DAFTAR PUSTAKA A.Buku
Abdurrahman, Masalah Pembauran Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan tanah DiIndonesia, PT. Cintra Aditia Bakti , Jakarta, 1991
Iskandar, Mudakir. Pembebasan Tanah Untuk pembangunan kepentingan Umum, Permata
Aksara, Jakarta, 2014.
Hasim, Syafruddin, dkk, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus di
Sumatera Utara, Medan : CV. Cahaya Ilmu, 2006.
Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Bagi pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004.
Parlindungan AP, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi
Perbandingan, Cv. Mandar Maju, Medan, 1993
Sihombing, Irene Eka, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Penerbit Universitas Trisaki, Jakarta, 2005
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian hukum,UI Press, Jakarta, 1981
Sunggono,Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007
Sugiharto, Umar Said,dan Suratma, Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan
Tanah,Setara Press, Malang, 2014
Yamin, Muhammad, Jawaban Singkat Pertanyaan-Pertanyaan Dalam Komentar Atas
Undang-Undang Pokok agraria, Edisi Revisi, Pustaka Bangsa Press, Medan,2003 Yamin, Muhammad,dan Abdul Rahim Lubis, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan
Zakie, Mukmin, Kewenangan Negara Dalam Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum di Indonesia dan Malaysia,Buku Litera Jogyakarta, Jogyakarta,2013
Siahaan,Nommy Horas Thombang, Hutan,Lingkungan dan Paradigma Pembangunan, Pancur Alam, Jakarta, 2007
B. PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria
Instruksi Presiden No.9 Tahun 1973 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional Di Bidang Pertanahan.
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan untuk Kepentingan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
C. INTERNET
Refhie, Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah,
BAB III
TINJAUAN UMUM PENGADAAN ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A. Definisi Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Dewasa ini pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta semakin berkembang pesat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan membutuhkan tanah. Di sisi lain tanah negara yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah semakin terbatas, karena tanah yang ada sebagian telah dikuasai/dimiliki oleh masyarakat dengan suatu hak. Maka upaya hukum dari pemerintah maupun swasta untuk memperoleh tanah-tanah te3rsebut dalam memenuhi pembangunan antara lain dilakukan melalui pendekatan pembebasan hak maupun pencabutan hak15
15
Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Penerbit Universitas Trisaki, Jakarta, 2005,hal 98.
Tanah di Indonesia mempunyai “fungsi sosial” artinya kegunaan dari tanah itu lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individu atau golongan. Yang menjadi kendala dalam melaksanakan fungsi sosial adalah awamnya masyarakat dan akibat dari awamnya masyarakat itu dianggapnya kepemilikan dari tanah berlaku mutlak, artinya hak kepemilikannya tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun termasuk oleh negara.
Padahal negara mempunyai hak terhadap yang disebut hak untuk menguasai, sebagaimana diterangkan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “ Bumi dan Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Penjabaran Undang-Undang Dasar 1945 itu dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yang didalamnya mengatur dan membenarkan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, yang dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan, bahwa kewengan Negara adalah:
1. kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi air dan ruang angkasa tersebut;
3. menentukan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan ruang angkasa;16
Karena pengadaan tanah itu bertujuan untuk pembangunan kepentingan umum, maka harus ada kreteria yang pasti tentang arti atau kategori dari kepentingan umum itu sendiri Negara yang termasuk di dalamnya kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan, atau dengan kata lain kepentingan umum merupakan kepentingan yang menyangkut sebagian besar masyarakat. Kepentingan umum memurut doktrin yuridis, sebagaimana dijelaskan dibawah ini.
a. Menurut pasal 1 angka 1 Keppres Nomor 65 Tahun 1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
b. Menurut Pasal 1 angka 3 Keppres Nomor 36 Tahun 2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
c. Menurut Pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 65 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
16
Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum,
d. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Dalam Undang-Undang ini tidak menyebutkan pencabutan hak atas tanah sebagai bagian dari pengadaan tanah, atau pencabutan hak atas tanah bukan merupakan bagian pengadaan tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
dengan demikian, pengertian pengadaan tanah menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 jelas berbeda sekali dengan pengertian pencabutan tanah dan pembebasan tanah, yang tersirat adanya tindakan khusus dari pihak pemerintah secara sepihak maupun tindakan pihak swasta yang difasilitasi oleh pemerintah, juga adanya perbedaan mengenai objek yang akan diberikan ganti rugi, dalam aturan yang baru ini, juga secara eksplisit ditegaskan termasuk atas bangunan dan tanaman serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Persamaan dari istilah pencabutan hak, pembebasan tanah dan pengadaan tanah terletak dari adanya ketentuan “pemberian ganti rugi” dari setiap kegiatan tersebut yang diberikan kepada pemilik pemegang hak atas tanah.17
Arti kepentingan umum dilihat dari yuridis normatif yaitu Perpres Nomor 36 Tahun 2005, menjelaskan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah Kepentingan sebagian besar masyarakat. Sedangkan kepentingan dari sudut pandang ketentuan yang diatur dalam Keputusan umum adalah kepentingan seluruh lapisan
17
masyarakat.18
18
Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Permata Aksara, Jakarta, 2014, hal 11.
Menurut Undang-Undang nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, menjelaskan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kata sebagian besar ini mempunyai arti tidak semua masyarakat, akan tetapi dalam kata demi kepentingan sebagian besar masyarakat, bisa dianggap untuk semua masyarakat, walaupun dari sebagian besar itu pasti ada sebagian kecil masyarakatnya yang tidak bisa menikmati hasil atau manfaat dari fasilitas pembangunan kepentingan umum itu sendiri atau dengan kata lain, kepentingan umum, kepentingan yang menyangkut kepentingan Negara, Bangsa, dan sebagian besar masyarakat.
B. Azas Hukum dan Tujuan Pengadaan Tanah
1. Azas Kesepakatan/Consensus
Seluruh kegiatan pencabutan hak dan segala aspek hukumnya, seperti pemberian ganti rugi, pemukiman kembali dan pemulihan kembali kondisi sosial ekonomi, hukum harus dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah. Kesepakatan ini dilakukan atas dasar persetujuan kehendak kedua belah pihak tanpa adanya unsur paksaan, kesilapan, dan penipuan serta dilakukan dengan itikad baik. Apabila dalam kesepakatan dilaksanakan adanya unsur kesilapan, paksaan, dan penipuan maka kesepakatan itu dapat dibatalkan.
Penipuan yang terjadi dalam pelaksanaan kesepakatan pencabutan atau pembebasan hak-hak atas tanah dapat terjadi misalnya, semula dimaksud pembebasan hak atas tanah tersebut diperuntukkan untuk pembangunan sarana kepentingan umum yang nonkomersil. Tetapi dalam pelaksanaannya tanah itu diperuntukkan untuk membangun proyek yang bertujuan komersil, misalnya pembangunan plaza, rumah mewah, jalan tol dan lain-lain.
