• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majelis Raja-raja Dalam perlembagaan persekutuan Malaysia dan relevansinya dengan doktrin ketatanegaraan islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Majelis Raja-raja Dalam perlembagaan persekutuan Malaysia dan relevansinya dengan doktrin ketatanegaraan islam"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

MAJELIS RAJA-RAJA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN

MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN

KETATANEGARAAN ISLAM

Skripsi

Skripsi Ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

NURHANISAH BINTI HAJI BAHTIYAR NIM: 107045203897

K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R’ I Y A H

P R O G R A M S T U D Y J I N A Y A H S I Y A S A H

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 10 Maret 2009 M 13 Rabiul Awal 1430 H

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Siyasah Syariyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis amat berbangga akan hasil penulisan skripsi ini karena di buat dengan semangat dan perjuangan yang tak kenal lelah. Penulis sangat mengharapkan sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama dapat membangun dan terus memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang lebih sempurna.

Pada kesempatan yang sangat berharga ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada :

(4)

2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum, juga merangkap dosen pembimbing saya dengan arahan beliau penulis dapat memahami dengan mudah apa yang akan dikerjakan.

5. Asmawi, M.Ag. Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syariyyah. 6. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum.

7. Ayahanda H. Bahtiyar Bin H. Baharin dan Ibunda Hj. Zainah Binti H. Mohd Salleh yang telah mencurahkan kasih dan sayang mereka serta borkarban apa saja untuk anak tercinta. Sepenuh perhatian dan dorongan yang tak terhingga diberikan amat penulis hargai.

8. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato’ Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Pengarah IPA Ust. Mohd Zain, Ust Muhaiyyat, Hj. Wan Ahmadul Badawi, Ust. Fadzli Hashimi Hashim dan Ustzh Hasanah Halin dan juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan disini.

(5)

10.Buat buah hati tersayang Mohd Sofyan Zakaria, terima kasih di atas segala jasa beliau yang selama ini banyak memberi tunjuk ajar dalam pelbagai perkara serta perhatian dan sokongan yang tak terhingga sepanjang saya belajar di sini.

11.Kepada Ust Abdul Hadi Ripin yang banyak membantu dari awal penulisan skripsi hingga selesai. Juga teman satu perjuangan baik itu teman-teman dari Malaysia. Ataupun teman-teman-teman-teman Indonesia yang telah membantu untuk memahami dan berkongsi pendapat lebih dalam mengenai ketatanegaraan Islam.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan kepada semua pihak pada umumnya. Penulis menyampaikan harapan yang besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Semoga Allah SWT menjadikan penulisan skripsi ini sebagai satu amal yang baik disisi-Nya.

Jakarta: 10 Maret 2009 M 13 Rabiul Awal 1430 H

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8

D. Tinjauan Pustaka ...9

E. Kerangka Teori dan Konsepsional ...11

F. Metode Penelitian ...13

G. Sistematika Penulisan ...15

BAB II KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN NEGARA ISLAM A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara) ...17

B. Gelar dan Istilah Negara dalam Ketatanegaraan Islam ...21

C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan (Raja) ...28

BAB III MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Sejarah Majelis Raja-Raja ...34

(7)

1. Kedudukan Raja-Raja dalam konteks Agama Islam dan

Perlembagaan ...44

2. Keanggotaan dan mesyuarat Majelis Raja-Raja ...47

3. Majelis Raja-Raja dan Kerajaan ...49

C. Fungsi Majelis Raja-Raja ...51

D. Majelis Raja-Raja dan hubungan eksekutif dalam pelaksanaan Pemerintahan di Malaysia ...54

BAB IV TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA A. Islam dan Negara Kerajaan dalam Kajian Ketatanegaraan Islam...59

B. Persamaan konsep Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan Malaysia ...61

C. Perbedaan Konsep Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan Malaysia ...65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...67

B. Saran ...69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(8)
(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara membutuhkan seorang pemimpin untuk membawa kemana arah dan tujuan Negara. Beberapa abad lamanya orang Melayu diperintah berdasarkan pemerintahan kerajaan oleh Sultan dengan kepercayaan sepenuhnya. Ketika zaman penjajahan Inggris, Sultan-sultan diterima sebagai pemerintahan berdaulat dan memiliki wewenang penuh dalam Negara bagian masing-masing, walaupun mereka memiliki beberapa perjanjian dengan persekutuan Inggris, untuk menerima nasehat dari pegawai-pegawai kerajaan Inggris yang dilantik sebagai presiden atau penasehat kerajaan Inggris.1 Keadaan demikian berlanjut sampai menjelang hari kemerdekaan pada tahun 1996 kerajaan Inggris memperkenalkan sebuah Perlembagaan.2 Unitari untuk semenanjung Malaysia yang dipanggil Malayan Union.3

Di bawah perlembagaan ini, sultan-sultan dapat kehilangan kekuasaan mereka, karena pihak Inggris memerintah secara langsung negara ini. Namun pada tahun 1948 perlembagaan Malayan Union digabungkan dengan

1

Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Permerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/ Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawamah Sdn. Bhd, t.th.), h. 38.

2

Perlembagaan dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar.

3

(10)

perlembagaan penjajah, dan dikenal dengan nama perjanjian persekutuan Tanah Melayu. Perlembagaan ini sedikit banyak telah mengembalikan raja-raja Melayu kepada kedudukan asal mereka.

Majelis Raja-Raja tidak terbentuk secara sengaja atau direncanakan. Oleh sebab itu tidak salah apabila dikatakan bahwa kemunculan majelis adalah sebuah kebetulan sejarah. Tetapi walau apapun sifat kemunculannya, majelis mempunyai efek yang positif terhadap hubungan antara sembilan kesultanan Melayu yang ada. Ini memperkuat hubungan sesama mereka yang sebagian besar mempunyai pertalian keluarga antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu kemudian diperkuat lagi melalui proses perkawinan dan sejenisnya. Meskipun kemunculan Majelis Raja-Raja dapat dikatakan sebagai sebuah kebetulan sejarah, namun secara formal dapat dijelaskan bahwa Majelis Raja-Raja ada sebagai akibat tidak langsung dari hasil dasar dan perancangan kerajaan Inggris. Tetapi walau bagaimanapun kemunculannya, tidak berakhir sebagai sebuah institusi yang mewakili kepentingan kekuasaan asing.

Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur yang formal dan diatur oleh undang-undang, namun majelis ini dipisahkan dari kesultanan Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi beraja di Malaysia.4 Oeh sebab itu, sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan menapaki secara sepintas kemudian kemunculan kesultanan Melayu yang ada sekarang. Kedudukan kesultanan Melayu sangat erat kaitannya dengan kesultanan

4

(11)

Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan kesultanan yang tertua (seperti halnya kesultanan Kedah yang didirikan sekitar abad ke-13), kesultanan Melayu Melaka mempunyai pranan yang besar dalam membina tradisi dan adat istiadat istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanan-kesultanan yang muncul kemudian hari.5 Selain itu, kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peranan dalam membantu mendirikan dan memelihara kesultanan yang ada sekarang. Dari sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak yang mempunyai hubungan langsung dengan kesultanan Melayu Melaka, karena kesultanan Melayu Perak didasarkan oleh kesultanan tersebut, sebelum kesultanan Melayu Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Kesultanan Kedah yang pernah dilindungi kerajaan Melaka memiliki peralatan kerajaan, termasuk penghargaan yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan Melaka. Sedangkan Kesultanan Selangor, meskipun diperintah oleh orang Bugis pada abad ke-18, namun kesultanan ini diakui oleh kesultanan Perak yang mempunyai pertalian lansung dengan raja-rajanya yang berasal dari Sumatera.

Kedudukan Majelis Raja-Raja dalam perlembagaan sekarang ini adalah terkait dengan hal-hal yang berkenaan dengan majelis tersebut dalam Perlembagaan Persekutuan dan Perlembagaan Negeri.6 Perlembagaan Persekutuan menginginkan sebuah bagian khusus untuk Majelis Raja-Raja.

5

Untuk gambar yang lebih terperinci lihat dalam Abdul Aziz Bari, “Ketua Negara, Ketua-Ketua Negeri dan Majlis Raja-Raja”, dalam Ahmad Ibrahim et.al., Perkembangan Undang-Undang Perlembagaan Persekutuan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 40-99

6

(12)

Bagaimanapun juga ada ketentuan lain dalam Perlembagaan yang menyebutkan kedudukan Majelis Raja-Raja. Kedudukan majelis dalam perlembagaan yang didalamnya terdapat hal-hal dalam jadwal dan berbagai peraturan yang berfungsi menjelaskan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan Perlembagaan. Setelah itu, maka diakui dasar institusi tradisi seperti ini ke dalam demokrasi. Adapun perkembangan majelis ini merupakan evolusi peranan Majelis Raja-Raja, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Majelis Raja-Raja adalah sebuah perkumpulan eksklusif untuk raja-raja Melayu saja. Pada tahun 1957 Perlembagaan Persekutuan telah menyertakan ketua-ketua negara bagian yang bukan raja, seperti Yang Dipertuan Negeri yang saat itu disebut dengan Gabernor (Gubernur) di dua negara bagian Melaka dan Pulau Pinang.

Setelah penulis menjelaskan secara umum mengenai Majelis Raja-Raja di Malaysia, maka kita akan melihat konsep pemerintahan Islam yang berkaitan dengan fungsi raja atau dalam Islam lebih tepat sebagai khalifah/imam.

Masuknya Islam ke wilayah kepulauan Melayu merupakan peristiwa penting dalam sejarah Melayu yang kemudian identik dengan Islam. Sebab, Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu telah berhasil menggerakkan kearah terbentuknya kesadaran berbangsa.

(13)

kenabian adalah politik keduniaan. Meskipun yang menjadi khalifah atau pengganti Rasul yang dalam istilah-nya “menjaga dan memelihara agama” menunjukkan bahwa tugas seorang imam adalah menjaga, memelihara dan membela agama, bukan menjelaskan atau mengadakan pergantian dalam agama. Di antaranya adalah sang imam harus mampu menunjukkan, dengan tingkah laku dan perbuatannya, bahwa dia adalah pemelihara agama dan memerhatikan perintah-perintah agama.

Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama. Memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepimimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera.7

Mengenai arti pentingnya seorang pemimpin diutarakan juga oleh Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya, bahwa “Kedudukan pemimpin timbul dari keharusan hidup bergaul bagi manusia, didasarkan kepada penaklukan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat kebinatangan”.8 Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan

7

Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,

(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet V, h. 14.

8

(14)

dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu sendiri. Ada suatu masa dimana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami ketegangan dengan negara. Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam perlaksanaanya diwujudkan dalam diri raja. Kedaulatan Tuhan (Theocracy) dan kedaulatan raja menyatu satu sama lain sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan.9

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain, namun tidak mudah dipisahkan. Penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintah absolut dan menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Raja terjadi pada saat; Pertama, konsep Khalifah Al-Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun. Kedua, ketika perkataaan “Khalifah Al-Rasul” sebagai konsep filosofis.10

9

Hari Wibowo, Islam dan Pembangunan Hukum Nasional,http://bhariwibowo.blogspot. com/2006/12/Islam-dan-pembangunan-hukum-nasional.html-ftn3. Artikel diakses pada tanggal 12 Desember 2008.

(15)

Dalam memahami pemikiran dalam politik Islam maka seharusnya pula memahami terminologi dari istilah gelar kepala Negara dalam sistem pemerintahan Islam. Di antara gelar Negara tersebut ialah Khalifah, Amirul Mukminin, Imam, Sultan, Perdana Menteri dan Presiden. Dalam penelitian ini penulis akan mengurai-kan istilah, karakter dan latar belakang historis dari gelar kepala Negara tersebut. Empat istilah pertama biasanya digunakan dalam masa pemerintahan Islam klasik mulai dari masa khalifah hingga masa Abbasiyah, walaupun pada masa kontemporer ini salah satu istilah tersebut masih digunakan seperti gelar Sultan, Imam atau Imamah. Namun, dua gelar terakhir lebih banyak dipakai pada masa kontemporer ini daripada masa klasik, baik itu di Negara muslim maupun non muslim.

Setelah kita melihat apa itu Majelis Raja-Raja menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, kemudian seperti apakah Islam mengkaji mengenai masalah, istilah, wewenang dan gelar kepala negara. Untuk penulis terdorong untuk mengangkat sebuah tema skripsi dengan judul “Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia dan Relevansinya dengan Doktrin

Ketatanegaraan Islam”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

(16)

Adapun pembatasan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah hanya mengenai Majelis Raja-Raja, baik itu berupa kewenangan sebagai kepala negara, kedudukan dan fungsi Majelis Raja-Raja dalam negara Malaysia.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hukum Ketatanegaraan Islam melihat fungsi dari raja-raja di

dalam pemerintahan?

2. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Raja-Raja di Malaysia menurut Perlembagaan Negara?

3. Apakah konsep Kerajaan Malaysia selaras dan sejalan dengan konsep khalifah dalam Ketatanegaraan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:

1. Untuk mengkaji sejauh mana hukum ketatanegaraan Islam melihat fungsi raja-raja di dalam pemerintahan .

2. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan Majelis Raja-Raja berdasarkan Perlembagaan Negara Persekutuan.

3. Menggali relevansi antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan Islam.

(17)

1. Sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang Fiqh Siyasah dalam konteks Ketatanegaraan Malaysia.

2. Menjadi rujukan bagi pengkaji ilmu Ketatanegaraan dalam konteks pemerintahan Islam.

3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang Ketatanegaraan Islam mengenai Majelis Raja-Raja, khususnya bagi warga Negara Malaysia.

