• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN

C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan (Raja)

Adapun pemerintahan mengikut hukum Allah SWT, para pengkaji-pengkaji meneliti bahwa apa yang dimaksudkan dengan ‘kepemimpinan’ ialah pemilik kuasa tertinggi dalam sesuatu komuniti dan negara. Dalam konteks pemerintahan Islam, kepimpinan ditafsirkan dengan corak pemerintahan mengikut hukum Allah atau dengan kata lain Kuasa tertinggi dan mutlak adalah milik Allah SWT. Sesungguhnya pemerintahan sesebuah negara dengan hukum

yang disyariatkan oleh Allah SWT dan menjadikannya sebagai sumber rujukan hukum perundangan negara ialah satu tuntutan yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia merupakan bukti sifat ‘ubudiyyah’ dan tanda keyakinan kepada risalah kenabian Nabi Muhammad SAW.

Sebagai sebuah ideologi negara, masyarakat serta kehidupan, Islam telah menjadikan negara beserta kekuasaanya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensinya. Dimana Islam telah memerintahkan kaum muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah berdasarkan hukum-hukum Islam. Dalam al-Qur’an hanya disebutkan prinsip-prinsip umum mengenai masalah negara dan pemerintahan. Untuk selanjutnya umat Islam menjabarkannya sesuai dengan realitas dan kondisi riil yang dihadapinya.

Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara. Maupun hal-hal yang menjadikannya berbeda sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia seperti; 1) Sistem pemerintahan republik,2) Sistem pemerintahan kekaisaran, 3) Sistem pemerintahan Federasi 4) Sistem pemerintahan monarki.

Adapun di dalam pembahasan ini lebih menekankan kepada sistem Pemerintahan Raja atau dikenali dengan sistem Pemerintahan Monarki. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki. Pemerintahan Monarki menerapkan sistem waris (putera mahkota), dimana singgahsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putera mahkota, dari orang tuanya, seperti mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem Pemerintahan Islam tidak mengenal akan sistem warisan.

Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh orang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara peribadi memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi umat dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau kadang kala menjadi raja yang berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum.

Mengenai hal ini, al-‘Allahamah Siddiq Hasan Khan berkata” Seseorang pemerintah tidak patut dipersalahkan, walaupun dia melantik bapak ataupun anaknya sebagai pengganti, karena dia telah diberi jaminan semasa hidupnya untuk memperhatikan perbuatan mereka. Sebagus-bagusnya dia tidak dianggap sebagai ingin meninggalkan pengaruh setelah kematiannya, berbeda dengan pendapat yang menuduh mereka yang melantik anak atau bapaknya sebagai pengganti maupun mereka yang menganggap perlantikan anak saja sebagai satu kesalahan, bukan bapak. Semua ini jauh sama sekali daripada sangkaan yang baik, terutama jika terdapat faktor yang boleh membawa kepada perkara tersebut

seperti mengutamakan kepentingan umum ataupun menjangkakan akan berlaku sesuatu kemusnahan, pada ketika itu tertolaklah segala sangkaan sebagaimana yang berlaku pada peristiwa pelantikan Yazid oleh bapaknya Mua’wiyah tersebut yang dipersetujui oleh orang ramai merupakan dalil yang nyata dalam hal ini.

Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khalifah.22 Kalau khalifah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. kepada Umar r.a. bukan merupakan waliyatul ahdi (pewarisan kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar r.a. di bai’at setelah beliau wafat.

Disamping itu, Abu Bakar r.a. sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana dalam khutbahnya. Beliau menggantungkan pelaksanaan urusan tersebut berdasarkan ridla kaum Muslimin, ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menetapkan pendapatnya untuk menunjuk pengganti beliau sambil berkata; “Apakah kalian menerima orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku (dalam memimpin) kalian? Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan

22

Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, (Doktrin Sejarah Empirik), h. 110.

menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin.”23 Atas dasar ini pula Umar bin Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khalifah, dimana keenam-enamnya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih, sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi (putera mahkota). Berbeda dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam.

Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas mungkar tersebut adalah:

a) Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khalifah.

b) Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya (memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau telah memberikan kebebasan kepada kaum Muslimin memilih orang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara tersebut pemerintahannya mempergunakan sistem keturunan. Karena itu Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah.

23

c) Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti masalah yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum agar sesuai dengan permasalahan yang ada. Padahal semestinya, dia harus mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesaian yang pada zamannya tesebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi perubahan penggantian bahkan memutar balikkan terhadap hukum-hukum Islam.

Berdasarkan perhitungan al-Mas’udi, masa khalifah selama tiga puluh tahun itu dimulai sejak pemerintahan Abu Bakar hingga masa pemerintahan Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang berkuasa selama delapan bulan sepuluh hari.24 Dalam perkembangan selanjutnya, penyelengaraan kenegaraan dan pemerintahan berjalan menjauh dari kondisi ideal yang dipraktekkan Nabi dan para khalifah terbimbing, terutama ketika pemerintahan Islam dijalankan dengan model kerajaan. Model ini dimulai ketika Mua’wiyah bin Abi Sufyan tampil menempatkan diri sebagai kepala negara, dan ketika itu ia secara tegas mengatakan; “Aku adalah raja pertama”, lalu di akhir masa pemerintahannya,

24

Al-Mas’udi, Juz I, h. 347 dan Hafid bin Ahmad al-Hakimi, A’lam Sunnah al-Masyurah Lii’tiqad al-Thaifah al-Najiyah al-Mansyurah, Wizarat Syu’un Islamiyah wa al-Auqah wa al-Da’wah wa al-Irsyad, Arab Saudi, 1422 H, h. 290 dan seterusnya.

Mua’wiyah mengangkat Yazid bin Mua’wiyah sebagai putera mahkota. Satu cara yang tidak pernah dilakukan pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Ibnu Rusyd mengatakan, “Mua’wiyah telah meruntuhkan bangunan yang indah dan mulia, yang telah dibangun oleh para khalifah Nabi”.25

Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha’ telah menetapkan bahwa dibolehkannya sistem keimamahan dengan cara menentukan putera mahkota dari kesepakatan ijma ulama dapat diterima. Namun Islam tidak memandang sistem raja itu adalah suatu sistem yang salah. Karena, sistem itu tidak melanggar batas syara’ hukum selagi dalam suatu sistem pemerintahan itu masih menjalankan hukum-hukum Islam.

25

Dokumen terkait