Kegiatan pelakasanaan fisik dari pencabutan hak tersebut baru dapat dilakukan apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang telah disepakati, baik mengenai jumlah uang yang akan diterima ataupun tempat dan lokasi tanah pengganti dan tempat pemukiman kembali telah disetujui bersama, serta uang ganti rugi telah diterima dengan baik dengan warga yang terkena pembebasan.
2. Azas Kemanfaatan
Pencabutan atau pembebasan pada prinsipnya harus dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan tanah dan pihak masyarakat yang tanahnya dicabut atau dibebaskan. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat terwujud, sehingga pembangunan dapat dilaksanakan sesuai rencana peruntukan berbagai fasilitas kepentingan umum. Disamping itu pihak warga masyarakat pemilik tanah dapat diberikan ganti rugi yang layak, atau dapat diberikan tanah pengganti dan pemukiman kembali sehingga tingkat kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih baik, atau setidak-tidaknya tidak menjadi lebih miskin dari sebelum tanah tersebut dicabut atau dibebaskan. Pada akhirnya, kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
3. Azas Kepastian
peraturan tersebut dapat bermakna sosial dalam arti dapat benar-benar terwujud sebagai perilaku yang ril.
Kepastian hukum itu juga harus terdapat didalam hukum itu sendiri. Dimana tiada satupun kalimat atau bahasa yang terdapat dalam undang-undang menimbulkan penafsiran yang berbeda. Disamping itu juga karena penafsiran itu sendiri, akan menimbulkan kepastian misalnya dengan adanya lembaga pencabutan hak, pembebasan hak atas tanah, dan pelepasan hak atas tanah akan menimbulkan kepastian bagi masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang layak atau tanah pengganti dan pemukiman yang baru. Sedangkan bagi penerima atau yang memerlukan tanah harus dapat menikmati atau mengusahakan tanah tersebut tanpa gangguan dari pihak manapun juga. Hal ini juga berarti karena hukum masyarakat melepaskan haknya dan kerena hukum itu juga bagi mereka yang membutuhkan tanah telah mendapatkan tanah dengan pemberian ganti rugi yang layak.
4. Azas Keadilan
Azas keadilan formal yang diakui secara umum sebagaimana yang dikatakan Lloyd,” bahwa suatu sistem perundang-undangan yang tepat memerlukan tiga keistimewaan: eksistensi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perilaku sosial
dan penyelesaian perselisihan; penerapan umum dari peraturan-peraturan tersebut;
penerapan yang tidak memihak atas peraturan-peraturan tersebut”.
Penetapan beberapa konsep modern mengenai fungsi keadilaan dalam kaitannya dengan kesamaan (equality and justice) ialah teori Aristoteles tentang “distributive and corrective justice” yang mengatakan bahwa:
a. Keadilan yang bersifat merata (distributive justice) dikaitkan dengan alokasi hak-hak, kewajiban dan beban (tanggung jawab) diantara para anggota komunitas agar dapat dijamin keseimbangan. Dalam hal ini melibatkan perlakuan yang sama atas kegiatan-kegiatan tersebut yang sama sebelum melalui hukum.
b. keadilan yang sifatnya pembenahan atau perbaikan (corrective or remedial justice) mengoreksi setiap ketidakseimbangan dengan pemulihan kesamaan
dalam hal apapun yang ada sebelum kekeliruan yang berlangsung.
sebelumnya. Disisi lain prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang membutuhkan tanah agar dapat memperoleh tanah dengan sesuai rencana peruntukannya dan memperoleh perlindungan hukum.
Penetapan asas keadilan dalam ketentuan perundang-undangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah dalam arti, bahwa disatu sisi masyarakat yang terkena dampak harus memperoleh ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi mereka minimal setara dengan keadaan sebelum pencabutan atau pembebasan hak mereka, disisi lain kepada pihak yang membutuhkan tanah juga dapat memperoleh tanah sesuai dengan rancana dan peruntukannya serta memperoleh perlindungan hukum. Dengan demikian terjadi keseimbangan dalam komunitas dengan pemulihan kesamaan dalam hal apapun yang ada sebelum kekeliruan berlangsung.
Berdasarkan konsep tersebut, maka pelaksanaan ganti rugi dalam pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak atas tanah tidak sekedar hanya dilakukan sesuai dengan struktur dan substansi hukum yang berlaku, tetapi harus memperhatikan budaya hukum masyarakat dan nilai-nilai serta pengharapan masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku.
5. Azas Musyawarah
Dari itu musyawarah selalu menyangkut masalah masyarakat yang bersangkutan. Kehendak setiap keluarga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kesatuan pendapat. Hasil dari musyawarah adalah adanya kesepakatan bersama.
Azas kesepakatan sebagai hasil musyawarah dimaksudkan harus meliputi seluruh kegiatan dalam pelepasan hak atas tanah atau pengambilalihan tanah masyarakat termasuk juga kesepakatan dalam menetukan bentuk dan besarnya ganti rugi yang akan diberikan kepada masyarakat pemilik tanah
Menurut Koesnoe, pengertian musyawarah harus pisahkan dengan pengertian mufakat . musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin.
Musyawarah harus dilakukan dengan sikap saling menerima pendapat, pandangan, perasaan, ataupun penilaian pada suatu keadaan dimana masing-masing merasa pikiran dan perasaannya telah menjadi bagian dari kehendak bersama. Untuk itu, masing-masing pihak yang melakukan musyawarah harus mempunyai posisi tawar (bargening position) yang sama. Apabila salah satu pihak berada pada posisi tawar yang lemah maka terjadi ketidakseimbangan yang dapat merugikan pihak yang lemah. Keadaan ini dapat menimbulkan kesenjangan sehingga menimbulkan perdebatan yang panjang yang pada akhirnya menimbulkan konflik.
dilaksanakan secara konsekuen, maka musyawarah untuk mencari kesepakatan dalam hal ganti rugi dalam pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak-hak atas tanah untuk kepentingan umum dapat meminimalkan konflik antara pemilik tanah dengan pemerintah yang membutuhkan tanah dan diharapkan pelaksanaan musyawarah tersebut dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
6. Azas Keterbukaan
Komunikasi hukum dan pengetahuan hukum adalah faktor yang sangat penting yang dapat mempengauhi perilaku hukum dalam masyarakat. Warga masyarakat yang terkena dampak pencabutan atau pembebasan tanah akan mematuhi atau tidak mematuhi aturan, menggunakan aturan atau menghindari aturan tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Dengan kata lain aturan harus dikomunikasikan kepada warga masyarakat dan masyarakat harus memperoleh pengetahuan tentang isi aturan itu. Semua aturan yang bersifat teknis, aturan administrative secara rinci harus disampaikan kepada warga masyarakat, agar tidak terjadi kekeliruan yang menimbulkan konflik.
diketahui masyarakat yang terkana dampak. Penyebaran informasi dapat dilakukan dengan penyuluhan hukum dan media yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
7. Azas Keikutsertaan
Peran serta semua pihak yang terkait secara aktif dalam proses pencabutan dan/atau pembebasan akan menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat memperkecil timbulnya penolakan terhadapa kegiatan pencabutan dan/atau pembebasan tanah. Masyarakat yang terkena dampak LSM dan masyarakat di lokasi pemindahan dilibatkan dalam tahap pengumpulan data, perencanaan pemukiman kembali dan pelaksanaan proyek. Komunikasi dan konsultasi dengan pihak yang terkait dilakukan secara intensif an berkesinambungan untuk saling memberi informasi yang dibutuhkan.
