• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi pohon pelawan (Tristaniopis merguensis Griff.) sebagai inang jamur pelawan di Kabupaten Bangka Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekologi pohon pelawan (Tristaniopis merguensis Griff.) sebagai inang jamur pelawan di Kabupaten Bangka Tengah"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI INANG JAMUR PELAWAN DI KABUPATEN

BANGKA TENGAH

NOVI YARLI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) sebagai Inang Jamur Pelawan Di Kabupaten Bangka Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Novi Yarli

(3)

NOVI YARLI. Ecology of “Pelawan Tree” (Tristaniopsis merguensis Griff.) as a Host of “Pelawan Fungi” in Central Bangka Regency. Under direction TRIADIATI, IBNUL QAYIM, and DIAN AKBARINI.

Tristaniopsis merguensis Griff (Myrtaceae) is known as pelawan tudak, pelawan bukit, or pelawan in Indonesia, and have high economic value. There were edible fungi where growth very closed to pelawan rooting system. The aims of this study were to determine species compotition of pelawan forest, population structure of pelawan tree in pelawan forest, vegetation characters that support pelawan fungi growth, and abiotic factors of pelawan forest that support pelawan fungi growth. The study was conducted in Trubus, Namang, and Air Pasir forest, Central Bangka. The samples analysis consists of vegetation, litterfall, microclimate, local climate, and topsoil. The result showed that species composition in Air Pasir forest was higher than those Trubus and Namang forest. Population structure of pelawan tree in Air Pasir forest was increasing structure, whereas, in Namang forest was decreasing structure. There were only saplings of pelawan tree in Trubus forest. Pelawan fungi growth has a positive correlation with density, frequency, dominance, diversity, richness and evenness of seedlings, saplings, and litterfall dry weight. Based on climate periodic curve, that light intensity and wind speed influenced local climate which support pelawan fungi growth. Pelawan fungi growth was also influenced by humidity and microtemperature. It can be concluded that the conservation of natural habitat of pelawan tree is important to maintain the continuity of the pelawan fungi growth.

(4)

NOVI YARLI. Ekologi Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff. ) sebagai Inang Jamur Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah. Dibimbing oleh TRIADIATI, IBNUL QAYIM, dan DIAN AKBARINI.

Pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) merupakan salah satu

spesies dari famili Myrtaceae, yang dimanfaatkan mayarakat Pulau Bangka sebagai bahan bangunan, bahan pembuat kapal, ajir perkebunan lada, dan kayu api. Pada sistem perakaran T. merguensis terdapat jamur edibel yang dikenal masyarakat setempat dengan nama jamur pelawan. Jamur pelawan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Informasi tentang lingkungan biotik (karakteristik vegetasi) sebuah komunitas dan komponen abiotik lain yang mendukung pertumbuhan dan

perkembangan T. merguensis, sekaligus mendukung pertumbuhan jamur pelawan

belum diketahui.

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menentukan komposisi spesies dan struktur hutan pelawan, 2) menentukan struktur populasi T. merguensis, 3)

menentukan karakter komunitas vegetasi hutan pelawan yang mendukung

pertumbuhan jamur pelawan, 4) menentukan karakter lingkungan abiotik

ekosistem hutan pelawan yang mendukung pertumbuhan jamur pelawan, di Kabupaten Bangka Tengah.

Penelitian dilakukan di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air Pasir pada bulan Juli – Agustus 2010. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

Quadrat. Penempatan plot mengikuti jalur transek sepanjang 100 m secara

purposive. Plot dibangun berbentuk bujur sangkar bersarang dengan ukuran 20 m x 20 m untuk fase pohon, 10 m x 10 m untuk fase tiang, 5 m x 5 m untuk fase sapihan, dan 2 m x 2 m untuk fase semai. Pada tiap lokasi dilakukan 3 kali pengulangan. Serasah lantai hutan diambil sampai batas lapisan atas tanah dengan luasan 50 cm x 50 cm di sekitar pohon T. merguensis yang ada atau pernah ada jamur pelawan untuk diukur berat kering, kadar C dan N-nya. Sampel tanah diambil pada lapisan topsoil pada kedalaman 10 cm untuk dianalisis sifat fisik dan kimianya. Data iklim yang diukur mencakup iklim mikro dan iklim lokal yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Pangkal Pinang

Spesies tumbuhan bawah terbanyak ditemukan adalah di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, yaitu sejumlah 7 spesies dalam 7 famili. Sedangkan di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir masing-masingnya sejumlah 4 spesies dalam 4 famili. Spesies pohon terbanyak ditemukan di Hutan Dusun Air Pasir yaitu sejumlah 39 spesies dalam 23 famili. Pada Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang tercatat 33 spesies pohon dalam 14 famili. Spesies pohon yang terdapat pada Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus adalah 9 spesies dalam 8 famili. Berdasarkan analisis cluster, kesamaan komposisi spesies dari Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dengan Hutan Dusun Air Pasir adalah lebih besar dibandingkan dengan kemiripan kedua hutan alam pelawan ini dengan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus.

(5)

sedangkan di Hutan Dusun Air Pasir populasinya mengikuti struktur populasi muda atau tumbuh.

Loading plot parameter kuantitatif komunitas hutan pelawan dengan kehadiran jamur pelawan memperlihatkan bahwa karakter vegetasi yang mendukung pertumbuhan jamur pelawan adalah hutan yang memiliki kerapatan, frekuensi, dominansi, keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan spesies pohon yang relatif tinggi. Besarnya volume serasah yang ada di hutan alam pelawan turut mempengaruhi pertumbuhan jamur pelawan.

Iklim mikro antara lokasi yang memiliki sejarah pertumbuhan jamur pelawan (Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir) berbeda nyata (p < 0,05) dengan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus yang tidak pernah ada riwayat pertumbuhan jamur pelawan. Suhu (27°C) dan intensitas cahaya matahari (< 1000 lux) di habitat jamur pelawan lebih rendah dibandingkan dengan hutan pelawan yang tidak pernah dijumpai jamur pelawan. Sebaliknya kelembaban udara (85% - 95%) lebih tinggi di habitat jamur pelawan dibandingkan dengan hutan pelawan yang tidak pernah dijumpai jamur pelawan.

Kombinasi sinar matahari dan kecepatan angin lokal yang berkontribusi dalam menyediakan energi dan bahan baku fotosintesis, merupakan faktor yang penting bagi T. merguensis untuk menghasilkan fotosintat, yang nantinya dalam jumlah yang optimal akan dimanfaatkan oleh jamur pelawan untuk tumbuh.

Guna menjaga kelangsungan siklus hidup jamur pelawan, ekosistem hutan alam pelawan harus dipertahankan dan dijaga oleh semua pihak, sebab sistem hutan tanaman belum mampu mendukung pertumbuhan jamur pelawan.

(6)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

BANGKA TENGAH

NOVI YARLI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NIM : G353090121

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Dra. Triadiati, M. Si.

Dian Akbarini, S. Si, M. Si. Anggota

Dr. Ir. Ibnul Qayim. Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Miftahudin, M. Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala

hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 ini ialah ekologi tumbuhan,

dengan judul Ekologi Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) Sebagai Inang Jamur Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah. Penelitian ini didanai oleh

Departemen Agama Republik Indonesia melalui program beasiswa utusan daerah

(BUD Depag)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Dra. Triadiati, M. Si., Bapak

Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Ibu Dian Akbarini, S. Si, M. Si. selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan arahan kepada penulis. Selain itu juga

penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, dan teman-teman di Dinas

Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung yang telah membantu dan memfasilitasi selama penelitian ini

berlangsung.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua

pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 20 Nopember 1983 dari ayah Dahnia Achyar dan Ibu Ely Darmis. Penulis merupakan putri bungsu dari enam bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari MAN 2 Payakumbuh dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Negeri Padang melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 2006.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL……….. i

DAFTAR GAMBAR………. ii

DAFTAR LAMPIRAN………... iii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ………. 1

Tujuan Penelitian……….. 2

Manfaat Penelitian……… 2

TINJAUAN PUSTAKA

Tristaniopsis merguensis Griff……… 3

Mikoriza …….………. 6

Analisis Vegetasi ……… 7

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian……….. 10

Alat dan Bahan………. 10

Data Penelitian………. 11

HASIL

Komposisi Spesies dan Struktur Hutan Pelawan……….. 20

Struktur Populasi T. merguensis di Hutan Pelawan……….. 30 Karakter Komuninas Vegetasi Hutan Pelawan yang Mendukung

Pertumbuhan Jamur Pelawan………. 32

Karakter Lingkungan Abiotik Hutan Pelawan yang Mendukung

Pertumbuhan Jamur Pelawan……… 36

PEMBAHASAN

(13)