D. Review Studi Terdahulu

Review studi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah untuk melihat kajian yang telah membahas mengenai tema yang hampir sama, namun substansi yang berbeda. Adapun yang penulis masukkan dalam perbandingan ini adalah berbagai literatur, mulai dari skripsi, buku, jurnal, dan lainnya. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.

Skripsi Pitri Anita, “Siyasah Dauliah Pada Masa Khulafaur Rasyidun” tahun 2004. Skripsi ini mengkaji tentang praktek siyasah dauliyah pada masa Khulafaur Rasyidun, dimulai dari Khalifah Abu Bakar As-Sidiq, Usman bin Affan, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Selain itu di dalamnya memuat penerapan nilai-nilai Ketatanegaraan Islam yang mereka praktekkan seperti nilai keadilan, musyawarah, persamaan dan lain sebagainya.

(18)

konsep kepala Negara atau khalifah, syarat-syarat Negara menurut Al-Ghazali. Diantara syarat-syarat tersebut adalah seorang laki-laki bukan wanita, dewasa, mempunyai akal yang sehat, tidak gila, tidak memiliki cacat fisik, tidak buta dan tuli, keturunan suku Quraisy, merdeka, memiliki kemampuan, memahami ilmu pengetahuan, tidak melakukan hal-hal tercela.

Dari beberapa skripsi yang membahas tentang praktek siayasah dauliah pada masa khulafa rasyidin maupun tentang konsep negara moral yang penulis temukan semuanya tentang ketatanegaraan di Indonesia, sedangkan kajian tentang Majelis Raja-Raja di Malaysia belum ada yang membahasnya. Kemudian ada beberapa referensi yang sangat relevan untuk penulisan skripsi ini di antaranya:

Pertama, Majelis Raja-Raja (Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia), karya Abdul Aziz Bari, 2006. Buku ini secara spesifik

mengkaji mengenai sejarah, kedudukan, fungsi serta peranan Majelis Raja-Raja Malaysia. Bahkan lebih detail disebutkan, bahwa peranan majelis adalah untuk menghubungkan demokrasi antara Lembaga Negara dengan Majelis Raja-Raja. Hubungan ini harus ditunjukkan karena pada dasarnya perlembagaan adalah pelakasana ideal demokrasi.

Buku kedua, karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Pemerintahan Beraja” ditulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia”. Pada buku ini dipaparkan mengenai sejarah kenapa Negara Malaysia

(19)

intervensi kerajaan Inggris sehingga mereka tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai Raja.

Buku ketiga, “Teori Kontrak Sosial” karya dari Dhiauddin Rais, yang menjelaskan tentang “Hakikat Imamah antara Keimamahan, Kekhalifahan dan Kerajaan”. Di dalam buku ini mencoba membahas pentingnya gelar seorang kepala Negara serta hubungan antara imamah dan khilafah.

E. Kerangka Teori dan Konsepsional

Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan gubernur-gubernur bagi negeri yang tidak memiliki raja. Lembaga ini bertujuan untuk menjaga hubungan antar negera-negara persekutuan agar lebih erat lagi dengan negeri-negeri yang bukan anggota Persekutuan. Artinya Majelis Raja-Raja adalah sebuah perkumpulan ekslusif untuk Raja-Raja Melayu yang terdiri dari beberapa negara bagian. Sehingga Majelis ini kemudian berwenang dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia.

Ada beberapa macam teori-teori tentang Majelis Raja-Raja, diantaranya: 1. Majelis Raja-Raja ialah memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan

(Wakil) Yang di-Pertuan Agong.

2. Memberi persetujuan atau penolakan tentang adat istiadat, agama Islam bagi seluruh Persekutuan, tidak termasuk Sabah dan Sarawak.

(20)

4. Mengangkat dan memberikan wewenang kepolisian negara.

Majelis Raja-Raja adalah suatu majelis yang tidak ada disebutkan dalam hukumnya dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Akan tetapi banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan tentang perlunya musyawarah dalam melantik sesuatu pemangkatan imam atau membuat suatu putusan persetujuan bersama. Ketika Qur’an memerintahkan kepada Rasulullah untuk bermusyawarah dengan kaum Mukminin, tidak menyangkut persoalan wahyu. Oleh sebab di satu sisi, wahyu itu merupakan persoalan khusus bagi Rasulullah dalam hubungannya dengan Allah. Ini sama seperti yang dilakukan dalam Majelis Raja-Raja tersebut, hanya saja majelis ini dihadiri oleh golongan raja-raja yang berwenang memberikan tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Yang di-Pertuan Agong dengan mengikuti nasehat jemaah menteri, dan tugas dan kuasa dijalankan oleh raja-raja lain dan gubernur-gubernur dengan mengikut nasehat majelis rapat kerajaannya masing-masing.

Demikian juga banyak hadis yang menyebut tentang musyawarah. Menurut at-Thabari, musyawarah adalah sebagai salah satu dari ‘adha’im al-ahkam, yaitu prinsip fundamental syariat yang esensial bagi subtansi dan identitas

(21)

Dengan demikian para pakar hukum Islam termasuk seorang imam atau penguasa mempunyai kebebasan untuk melakukan ijtihad (penggalian dan penemuan hukum) mereka itulah yang kemudian disebut Mujtahid.

Kemudian hasil ijtihad tentang Majelis Raja-Raja tersebut dapat disebut dengan hukum fikih. Fikih dimasudkan sebagai hasil pemikiran para mujtahid atau ahli hukum Islam yang menderivasi hukum dari sumbernya, al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Hasil dari ijtihad bisa saja berbeda antara seorang ulama dengan ulama yang lainnya. Sehingga hal ini mengakibatkan adanya perbedaan-perbedaan pendapat yang pada akhirnya hukum fikih tersebut terbagi kepada mazhab-mazhab fikih.

Pada tahap selanjutnya, pelaksanaan yang terdapat dalam Majelis Raja-Raja itu harus memiliki undang-undang tentang Majelis Raja-Raja-Raja-Raja. Dalam membuat undang-undang tersebut pemerintah dapat mengadopsi hukum fikih yang telah dihasilkan oleh para ulama. Biasanya hukum fikih yang telah diadopsi oleh negara dinamakan Qanun.

F. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

(22)

(law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.11

2. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah wewenang dan kedudukan serta fungsi Majelis Raja-Raja Malaysia menurut Perlembagaan Persekutuannya.

3. Sumber Data

Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari sumber-sumber pokok seperti buku Perlembagaan Malaysia, seperti mana yang disebut di dalam Pasal 38 (1) tentang kedudukan dan peranannya dalam perlembagaan. Sedangkan sumber sekunder didapat dari tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketatanegaraan baik dalam dunia Islam maupun dari ketatanegaraan Malaysia. Yang termasuk ke dalam sumber data primer adalah buku Majelis Raja-Raja (Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan Malaysia). Sedangkan sumber data sekunder seperti buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian data tertier berupa kamus, jurnal dan artikel.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumenteri bahan tertulis. Yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi

11

(23)

dengan penelitian. Sehingga data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah Dokumentasi, Riset pustaka dilakukan dengan cara menghimpun data-data kepustakaan yang ada relevansinya dengan tema ini.