8. Azas Kesetaraan
Azas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya dicabut atatu dibebaskan harus diletakkan secara sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan tanah.
9. Azas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi
masyarakat yang terkena dampak, sehingga kesejahteraan sosial ekonomi menjadi lebih baik atau minimal setara sebelum pencabutan atau pembebasan.19
19
Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta,2004, hal.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, asas pengadaan tanah dimuat secara rinci dalam Pasal 2, yaitu :
1. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan: adalah Pengadaan Tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
2. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik. 3. Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. 4. Yang dimaksud dengan “asas kepastian” adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
6. Yang dimaksud dengan “asas kesepakatan” adalah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
7. Yang dimaksud dengan “asas keikutsertaan” adalah dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan.
8. Yang dimaksud dengan “asas kesejahteraan” adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
9. Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
10. Yang dimaksud dengan “ asas keselarasan” adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara.20
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah
20
pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan sesuai dengan :
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah; c. Rencana strategis; dan
d. Rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan. Penyelanggaran pengadaan tanah untuk umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Sehingga pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dilaksanakan dengan memberi ganti kerugian yang layak dan adil (pasal 9 ayat [2]).
Tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk membangun : a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, fasilitas operasi kereta api.
c. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan banguna pengairan lainnya.
d. Pelabuhan, bandar udara dan terminal. e. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi.
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah. h. Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah. i. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah. j. Fasilitas keselamatan umum.
k. Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah. l. Fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau publik. m. Cagar alam dan cagar budaya.
n. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa.
o. Penetapan pemukimam kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahaan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah. q. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah.
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pengadan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan : a. Perencanaan;
b. Persiapan; c. Pelaksanaan; dan d. Penyerahan hasil.
Perencanaan pengadaan tanah untuk umum disusun dan dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah yang paling sedikit memuat :
b. Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana pembangunan nasional dan daerah;
c. Letak tanah;
d. Luas tanah yang dibutuhkan; e. Gambaran umum status tanah;
f. Perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah; g. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan; h. Perkiran nilai tanah;
i. Rencana penganggaran.
Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan oleh lembaga pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.21
21
Badriah Harun,Solusi Sengketa Tanah Dan Bangunan, Tim Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2013, hal.58.
C. Klasifikasi Kepentingan Umum
1. Keppres Nomor 55 Tahun 1993, kepentingan seluruh masyarakat. 2. Perpres Nomor 36 Tahun 2005, kepentingan sebagian besar masyarakat. 3. Perpres Nomor 65 Tahun 2006, kepentingan yang menyangkut seluruh lapisan
masyarakat.
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pasal 1 angka 6, kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
5. Prepres Nomor 71 Tahun 2012, pasal 1 angka 5 kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.22
Namun bagi warga masyarakat awam, makna kepentingan umum bisa berarti lain, sehingga di kalangan mereka diartikan sebagai kepentingan orang banyak. Sekalipun kepentingan nasional sering sekali diartikan sebagai kepentingan orang banyak. Tetapi masih ada perbedaan yang sukar dijembatani untuk mencari kata sepakat tentang pengertian kepentingan umum yang menekankan makna pada
Kepentingan umum adalah suatu kepentingan yang menyangkut semua lapisan masyarakat tanpa pandang golongan, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Berarti yang dikatakan kepentingan umum ini menyangkut hajat hidup semua orang bahkan hajat orang yang telah meninggal atau dengan kata lain hajat semua orang, di aktakan demikan karena orang yang meninggalpun masih memerlukan tempat pemakaman dan sarana lainnya.
22
politiknya, dan pengertian kepentingan umum yang ditekankan pada makna sosial masyarakat awam.23
Paradigma mengenai masalah-masalah kepentingan publik, yang cukup lama dianut negara-negara berkembang, lebih berorintasi kepada kecenderungan memandang masyarakat sebagai dalam hubungan subjek dab objek. Bukan sebagai dalam hubungan kemitraan antara produsen dan konsumen sekarang yang kurang lebih berada dalam posisi kesetaraan atau saling memerlukan. Para pengambil kebijakan lebih berposisi sebagai subjek penentu, sementara masyarakat disikapi sebagai onjek penerima, ada analisa yang menggambarkan sebagai hubungan penjajah dengan yang dijajah.24
23
Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 75.
24
Nommy Horas Thombang Siahaan, Hutan,Lingkungan dan Paradigma Pembangunan, Pancur Alam, Jakarta, 2007, hal. 82
Menurut Soetandyo, sesunggunya ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh manakala pembangunan nasional yang banyak memerlukan tanah yang dapat dibebaskan, akan tetap dapat diharapkan bersifat kemanusiaan dan berdimensi kerakyatan, yaitu:
1. Mengunakan pendekatan sosiologik antropologik yang prosesnya harus ditunggui dengan penuh kesabaran. Mungkin pula dalam wujud kebijaksanaan untuk membuka peluang yang luas dan bebas kepada masyarakat awan agar secara menggelegak para warga ini dapat memutuskan sendiri secara bertanggungjawab kegunaan lahan-lahan mereka untuk kepentingan orang banyak.
2. Menggunakan pendekatan hukum (kalau memang ini yang dipilih), namum dengan memperioritaskan prosedur dan proses yang privaatrechtelijk yang pada hakekatnya adalah juga suatu proses yang demokratik dari pada mendahulukan yang publiekrechtelijk yang dalam masa-masa transisi di kebanyakan negeri-negeri yang
tengah berkembang, umumnya terkesan masih amat berwarna kekuasaan ekstralegal.25
Didalam pelaksanaan pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat untuk kepentingan umum/pembangunan nasional ternyata, cenderung melakukan pelepasan hak atas tanah masyarakat itu dengan cara melakukan suatu perbuatan yang bersifat publiekrechterlijk yang kadangkala mengenyampingkan hak-hak keperdataan
masyarakat.