Karakter Lingkungan Abiotik Hutan Pelawan yang Mendukung

Pertumbuhan Jamur Pelawan……… 45

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan……… 51

Saran……….. 52

DAFTAR PUSTAKA ……… 53

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N

petak contoh……… 16

2 Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies………. 17

3 Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus……….. 20

4 Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang……… 21

5 Spesies tumbuhan bawah dan pohon fase semai dan pancang di Hutan Dusun Air Pasir……… 22

6 Spesies pohon fase tiang di Hutan Dusun Air Pasir……… 23 7 Nilai indeks keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan spesies untuk jenis tumbuhan bawah dan pohon di lokasi penelitian………. 24

8 Indek kesamaan dan ketidaksamaan spesies Sorensen di lokasi penelitian……….. 25

9 Karakter ekologi populasi T. merguensis di Kab. Bangka tengah……… 31

10 Nilai Indeks Dispersi (Iδ) T. merguensis……….. 31

11 Nilai Varian Ratio (VR) di lokasi penelitian untuk jenis pohon setiap fase pertumbuhan………. 32

12 Karakter kuantitatif komunitas vegetasi hutan pelawan………. 33

13 Hasil analisis serasah di lokasi penelitian……….. 35

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi T. merguensis………... 4

2 Jamur pelawan……….. 7

3 Lokasi penelitian ………... 10

4 Skema plot bersarang ………. 12

5 Skema alur penelitian ……… 19

6 Jumlah spesies dan famili di lokasi penelitian………. 23

7 Dendrogram keanekaragaman spesies berdasarkan Indeks Kesamaan Sorensen di lokasi penelitian……… 26

8 Profil vegetasi Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus……… 27

9 Profil vegetasi Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang………. 28

10 Profil vegetasi Hutan Dusun Air Pasir………. 29

11 Struktur populasi T. merguensis di lokasi penelitian………. 30

12 Dendrogram parameter kuantitatif analisis komunitas hutan pelawan… 33 13 Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen kuantitatif analisis komunitas……… 34

14 Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen serasah……. 35

15 Kurva periodik iklim lokal………. 37

(16)

DAFTRA LAMPIRAN

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tumbuhan merupakan kekayaan alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini terlihat dari banyaknya spesies tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sandang, papan, obat-obatan, dan lain sebagainya. Salah satu spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Bangka adalah pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis). T. merguensis ini dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, rangka kapal, kayu api, dan tajar pada perkebunan lada oleh penduduk setempat.

T. merguensis merupakan salah satu spesies dari famili Myrtaceae

(Lawrence 1955). T. merguensis tidak tersebar secara merata sebagaimana layaknya penyebaran anggota Myrtaceae lainnya. T. merguensis memiliki wilayah sebaran di selatan Myanmar, selatan Thailand, Malaysia, Sumatera, Kepulauan Riau, kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Kalimantan (Sosef & Prawirohatmodjo 1998).

Pada sistem perakaran T. merguensis tumbuh jamur edibel yang dikenal masyarakat Bangka dengan nama jamur pelawan. Harga jual jamur pelawan ini berkisar Rp 400.000,- hingga Rp 800.000,- bahkan pernah mencapai Rp 1.000.000,- / kg berat kering pada bulan Desember 2010 – Januari 2011. Jamur pelawan ini ditemukan tumbuh pada sistem perakaran pohon T. merguensis yang berada pada fase pohon, tiang, maupun pancang. Selain sebagai inang utama dari jamur pelawan, nektar bunga T. merguensis juga merupakan makanan utama bagi lebah penghasil madu pahit yang dipercaya masyarakat Bangka dapat menyembuhkan banyak penyakit (Zaiwan 27 Juli 2010, komunikasi pribadi).

(18)

Informasi tentang lingkungan biotik dan abiotik suatu ekosistem yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan T. merguensis, sekaligus mendukung pertumbuhan jamur pelawan belum diketahui. Dengan adanya jamur pelawan yang bernilai ekonomi tinggi dan lebah madu pahit yang tidak terlepas dari T. merguensis, menjadikan ekologi dari spesies ini perlu dikaji lebih lanjut.

Penelitian berbasis satu spesies merupakan prioritas riset konservasi karena dapat memberikan dasar ilmiah untuk perlindungan, pengelolaan, propagasi, dan introduksi spesies yang mulai terancam punah (Given 1994). Sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk peduli serta memelihara kehidupan di bumi, seyogyanya mengetahui ekologi tumbuhan karena merupakan landasan dalam kegiatan konservasi secara terarah dan terpadu.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menentukan komposisi spesies dan struktur hutan pelawan di Kabupaten Bangka Tengah.

2. Menentukan struktur populasi T. merguensis di Kabupaten Bangka Tengah. 3. Menentukan karakter komunitas vegetasi hutan pelawan yang mendukung

pertumbuhan jamur pelawan.

4. Menentukan karakter lingkungan abiotik ekosistem hutan pelawan yang mendukung pertumbuhan jamur pelawan.

Manfaat Penelitian.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Tristaniopsis merguensis Griff. 1) Nomenklatur dan Nama lokal.

T. merguensis pertama kali dideskripsikan oleh Griffit pada tahun 1812

dengan spesimen yang berasal dari Burma (Hooker & Jackson 1960). Griffit menyebutnya dengan Tristania merguensis. Tahun 1982 dilakukan revisi terhadap genus Tristania, dan Tristania merguensis berubah menjadi Tristaniopsis merguensis (Wilson & Waterhouse 1982). Terdapat beberapa

sinonim untuk spesies ini yaitu: Tristania merguensis, Tristania backhuizenni Back, Tristania maingayi, Tristania subauriculata dengan beberapa nama lokal yaitu pelawan tudak (Belitung), pelawan bukit (Malaysia), nya-kamaung (Myanmar), kha nang (Thailand) (Sosef & Prawirohatmodjo 1998).

2) Deskripsi

T. merguensis merupakan spesies pohon dengan batang berwarna merah

(20)

Gambar 1 Morfologi T. merguensis. (a) batang, (b) daun, (c) bunga, (d) buah, (e) buah yang pecah saat kering.

(a) (b)

(c) (d)

(21)

3) Klasifikasi

Klasifikasi dari T. merguensis menurut The International Plant Names Index (IPNI)

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Myrtaceae Genus : Tristaniopsis

Spesies : T. merguensis (Griff.) Peter G. Wilson & J.T. Waterhouse 4) Persebaran

T. merguensis tersebar di selatan Myanmar, selatan Thailand, Malaysia,

Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat dan Kalimantan (Sosef & Prawirohatmodjo 1998). Tristaniopsis dapat tumbuh pada daerah dataran rendah, pegunungan sampai dengan ketinggian 1300 mdpl., juga terdapat di sepanjang aliran sungai dan daerah berbatu.

5) Pertumbuhan dan Perkembangan

Tidak banyak informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan T. merguensis, baik dari periode germinasi maupun fase dewasanya. Namun

pada umumnya karakteristik Tristaniopsis perbanyakannya adalah dengan biji.

6) Pemanfaatan

T. merguensis ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat

sebagai kayu bakar karena menghasilkan api yang bagus, panas lebih lama dan abu yang sedikit. Kayu T. merguensis sangat kuat (Muslich & Sumarni 2008), sehingga masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan bangunan dan bahan pembuat kapal. Petani lada juga memanfaatkan batang T. merguensis ini sebagai tajar dari tanaman lada mereka.

(22)

T. merguensis merupakan inang jamur edible pelawan yang tumbuh di sekitar sistem perakaran pohon tersebut. Diduga jamur pelawan merupakan mikoriza yang membutuhkan T. merguensis sebagai inangnya. Selama ini jamur pelawan hanya muncul satu kali sampai dua kali dalam setahun, sesaat setelah terjadinya musim panas yang cukup lama, menjelang datangnya musim hujan (Triadiati 24 Februari 2010, komunikasi pribadi).

Mikoriza

Asosiasi simbiotik antara mikoriza dan akar tanaman tersebar luas di lingkungan alam dan dapat memberikan berbagai manfaat bagi tanaman inang, diantaranya: memperbaiki nutrisi berupa hara, meningkatkan ketahanan terhadap hama, meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan, toleransi terhadap logam berat dan perbaikan struktur tanah (

Mikoriza merupakan salah satu bentuk interaksi mutualistik antara jamur atau cendawan dengan akar tumbuhan yang menginfeksi dan mengkoloni akar tumbuhan tersebut namun tidak menimbulkan nekrosis (Agarwal & Sah 2009). Mikoriza dapat dibedakan atas dua macam yaitu: 1) Ektomikoriza, jamur atau cendawan yang berkembang di permukaan luar akar dan di antara sel-sel kortek akar; 2) Endomikoriza, jamur atau cendawan yang berkembang di dalam akar di antara dan di dalam sel kortek akar (Smith & Read 1997).