5. Analisa Data

Dalam melakukan analisa data-data yang sudah terhimpun, digunakan teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif. Yaitu analisis perbandingan antara Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia dengan doktrin Ketatanegaraan Islam.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan buku ini dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

(24)

Bab III Pengaturan Ketatanegaraan Islam dalam Konsep Kepemimpinan, Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara), Gelar dan Istilah Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam, Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan.

Bab IV Merupakan Analisis Ketatanegaraan Islam Terhadap Majelis Raja-Raja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, Islam dan Negara Kerajaan dalam kajian Ketatanegaraan Islam, Persamaan Konsep Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia, Perbedaan Konsep Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan Malaysia.

(25)

BAB II

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM

KETATANEGARAAN NEGARA ISLAM

A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara)

Pelaksanaan negara menurut tuntutan Islam serupa dengan pelaksanaan shalat jama’ah di mana ada pemimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai makmum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan lain-lain.12 Shalat jama’ah juga mengenal koreksi terhadap imam dan penggantian imam yang mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara dalam sistem moderen. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Selama 23 tahun dakwah kenabian Muhammad SAW, kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama, Nabi Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah.

12

(26)

Mengenai kepemimpinan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh Khulafaur Rasyidun, hal ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak diangkat melalui suksesi melainkan melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam al-Qur’an itupun sebagai reali-sasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi, kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara di Madinah yang menyatu dengan tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenuhnya kepada Allah SWT.13 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632 M / 10 H) adalah keberhasilannya. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan mengganti-kan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang cara pengangkatan penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan permasalahan di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan kaum anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri ‘terlantar’ oleh seputar pembicaraan khalifah.14

Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah, yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala Negara.15 Ibnu

13

Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 44

14

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), edisi kelima, h. 32

15

(27)

jama’ah dalam menerangkan hak-hak pemimpin telah berkata: seseorang itu hendaklah mengetahui bahwa hak pemimpin adalah besar. Oleh sebab itu, berinteraksilah dengannnya dengan menghormati dan memuliakannya. Para ulama daripada kalangan pemimpin Islam menjunjung tinggi kehormatan mereka dan mendengar suruhan mereka walaupun mereka bersifat zuhud dan warak dan tidak mengimpikan kedudukan dan pangkat dunia ini.

Sesungguhnya Allah menjadikan pemimpin itu sebagai benteng kepada yang lemah daripada yang kuat dan kepada yang dizalimi daripada yang menzalimi. Sekiranya tiada pemerhatian daripada Allah yang diwakilkan kepada pemimpin ini nescaya tidak berlaku keamanan dan hilanglah hak asasi manusia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sultan itu ialah bayangan Allah di dunia. Siapa yang memuliakan mereka, maka Allah akan memuliakannya dan siapa yang menghina mereka maka Allah akan menghinakannya.”

Penyandaran ini bertujuan memberi kemuliaan. Maksudnya: Allah mempertahankan manusia daripada kezaliman dan penganiayaan menerusi perantaraan pemimpin. Seperti yang disebut dalam al-Quran mengenai firman Allah SWT:

!

"#

#$

% & '()

*+ '(, )

-!./ 012

+

345

6 78

2

'9

::;&

<=(?

@AB C=D !'

(28)

Ayat ini menerangkan tentang kelebihan pemimpin atau raja. Karena tanpa adanya pemimpin, niscaya keadaan serta urusan duniawi akan kacau balau dan hancur dengan perbagai unsur kejahatan atau kerusakan yang boleh menghancurkan dunia. Oleh sebab itu Allah mengangkat derajat diantara kaum, maka segala urusan akan berjalan dengan teratur.

Adapun hadis yang menerangkan keistimewaan pemimpin yang adil dan ganjaran pahala di sisi Allah ialah:

1. Hadis daripada Abdullah bin ‘Amru, telah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang adil berada di atas mimbar daripada di sebelah kanan Allah dan kedua-dua tangan-Nya adalah kanan16 yang mereka berlaku adil dalam pemerintahan dan tidak menyeleweng.”

2. Hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sesungguh-nya imam itu perisai yang orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Sekiranya dia menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil, maka baginya pahala suruhan tersebut dan sekiranya dia menyuruh dengan yang lainnya, maka dia juga akan memperoleh balasannya itu”17

3. Hadis riwayat daripada ‘Iyad bin Himar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Penghuni syurga ada tiga golongan: Sultan yang adil dan benar, lelaki yang

16Syarah al-Sunnah

: Jilid VI, h. 64

17

(29)

berkasih sayang dan baik hati tehadap kerabatnya, dan seorang Muslim yang berhati-hati menjaga anak dan isterinya daripada perkara haram.”18

Kesimpulannya dalam sesuatu ummah, mestilah terdapat seseorang pemerintah yang tugasnya menegakkan agama, membantu menyebarkan al-Sunnah, berlaku adil terhadap mereka yang dizalimi, menyempurnakan segala hak

serta adil dalam segala perkara demi keamanan masyarakat yang dipimpinnya.

B. Gelar Istilah Negara dalam Ketatanegaraaan Islam

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat itu. Dengan adanya negara yang merupakan organisasi dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Kehidupan bernegara merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat guna mewujudkan peraturan dan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam bermasyarakat. Karena dengan adanya negara dengan perangkatnya mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama demi kebaikan dan kemaslahatan bersama.

18

(30)

Ibn Khaldun menjelaskan bahwa negara itu terbentuk karena lanjutan dari keinginan manusia bergaul (solidaritas) antara seseorang dengan yang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya, baik itu dalam rangka mempertahankan diri maupun menolak musuh. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada suatu organisasi negara yang melindungi dan memelihara keselamatan hidupnya. Biasanya ketika masyarakat itu teratur karena cita-cita yang sama atau karena satu keyakinan dan kepercayaan, sehingga menimbulkan perasaan senasib seperuntungan dan seperjuangan, mereka akan membentuk suatu umat tersendiri.

Masyarakat Islam tampil di pentas dunia ini sekitar tahun 624 Masehi, ketika konsepsi negara bangsa atau nasional itu belum muncul. Dengan demikian, negara yang dimaksud dalam Islam atau yang dijalani Nabi Muhammad dan khulafa rasyidun serta kaum Muslimin awal bukanlah suatu negara dalam konsepsi nagara nasional, tetapi negara dalam arti luas yaitu suatu masyarakat manusia yang tinggal dalam satu wilayah tertentu yang diatur berdasarkan syari’at Islam dan dilaksanakan oleh pemerintah Islam.

(31)

mendapatkan perlindungan, tanpa kewajiban membayar jizyah); (b) wilayah yang terdiri dari daratan, udara, dan lautan, yang semula hanya wilayah Madinah dan sekitarnya, kemudian pasca fathu Makkah meliputi semenanjung Arabia dan sekitarnya; (c) pemerintah, yang dilekati kewenangan melaksanakan dan menegakkan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, yaitu Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh khulafa rasyidin.