25
D. Tata Cara pengadaan Tanah
a. Menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005
Permasalahan pembebasan tanah untuk kepentingan umum senatiasa menimbulkan polemik. Disatu sisi, negara menjamin kepemilikan sah individu atas tanah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPA, disisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni pemerintah, berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang kerap kali harus mengorbankan nilai kepentingan individu. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Kepentingan umum, yang dijabarkan dari fungsi sosial tanah, tidak kalah pentingnya dengan kepentingan individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi tanah. Artinya, pada saat dibutuhkan demi kepentingan umum, kepentingan individu bisa dikompromikan, bahkan dikalahkan, dan hak milik atas tanah harus dilepaskan.
penyiaran, hingga tempat pembuangan sampah merupakan segi-segi penafsiran kepentingan umum yang dituding sudah dirambah swasta demi profit. Pemahaman publik mengenai kepentingan umum terkait dengan beberapa hal mendasar, yakni adanya keuntungan sosial berupa masyarakat umum/ luas yang akan menikmati tujuan pembebasan lahan, dilakukan oleh pemerintah dan tidak berorintasi kepada profit.
Dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 telah melahirkan berbagai kontroversi dan penyimpangan. Secara formil Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 telah mengandung cacat formil dan materiil. Secara formil, saat itu Perpres tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tentang kedudukan Peraturan Presiden sebagai suatu sumber hukum. Ketentuan pasal 8 mengamanatkan, peraturan yang menyangkut menyangkut hak asasi manusia harus dituangkan dalam bentuk Undang-Undang bukan Perpres. Bagaimana mungkin pemerintah mau menegakkan hukum dengan membuat peraturan yang melanggar Undang-Undang.
kepentingan umum meskipun setelah melalui musyawarah untuk menentukan nilai jual tanah tersebut …”.26
Meskipun diatur menenai musyawarah dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, akan tetapi jika musyawarah gagal dapat ditempuh, terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu. Hal tersebut menunjukkan diperlemahnya akses Pertanyaan ini menjadi lebih mendasar ketika mesyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan memberikan ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari insatnsi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-banda selain tanah. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakatdan menjadi masalah sosial yang timbul dimasyarakat. Permasalahan utama adalah hak masyarakat atas hak tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “seola-olah” dalam rangka kepentingan umumyang sebenarnya adalah akses memperlancar “bisnis” segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tersebut telah mengalami perluasan kriteria jika dibandingkan dengan keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
26
masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat oleh pemerintah. Akan tetapi, mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor asing.27
Dalam kasus malpraktik ini peran kantor pertanahan sangat besar karena dari institusi inilah dikeluarkan izin lokasi, pengaturan persediaan dan peruntukan tanah dan selalu digunakan sebagai justifikasi oleh “pihak-pihak tertentu”, para pemilik proyek pembangunan dan/atau investasi. Akibatnya masyarakat yang lemah terhadap hukum menjadi korbannya. Ambil contoh kasus Bulu kamba (PT. Lonsum), kasus Indorayon (PT. IIU), kasus Batanghari (PT. IIS) dan masih banyak yang lainnya. Belum lagi konflik tanah vertikal seperti konflik rakyat melawan negara.
Dari segi materiil, peraturan presiden tersebut bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dimana setiap orang tidak boleh dicabut hak miliknya secara sewenang-wenang. Diakui memang bahwa Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 adalah pilihan sulit karena pembanguan infrastruktur secara nyata dibutuhkan, tetapi selalu dibayangi tekanan kepentingan globalisasi dan percaloan oleh pejabat dan perorangan.
Pengambil alihan tanah yang sering menggambarkan jaringan “pembebasan tanah demi pembangunan “ merupakan salah satu contoh malpraktik. Akibat dari pengambilalihan tanah ini akan mengubah status kepemilikan atau penguasaan tanah yang berupa hak milik, hak guna-usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil atau hak-hak atas tanah lainnya.
27
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dalam rangka memberikan perlindungan hukum dan memberikan rasa keadilan masyarakat, maka Peraturan Presiden haru ssegera dicabut oleh Presiden RI, Karena baik secara formil ataupun materiil, Perautran Presiden Nomor 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan hukum dsn hak asasi manusia itu sendiri.
b. Menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006
Pemerintah beranggapan bahwa perubahan itu didasari pertimbangan keinginan pemerintah untuk meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan.
Perpres No.65 Tahun 2006 juga menambah ketentuan baru, yaitu mengenai biaya panitia pengadaan tanah yang akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ketentuan lain menyangkut waktu untuk melakukan musyawarah dalam pengadan tanah jika terjadi masalah antara warga dan pemerintah, yaitu dari sebelumnya 90 (Sembilan puluh) hari diperpanjang menjadi 120 (seratus dua puluh) hari, terhitung sejak tanggal undangan musyawrah disampaikan kepada masyarakat.
bersangkutan dapat mengajukan banding kepada pengadilan tinggi agar menetapkan ganti rugi yang sesuai Undang-Undang.
Dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah dicoba untuk melakukan beberapa perbaikan atas peraturan sebelumnya, yaitu: (1). Membatasi pengertian dan ruang lingkup pembangunan untuk kepentingan umum, (2). Memberikan batasan yang jelas yang membedakan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dengan pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pengadaan tanah dilakukan dengan cara:
1.) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, yaitu “kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah, berdasarkan prinsip penghormatan hak atas tanah, bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
umum dan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang luas tanahnya kurang dari 1 (satu) hektar.28
Proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan ketempat atau lokasi lain, akan dimusyawarahkan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari dari kalender dihitung sejak tanggal undangan pertama. Setelah diadakan musyawarah tetapi tidak tercapai kesepakatan, PPT menetapkan jumlah ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang (konsinyasi), kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi kawasan tanah yang berkenaan. Apabila terjadi sengketa pemilikan setelah penetapan ganti rugi, maka Perpres ini juga memberikan definisi dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yaitu kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Pengertian kepentingan umum dikatakan sebagai kepentingan sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.
Pengertian musyawarah yang diberikan oleh Perpres ini adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan jumlah ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.
panitia menitipkan uang ganti rugi (konsinyasi) kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang berkenaan. Jika dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dan institusi pemerintah dan /atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah, PPT mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan jumlah ganti rugi sesuai dengan kesepakatan tertentu.
Perpres juga mengatur masalah ganti rugi atau pampasan. Pengertian ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian terhadap kerugian baik bersifat fisik/atau bukan fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada pemilik tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik daripada tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Yang dikatagorikan bangunan untuk kepentingan umum adalah bangunan yang lokasinya tidak dapat dipindah ke tempat lain. Jika masih bisa dipindah, maka bangunan itu tidak termasuk kepentingan umum. Perpres No.65 Tahun 2006 masih membuka ruang lebar bagi masuknya kepentingan bisnis dibalik “istilah” kepentingan umum. Definisi kepentingan umum harus jelas, terutama jika tanah itu diinginkan oleh investor. Mekanisme pengambilan tanah dalam Perpres itu dinilai justru membangkrutkan hak-hak ekonomi rakyat. Ganti kerugian dan kompensasi bagi rakyat yang tanahnya diambil juga tidak jelas.
c. Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2012
2012, “tenggelam” oleh kasus-kasus sengketa/konflik pertanahan yang begitu masif dan kompleks. Pengaturan pengadaan tanah dalam undang-undang memang tepat. Namun dari segi substansi, undang-undang yang strategis dan berdampak luas ini menyisakan beberapa catatan.