Setiadi 2003; Yano & Takaki 2005; Gosling et al. 2006). Tanaman yang dikolonisasi oleh mikoriza memperlihatkan respon positif terhadap pemberian fosfor anorganik (Antunes et al. 2007). Tanaman yang diinokulasi dengan mikoriza umumnya memiliki sistem perakaran yang lebih luas, karena hifa cendawan lebih panjang dan dapat menyebar secara cepat di dalam tanah (Liu et al. 2000).

(23)

Gambar 2 Jamur pelawan

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi adalah cara memperlajari susunan dan bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuhan (Soerianegara & Indrawan 2005). Berdasarkan analisis vegetasi dapat ditentukan beberapa besaran yang akan memberikan gambaran tentang keseluruhan kondisi hutan (Indriyanto 2006) diantaranya:

1. Kerapatan dan kerapatan relatif.

Kerapatan adalah nilai yang menunjukkan jumlah individu dari spesies-spesies yang menjadi anggota suatu komunitas tumbuhan dalam luasan tertentu. Sementara kerapatan relatif menunjukkan persentase dari jumlah individu spesies tersebut dalam komunitasnya.

2. Frekuensi dan frekuensi relatif.

Frekuensi adalah besaran yang menyatakan derajat penyebaran spesies dalam komunitasnya. Frekuensi relatif memperlihatkan persentase dari frekuensi spesies tersebut dalam komunitasnya.

3. Luas penutupan atau dominansi dan dominansi relatif.

Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan derajat penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas areal yang ditumbuhi oleh spesies tumbuhan.

4. Indeks Nilai Penting (INP).

Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat penguasaan spesies tertentu dalam suatu komunitas.

(24)

INP untuk spesies tumbuhan bawah dan anakan pohon merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif. Sedangkan INP untuk pohon fase dewasa adalah penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif.

5. Indeks kesamaan komunitas

Merupakan suatu koefisien untuk mengetahui kesamaan spesies tumbuhan di dua lokasi yang berbeda. Krebs (1989) mengelompokkan indeks kesamaan komunitas kedalam empat kategori, yaitu : ≥75% (sangat tinggi), 50 -75% (tinggi), 25-50% (sedang), dan ≤ 25% (rendah).

Nilai lain yang menggambarkan suatu ekosistem adalah nilai keanekaragaman (Diversity), kekayaan (Richness), dan kemerataan spesies tumbuhan (Eveness) (Ludwig & Reynolds 1988).

Menurut Barbour et al. (1987) Indeks Keanekaragaman Shanon dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu : H > 2 (rendah), 2 < H < 3 (sedang), 3 < H < 4 (tinggi), dan H > 4 (sangat tinggi). Kemerataan dari persebaran spesies berkisar antara 0 – 1. Semakin nilai mendekati 1 berarti kemerataan akan menjadi maksimum dan homogen. Nilai kemerataan spesies akan maksimum jika semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama pada setiap satuan sampel.

Struktur hutan dapat dilihat dari stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tumbuhan secara vertikal dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005), stratifikasi disebabkan oleh:

1. Persaingan.

Persaingan terjadi akibat adanya kompetisi yang berlangsung dalam suatu masyarakat tumbuhan atau spesies pohon yang ada. Akibat kompetisi ini akan muncul pohon yang mampu bersaing, memiliki pertumbuhan yang kuat, dan menjadi spesies dominan dari spesies lain. Individu yang dominan tersebut akan mencirikan vegetasi hutan yang bersangkutan.

2. Sifat toleransi spesies.

(25)

matahari yang penuh. Sedangkan spesies yang intoleran akan mendapatkan naungan dari spesies yang toleran.

Soerianegara dan Indrawan (2005) menyatakan bahwa stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropis dipisahkan oleh lima stratum, yaitu:

1. Stratum A, merupakan lapisan teratas terdiri dari pohon dengan tinggi lebih dari 30 m.

2. Stratum B, terdiri dari pohon dengan tinggi 18-30 m.

3. Stratum C, terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 4-18 m. 4. Stratum D, terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi

1-4 m, termasuk di dalamnya adalah pohon muda, palma kecil, herba besar dan paku-pakuan besar.

5. Stratum E, terdiri dari lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 m.

Individu-individu dalam populasi dan komunitas dapat menyebar menurut tiga pola, yaitu: acak, seragam, dan mengelompok (Ludwig & Reynolds 1988; Krebs 1989; Odum 1994). Pola sebaran merupakan bentuk apresisasi dari interaksi yang terjadi dalam suatu komunitas, yang biasa disebut dengan asosiasi. Hampir semua spesies tumbuhan berada dalam asosiasi yang kompleks untuk melengkapi fase-fase dalam siklus hidupnya (Widyatmoko 2001).

(26)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air Pasir Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Studi herbarium dilakukan di Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong. Analisis tanah dan serasah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3 Lokasi penelitian ( )

Alat dan Bahan

Objek utama dalam penelitian ini adalah T. merguensis. Peralatan yang digunakan antara lain :

1. Perlengkapan pencatatan data lingkungan : Global Position System (GPS), lightmeter, altimeter, clinometer, termohigrograf, dan kamera.

(27)

3. Perlengkapan sampling vegetasi: peta lokasi, meteran, kompas, tali plastik, kertas label, dan tally sheet.

4. Perlengkapan untuk pembuatan herbarium, serta buku identifikasi tumbuhan.

Data Penelitian

1) Jenis data

a. Data primer, berupa data ekologi vegetasi, serasah dan data lingkungan abiotik (tanah dan iklim mikro).

b. Data sekunder, berupa data klimatologi yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Pangkal Pinang.

2) Pengumpulan data

a. Penentuan lokasi penelitian.

Hutan yang dijadikan lokasi penelitian adalah hutan yang memiliki populasi T. merguensis serta riwayat pertumbuhan jamur pelawan. Sedangkan sebagai kontrol negatif adalah hutan yang ada populasi T. merguensis namun tidak memiliki riwayat pertumbuhan jamur pelawan.

Riwayat pertumbuhan jamur pelawan di lokasi penelitian diperoleh dari komunikasi pribadi dengan penduduk sekitar hutan. Hutan yang memiliki populasi T. merguensis dan riwayat pertumbuhan jamur pelawan adalah Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir. Kontrol negatif dari penelitian ini adalah Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus.

b. Analisis vegetasi.

Data ekologi populasi dan komunitas T. merguensis didapatkan melalui analisis vegetasi menggunakan metode Quadrat. Petak contoh ditempatkan pada jalur transek sepanjang 100 m secara purposive di tiga lokasi penelitian.

Petak contoh yang dibangun berbentuk bujur sangkar bersarang dengan ukuran 20 m x 20 m untuk fase pohon (diameter batang setinggi dada / diameter breast hight (dbh) > 20 cm), 10 m x 10 m untuk fase tiang (20

(28)

bawah (Krebs 1989). Dalam satu unit analisis vegetasi dibuat lima petak contoh (Gambar 4). Penempatan plot sejalur dilakukan karena luasan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus yang relatif sempit, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan penempatan plot secara acak. Penempatan plot pada dua lokasi lain mengikuti penempatan plot di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus.

Satu unit analisis vegetasi ukuran plot 20 m x 50 m sampai dengan 100 m dipercaya sudah memadai untuk hutan yang ada di daerah tropis (Loumonier 1997).

20 m

100 m

Gambar 4 Skema plot bersarang

Keterangan: = Petak contoh ukuran 2 m x 2 m, untuk tumbuhan bawah dan semai.

= Petak contoh ukuran 5 m x 5 m, untuk pancang. = Petak contoh ukuran 10 m x 10 m, untuk tiang. = Petak contoh ukuran 20 m x 20 m, untuk pohon.

Data vegetasi yang dicatat adalah nama spesies dan famili, diameter batang setinggi dada, tinggi batang bebas cabang, tinggi total tumbuhan, diameter tajuk, dan posisi tumbuhan pada sebuah petak contoh (x, y). Data dianalisis dan dituangkan dalam bentuk profil vegetasi suatu komunitas T. merguensis.

Herbarium dibuat untuk spesies tumbuhan yang pada saat analisis vegetasi tidak diketahui nama spesies ataupun familinya. Pembuatan herbarium dilakukan dengan cara standar sesuai dengan yang dikemukakan oleh Djarwaningsih et al. (2002).

c. Pengambilan contoh serasah.

Serasah lantai hutan diambil sampai lapisan atas tanah dengan luasan 50 cm x 50 cm (Kavvadias et al. 2001) di sekitar pohon T. merguensis.

(29)

d. Pengukuran iklim mikro.

Iklim mikro yang diukur adalah suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya matahari yang ada di bawah tajuk pohon pelawan. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan di setiap lokasi pengamatan. e. Pengambilan contoh tanah.