Jika dilihat akan realitas sejarah, Islam menunjukkan bahwa negara itu dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah. Misalnya, ketika nabi masih di Mekkah (611-622) tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena kekuatan politik didominasi oleh kaum Quraisy yang memusuhi Nabi. Tetapi setelah berhijrah ke Madinah, di mana Nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan satu kesepakatan menggunakan aturan yang disepakati bersama yang berupa Piagam Madinah. Kehidupan Nabi bersama umatnya pada periode Madinah ini (622-632), oleh banyak pakar dianggap sebagai kehidupan yang bernegara.19 Penilaian ini tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah negara, baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa.

Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah Nabi tidak meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara itu, siapa yang berhak menetapkan undang-undang, kepada siapa kepala negara

19

(32)

bertanggungjawab dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut. Karena ketidakjelasan inilah kita lihat praktek kenegaraan dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam masa empat Khalifa al-Rasyidin saja terlihat kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama sekali dalam masalah suksesi. Misalnya, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlansung pada hari kedua setelah Nabi wafat.

Umar Ibn Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan wasiat pendahulunya, Kendatipun demikian Abu Bakar pernah mendiskusikan dengan sahabatnya secara tertutup. Usman Ibn Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum ia wafat. Sementara Ali Ibn Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat malalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna.20

Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah telah lebih jauh lagi dari ajaran sebenarnya dibandingkan dengan praktek masa Nabi Muhammad. Pada masa ini hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan, terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi telah berubah dari praktek sebelumnya para Khulafa al-Rasyidin yang selalu menggunakan musyawarah, menjadi sistem

penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya yang lain. Demikian juga

20

(33)

praktek sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak perbedaannya dengan masa Umayyah.

Dalam perkembangannya, “Negara Islam Madinah” yang telah dipraktek-kan Nabi dan Khulafa Rasyidin tersebut mengalami reduksi dalam implementasi. “Negara Islam adalah negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Muslim, di dalamnya tegak dan terlaksana hukum syi’ar-syi’ar Islam. Sifat negara ini tidak berubah karena sebab tidak terlaksana atau tertundanya sebagian hukum-hukum Islam selagi syi’ar-syi’ar Islam terlaksana seperti adzan, jum’ah, dan (shalat) jama’ah. Sebenarnya dalam negara itu bekerja untuk dua tujuan yang utama. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.

Allah SWT berfirman:

!

;. E

F D!G 3 H

I$=D GJ3

K

F

LM(,

)

F

(NO H

P

%!'(Q

/D (R7S

@T

U

C

(V WE X

J#

#$

7Y

E

)

Z

F

(NO H

!.[ .\( ]

^# _()

^.[ .02

1 I$(Q

#

#FD

a-=D ' X

b

(Q

c=eY

F([

c?H

GJ3

D X(

)

g

#h E

2

iNj

k

lN[mN(?

(34)

Dari ayat al-Qur’an di atas dapat dikutip bahwa Maududi ingin menggunakan negara itu sebagai mekanisme untuk mencapai keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Dengan mengikuti perintah-perintah Allah sebagaimana telah diwahyukan untuk petunjuk kehidupan manusia yang akan mendapatkan kebaikan.

Karena sebagaimana dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa Islam ini diturunkan untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Maka negara menjadi satu kepentingan dalam menjalani setiap pergerakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai menjalankan perintah agama yang diturunkan oleh Allah.

Muhammad Asad menjelaskan bahwa negara bagi Islam merupakan alat untuk mencapai tujuan, dengan mendasarkan tujuan negara pada ayat al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 103-104:

Z

C7n(R;?

j: ,\(op

$'X C!q

Z

'k

01 

g

Z

? rs 9

/K!C ' O

-rS X=D(t

9 E

urvFrs

wr

!.;? H

!

2

_

(x B()

-rS ) 'D'k

urv

(,; _

1z

4 { ' F )

FO

a E

urvFrs

g<=(?

0102

iI(

1?

a

LQ

3

#F

-rs0X EO _

\} ~ LQ

S

!,

0X0s

x LB(8?[

b

-rS

z

R ([

r

)rSbD!'

(h

.(R } 

rS(4

-rS$ LQ

\#Q•H

(h ??;.([

<=* E

e

[ ]

(h ? ?Q _([

7

?

'\O ‚

)

(h

!% F([

(?

m

S$ C

g

!,ƒ„

_ •H

?-'…

@T

D 1 C

(35)

-Artinya: ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (agama), dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S: al-Imran/2: 103-104)

Berdasarkan ayat itu dapat dijelaskan bahwa tujuan negara Islam adalah demi pengembangan masyarakat manusia yang mempraktekkan persamaan hak dan keadilan menuju yang benar (haq) dan menentang yang salah, untuk menjalankan pembelaan keadaan sosial, yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia lahir ataupun batin menurut undang-undang alam dari Tuhan yaitu Islam.21

Yang senantiasa perlu diingat adalah bahwa tujuan suatu negara di dalam ajaran Islam sudah terlalu jelas. Berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Maududi ada menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya negara. Pertama, untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antara manusia, antara kelompok atau antara kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga negara dan melindungi seluruh warga negara dari infasi asing. Ketiga, untuk menegakkan system keadilan sosial yang seimbang sebagaimana yang dikehendaki oleh

21

(36)

Qur’an. Keempat, untuk membanteras setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-Qur’an. Kelima, menjadikan negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.

Oleh karena itu, negara dalam ajaran Islam hanyalah merupakan instrumen pembaharuan yang terus-menerus. Negara, konstitusi dan semua perangkat kenegaraan lainnya dibuat untuk kepentingan rakyat, bukan rakyat yang harus mengabdi tanpa reserve kepada negara, sehingga negara itu menjadi fasistis dan totalier. Semua perangkat negara, apalagi pejabat-pejabat negara, dapat diubah setiap waktu bila kepentingan rakyat banyak, asal tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama,menghendakinya. Sebagai instrumen of reform, negara dengan konstitusinya, lembaga-lembaga perwakilan, lembaga kehakiman-nya dan lain-lain harus mengabdi kepada rakyat, bukan sebalikkehakiman-nya.

C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan (Raja)

(37)

yang disyariatkan oleh Allah SWT dan menjadikannya sebagai sumber rujukan hukum perundangan negara ialah satu tuntutan yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia merupakan bukti sifat ‘ubudiyyah’ dan tanda keyakinan kepada risalah kenabian Nabi Muhammad SAW.

Sebagai sebuah ideologi negara, masyarakat serta kehidupan, Islam telah menjadikan negara beserta kekuasaanya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensinya. Dimana Islam telah memerintahkan kaum muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah berdasarkan hukum-hukum Islam. Dalam al-Qur’an hanya disebutkan prinsip-prinsip umum mengenai masalah negara dan pemerintahan. Untuk selanjutnya umat Islam menjabarkannya sesuai dengan realitas dan kondisi riil yang dihadapinya.

