari yang diserap bumi akan bervariasi besarnya

bergantung pada tempat atau letak terhadap matahari.

Bisfenol A (2,2-(4,4’-dihidroksifenil) propana) merupakan monomer

penyusun plastik jenis polikarbonat dengan kode daur ulang “7”. Seiring

penggunaannya, bisfenol A dapat lepas dari polimernya dan terurai membentuk

monomernya kembali. Proses penguraian bisfenol A salah satunya dapat terjadi akibat

peningkatan temperatur, perubahan pH ekstrim, proses polimerasi yang tidak sempurna

serta intensitas sinar ultraviolet yang terdapat pada radiasi sinar matahari. Bisfenol A

yang lepas dari bentuk polimernya dapat terpejan ke manusia dan menimbulkan efek

buruk bagi manusia. Bisfenol A dikenal merupakan bahan berbahaya yang diketahui

tidak hanya mengganggu sistem endokrin tapi juga meningkatkan kerja hormon

esterogen karena strukturnya yang mirip dengan hormon esterogen. Bisfenol A juga

(60)

berpengaruh ke janin berupa malformasi, berkurangnya daya hidup dan sebagainya.

Ditinjau dari efek berbahayanya, banyak lembaga menetapakan TDI (Tolerable Daily

Intake) atau dosis harian yang diperbolehkan adalah 0,01 mg/kg/hari (SCF, 2012);

0,025 mg/kg/hari (Health Canada, 2008); 0,05 mg/kg/hari (EFSA, 2013; AIST, 2007).

Penetapan kadar dalam penelitian ini menggunakan instrumen KCKT yang

akan memisahkan suatu senyawa berdasarkan perbedaan kecepatan elusi melewati fase

diam yang dibantu tekanan. Kromatografi ini menggunakan fase diam ODS (C18) dengan detektor spektroskopi UV. KCKT yang digunakan adalah KCKT fase terbalik

yang akan memisahkan analit dengan waktu tertentu (waktu retensi) kemudian diukur

dengan menggunakan area bawah puncak menggunakan kurva standar eksternal.

E. Hipotesis

1. Sinar matahari berpengaruh terhadap penurunan kadar BPA dalam botol.

2. Dengan semakin lama perlakuan paparan dengan menggunakan radiasi sinar

(61)

40 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian dengan rancangan penelitian eksperimental deskriptif karena

diberikan perlakuan pada subjek uji.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel utama

a. Variabel dalam penelitian ini adalah:

1) Lama paparan radiasi sinar matahari

b. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah:

2) Kadar BPA yang pada botol air minum

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

1) Kode bertanda “PC” yang terdapat pada kemasan botol air minum

2) Pelarut

b. Variabel pengacau tak terkendali

1) Intensitas paparan radiasi sinar matahari

2) Medium air dalam botol

(62)

C. Definisi Operasional

1. Bisfenol A (BPA) merupakan suatu senyawa yang biasa dipergunakan sebagai

monomer untuk pembuatan plastik polikarbonat.

2. BPA yang ditetapkan adalah BPA yang terdapat pada botol air minum.

3. KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) fase terbalik yang digunakan adalah

seperangkat alat KCKT dengan fase diam berupa C18 (oktadesilsilan) dan fase

gerak berupa perbandingan asetonitril dan air (70:30)

4. Kadar BPA dalam wadah ditetapkan dalam satuan µg/g

D. Bahan Penelitian

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini yaitu baku BPA 97% (E. Merck), metanol pro analysis (E. Merck), Asetonitril pro analysis (E. Merck), dan aquabides. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol minum.