Contoh tanah diambil pada lapisan topsoil di sekitar perakaran pohon pelawan. Contoh tanah diambil pada tiga titik yang dianggap mewakili kondisi tanah di setiap lokasi penelitian, yang kemudian dikompositkan untuk dianalisis sifat fisik dan kimianya.

f. Data sekunder berupa kondisi iklim tahunan diperoleh dari Badan Klimatologi dan Geofisika, stasiun klimatologi terdekat dengan lokasi penelitian, yaitu Stasiun Klimatologi Pangkal Pinang

3) Analisis data

a. Komposisi spesies.

Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR), dan indeks nilai penting (INP) spesies tumbuhan dihitung menggunakan formula (Cox 1996), sebagai berikut:

Jumlah individu suatu spesies Kerapatan = ---

Luas petak contoh

Kerapatan suatu spesies

Kerapatan relatif = --- x 100% Kerapatan seluruh spesies

Jumlah petak ditemukan suatu spesies Frekuensi = ---

Jumlah seluruh petak

Frekuensi suatu spesies

Frekuensi relatif = --- x 100% Frekuensi seluruh spesies

Luas bidang dasar suatu spesies Dominansi = ---

(30)

Dominansi suatu spesies

Dominansi relatif = --- x 100% Dominansi seluruh spesies

Dominansi dan dominansi relatif hanya dihitung untuk spesies pohon fase pertumbuhan pancang, tiang, dan pohon (Soerianegara & Indrawan 2005). Indeks Nilai Penting (INP) untuk kategori tumbuhan bawah dan fase semai adalah penjumlahan antara kerapatan relatif, frekuensi relatif. Sedangkan INP untuk kategori pancang, tiang dan pohon adalah penjumlahan antara kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif.

b. Keanekaragaman tumbuhan

Nilai keanekaragaman spesies tumbuhan dihitung berdasarkan indeks kekayaan, indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan dengan formula (Ludwig & Reynolds 1988), sebagai berikut:

 Kekayaan spesies dihitung menggunakan indeks Margalef (R'), sebagai berikut:

R' = ( S - 1) / ln N

R' merupakan indeks Margalef, S adalah jumlah spesies yang teramati, dan N adalah jumlah total individu yang teramati.

 Keanekaragaman spesies dihitung menurut indeks Shannon (H'), sebagai berikut:

H' = - ∑ [ ni/N] ln [ni/N]

H' menyatakan indeks keanekaragaman Shannon, ni adalah jumlah individu spesies ke-i, dan N adalah total jumlah individu semua spesies yang ditemukan.

 Kemerataan spesies dihitung dengan menggunakan Indeks Pielou (E), sebagai berikut:

E = H' / ln (S)

(31)

c. Nilai kemiripan komunitas

Nilai kemiripan dari komunitas-komunitas yang dibandingkan dihitung dengan menggunakan indeks Sǿrensen (Ludwig & Reynolds 1988), dengan formula sebagai berikut:

S = 2 C / (A + B)

S adalah nilai kemiripan, C adalah jumlah nilai penting terkecil untuk masing-masing tegakan yang diamati, A adalah jumlah nilai penting dari tegakan pertama, dan B adalah jumlah nilai penting dari tegakan kedua. d. Pola sebaran

Pola penyebaran ditentukan berdasarkan perbandingan keragaman dengan nilai rata-rata hitung individu spesies ke-i (Ludwig & Reynolds 1988)

Keterangan : X = Rata-rata jumlah individu spesies ke-i Xi = Jumlah individu ke-I dalam tiap kuadrat n = Jumlah kuadrat

Id = Indeks penyebaran

Jika : Id > 1, maka pola penyebaran spesies ke-i adalah mengelompok. Id < 1, maka pola penyebaran spesies ke-i adalah teratur/merata. Id = 1, maka pola penyebaran spesies ke-i adalah acak.

e. Asosiasi interspesies.

(32)

Tabel 1 Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N petak contoh.

Spesies Petak contoh Total

1 2 …. (N) Spesies

Asosiasi secara simultan menggunakan Variance Ratio (VR) diturunkan dari null association model. Indeks asosiasi VR diturunkan dari data kehadiran dan ketidakhadiran (Tabel 1). Hipotesis nol (Ho) yang dibangun adalah T. merguensis merupakan spesies independen; tidak ada asosiasi dengan spesies lain. Hipotesis ini diuji dengan uji statistik chi-square (χ²

Varian sampel total dihitung untuk keterdapatan S spesies dalam sampel, dengan persamaan sebagai berikut :

)

Keterangan: δT² = varian sampel total

pi = ni/N

Selanjutnya dilakukan pendugaan varian jumlah spesies total dengan persamaan :

Keterangan: ST² = varian jumlah spesies

t = tara-rata jumlah spesies per petak contoh.

Kemudian VR (indeks asosiasi antar seluruh spesies) dihitung dengan rumus:

(33)

Untuk menguji adanya penyimpangan nilai 1, maka dilakukan penghitungan nilai statistik W, dihitung dengan rumus :

W = (N)(VR) Jika nilai W terletak pada batas χ²

Selanjutnya spesies lain yang memiliki INP ≥ 10% (Botanri 2010) akan diuji asosiasinya dengan chi-square (p = 0,05 ; df =1) spesies berpasangan dari tabel kontingensi 2 x 2 (Tabel 2). Hipotesis nol (Ho) yang dibangun adalah bahwa T. merguensis merupakan spesies independen; tidak ada asosiasi dengan spesies lain.

dengan probabilitas 90% maka hipotesis bahwa tidak ada asosiasi spesies diterima.

Pasangan yang memiliki nilai signifikan diuji tingkat asosiasinya menggunakan indeks Jaccard (Ludwig & Reynolds 1988)

Keterangan: J = Indeks Jaccard

a = Jumlah plot ditemukannya T. merguensis dan spesies B

b = Jumlah plot ditemukannya T. merguensis tetapi tidak spesies B

c = Jumlah plot ditemukannya spesies B tetapi tidak T. merguensis

Tabel 2. Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies

Spesies B

ada Tidak ada

T. merguensis ada a b m = a + b

tidak ada c d n = c + d

r = a + c s = b + d

Keterangan :

a = Jumlah plot ditemukannya T. merguensis dan spesies B

(34)

f. Analisis sifat tanah meliputi sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. g. Kemiripan komposisi spesies tumbuhan dan parameter kuantitatif

komunitas lainnya dari tiap lokasi pengamatan dituangkan dalam bentuk dendrogram yang dihasilkan oleh analisis cluster.

h. Persamaan dan perbedaan iklim mikro dihitung dengan metode analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% (p ≤ 0,05). Uji lanjut menggunakan uji Duncan (DMRT).

i. Kurva periodik komponen iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, dan lama penyinaran) tahun 2008 dan 2009 dibuat untuk melihat kondisi iklim pada saat jamur Pelawan tumbuh. Sedangkan kurva periodik iklim tahun 2010 digunakan sebagai pembanding, karena selama tahun 2010 jamur Pelawan tidak tumbuh. Kurva periodik dibuat sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Little dan Hills (1977). Pembuatan kurva periodik diperlukan 2 nilai P yang dinamai PU1 (∑U1Y)

dan PV1 (∑V1

Y adalah iklim bulanan, U Y), dimana :

1 adalah cos CX, V1

Kurva periodik membutuhkan PU

adalah sin CX, (X adalah bulan, dimana Januari adalah bulan ke-0, Februari adalah bulan ke-1, dan seterusnya, C = 1/12 x 360°.

1 dan PV1 untuk kurva first degree, serta

PU2dan PV2

Persamaan kurva first degree adalah : untuk kurva second degree.

Ŷ1 = ao + a1 cos CX + b1

(35)

Kurva periodik yang digambarkan adalah hasil dari perhitungan second degree dengan sumbu X adalah bulan, dan sumbu Y adalah deviasi

rata-rata.

j. Karakteristik ekologi vegetasi dan komponen lingkungan abiotik yang mendukung pertumbuhan T. merguensis dan jamur Pelawan diperlihatkan oleh loading plot hasil analisis komponen utama (Principal Component Analisis, PCA).

Secara ringkas, alur dari penelitian yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut: Curah hujan, kelembaban, suhu, intensitas cahaya, dll EDAFIK

Sifat fisika Sifat kimia

PREFERENSI HABITAT

Faktor lingkungan yang mendukung penyebaran

(36)

HASIL

Komposisi Spesies dan Struktur Hutan Pelawan

Komposisi spesies dari dua hutan pelawan yang diteliti yaitu Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir disusun oleh beberapa spesies pohon yang sama. Berbeda halnya dengan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus yang hanya ditanami pohon pelawan, walaupun ada beberapa spesies lain dengan Indeks Nilai Penting (INP) yang sangat kecil. Komposisi spesies tumbuhan dan pola sebarannya di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air Pasir tersaji pada Tabel 3 – 6.

Tabel 3 Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus.