Undang-undang dibentuk untuk suatu tujuan. Kendala utama pembangunan untuk kepentingan umum, khususnya infrastruktur lebih khusus lagi jalan tol adalah pembebasan tanah, yang tidak dapat ditanggulangi melalui Perpres No.36 Tahun 2005 yang diubah dengan Perpres No.65 Tahun 2006. Oleh karena itu, diterbitkannya undang-undang tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (UUPTKU) dimaksudkan disusun untuk menjamin kelancaran proses pengadaan tanah.
Dalam undang-undang ini juga diatur bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah. Hanya saja digunakan istilah lain, yakni “Konsultasi Publik”. Konsultasi Publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Atas dasar kesepakatan, instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. Kemudian gubernur menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh instansi yang memerlukan tanah.
Jangka waktu Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Apabila sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan terdapat pihak yang keberatan dengan rencana lokasi pembangunan, maka akan dilakukan Konsultasi Publik ulang dengan pihak yang keberatan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Setelah melakukan pengkajian atas keberatan tersebut, tim akan mendapatkan hasil berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan oleh gubernur. Gubernur berdasarkan rekomendasi tersebut akan mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, kepada pihak yang berhak diberikan waktu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. Pengadilan negeri akan memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah, atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ganti kerugian akan dititipkan di pengadilan negeri setempat (konsinyasi). Pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Bagi investor, berlarutnya proses pengadaan tanah berakibat penundaan kegiatan, berdampak terhadap biaya yang membengkak, dan risiko lain. Kegalauan investor dijawab dengan memberikan bobot lebih pada kepastian hukum dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UUPTKU).
tekanan, hak masyarakat untuk mengajukan keberatan serta tata caranya wajib disampaikan kepada masyarakat. Transparansi terhadap hal-hal yang berpengaruh terhadap masyarakat yang terkena dampak itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Mengingat pembangunan untuk kepentingan umum itu merupakan bagian dari penyelengaraan ekonomi nasional, pasal-pasal dalam UUPTKU harus dapat mencerminkan keseimbangan antara keuntungan pembangunan bagi investor dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
1. Melanggar Prinsip-Prinsip Hukum
Terobosan yang ditempuh dalam Undang-undang No.2 Tahun 2012 menimbulkan tanda tanya dikaitkan dengan konsep dasar perolhan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Sesuai konsepsi hukum tanah nasional, pada prinsipnya perolehan tanah harus dengan cara musyawarah. Artinya, masyarakat melepaskan tanahnya dengan sukarela dengan memperoleh ganti kerugian. Bila untuk kepentingan umum semua upaya untuk mencapai musyawarah gagal, sedangkan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, maka ditempuh acara pencabutan hak atas tanah. Langkah ini sesuai dengan Undang-undang No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, yang berlandaskan ketentuan Pasal 18 UUPA.
berujung pada upaya pencabutan hak atas tanah. Ganti kerugian dititipkan (konsinyasi) di Pengadilan jika pemilik tanah tak ditemukan atau tidak diketahui keberadaannya. Undang-undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum masih menempuh jalan pintas terhadap penolakan masyarakat. Apapun keberadaan masyarakat, semua diselesaikan melalui lembaga peradilan, disertai penitipan ganti kerugian di Pengadilan (konsinyasi).
2. Perlu Sikap Tegas
Terkait dengan hal tersebut maka diperlukan adnya sikap tegas, dan pilihannya adalah:
Pertama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pengadaan Hak Atas Tanah disempurnakan/diubah dan digantikan dengan Undang-Undang baru, artinya kembali pada sistem hukum yang ada tentang pengadan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah, yakni pengadaan tanah dilakukan melalui “musyawarah mufakat” oleh kedua pihak yang bersangkutan. Bila musyawarah gagal, dibuka upaya menempuh acara pencabutan hak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Penitipan ganti kerugian dapat dilakukan untuk hal-hal tertentu, yakni:
a. Jika pemegang hak tidak ditemukan atau keberadaanya tidak diketahui, b. Obyek pengadaan tanah sedang menjadi obyek perkara dipengadilan, c. Tanah dalam sengketa,
d. diletakkan sita jaminan, dan
Kedua, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tetap dipertahankan, tetapi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku atau dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda diatasnya yang berazaskan musyawarah mufakat, berkeadilan, kata sepakat antara kedua pihak yang bersangkutan, dan berkepastian hukum.
Ketiga, diterbitkannya Undang-Undang baru yang mengatur tentang pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum yang muatan materinya meliputi: pengadaan hak atas tanah dengan cara peralihan hak (jual beli, tukar menukar, hibah), pelepasan/penyerahan hak, dan pencabutan hak atas tanah dan benda-benda diatasnya yang berazaskan musyawarah mufakat, ganti rugi yang layak, berdasarkan kesepakatan kedua pihak serta brazaskan keadilan dan kepastian hukum.
BAB IV
PENGATURAN HUKUM MENGENAI PROSES GANTI KERUGIAN ATAS PENGADAAN TANAH MENURUT PERATURAN YANG BERLAKU DI
INDONESIA
A. Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian Atas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Yang Dilakukan Pemerintah
Dalam pasal 17 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelengaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, disebutkan:
1.) Pihak yang berhak sebagaimana berupa perseorangan, badan hukum, badan sosial, badan keagamaan, atau instansi pemerintah yang memiliki atau mengusai obyek pengadaan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.) Pihak yang berhak sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi: a. pemegang hak atas tanah;
b. pemegang hak pengelolaan; c. nadzir untuk tanah wakaf; d. pemilik tanah bekas milik adat; e. masyarakat hukum adat;
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
h. pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.29
29
1. Ganti Kerugian Menurut Peraturan yang Berlaku di Indonesia.
A. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan pencabutan hak atas tana, diatur dalam pasal 18 yang berbunyi : “untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dan rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang”.
Cara pengadaan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1961, dilakukan dengan lembaga pencabutan hak atas tanah. Cara ini mengandung hakekat dan tindakan hukum yang berbeda jika dibandingkan dengan cara-cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993.