(38)

Adapun di dalam pembahasan ini lebih menekankan kepada sistem Pemerintahan Raja atau dikenali dengan sistem Pemerintahan Monarki. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki. Pemerintahan Monarki menerapkan sistem waris (putera mahkota), dimana singgahsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putera mahkota, dari orang tuanya, seperti mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem Pemerintahan Islam tidak mengenal akan sistem warisan.

Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh orang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara peribadi memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi umat dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau kadang kala menjadi raja yang berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum.

(39)

seperti mengutamakan kepentingan umum ataupun menjangkakan akan berlaku sesuatu kemusnahan, pada ketika itu tertolaklah segala sangkaan sebagaimana yang berlaku pada peristiwa pelantikan Yazid oleh bapaknya Mua’wiyah tersebut yang dipersetujui oleh orang ramai merupakan dalil yang nyata dalam hal ini.

Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khalifah.22 Kalau khalifah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. kepada Umar r.a. bukan merupakan waliyatul ahdi (pewarisan kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan

berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar r.a. di bai’at setelah beliau wafat.

Disamping itu, Abu Bakar r.a. sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana dalam khutbahnya. Beliau menggantungkan pelaksanaan urusan tersebut berdasarkan ridla kaum Muslimin, ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menetapkan pendapatnya untuk menunjuk pengganti beliau sambil berkata; “Apakah kalian menerima orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku (dalam memimpin) kalian? Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan

22

(40)

menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin.”23 Atas dasar ini pula Umar bin Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khalifah, dimana keenam-enamnya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih, sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi (putera mahkota). Berbeda dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam.

Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas mungkar tersebut adalah:

a) Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khalifah.

b) Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya (memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau telah memberikan kebebasan kepada kaum Muslimin memilih orang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara tersebut pemerintahannya mempergunakan sistem keturunan. Karena itu Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah.

23

(41)

c) Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti masalah yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum agar sesuai dengan permasalahan yang ada. Padahal semestinya, dia harus mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesaian yang pada zamannya tesebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi perubahan penggantian bahkan memutar balikkan terhadap hukum-hukum Islam.

Berdasarkan perhitungan al-Mas’udi, masa khalifah selama tiga puluh tahun itu dimulai sejak pemerintahan Abu Bakar hingga masa pemerintahan Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang berkuasa selama delapan bulan sepuluh hari.24 Dalam perkembangan selanjutnya, penyelengaraan kenegaraan dan pemerintahan berjalan menjauh dari kondisi ideal yang dipraktekkan Nabi dan para khalifah terbimbing, terutama ketika pemerintahan Islam dijalankan dengan model kerajaan. Model ini dimulai ketika Mua’wiyah bin Abi Sufyan tampil menempatkan diri sebagai kepala negara, dan ketika itu ia secara tegas mengatakan; “Aku adalah raja pertama”, lalu di akhir masa pemerintahannya,

24

(42)

Mua’wiyah mengangkat Yazid bin Mua’wiyah sebagai putera mahkota. Satu cara yang tidak pernah dilakukan pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Ibnu Rusyd mengatakan, “Mua’wiyah telah meruntuhkan bangunan yang indah dan mulia, yang telah dibangun oleh para khalifah Nabi”.25

Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha’ telah menetapkan bahwa dibolehkannya sistem keimamahan dengan cara menentukan putera mahkota dari kesepakatan ijma ulama dapat diterima. Namun Islam tidak memandang sistem raja itu adalah suatu sistem yang salah. Karena, sistem itu tidak melanggar batas syara’ hukum selagi dalam suatu sistem pemerintahan itu masih menjalankan hukum-hukum Islam.

25

(43)

BAB III

MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT

PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA

A. Sejarah Majelis Raja-Raja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia

Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan gubernur-gubernur untuk negara bagian yang tidak memiliki raja. Selain itu, majelis ini juga berperan penting untuk mempersatukan Persekutuan ini menjadi lebih erat dengan negeri-negeri yang menjadi anggota Persekutuan. Hal yang menarik dalam struktur perlembagaan ini ialah betapa peran Majelis Raja-Raja tidak banyak berbeda dengan peran majelis pada tahap awal terbentuknya.

(44)

undang-undang yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kerajaan negara bagian.

Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur formal perlembagaan, nama majelis ini tidak dapat dipisahkan dari kesultanan Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi kerajaan di Malaysia. Sebab itu sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan menelusuri secara sepintas sampai kemunculan dan perkembangannya hingga saat ini.26 Ini penting untuk menunjukkan ikatan di kalangan keluarga-keluarga kerajaan yang ada di Malaysia sekarang, satu hal yang juga penting dalam kelahiran lembaga ini.

Berbicara tentang sejarah dan kedudukan kesultanan Melayu tidak dapat dipisahkan dari kesultanan Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan kesultanan yang tertua, bahkan Kesultanan Kedah sendiri baru berdiri sekitar abad ke-13. Kesultanan Melayu Melaka mempunyai pranan yang besar dalam membina tradisi dan adat istiadat istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanan-kesultanan yang muncul pada masa berikutnya. Antaranya: 1) Pengangkatan Putera Mahkota: yakni dari dulu yang hanya menggantikan sultan adalah anak laki-laki terakhir yang di angkat menjadi Putera Mahkota, walaupun bapaknya mempunyai anak banyak. 2) Perkahwinan: yaitu hanya raja yang berketurunan Melayu saja yang boleh menikah dengan Raja Melayu.

26

(45)

Selain itu, Kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peran penting dalam membantu mendirikan dan memperkuat mayoritas kesultanan yang ada sekarang. Dari sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak yang mempunyai hubungan lansung dengan Kesultanan Melayu Melaka. Karena kesultanan tersebut didirikan oleh kesultanan Melayu Melaka sebelum jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Begitu juga dengan, Kesultanan Kedah juga pernah dilindungi oleh Melaka yang telah memiliki beberapa senjata kerajaan termasuk meriam yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan Melaka.

Kesultanan Selangor, yang pada dasarnya didirikan oleh orang Bugis pada abad ke-18, namun akhirnya disahkan oleh Kesultanan Perak yang mempunyai hubungan langsung dengan raja-raja Melaka. Kesultanan-kesultanan lain seperti Johor, Pahang, Kelantan dan Terengganu muncul setelah keturunan Kesultanan Melayu Melaka berakhir. Dengan kata lain, kesultanan-kesultanan ini jelas meneruskan warisan yang telah ditinggalkan oleh Kesultanan Melayu Melaka setelah jatuh ke tangan Portugis. Begitu juga dengan Negeri Sembilan, meskipun raja-rajanya berasal dari Sumatera.

(46)

tahun 1914.27 Kedudukan raja-raja Melayu sebagai raja yang berdaulat tidak berubah. Walaupun kenyataannya mungkin tidak berdaulat penuh. Prinsip ini telah diresmikan oleh beberapa keputusan mahkamah pada saat itu.28 Sesuatu yang berbeda kedudukannya dengan kedudukan raja-raja Melayu dalam skema Malayan Union.