Tumbuhan bawah

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Alpinia galanga Zingiberaceae 0,04 2,63 - 2,67 Acak

2 Asystasia nemorum Acanthaceae 1,86 10,53 - 12,39 Mengelompok

3 Chromolaena odorata Asteraceae 14,09 18,42 - 32,51 Mengelompok

4 Gleichenia linearis Gleicheniaceae 0,36 7,89 - 8,25 Mengelompok

5 Imperata cylindrica Poaceae 81,44 34,21 - 115,65 Mengelompok

6 Melastoma malabatricum Melastomataceae 1,23 15,79 - 17,02 Mengelompok

7 Mimosa pudica Fabaceae 0,99 10,53 - 11,52 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 - 200,00

Spesies pohon fase semai

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Callophyllum nodosum Clusiaceae 100,00 100,00 - 200,00 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 - 200,00

Spesies pohon fase pancang

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Alstonia sp. Apocynaceae 1,89 4,00 0,82 6,71 Mengelompok

2 Bridellia tomentosa Euphorbiaceae 3,77 4,00 1,57 9,34 Mengelompok

3 Connarus sp. Connaraceae 1,89 4,00 0,44 6,33 Acak

4 Criptocarya crassinervia Lauraceae 1,89 4,00 0,72 6,61 Acak

5 Prunus arborea Rosaceae 1,89 4,00 0,29 6,18 Acak

6 Symplocos adenophylla Simplocaceae 1,89 16,00 0,49 18,38 Acak

7 Syzygium grande Myrtaceae 3,77 8,00 1,71 13,48 Teratur

8 Tristaniopsis merguensis Myrtaceae 83,02 56,00 93,95 232,97 Teratur

Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00

(37)

Tabel 4 Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang.

Tumuhan bawah

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Bromheadia finlaysoniana Orchidaceae 39,26 19,05 - 58,31 Mengelompok

2 Gleichenia linearis Gleicheniaceae 27,61 9,52 - 37,13 Mengelompok

3 Nepenthes raflessiana Nepentheceae 9,20 19,05 - 28,25 Mengelompok

4 Stenochlaena palustris Blechnaceae 23,93 52,38 - 76,31 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 - 200,00

Spesies pohon fase semai

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Callophyllum nodosum Clusiaceae 2,72 4,29 - 7,00 Mengelompok

2 Callophyllum soulattri Clusiaceae 27,17 17,14 - 44,32 Mengelompok

3 Chionanthus ramiflorus Oleaceae 1,63 1,43 - 3,06 Mengelompok

4 Cratoxilum glaucum Clusiaceae 1,09 1,43 - 2,52 Mengelompok

5 Criptocarya crassinervia Lauraceae 0,54 2,86 - 3,40 Mengelompok

13 Pternandra rostrata Melastomataceae 18,48 8,57 - 27,05 Mengelompok

14 Syzygium barringtonioides Myrtaceae 1,63 10,00 - 11,63 Mengelompok

15 Syzygium caudatilimbum Myrtaceae 2,17 1,43 - 3,60 Mengelompok

16 Syzygium chrysanthum Myrtaceae 2,17 1,43 - 3,60 Acak

23 Tristaniopsis merguensis Myrtaceae 2,17 2,86 - 5,03 Mengelompok

24 Urophillum sp. Rubiaceae 1,63 1,43 - 3,06 Mengelompok

25 Vatica chartacea Dipterocarpaceae 2,17 1,43 - 3,60 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 - 200,00

Spesies pohon fase pancang

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Arthophyllum diversifolium Araliaceae 0,72 1,74 1,02 3,48 Teratur

2 Callophyllum nodosum Clusiaceae 1,81 3,48 2,93 8,22 Mengelompok

3 Callophyllum soulattri Clusiaceae 7,97 8,70 10,62 27,29 Mengelompok

4 Chionanthus ramiflorus Oleaceae 0,36 0,87 0,63 1,87 Acak

5 Cratoxilum glaucum Clusiaceae 2,17 4,35 1,87 8,39 Acak

6 Criptocarya crassinervia Lauraceae 0,72 1,74 0,78 3,25 Teratur

7 Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae 0,72 1,74 1,96 4,42 Teratur

8 Gaertnera vaginans Rubiaceae 2,54 2,61 2,07 7,22 Mengelompok

9 Garcinia parfivolia Clusiaceae 1,09 1,74 2,26 5,08 Mengelompok

10 Garcinia riedeliana Clusiaceae 1,81 2,61 0,77 5,19 Mengelompok

11 Ghordonia sp. Theaceae 3,99 5,22 4,47 13,67 Teratur

12 Ilex sp. Aquifoliaceae 2,17 4,35 2,00 8,52 Acak

13 Litsea rubiginosa Lauraceae 1,45 2,61 4,16 8,22 Teratur

14 Pternandra azurea Melastomataceae 1,81 1,74 0,79 4,34 Mengelompok

15 Pternandra rostrata Melastomataceae 5,43 6,09 3,77 15,29 Mengelompok

16 Syzygium barringtonioides Myrtaceae 5,07 4,35 3,60 13,02 Mengelompok

17 Syzygium caudatilimbum Myrtaceae 0,36 0,87 0,71 1,94 Acak

18 Syzygium chrysanthum Myrtaceae 2,54 3,48 1,20 7,22 Mengelompok

19 Syzygium grande Myrtaceae 3,62 5,22 4,79 13,63 Mengelompok

20 Syzygium longiflorum Myrtaceae 11,59 7,83 5,93 25,35 Mengelompok

21 Syzygium muelleri Myrtaceae 5,80 4,35 4,06 14,21 Mengelompok

22 Syzygium pyrifolium Myrtaceae 14,49 7,83 9,46 31,78 Mengelompok

23 Syzygium sp. Myrtaceae 0,36 0,87 1,43 2,66 Acak

24 Syzygium zeilanicum Myrtaceae 0,36 0,87 0,24 1,47 Acak

25 Timonius flafescens Rubiaceae 0,36 0,87 0,10 1,33 Acak

26 Tristaniopsis merguensis Myrtaceae 15,94 9,57 23,22 48,73 Mengelompok

27 Urophillum sp. Rubiaceae 0,36 0,87 0,16 1,39 Acak

28 Vatica chartacea Dipterocarpaceae 4,35 3,48 5,00 12,83 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00

(38)

Tabel 5 Spesies tumbuhan bawah dan pohon fase semai dan pancang di Hutan Dusun Air Pasir.

Tumuhan bawah

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Bromheadia finlaysoniana Orchidaceae 7,50 15,38 - 22,88 Mengelompok

2 Gleichenia linearis Gleicheniaceae 37,50 30,77 - 68,27 Mengelompok

3 Selaginella doederleinii Selaginellaceae 15,00 23,08 - 38,08 Mengelompok

4 Stenochlaena palustris Blechnaceae 40,00 30,77 - 70,77 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 - 200,00

Spesies pohon fase semai

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Anisophylla disthica Anisophyllaceae 3,11 4,84 - 7,95 Mengelompok

2 Anodendron sp. Apocynaceae 0,89 3,23 - 4,11 Teratur

15 Macaranga trichocarpa Euphorbiaceae 2,67 4,84 - 7,51 Mengelompok

16 Psychotria viridiflora Rubiaceae 9,78 6,45 - 16,23 Mengelompok

17 Pternandra azurea Melastomataceae 4,00 8,06 - 12,06 Mengelompok

18 Pternandra rostrata Melastomataceae 0,44 1,61 - 2,06 Acak

19 Symplocos odoratissima Symplocaceae 0,89 1,61 - 2,50 Mengelompok

20 Symplocos ophirensis Symplocaceae 4,00 4,84 - 8,84 Mengelompok

21 Syzygium buetterianum Myrtaceae 4,00 3,23 - 7,23 Mengelompok

22 Syzygium grande Myrtaceae 4,00 4,84 - 8,84 Mengelompok

23 Tristaniopsis merguensis Myrtaceae 45,33 17,74 - 63,08 Mengelompok

24 Vatica chartacea Dipterocarpaceae 3,11 3,23 - 6,34 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 - 200,00

Spesies pohon fase pancang

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Anodendron sp. Apocynaceae 4,72 3,66 6,58 14,97 Mengelompok