Sejalan dengan pendapat diatas, Boedi Harsono merumuskan bahwa baik dalam perolehan tanah atas dasar kata sepakat maupun cara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak, sehingga demikian rupa keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi mundur.30
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (12) sebagai berikut : Ganti rugiadalah pengantian terhadap kerugian baik bersifat fisik maupun non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan
B. Arti ganti rugi menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993,
yang dimaksud dengan ganti rugi adalah Penggantian atas nilai tanah berikut bangunan tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Bentuk ganti rugi menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 bisa berupa:
a. Uang;
b. Tanah pengganti;
c. Pemukiman kembali (relokasi); d. Gabungan dari dua atau lebih; e. Bentuk lain yang disepakati.
C. Arti ganti rugi menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,
30
hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena proyek pengadaan tanah. Sedangkan bentuk ganti ruginya berupa:
a. Uang dan/atau;
b. Tanah pengganti dan/atau; c. Pemukiman kembali; d. Penyertaan modal
Para pemilik tanah dapat diikutsertakan sebagai pemilik modal dalam kegiatan yang berkaitan dengan tanah yang dibebaskan, tentunya kalau penggunaan tanah itu sendiri ada unsur bisnis atau komersial. Dan sebaliknya kalau penggunaan tanah itu semata-mata untuk kepentingan umum dan tidak ada unsur bisnis maka para pemilik tanah tidak bisa memaksa diri kepada pemerintah untuk menerima dirinya sebagai pemilik saham.
D. Arti ganti rugi menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006,
Tidak memberikan definisi ganti rugi, dikarenakan Perpres ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005. Sedangkan bentuk ganti ruginya berupa:
a. Uang dan/atau; b. Tanah pengganti;
c. Pemukiman Kembali dan/atau; d. Gabungan.
Dalam Pasal 1 angka 10 “ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.sedangkan bentuk ganti ruginya beerupa:
a. Uang;
b. Tanah pengganti; c. Pemukiman kembali; d. Kepemilikan saham;atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. F. Dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
Pasal 1 angkat 10 “Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengdaaan tanah. Sedangkan bentuk ganti ruginya berupa:
a. Uang;
b. Tanah pengganti; c. Pemukiman kembali; d. Kepemilikan saham;
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.31
Bentuk ganti rugi didaerah perkotaan pada umumnya pemilik tanah akan lebih dominan memilih dalam bentuk uang, karena pada umumnya semua pihak mencari yang mudah dan cepat, kalau pemberian ganti rugi berupa relokasi atau tanah
31
Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum,
pengganti, maka konsekunsinya setiap pengadaan tanah Panitian Pengadaan Tanah harus mempersiapkan dua lokasi, satu sebagai rencana pembangunan kepentingan umum, satu lagi sebagai tanah pengganti bagi para pemilik tanah.
Dengan demikian maka pemberian ganti rugi ini harus betul-betul mampu mengantisipasi munculnya kemiskinan dalam masyarakat, bukan penyebab timbulnya kemiskinan baru. Dapat disimpulkan bahwa ganti rugi adalah merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagai pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada diatasnya, terhadap tanah yang telah dilepaskan atau diserahkan.
B. Penetapan Besarnya Ganti Rugi
Dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus diperhatikan pula tentang : a) Lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga
tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat.
b) Bentuk ganti rugi berupa uang, tanah dan/atau fasilitas-fasilitas lain.
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agararia dan kebijaksanaan pemerintah32.
Berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007, diatur bahwa Panitia Pengadaan Tanah menunjuk Lembaga Penilai Harga yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk tim penilai harga tanah yang anggotanya terdiri dari:
a. Unsur Instansi Pemerintah yang membidangi bangunan dan/atau tanaman; b. Unsur Instansi Pemerintah yang membidangi pertanahan nasional;
c. Unsur Instansi Pelayan Pajak Bumi dan Bangunan;
d. Ahli atau orang yang berpengalaman sebagai penilai harga tanah;
e. Akademisi yang mampu menilai harga tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda benda lain yang berkaitan dengan tanah;
f. Apabila diperlukan dapat ditambah unsur lembaga swadaya masyarakat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 sampai Pasal 30 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 bahwa penilai harga dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga Tanah atau Tim Penilai Harga Tanah, dengan berdasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada variable-varibel sebagai berikut:
32
a. Lokasi dan letak tanah; b. Status Tanah;
c. Peruntukan Tanah;
d. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada;
e. Sarana dan prasarana yang tersedia; dan f. Faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Nomor 65 Tahun 2006 serta Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tersebut tidak dijelaskan mengenai taksiran nilai tanah menurut jenis hak atas tanah dan status penggunaan tanah, sehingga tidak ada tolak ukur untuk menaksir harga tanah sesuai dengan jenis hak atau status tanahnya, hanya saja dalam Pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ditentukan mengenai penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1994 yang dalam Pasal 17 diuraikan taksiran atas tanah menurut jenis hak dan status tanahnya, yakni:
1. Hak Milik:
a. Yang sudah bersertifikat dinilai 100% (seratus persen);
2. Hak Guna Usaha:
a. Yang masih berlaku dinilai 80% (delapan puluh persen), jika perkebunan itu masih diusahakan dengan baik (kebun kriteria kelas I, kelas II dan kelas III); b. Yang sudah berakhir dinilai 60% (enam puluh persen), jika perkebunan itu
masih diusahakan dengan baik (kebun kriteria kelas I, kelas II dan kelas III); c. Masih berlaku dan yang sudah berakhir tidak diberi ganti kerugian jika
perkebunan itu tidak disuahakan dengan baik (kebun kriteria kelas IV dan V) d. Ganti kerugian tanaman perkebunan ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan faktor investasi, kondisi kebun dan produktivitas tanaman.
3. Hak Guna Bangunan:
a. Yang masih berlaku dinilai 80% (delapan puluh persen);
b. Yang sudah berakhir dinilai 60% (enam puluh persen), jika tanahnya masih dipakai sendiri atau oleh orang lain atas persetujuannya, dan bekas pemegang hak telah mengajukan perpanjangan atau pembaharuan hak selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir atau hak itu berakhir sebelum lewat 1 (satu) tahun.
4. Hak Pakai:
a. Jangka waktunya tidak dibatasi dan berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan ketentuan dinilai 100% (seratus persen);
c. Yang sudah berakhir dinilai 50% (liam puluh persen), jika tanahnya masih dipakai sendiri atau oleh orang lain atas persetujuanya, dan bekas pemegang hak telah mengajukan perpanjangan atau pembaharuan hak selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir atau hak itu berakhir sebelum lewat 1 (satu) tahun;
5. Tanah wakaf dinilai 100% (seratus persen) dengan ketentuan ganti kerugian diberikan dalam bentuk tanah, bangunan dan perlengkapan yang diperlukan;33
Semakin kuat alas hak atas tanah / alat bukti tanah akan banyak pengaruhnya terhadap kaitannya dengan uang ganti rugi apabila tanah itu akan dilakukan pembebasan, pertama akan menentukan siapa yang berhak menerima uang ganti rugi, kedua dengan alat bukti tanah itu akan menentukan prosentasi besarnya uang ganti rugi, semakin lemah alat bukti kepemilikan tanah semakin rendah pula uang ganti rugi.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, penentuan besarnya ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada Tim Appraisal (Juru Taksir). Bagi juru taksir sendiri tidak mempunyai acuan harga tanah, mungkin didasarkan harga pasar dan perlu diketahui harga pasar itu sendiri tidak pasti.