Meski pun demikian, dalam realitanya raja-raja terpaksa tunduk pada kehendak dan tekanan pihak Inggris. Tekanan itu memang tidak dipersoalkan dari segi undang-undang, namun tetap saja pihak Inggris mempunyai kekuatan untuk memaksa raja-raja Melayu untuk mendengar perintah mereka. Dalam beberapa kesempatan misalnya, pihak Inggris memang menggunakan kekerasan terutama terhadap pembesar kerajaan dan mayoritas lainnya. Bahkan Inggris juga menggunakan segala kekuatan dan kekayaan mereka untuk mewujudkan pemerintahan tidak langsung di negeri-negeri Melayu. Jadi, meskipun kedaulatan raja-raja dari sisi undang-undang tidak berubah, tetapi dalam realitanya mengalami perubahan drastis, karena kewenangannya menjadi terbatas atau bahkan menjadikan mereka sebagai simbol kekuasaan Inggris.

Dengan berbagai intervensi Inggris di negeri-negeri Melayu, berdirilah saat itu sebuah organisasi besar yang mampu menyamai kebesaran lembaga raja-raja, pada tahun 1895. Organisasi ini kemudian yang dikenal sebagai kumpulan

27

Dokumen perjanjian-perjanjian ini boleh dilihat dalam Maxwell dan Gibson,. Treaties and Engangements Affecting Malay State, dan Allen, Stockwell dan Wright (eds), 1981. A Collection of Treaties Affecting the States of Malaysia 1761-1963,1924, Jilid. 1

28

Roberts – Wray , Constitutional Laws of the Commonwealt and Colonial Law, hlm . 44-45, dan Jennings, 1957. Constitutional Laws of the Commonwealth, Jil. 1, The Monarchies,

(47)

Negeri-negeri Melayu Bersekutu yang terdiri dari negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang. Empat orang raja Melayu memiliki kedudukan dalam Majelis Persekutuan yang fungsinya antara lain untuk mengeluarkan kebijakan yang kemudian dilaksanakan melalui mekanisme perundangan di tingkat negeri melalui Majelis-Majelis Negeri. Dalam persatuan tersebut, kekuasaan raja-raja Melayu dalam perundang-undangan masih utuh, yakni berdaulat penuh. Sayangnya semua itu hanyalah dari segi teori perlembagaan. Kenyataannya saat itu Inggris yang memberlakukan kebijakan pembentukan raja-raja di Negeri-Negeri Melayu Bersekutu.

Hal tersebut itulah yang menyebabkan para raja ini tidak senang dengan kebijakan yang diterapkan oleh Inggris. Karena bagaimanapun kehadiran Inggris telah mengakibatkan mereka seperti lembaga yang kosong. Bahkan merasa tidak dapat memerintah secara berdaulat atau malah tidak memiliki wilayah. Raja-raja tahu apa yang mereka terima bukanlah sesuatu yang mereka inginkan ketika menandatangani perjanjian dengan pihak Inggris. Ini dibuktikan dengan penentangan awal sesudah Perjanjian Pangkor yang berakhir dengan pembuangan negeri Sultan Abdullah.

(48)

usulan Inggris yang membimbing mereka dalam sebuah forum. Walaupun Durbar berjalan, raja-raja berhasil merubah proses perjalanannya dan menjadikannya sebuah forum untuk memperbaiki nasib dan kehidupan orang Melayu.

Selain itu apa yang menjadi keputusan dalam persidangan Durbar yang pertama di Kuala Kangsar itu turut menjadi sebuah ikatan yang menghubungkan sesama raja-raja dan rakyat tanpa disengaja. Sambutan dan protokol ini memang menjadi tradisi majelis sehingga hari ini. Persidangan Durbar yang pertama itu penting karena dapat membuat keputusan tentang beberapa hal yang semuanya diserahkan kepada majelis-majelis negeri yang kemudian menjadi undang-undang (dari sudut perlembagaan, kewenangan membuat undang-undang pada masa itu masih berada di tangan sultan, walaupun pada praktisnya undang-undang itu telah diubah dan dirinci oleh persekutuan dan majelis). Dengan demikian, persidangan Durbar telah mengambil kewenangan dengan salah satu fungsi yang sebelumnya dijalankan oleh majelis persekutuan.

(49)

di satu pihak dan Inggris di pihak yang lain. Bertemu dan membolehkan raja-raja menyuarakan aspirasi mereka terhadap kerajaan Inggris.29

Terdapat beberapa hal penting tentang persidangan Durbar itu. Pertama ialah perkataan ‘Durbar’ itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa ungkapan itu seperti pengaruh atau signifikansi Syarikat Hindia Timur Inggris. Durbar juga dapat dikatakan dikatakan mempunyai keterkaitan dengan persidangan residen-residen Inggris yaitu pegawai-pegawai tinggi Inggris yang menjadi penasehat sultan dan badan penasihat kepada Residen Jeneral, pegawai tinggi yang mengendalikan sekretariat Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Dari segi pengendalian, persidangan-persidangan Durbar itu dijabat oleh utusan tertinggi Inggris. Anggota-anggotanya terdiri dari raja-raja dan pembesar mereka, Residen Inggris di 4 negeri-negeri Melayu di atas dan para sekutu di Negeri-Negeri Melayu. Proses dalam persidangan ini dijalankan dalam bahasa Melayu. Perlu ditegaskan bahwa setelah tahun 1909, raja-raja tidak lagi mengambil bagian dalam hasil sidang dari Majelis Permusyawaratan Persekutuan.

Ada sarjana yang menulis bahwa mereka tidak mampu mengikuti proses dan keputusan dalam majelis tersebut. Bagaimanapun, ini tidaklah terlalu mengejutkan karena mengingat kedudukan protokol mereka sebagai pihak ynang memiliki kekuasaan tertinggi di negeri masing-masing, proses dan hasil sidang yang terperinci itu bukanlah tugasan mereka. Dalam proses ini, mayoritas para

29

Abdul Aziz Bari,. Majlis Raja-Raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan,

(50)

pegawai Inggris juga turut hadir dalam Majelis Permusyawaratan Persekutuan. Persidangan-persidangan Durbar yang membicarakan persoalan-persoalan dasar yang lebih umum dan besar jelas lebih sesuai untuk raja-raja. Di samping itu, mereka dapat terus menyalurkan masalah kepada pihak-pihak tertinggi dalam pembentukan kerajaan Inggris.