2 Aporosa frutescens Euphorbiaceae 2,36 2,44 2,42 7,22 Mengelompok

3 Arthrtophyllum diversifolium Araliaceae 1,57 2,44 2,36 6,37 Teratur

4 Artocarpus odoratissima Moraceae 2,36 3,66 3,82 9,84 Teratur

5 Callophyllum nodosum Clusiaceae 0,79 1,22 2,08 4,09 Acak

6 Callophyllum soulattri Clusiaceae 5,51 4,88 5,44 15,83 Mengelompok

7 Chionanthus ramiflorus Oleaceae 3,15 4,88 1,20 9,23 Mengelompok

14 Glochidion zeylanicum Euphorbiaceae 0,79 1,22 0,39 2,40 Acak

15 Ilex sp. Aquifoliaceae 1,57 2,44 2,65 6,67 Teratur

16 Litsea rubiginosa Lauraceae 7,09 8,54 7,47 23,09 Teratur

17 Macaranga trichocarpa Euphorbiaceae 0,79 1,22 0,11 2,12 Acak

18 Meliosma sumatrana Clusiaceae 1,57 2,44 2,12 6,13 Teratur

19 Pternandra azurea Melastomataceae 5,51 6,10 4,63 16,24 Teratur

20 Pternandra rostrata Melastomataceae 1,57 2,44 1,08 5,10 Teratur

21 Pterocymbium beccari Malvaceae 1,57 2,44 1,57 5,59 Teratur

22 Pterocymbium tubulatum Malvaceae 0,79 1,22 1,45 3,45 Acak

23 Syzygium buetterianum Myrtaceae 3,15 2,44 3,65 9,23 Mengelompok

24 Syzygium cf nervosum Myrtaceae 0,79 1,22 0,11 2,12 Acak

25 Syzygium grande Myrtaceae 8,66 6,10 7,43 22,18 Mengelompok

26 Syzygium pyrifolium Myrtaceae 0,79 1,22 0,33 2,34 Acak

27 Tristaniopsis merguensis Myrtaceae 21,26 8,54 24,03 53,82 Mengelompok

28 Urcheola brachysepala Apocynaceae 0,79 1,22 0,39 2,40 Acak

29 Vatica chartacea Dipterocarpaceae 4,72 4,88 4,95 14,56 Acak

Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00

(39)

Tabel 6 Spesies pohon fase tiang di Hutan Dusun Air Pasir.

No Spesies Famili KR FR DR INP Pola sebaran

1 Anodendron sp. Apocynaceae 2,81 4,55 2,81 10,16 Teratur

2 Archidendron sp. Fabaceae 0,76 1,52 0,76 3,04 Acak

3 Artocarpus odoratissima Moraceae 12,59 10,61 12,59 35,79 Mengelompok

4 Callophyllum nodosum Clusiaceae 2,29 4,55 2,29 9,13 Teratur

5 Calophyllum soulattri Clusiaceae 2,09 3,03 2,09 7,21 Teratur

6 Chionanthus ramiflorus Oleaceae 1,11 1,52 1,11 3,73 Acak

7 Cratoxylum glaucum Clusiaceae 1,87 3,03 1,87 6,76 Teratur

8 Criptocarya crassinervia Lauraceae 9,17 9,09 9,17 27,43 Teratur

9 Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae 1,61 1,52 1,61 4,74 Mengelompok

10 Ghordonia sp. Theaceae 7,24 7,58 7,24 22,06 Mengelompok

11 Harpulia arborea Sapindaceae 8,40 6,06 8,40 22,86 Mengelompok

12 Ilex sp. Aquifoliaceae 5,28 4,55 5,28 15,11 Mengelompok

13 Litsea rubiginosa Lauraceae 7,79 6,06 7,79 21,65 Acak

14 Macaranga bancana Euphorbiaceae 1,52 3,03 1,52 6,07 Teratur

15 Macaranga trichocarpa Euphorbiaceae 4,50 1,52 4,50 10,52 Mengelompok

16 Meliosma sumatrana Clusiaceae 4,46 3,03 4,46 11,95 Mengelompok

17 Pterocymbium beccari Malvaceae 2,35 1,52 2,35 6,22 Mengelompok

18 Symplocos odoratissima Symplocaceae 2,29 1,52 2,29 6,09 Acak

19 Symplocos ophirensis Symplocaceae 4,40 4,55 4,40 13,34 Teratur

20 Syzygium grande Myrtaceae 12,98 16,67 12,98 42,63 Teratur

21 Tristaniopsis merguensis Myrtaceae 4,48 4,55 4,48 13,51 Mengelompok

Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00

KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting

Tabel 3 – 6 memperlihatkan perbedaan jumlah spesies maupun famili antara Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir (Gambar 6).

Gambar 6 Jumlah spesies dan famili di lokasi penelitian

Spesies ataupun famili tumbuhan bawah paling banyak ditemukan di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus (7 spesies dalam 7 famili), sedangkan di Hutan Kawasan Lindung Kalung dan Hutan Dusun Air Pasir adalah sama yaitu 4 spesies dalam 4 famili. Spesies pohon yang berada fase pertumbuhan semai paling banyak ditemukan pada Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, yaitu sejumlah 25 spesies, kemudian Hutan Dusun Air Pasir sejumlah 24 spesies, terakhir Hutan

0

Spesies Famili Spesies Famili Spesies Famili Spesies Famili

Tumbuhan bawah Semai Pancang Tiang

(40)

Tanaman Pelawan Desa Trubus hanya satu spesies. Namun apabila dilihat dari famili, Hutan Dusun Air Pasir memiliki famili semai terbanyak yaitu 17 famili, kemudian Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang 11 famili, dan terakhir adalah Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus 1 famili.

Fase pertumbuhan yang lebih lanjut yaitu pancang bahwa Hutan Dusun Air Pasir memiliki jumlah spesies terbanyak, yaitu 29 spesies dalam 15 famili. Kemudian diikuti oleh Hutan Kawasan Lindung Kalung sejumlah 28 spesies dalam 11 famili, dan terakhir adalah Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus sejumlah 8 spesies dalam 7 famili. Fase tiang hanya ditemukan di Hutan Dusun Air Pasir, sejumlah 21 spesies dalam 14 famili.

Berdasarkan kepada komposisi spesies penyusun hutan pelawan yang tertera pada Tabel 3 – 6, maka ditentukan indeks keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan spesies (Tabel 7).

Tabel 7 Nilai indeks keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan spesies untuk spesies tumbuhan bawah dan pohon di lokasi penelitian

Lokasi Kategori Keanekaragaman Kekayaan Kemerataan Spesies ( H ) Spesies ( R ) Spesies ( E )

(41)

Indeks Pielou (E) yang digunakan untuk menerangkan kemerataan spesies berkisar antara 0,00 sampai dengan 0,92. Data ini menunjukkan bahwa semakin nilai E mendekati 1, maka kemerataan spesies akan maksimum atau homogen.

Pada Tabel 3 - 6 juga terlihat adanya beberapa spesies tumbuhan bawah dan pohon yang sama di tiga lokasi penelitian. Kesamaan komposisi spesies ini dapat diterangkan dengan Indeks Kesamaan Sorensen (Tabel 8).

Tabel 8 Indek kesamaan dan ketidaksamaan spesies Sorensen di lokasi penelitian.

Lokasi Tumbuhan bawah Semai Pancang Tiang

T N A T N A T N A T N A

T 0,04 0,04 0,04 0,00 0,22 0,25 0,00 0,00

N 0,96 0,54 0,96 0,24 0,78 0,46 1,00 0,00

A 0,96 0,46 1,00 0,76 0,75 0,54 1,00 1,00

T = Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, N = Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, A = Hutan Dusun Air Pasir. Angka yang bercetak tebal adalah Indeks Kesamaan Sorensen. Angka yang bercetak miring adalah Indeks Ketidaksamaan (1- Sorensen).

Indeks kesamaan Sorensen yang tersaji pada Tabel 8 dianalisis lebih lanjut menggunakan analisis cluster sehingga menghasilkan dendrogram (Gambar 7).

3

Single Linkage; Euclidean Distance

Gambar 7 Dendrogram kemiripan keanekaragaman spesies berdasarkan Indeks Kesamaan Sorensen di lokasi penelitian ( 1 = Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, 2 = Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, 3 = Hutan Dusun Air Pasir )

(42)

0,25) untuk spesies pohon fase semai. Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus memiliki kemiripan yang rendah untuk spesies tumbuhan bawah dan spesies pohon semua fase pertumbuhan dengan Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir.

Pada Gambar 7 terlihat bahwa secara keseluruhan, komposisi spesies tumbuhan penyusun Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir memiliki kemiripan lebih besar dari 44,28%. Sedangkan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus dan secara terpisah hanya memiliki kemiripan sebesar 44,28% dengan Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir.

(43)

Gambar 8 (a) Profil vegetasi Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, (b) profil vertikal, (c) profil horizontal. (1, 2, 4 = T. merguensis; 3 = Syzygium grande)

(a)

(44)

Gambar 9 (a) Profil vegetasi Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, (b) profil vertikal, (c) profil horizontal. (1 = Pternandra rostrata ; 2, 3 = Ilex sp. ; 4, 9 = Syzygium muelleri; 5, 7= S. pyrifolium; 6, 8, 11, 14, 28, 29, 30=Tristaniopsis merguensi; 10, 13, 22 = Challophyllum soulattri; 12= S. chrysanthum; 15 ,16, 17,18 = Gaertnera vaginan ;, 19 = Challophyllum nodosum; 20 = Cratoxulum glaucum; 21 ,23 ,24 ,25 ,26 ,27 = S. barringtiniodes.)