34
33
Muhammad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan Pengadaan Tanah, Mandar maju, Medan, 2011, hal.72.
34
C. Prosedur Pembayaran Ganti Kerugian Atas Pengadaan Tanah.
Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah, harus memberikan standar penggantian benda yang terkait dengan tanah yang dibebaskan. Seperti masalah tanaman, dalam penentuan besarnya ganti rugi akan ditentukan oleh instansi yang terkait.
Masalah ganti kerugian merupakan hal prinsip dalam setiap kegiatan pengambilan tanah, baik melalui proses pencabutan hak, pembebasaan tanah dan pengadaan tanah. Tidak boleh ada tindakan pengambilan tanah oleh Negara tanpa memperhitungkan ganti rugi.
Pandangan pakar tentang kriteria ganti rugi meliputi :
(1).Setiap kerugian akibat langsung dari pencabutan hak harus diganti sepenuhnya; (2). kerugian disebabkan karena sisa yang tidak dicabut hakya menjadi berkurang
nilainya;
(3). Kerugian karena tidak dapat menggunakan benda tersebut ataupun karena kehilangan penghasilan;
(4). Kerugian karena harus mencari tempat usaha lain sebagai penggantian.(Schenk 1975 : 52).
Pemberian ganti rugi bisa berbagai macam bentuk diantaranya : 1. Bentuk Uang
jenis dan besarnya ganti rugi antara P2T dengan para pihak pemilik tanah. Teknis pelaksanaan pembayarannya bisa dilakukan dengan cara secara mufakat, baik
pemberian ganti kerugian dengan cara melalui jasa perbankan atau pemberian secara tunai kepada para pihak penerima. (pasal 26 Per Ka. BPN No.5 Tahun 2012)
2. Bentuk Tanah Pengganti
Pemberian ganti kerugian dalam bentuk tanah pengganti dilakukan oleh Intansi yang memerlukan tanah atas permintaan tertulis dari Ketua P2T. untuk menentukan lokasi pengganti harus didasarakan atas kesepatan dalam musyawarah, yang nilainya sama dengan nilai ganti kerugian apabila diberikan dalam bentuk tanah pengganti. Penggantian yang berbentuk tanah pengganti ini diberi batasan waktu paling lama 5 bulan. Sedangkan untuk pelepasan hak dari para pemilik tanah kepada instansi yang membutuhkan tidak harus menunggu tanah pengganti setelah terwujud, artinya sebelum adanya tanah pennganti, maka pelepasan hak bisa dilaksanakan.
3. Bentuk Pemukiman Kembali
4. Bentuk Saham
Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk kepemilikan saham, diberikan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang berhak dengan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan terbuka dan mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, dalam kurun waktu paling lama 3 bukan sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh P2T. pemberian ganti kerugian dalam bentuk saham dibuktikan dengan tanda terima penyerahan dalam bentuk kuitansi penerimaan ganti kerugian dalam bentuk saham kepada pihak yang berhak.
5. Bentuk Lain
Pemberian ganti rugi dalam bentuk lain,artinya pemberian ganti rugi gabungan dari 2 atau lebih bentuk ganti kerugian yang ada. Jangka waktunya didasarkan jangka waktu yang paling lama dari gabungan bentuk ganti kerugian yang disepakati. Semua bentuk jenis ganti rugi harus dilakukan atas dasar kesepakatan dalam musyawarah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Besarnya ganti kerugian dalam bentuk lain, nilainya sama dengan nilai ganti kerugian bila dibayarkan dalam bentuk uang 6. Putusan Pengadilan
Penitipan Ganti Kerugian dilakukan dalam hal :
a. Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri;
b. Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Pihak yang berhak menolak diketahui keberadaannya;
d. Pihak yang berhak telah diundang secara patut tidak hadir, tidak memberikan kuasa; atau
e. Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian : 1. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2. Masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. Diletakan sita oleh pejabat ynag berwenang; atau 4. Menjadi jaminan di bank atau jaminan hutang lainnya.
Penitipan Ganti Kerugian di Pengadilan Negeri dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Untuk pemberian ganti rugi di kota-kota besar umumnya cenderung berupa uang (mengutamakan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang),35
35
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 75.
pengganti, sedangkan panitia dalam pengadaan tanah itu sendiri kesulitan mencari lahan maka kalau penggantian itu juga berupa tanah juga konsekuensinya P2T harus mencari tanah untuk dibebaskan, untuk pembangunan kepentingan umum, yang kedua mencari lahan untuk penggantian yang terkena pembebasan untuk pembangunan kepentingan umum.
Besarnya ganti rugi ini dibayarkan sesuai dengan kesepakatan para pihak dan tidak dikenakan pemotongan dengan dalih apapun, karena semua bentuk biaya kepanitiaan telah dianggarkan langsung sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02/2013 tentang Biaya Operasional Dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
D. Penyelesaian Bagi yang Menolak Ganti Kerugian.
oleh juru taksir (tim appraisal). Tim ini independen yang pengesahannya diangkat oleh Kementerian Keuangan.36
Pihak Pengadilan Negeri wajib memberikan putusan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. Bila Putusan Pengadilan tadi dianggap tidak adil atau tidak dapat diterima oleh para pemilik tanah dapat mengadakan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pihak MA wajib memberikan putusan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. Putusan dari Mahkamah Agung merupakan putusan tingkat pengadilan terakhir, maka pihak pemilik tanah tidak berkenaan menolak putusan Kasasi, maka sudah habis prosedur upaya hukum, artinya putusan itu mengikat semua pihak dan harus dijalankan. Para pihak dapat mengambil ganti rugi di Pengadilan Negeri setempat.
Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) menetapkan harga ganti rugi didasarkan kepada hasil kajian dari Tim Appraisal (Juru Taksir). Besanya ganti rugi yang ditetapkan juru taksir ada beberapa kemungkinan, diantaranya sesuai dengan harga pasar, dibawah harga pasar, dan diatas harga pasar. Dari ketiga kemungkinan itu ada kemungkinan bisa diterima oleh pemilik tanah atau ditolak oleh pemilik tanah. Hal ini sangat tergantung kepada para pemilik tanah. Apabila para pemilik tanah menganggap bahwa besaran ganti rugi tidak sesuai dengan pendapatnya, maka bisa mengupayakan upaya hukum dengan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negara
37
36
Mudakir Iskandar Syah, Op.cit,. hal. 56
37
Setelah proses pengadaan tanah selesai, instansi pemerintah yang memerlukan tanah wajib melaksanakan pembangunan fisik. Dalam pasal 67 Peraturan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 ditentukan bahwa pelaksanaan pembangunan fisik atas lokasi yang telah diproses instansi pemerintah yang memerlukan tanah, dimulai setelah pelepasan/penyerahan hak atas tanah dan/atau penyerahan bangunan dan/atau penyerahan tanaman, atau telah dititipkannya ganti rugi ke Pengadilan Negeri38
38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Pihak yang berhak sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi: a. pemegang hak atas tanah;
b. pemegang hak pengelolaan; c. nadzir untuk tanah wakaf; d. pemilik tanah bekas milik adat; e. masyarakat hukum adat;
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
h. pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, penentuan besarnya ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada Tim Appraisal (Juru Taksir). Bagi juru taksir sendiri tidak mempunyai acuan harga tanah, mungkin didasarkan harga pasar dan perlu diketahui harga pasar itu sendiri tidak pasti.
Dalam Pasal 1 angka 10 “ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.sedangkan bentuk ganti ruginya beerupa:
a. Uang;
b. Tanah pengganti; c. Pemukiman kembali; d. Kepemilikan saham;atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Untuk menentukan standar harga benda memang sulit karena harga tanah yang selalu berubah atau fluktuatif sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No. 71 Tahun 2012, semua akan ditentukan oleh tim Appraisal, tim inilah yang menentukan standar, dengan acuan standar yang tidak pasti,dan akan lebih mengacu kepada pasar.
Apabila para pemilik tanah menganggap bahwa besaran ganti rugi tidak sesuai dengan pendapatnya, maka bisa mengupayakan upaya hukum dengan mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), Pihak PT TUN wajib memberikan putusan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
B. SARAN
1. Menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang No.20 Tahun 1961, karena tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini atau tidak lagi mampu menampung asirasi masyarakat. Selain itu karena telah berlakunya UU No. 2 Tahun 2012 tidak seharusnya ada 2 peraturan mengatur hal yang sama
2. Terhadap kalimat pasal 41 ayat (3) ini dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “ tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari”. Pemerintah saja yang menerbitkan sertifikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertifikat yang diterbitkan tidak dapat diganggu gugat, bagaimana mingkin pemilik tanah yang wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertifikat itu tidak dapat diganggu gugat dikemudian hari.
3. Pemerintah harus dapat menjamin tim appraisal (juru taksir) dapat berlaku secara adil dan menjalankan tugasnya secara independen dan tidak membuat keputusan yang merugikan salah satu pihak.
4. Perlu dilakukan pembedaan kepentingan umum yang mengandung unsur non komersial dengan kepentingan umum unsur komersial, karena kenyataanya pengadaan tanah tersebut terkadang mengandung unsur bisnis atau telah terjadi diskriminasi kepentingan umum.
BAB II
SEJARAH PENGADAAN TANAH DI INDONESIA
A. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Pengaturan masalah pengambilan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada zaman ini dikenal adanya prosedur pencabutan hak dan prosedur pembebasan hak atas tanah yang diatur dalam dua peraturan. Peraturan pertama yang termuat dalam Gouvernements Blesluit (Keputusan Gubernur/Pemerintah) tanggal 1 Juli 1927 Nomor 7 ( Bijblad Nomor 11372), dan yang termuat didalam Gouvernements Besluit (Keputusan Gubernur/Pemerintah) tanggal 8 Januari 1932 Nomor 23 (Bijblad 12746) sedangkankan peraturan kedua adalah Onteigenings Ordonnantie yang termuat didalam Staatsblad Nomor 574 Tahun 1920.
Di dalam prakteknya ternyata Onteigenings Ordonnantie ini dapat diterapkan secara langsung tanpa memerlukan peraturan lain sebagai pelaksananya. Tidak ada satupun pasal atau ayat dalam peraturan tersebut yang menyatakan bahwa sesuatu hal akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah. Berarti, Onteigenings Ordonnantie ini tidak mengenal adanya delegasi undang-undang.
B. Masa Pendudukan Jepang
Sebagai konsekuensi dari menyerahnya Belanda kepada Jepang, 9 Maret 1942, maka segala kekuasaan pemerintah diatur dan dikendalikan oleh tentara Jepang. Di dalam pelaksanan pemerintahannya di Jawa dan Madura, tentara Jepang berpedoman kepada Gunserei melalui “Osamu Seirei”, yang mengatur segala sesuatu yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahannya.
Di dalam pasal 3 Osamu seirei disebutkan “Semua hukum dan undang-undang, pemerintah dan kekuasaan dari pemerintahan yang terdahulu, selagi tidak bertentangan dengan aturan Pemerintahan Tentara Jepang, untuk sementara waktu tetap berlaku”. Ketentuan yang sama, juga dikeluarkan untuk dilaksanakan diluar pulau Jawa dan Madura.
Selama Jepang menjalankan pemerintahannya, telah terjadi pengambilan tanah diberbagai tempat diseluruh wilayah Indonesia, dari penduduk Indonesia asli maupn tanah-tanah yang dicatat dengan hak-hak baru oleh Pemerintah Tentara Jepang. Pengambilan tanah ini sama sekali tidak disertai dengan ganti rugi kepada pemiliknya. Pengambilan tanah-tanah inipun tidak disandarkan pada peraturan perundang-undangan, tetapi didasarkan kepada kepentingan militer ataupun kepentingan pemerintahan militer dan sebagai bentuk pengabdian dalam usahanya membantu akan tercapainya kemenagan akhir dalam peperangan Asia Timur Raya.
C. Zaman Setelah Kemerdekaan
1. Undang-undang No. 5 tahun 1960
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 2 ayat (2) memberikan penertian lebih lanjut tentang hak menguasai negara, yaitu memberikan kuasa kepada negara seperti berikut :
a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemilharaan bumu, air dan ruang angkasa.
b. menentukan dan mengatur hubugan-hubungan hukum antara orang-orang antara bumi, air dan ruang angkasa.
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
yang amat luas kepada negara untuk mengatur alokasi sumber-sumber agraria. Sebagai konsekuensi daripada hak menguasai negara yang bertujuan untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka negara mempunyai hak untuk membatalkan atau mengambil hak-hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat dengan memberi ganti rugi atau pampasan yang layak dan menurut ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Kemudian didalam ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut menyebutkan : “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama daripada rakyat, hak-hak atas tanah dapat ditarik dengan memberikan ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang”. Oleh itu, pencabutan hak atas tanah itu dimungkinkan selagi memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan; Harus ada ganti rugi atau pampasan yang layak atau penggantian dengan tanah yang sesuai ditinjau dari pada aspek nilai, manfaat, kemampuan tanah pengganti tersebut.
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 1961