E. Alat Penelitian

(63)

0,01/0,1 mg/s), penyaring milipore, mikropipet Socorex, organik and anorganik solven membran filter Whatman polypropylene backed ukuran pori 0,5 µm dan diameter 47 mm, membran filter Whatman ukuran pori 0,45 µm dan diameter 47 mm, pompa vakum, seperangkat alat gelas (Pyrex)

F. Tata Cara Penelitian

1. Preparasi Sampel

a. Pemilihan sampel. Dipilih sejumlah 20 buah botol air minum yang dibeli dari

supermarket di daerah Maguwoharjo, Sleman, DIY dan dipilih menurut

kesamaan merek, tempat pembelian dan kode recycle (PC).

b. Pengelompokan sampel. Dari sejumlah botol sampel yang dipilih, masing

masing dibagi dalam dua kelompok perlakuan yaitu dengan paparan langsung

radiasi sinar matahari dan sisanya sebagai kontrol (tanpa paparan radiasi sinar

matahari) dengan dua kali replikasi. Lamanya paparan radiasi sinar matahari

yaitu 0; 7; 14; 21; 28 hari dan botol diambil setelah waktu paparan tersebut.

Satu hari paparan diasumsikan sama dengan 7 jam paparan sehingga apabila

sinar matahari tidak mencukupi 7 jam, maka sisa waktunya akan dihitung pada

hari berikutnya, sementara untuk kontrol disimpan dalam tempat gelap dan

(64)

2. Pembuatan Larutan Baku BPA

a. Pembuatan latutan stok BPA. Pembuatan larutan stok BPA dilakukan dengan

menimbang 50 mg baku BPA lalu dilarutkan dengan metanol p.a. kedalam

labu takar 25 mL hingga tanda hingga diperoleh konsentrasi 2000 µg/mL.

b. Pembuatan larutan intermediet BPA. Pembuatan larutan intermediet BPA

dilakukan dengan mengambil 0,05 mL larutan stok BPA kemudian dilarutkan

dengan metanol p.a. dalam labu takar 10 mL hingga tanda sehingga diperoleh

konsentrasi 10 µg/mL.

c. Pembuatan seri larutan baku BPA. Larutan baku BPA dibuat dengan seri

larutan baku 1 µg/mL, 1,5 µg/mL, 2 µg/mL, 3 µg/mL, dan 5 µg/mL dibuat

dengan mengambil sebanyak 1 mL, 1,5 mL, 2 mL, 3 mL, dan 5 mL lalu

dilarutkan dengan metanol p.a. kedalam labu takar 10 mL hingga tanda.

3. Ekstraksi BPA dalam sampel

Kemasan air minum dipotong kecil-kecil lalu potongan tersebut diacak

dan diambil 0,250 g. Sampel lalu dilarutkan dalam diklorometan, kemudian aseton

ditambahkan perlahan. Jumlah penambahan diklormetan dan aseton didapatkan

dari hasil optimasi proses ekstraksi, yaitu (1:5) atau diklormetan sebanyak 10 mL

dan aseton 50 mL. Larutan didiamkan selama 10 menit. Supernatan lalu diambil

dengan cara disaring dan dikeringkan dengan menggunakan gas nitrogen lalu

(65)

4. Optimasi Proses Ekstraksi

Optimasi proses ekstraksi dilakukan dengan mengoptimasi perbandingan

diklorometan dan aseton dengan membuat tiga perbandingan diklorometan dan

aseton, yaitu diklorometan:aseton (10:50), (50:10), dan (50:50) ditambah standar

adisi sebesar 1 µg/mL sebelum ditambahkannya diklorometan. Ditentukan

perbandingan yang paling optimum dengan melihat perolehan kembali (%

recovery) yang terbaik.

5. Efisiensi Ekstraksi Total

Efisiensi ekstraksi dihitung dengan cara membandingkan recovery dari

kadar terukur tiga waktu ekstraksi. Standar adisi ditambahkan pada tiap tahapan

ekstraksi tersebut. Pertama pada saat sebelum ditambah diklorometan, yang kedua

sebelum diuapkan, yang ketiga saat preparasi sesaat sebelum diinjek pada KCKT

lalu dibandingkan recovery-nya dengan 3 kali replikasi. % recovery kadar terukur

pada tiap replikasi kemudian dicari rata-ratanya. Efisiensi penguapan dihitung

dengan melihat perbedaan % recovery waktu kedua dan waktu ketiga, sementara

efisiensi ekstraksi dihitung dengan perbadaan % recovery waktu pertama dengan

yang kedua. Efisiensi ekstraksi total dihitung melalui perbedaan recovery waktu

(66)