(a)

(45)

Gambar 10 (a) Profil vegetasi Hutan Dusun Air Pasir, (b) profil vertikal, (c) profil horizontal. (1, 2, 6 = Anodendron sp.; 3, 4, 7 = Syzygium buetterianum ; 5, A = Challophyllum nodosum ; 8, 9 = Garcinia parvifolia ; 10, 11, 12, 13 = Tristaniopsis merguensis ; B = Gordonia sp. ; C = Syzygium grande.

(a)

(46)

Pada Gambar 8 - 10 terlihat bahwa tinggi tumbuhan penyusun hutan pelawan berkisar antara 5 m – 10 m. Hal ini berarti bahwa pada hutan pelawan disusun oleh satu strata tajuk yaitu C. Dari Gambar 8 – 10 juga dapat dilihat perbedaan pola sebaran, kerapatan dan komposisi spesies tumbuhan pada fase pertumbuhan yang berbeda. Gambar 8 yang merupakan profil vegetasi Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus memperlihatkan pola sebaran yang lebih teratur dari pada dua lokasi penelitian lainnya. Gambar 9 memperlihatkan dengan jelas bahwa kerapatan vegetasi tumbuhan di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang adalah lebih rapat dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya. Sedangkan pada Gambar 10 terlihat adanya spesies pohon yang berada pada fase pertumbuhan tiang.

Struktur Populasi T. merguensis di Hutan Pelawan

Struktur populasi T. merguensis dalam kajian ini diuraikan menurut fase pertumbuhan (Botanri 2010). Fase pertumbuhan yang dimaksud meliputi fase semai, pancang, tiang, dan pohon. Setiap lokasi penelitian memperlihatkan variasi dalam struktur populasi T. merguensis ( Gambar 11).

Gambar 11 Struktur populasi T. merguensis di lokasi penelitian

Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada Hutan Tanaman Pelawan tidak terdapat semai dari T. merguensis, hanya sedikit pada Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan sangat banyak di Hutan Dusun Air Pasir. Namun pancang T. merguensis di Hutan Dusun Air Pasir paling sedikit dibandingkan dengan yang lainnya. Pancang T. merguensis paling banyak ditemukan di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang.

(47)

Parameter kuantitatif populasi T. merguensis lain yang diuji tersaji pada

Tabel 9.

Tabel 9 Karakter ekologi populasi T. merguensis di Kabupaten Bangka tengah.

Lokasi Fase Kerapatan Kerapatan

Relatif

Individu T. merguensis di tiga lokasi penelitian menempati lapisan tajuk dengan ketinggian ± 7 m, dan tidak ditemukan individu yang menempati lapisan emergent. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa T. merguensis menempati

stratum C yaitu lapisan tajuk yang tingginya 4–18 m seperti yang terlihat pada Gambar 8 -10.

Pola sebaran T. merguensis di tiga lokasi penelitian diungkapkan melalui

pendekatan nilai Indeks Dispersi (Iδ) (Tabel 10). Tabel 10 Nilai Indeks Dispersi (Iδ) T. merguensis.

Pola sebaran T. merguensis di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir mengelompok (Iδ > 1), sedangkan di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus tersebar teratur (Iδ < 1).

(48)

Tabel 11 Nilai Varian Rasio (VR) di lokasi penelitian untuk spesies pohon setiap fase pertumbuhan

Lokasi VR

Semai Pancang Tiang

Trubus 1,00 1,18 -

Namang 0,94 1,81 -

Air Pasir 0,97 0,82 0,57

VR < 1 asosiasi negatif, VR > 1 asosiasi positif, VR = 1 tidak ada sosiasi.

Nilai Varian Ratio (VR) untuk fase pancang di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus dan Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang yang lebih besar dari 1 (VR > 1) menandakan bahwa terjadi asosiasi positif untuk kategori tersebut. Sedangkan nilai VR untuk semua fase pertumbuhan di Hutan Dusun Air Pasir adalah kurang dari 1 (VR < 1). Nilai VR < 1 juga terdapat pada fase semai di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang. Nilai VR yang kecil dari 1 menandakan terjadi asosiasi negatif.

Setelah dilakukan analisis lebih lanjut dengan uji χ²

untuk mengetahui asosiasi spesies berpasangan dengan T. merguensis, terlihat bahwa tidak ada spesies yang berasosiasi secara spesifik. Asosiasi yang terjadi hanyalah asosiasi secara simultan atau keseluruhan spesies yang ada di lokasi tersebut.

Karakter Komunitas Vegetasi Hutan Pelawanyang Mendukung

Pertumbuhan Jamur Pelawan

(49)

Tabel 12 Karakter kuantitatif komunitas vegetasi hutan pelawan

Lokasi Kategori Kerapatan Frekuensi Dominansi

Trubus

Tinggi rendahnya nilai parameter kuantitatif komunitas (kerapatan, frekuensi, dan dominansi) T. merguensis pada Tabel 12 di atas, dianalisis lebih lanjut dengan analisis cluster yang menghasilkan dendrogram (Gambar 12).

3

Single Linkage; Euclidean Distance

Gambar 12 Dendrogram kemiripan karakter kuantitatif komunitas hutan pelawan. (1 = Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, 2 = Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, 3 = Hutan Dusun Air Pasir )

(50)

Karakter kuantitatif komunitas hutan pelawan yang mendukung pertumbuhan jamur pelawan diungkap melalui pendekatan loading plot hasil analisis komponen utama (Principal Component Analisis, PCA) (Gambar 13).

0,3

Gambar 13 Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen kuantitatif komunitas dalam hutan pelawan dengan menggunakan loading plot. a : (KTB = kerapatan tumbuhan bawah, FTB = frekuensi tumbuhan bawah), b : (HTB = keanekaragaman spesies tumbuhan bawah, RTB = kekayaan spesies tumbuhan bawah, ETB = kemerataan spesies tumbuhan bawah, KS = kerapatan semai, FS = frekuensi semai, HS = keanekaragaman spesies semai, RS = kekayaan spesies semai, KP = kerapatan pancang, FP = frekuensi pancang, DP = dominansi pancang, HP = keanakeragaman spesies pancang, RP = kekayaan spesies pancang, EP = kemerataan spesies pancang), c : (KT = kerapatan tiang, FT = frekuensi tiang, DT = dominansi tiang, HT = keanakeragaman spesies tiang).

Gambar 13 memperlihatkan bahwa kehadiran jamur pelawan di hutan pelawan berkorelasi positif dengan kerapatan, frekuensi, dominansi, keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan spesies pohon; serta berkorelasi negatif dengan kerapatan dan frekuensi tumbuhan bawah. Korelasi positif ditandai dengan besar sudut yang terbentuk antara lokasi pertumbuhan jamur dengan parameter kuantitatif komunitas lebih kecil dari 90°, dan korelasi negatif diperlihatkan oleh sudut yang lebih besar dari 90° antara lokasi pertumbuhan jamur dengan parameter kuantitatif komunitas.

Serasah yang merupakan sisa bahan organik tumbuhan diasumsikan turut mempengaruhi pertumbuhan jamur pelawan di hutan pelawan. Hasil analisis serasah tersaji pada Tabel 13.

(a)

(51)

Tabel 13 Hasil analisis serasah di lokasi penelitian

Berat kering serasah/ha tertinggi dijumpai pada Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, kemudian di Hutan Desa Air Pasir, terakhir adalah Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus. Kandungan C dan N serasah di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang sangat tinggi (% C > 5 dan % N > 0,75), sedangkan di Hutan Desa Air Pasir dan Hutan Tanaman Pelawan Trubus kandungan C adalah tinggi (3,01% < C < 5,00% dan 0,51% < N < 0,75%). Tingginya kandungan C dan N ini menjadikan C/N rasio di tiga lokasi penelitian adalah sangat tinggi (C/N > 25).

Serasah yang diasumsikan turut mempengaruhi pertumbuhan jamur pelawan di hutan pelawan diuji lanjut melalui pendekatan loading plot PCA (Gambar 14).

0,5

Gambar 14 Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen serasah dengan menggunakan loading plot.

Gambar 14 memperlihatkan bahwa kehadiran jamur pelawan di hutan pelawan berkorelasi positif dengan berat kering serasah pada tiap satuan luas, kandungan C serta N serasah. Komposisi tanaman di hutan alami pelawan lebih

banyak dan lebih rapat dibandingkan dengan hutan tanaman berbasis T. merguensis (Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus), sehingga volume

serasahnya juga lebih besar.

Lokasi Berat Kering C N C/N

Ton/ha …(%)… Ratio

Trubus 12,00 34,49 0,56 61,59

Namang 57,20 51,09 0,84 60,82

(52)

Karakter Lingkungan Abiotik Hutan Pelawan yang Mendukung

Pertumbuhan Jamur Pelawan.