6. Validasi Proses Ekstraksi dengan Metode Standar Adisi (Standard Addition

Method)

Validasi proses ekstraksi dilakukan dengan menghitung akurasi, presisi,

linearitas dan pengaruh proses ekstraksi. Akurasi dinyatakan dengan % recovery

yang dihitung dengan membandingkan konsentrasi adisi dengan konsentrasi

standar sebenarnya. Sampel ditambahkan 5 tingkat konsentrasi adisi yaitu 1

µg/mL, 1,5 µg/mL, 2 µg/mL, 3 µg/mL, dan 5 µg/mL dari baku standar 10 µg/mL

sehingga konsentrasinya setelah diadisi menjadi 1 µg/mL, 1,5 µg/mL, 2 µg/mL, 3

µg/mL, dan 5 µg/mL sebelum diekstraksi (dilakukan 3 kali replikasi). % recovery

dihitung menggunakan rumus :

% recovery = � −�

� � x 100%

Presisi dinyatakan dengan % CV yang menunjukkan persentase

penyimpangan data yang terjadi. Koefisien variasi (CV) dihitung pada setiap

replikasi dengan rumus

% CV = � �

x 100 %

Linearitas dihitung dengan memplotkan kadar vs AUC untuk

memperoleh persamaan dalam regresi linier y = bx + a, kemudian dihitung nilai r

(linearitas) dari persamaan tersebut.

Pengaruh prosedur ekstraksi diuji dengan menggunakan uji t untuk

membandingkan slope hubungan konsentrasi dan area kurva adisi dengan kurva

(67)

tidak. Apabila berbeda signifikan maka dinyatakan prosedur ekstraksi memberikan

pengaruh kepada hasil, sebaliknya apabila hasil menunjukkan tidak berbeda

signifikan maka prosedur ekstraksi tidak memberikan pengaruh terhadap hasil.

7. Injeksi ke dalam Sistem KCKT

Sebanyak 20 µL sampel hasil pemekatan yang telah disaring dengan

milipore serta dibebas-udarakan selama 15 menit diinjeksikan ke sistem KCKT

fase terbalik dengan detektor pada panjang gelombang 278 nm, flow rate 1

mL.menit-1, dan fase gerak asetonitril:air (70:30) LOD 0,0471 µg/mL, LOQ

8,4701 µg/g dan rentang 0,3-5 µg/mL (Natasia, 2013).

G. Analisis Hasil

1. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi (tR)

pada kromatogram yang didapatkan dari sampel dengan waktu retensi (tR) dari

senyawa baku BPA dan membandingkan sejumlah sampel konsentrasi bertingkat

(adisi) dengan masing-masing puncaknya.

Dari hasil puncak yang dibandingkan, resolusi sampel dihitung untuk

melihat apakah sampel berhasil diekstraksi dengan baik dan terpisah dari puncak

pengotor lainnya. Resolusi dihitung menggunakan rumus :

Gambar

Gambar 1. Struktur bisfenol A (NTP-CERHR, 2008)
Gambar 2. Proses pembuatan polikarbonat (Rykowska and Wasiak, 2006)
Gambar 3. Proses biotransformasi BPA pada manusia dan hewan
Gambar 7. Kromatogram (Meyers, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

=9791,15 M -1 .cm -1 , sehingga sistem KCKT fase terbalik dengan detektor UV dapat diaplikasikan untuk analisis kadar asam askorbat dalam larutan injeksi obat. pemutih

Metode Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen Dengan Perbandingan 7:4 Menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Fase Terbalik” dapat terselesaikan dengan baik

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: apakah metode KCKT fase terbalik yang digunakan pada penetapan kadar kloramfenikol

Penetapan kadar nikotin di dalam ekstrak etanolik daun tembakau dapat dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik..

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi prosedur penetapan jumlah sirkulasi ekstraksi dengan metode soxhletasi yang menghasilkan kadar maksimum dan