Faktor abiotik ekosistem hutan pelawan yang diamati mencakup kondisi iklim dan tanah. Data beberapa komponen iklim mikro pada tiap lokasi penelitian tersaji pada Tabel 14, dan data klimatologi yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun Pangkal Pinang tersaji pada Lampiran 1.

Tabel 14 Iklim mikro di lokasi penelitian (Juli-Agustus 2010)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

Terdapat perbedaan yang nyata untuk semua parameter yang diukur antara lokasi yang memiliki sejarah pertumbuhan jamur pelawan (Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir) dengan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus yang tidak pernah ada riwayat pertumbuhan jamur pelawan (p < 0,05). Suhu dan intensitas cahaya matahari di habitat jamur pelawan lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan habitatnya. Sebaliknya kelembaban udara adalah lebih tinggi di habitat jamur pelawan lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan habitatnya.

Terkait dengan kondisi iklim lokal, kisaran suhu udara selama 3 tahun terakhir di lokasi penelitian adalah 19°C - 29°C dengan kelembaban udara 66% - 86,10%. Curah hujan terendah terjadi pada bulan September 2009 yaitu 11,80 mm3, dan tertinggi pada bulan Maret 2010 yaitu 471,80 mm3

Kondisi iklim lokal ekosistem hutan pelawan yang mendukung pertumbuhan jamur pelawan diungkap melalui pendekatan kurva periodik (Gambar 15).

(53)

Gambar 15 Kurva periodik iklim lokal (a) = 2008, (b) = 2009, (c) 2010. Bagian yang didalam kotak merupakan saat terjadinya panen jamur pelawan.

Panen jamur pelawan berlangsung pada bulan Oktober 2008, bulan September 2009, tetapi tidak pernah ada pada tahun 2010. Gambar 15(a) dan 15(b) memperlihatkan bahwa jamur pelawan tumbuh setelah berlangsungnya penyinaran matahari yang cukup lama, yang mengakibatkan turunnya kelembaban udara. Kecepatan angin yang tinggi juga turut mempengaruhi pertumbuhan jamur pelawan pada saat itu.

Pada bulan Februari 2008, juga terjadi durasi penyinaran yang lama, bahkan paling lama dalam tahun 2008 tersebut. Hal ini pun mengakibatkan penurunan kelembaban udara hingga mencapai batas minimum selama tahun 2008 tersebut.

-15,00

(54)

Namun kecepatan angin pada bulan Februari 2008 tersebut tidaklah lebih tinggi dari pada kecepatan angin yang terjadi pada bulan Oktober 2008.

Jamur pelawan pada tahun 2009 tumbuh pada bulan September. Bulan ini merupakan puncak dari durasi penyinaran matahari yang mengakibatkan kelembaban udara pencapai taraf paling rendah. Juga terlihat bahwa kecepatan angin berada pada kecepatan yang maksimal dalam tahun 2009.

Durasi penyinaran matahari yang lama, sehingga berdampak pada penurunan kelembaban udara, dan dikombinasikan dengan kecepatan angin yang maksimun seperti yang terjadi pada bulan Oktober 2008 dan September 2009, tidak pernah terjadi selama tahun 2010. Pada tahun 2010 tidak terjadi panen jamur pelawan.

Berdasarkan analisis tanah (Lampiran 2) terlihat bahwa tanah habitat T. merguensis bersifat agak masam. Kandungan C dan N di Hutan Tanaman

Pelawan Desa Trubus dan Hutan Dusun Air Pasir adalah rendah, sedangkan di Hutan kawasan Lindung Kalung Desa Namang memiliki kandungan C dan N yang sedang. Unsur P yang tersedia bagi tumbuhan di Hutan Dusun Air Pasir sangat rendah, di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus tersedia dalam jumlah yang rendah, sedangkan di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang tersedia dalam jumlah yang sedang.

Konsentrasi kation di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus dan Hutan Kawasan Lindung Desa Namang tergolong sangat rendah dan rendah, sedangkan di Hutan Dusun Air Pasir berada pada posisi sedang. Kosentrasi kation ini berpampak kepada nilai kapasitas tukar kation (KTK). KTK di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus dan Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang sangat rendah, sedangkan di Hutan Dusun Air Pasir nilai KTK berada pada posisi rendah. Berdasarkan nilai KTK ini, maka tanah di tiga lokasi penelitian tidak subur. Nilai KTK ini sejalan dengan nilai kejenuhan basa (KB) pada masing-masing lokasi penelitian.

(55)

faktor pembatas bagi pertumbuhan T. merguensis. Sebab, persentase partikel pasir di tiga lokasi penelitian berkisar antara 17,37% - 85,51%.

Karakter tanah ekosistem hutan pelawan yang diduga mendukung pertumbuhan jamur pelawan diungkap melalui pendekatan Loading plot hasil analisis komponen utama (Principal Component Analisis, PCA) (Gambar 16).

0,3

Loading Plot of Pelawan fungi; ...; Liat

Gambar 16 Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen tanah dengan menggunakan loading plot. (a) = P HCl, P Bray, C org, C tot, (b) = pertumbuhan jamur, Zn, (c) = Kejenuhan Basa, Mg, KTK, Ca.

Pada Gambar 16 terlihat bahwa mineral tanah yang memiliki korelasi positif yang sangat kuat dengan pertumbuhan jamur pelawan adalah unsur Zinc (Zn). Korelasi positif yang sangat kuat ditandai dengan sangat kecilnya sudut yang terbentuk antara peubah pertumbuhan jamur pelawan dengan peubah Zn.

(a)

(b) (c)

(56)

PEMBAHASAN

Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Pelawan

Komposisi jenis tumbuhan merupakan daftar floristik (Misra 1973) ataupun keberadaan jenis-jenis pohon yang ada dalam suatu komunitas atau hutan (Richard 1966). Keberadaan tumbuhan pada suatu lingkungan merupakan cerminan dari kondisi tempat tumbuhan itu hidup, sehingga tumbuhan dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan (Barbour et al. 1987).

Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus yang didominasi oleh Imperata cylindrica mengindikasikan bahwa hutan tersebut dalam kondisi terdegradasi (Gowariker et al. 2009). Pada awal 2009 terjadi kebakaran hutan di Agroforestry Desa Trubus yang mengakibatkan Imperata cylindrica menjadi dominan menutupi lahan. Imperata cylindrica merupakan jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari dan areal terbuka.

Stenochlaena palustris yang ada di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa

Namang menandakan bahwa hutan tersebut adalah hutan dataran rendah dengan tanah yang masam karena banyak mengandung asam sulfat (Mojiol 2010). Gleichenia linearis yang termasuk jenis tumbuhan bawah (paku tanah) yang

dominan di Hutan Dusun Air Pasir setelah S.palustris menandakan bahwa kerapatan jenis pohon di hutan tersebut tidak terlalu rapat, namun ternaungi oleh tajuk yang cukup besar (Lugrayasa & Adjie 2004).

Banyaknya jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus turut mengindikasikan bahwa hutan tersebut berada pada tahapan awal suksesi. Suksesi tahap awal ditandai dengan banyaknya jenis tumbuhan bawah sebagai tumbuhan perintis (Wibisono et al. 2004).

Gambar

Gambar 5  Skema alur penelitian. (    ) dilakukan analisis, (    ) komunikasi
Tabel 3  Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Tanaman Pelawan Desa
Tabel 4 Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang.
Tabel 5  Spesies tumbuhan bawah dan pohon fase semai dan pancang di Hutan Dusun Air Pasir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hutan Lindung Lumban Julu memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang sedang melimpah.Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengeksplorasi tumbuhan obat pada kawasan

Dari data diatas dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman (H`) pada spesies yang ditemukan di Kawasan Hutan Pinus Kragilan termasuk dalam kriteria indeks keanekaragaman

Penelitian bertujuan memberikan data dan informasi potensi keanekaragaman jamur yang ada di kawasan hutan lindung KPHP Sorong Selatan yang diharapkan dapat dijadikan

Kesimpulan pada penelitian ini adalah keanekaragaman jenis pohon di kawasan hutan lindung KPH-P Ladongi Unit XII di Desa Anggaloosi, Kecamatan Ladongi, Kabupaten Kolaka Timur

Skripsi dengan judul “Analisis Keanekaragaman Anggrek (Orchidaceae) Kawasan Hutan lindung Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek Sebagai Sumber Belajar Biologi” adalah

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Inventarisasi Jamur Makroskopis

Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu di Desa Citalahab dan Hutan dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat [skripsi].. Universitas Islam

Jenis pohon inang yang berada pada kawasan hutan Lindung Lununianam mempunyai kesamaan karakteristik yakni memiliki tinggi kisaran 15-30m, kulit batang berwarna coklat, permukaan