Walau apa pun manfaat dan pengaruh yang timbul dari persidangan-persidangan Durbar itu, perlu ditekankan untuk menunjukkan kemunculan yang relevan bagi peran raja dalam dunia moderen, sesuatu yang tidak memungkinkan pada tahun-tahun sebelumnya. Yang paling menonjol setelah persidangan Durbar ialah peran raja-raja sebagai pelindung atau penjaga dan ini penting karena pada waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai suara dalam pembentukan kerajaan Inggris. Pada waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai partai politik seperti sekarang. Selain itu politik tidak terpengaruh terhadap kedudukan Majelis Raja-Raja, karena sistem raja adalah sistem keturunan dan sistem politik adalah sistem yang dibentuk oleh rakyat. Ini disebabkan bahwa raja merupakan sebagai penasehat yang mutlak. Usulan dan kritikan raja-raja yang terkait dengan pembentukan dengan kerajaan mengesahkan kedudukan dan peran Yang di-Pertuan Agong dan raja-raja dalam soal keistimewaan orang Melayu dalam perlembagaan sekarang.

(51)

keterkaitan antara negara dengan agama Islam tetap ada sampai pada majelis negeri. Permasalahan ini tidak harus dibawa ke tingkat Majelis Permusyawaratan Persekutuan. Ini penting karena ia menunjukkan sikap raja-raja yang berhubungan dengan masalah agama, terutama dalam konteks hubungan pihak Inggris yang berpusat di Kuala Lumpur dengan pihak Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Dalam persidangan pada tahun 1903, Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan juga menunjukkan ketidak senangannya tentang kedudukan bahasa Melayu dalam pembentukan.

Dalam persidangan di Kuala Lumpur itu juga, Sultan Perak telah menunjukkan kekesalannya karena Inggris tidak berbuat apapun untuk mengangkat orang Melayu yang dapat berperan dalam pembentukan negara. Bahkan sang Sultan juga menentang terhadap aliran dan sentralisasi kekuasaan yang semakin jelas dalam pembentukan Inggris. Protes itu dikatakan membawa pada usaha mereformasikan struktur otoritas dan pemerintahan yang disetujui oleh pihak Inggris di Kuala Lumpur.

(52)

di-Pertuan Negeri. Yang di-di-Pertuan Agong hanya berangkat hadir pada musyawarah hari kedua dengan diiringi oleh Yang Amat Berhormat Perdana Menteri sebagai penasihat.

Keunikan Majelis Raja-Raja berdasarkan kedudukannya adalah sebagai satu-satunya institusi yang sedemikian rupa ada di dunia pada masa kini. Selain itu juga berperan sebagai penjaga institusi kerajaan di negara ini. Pembentukan Majelis Raja-Raja telah diundangkan berdasarkan Pasal 38 Perlembagaan Persekutuan. Fungsi dan tugas-tugasnya mengikuti Jadwal Kelima Perlembagaan, antaranya berwenang memilih Yang Pertuan Agong dan Timbalan Yang di-Pertuan Agong. Inilah kewenangan yang dikehendaki oleh Raja-Raja dalam Memorendum yang mereka serahkan kepada Suruhanjaya Reid pada tahun 1957. Institusi Yang di-Pertuan Agong menjadi sebagian dari Parlimen dan Raja yang menyandang jabatan Yang di-Pertuan Agong menjadi lambang kedaulatan negara dan perpaduan kaum.30

B. Kedudukan Majelis Raja-Raja

Maksud kedudukan Majelis Raja-Raja dalam perlembagaan sekarang ini ialah posisi dan kewenangan majelis tersebut dalam Perlembagaan Persekutuan dan Perlembagaan Negeri.31 Perlembagaan Persekutuan merupakan sebuah bagian

(53)

khusus untuk Majelis Raja-Raja.32 Dalam perlembagaan tersebut juga disebutkan kedudukan majelis dalam berbagai kapasitas. Kedudukan majelis dalam perlembagaan juga menentukan mengenai jadwal-jadwal33 dan peraturan-peraturan34 yang berfungsi menjelaskan secara lebih lanjut hal-hal yang terkait dengan perlembagaan.

Di bawah Perlembagaan Malaysia, kedudukan raja-raja Melayu adalah terjamin. Pasal 38 ayat (4) menyatakan bahwa Perlembagaan tidak boleh diubah, jika perubahan itu menyentuh pada kewenangan raja-raja Melayu, melainkan harus mendapatkan persetujuan dari Majelis Raja-Raja terlebih dahulu. Majelis Raja-Raja juga adalah satu badan yang memelihara hak istimewa orang Melayu, karena apapun perubahan kebijakan tentang kedudukan orang Melayu hendaklah

dibicarakan terlebih dahulu dalam majelis ini.

1. Kedudukan Raja-Raja dalam Konteks Agama Islam dan Perlembagaan

Perlembagaan Persekutuan menjelaskan bahwa raja merupakan ketua agama Islam dalam negeri baginda sebagaimana yang ditetapkan oleh

31

Abdul Aziz Bari, 2001. Perlembagaan Malaysia: Asas-Asas dan Masalah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

32

Lihat Perlembagaan Persekutuan, Bagian 4, Bab 2, Perkara 38.

33

Lihat Perlembagaan Persekutuan, Jadwal Ketiga, Jadwal Keempat dan Jadawal Kelima.

34

(54)

Perlembagaan Negeri terkait.35 Sedangkan Yang di-Pertuan Agong merupakan ketua agama Islam dalam negeri-negeri yang tidak memiliki raja seperti Perlembagaan Negeri pada negeri-negeri tersebut36 dan dalam Wilayah Persekutuan. Yang di-Pertuan Agong masih menjalankan tugas sebagai ketua agama Islam dalam negeri baginda.37

Ketentuan dalam Perlembagaan ini menunjukkan betapa agama Islam mempunyai kedudukan yang penting di sisi raja-raja. Dilihat dari segi sejarah, dalam persidangan Durbar pada tahun 1897, raja-raja membahas tentang agama Islam di tingkat Majelis Negeri dan tidak dibawa ke peringkat Majelis Rapat Persekutuan. Begitu juga sewaktu perundingan kemerdekaan, raja-raja menyetujui memberi pernyataan supaya menetapkan agama Islam sebagai agama persekutuan dimasukkan ke dalam Perlembagaan Persekutuan hanya sesudah raja-raja diberi jaminan bahwa penetapan tersebut tidak akan mengurangi kedudukan raja-raja sebagai ketua agama Islam di negeri masing-masing.

Perlembagaan Persekutuan menentukan raja-raja dapat bertindak sesuai dengan kewenangan dirinya dalam menjalankan tugas sebagai ketua agama Islam. Ini menunjukkan bahwa raja-raja tidak seharusnya bertindak sesuai pihak eksekutif dalam masalah agama Islam. Ini juga berarti bahwa

35

Perlembagaan Persekutuan, Perkara 3(2.).

36

Perlembagaan Persekutuan 3(3).

37

(55)

struktur Perlembagaan Persekutuan mengizinkan kelanjutan kekuasaan raja-raja dalam urusan agama Islam. Perlembagaan Negeri semua negeri yang memiliki raja ini menunjukkan bahwa raja-raja hendaklah bangsa Melayu dan beragama Islam. Perlembagaan Persekutuan pula mengharuskan orang Melayu sebagai orang yang beragama Islam. Pengertian ini jelas menunjuk-kan bahwa Melayu dan Islam merupamenunjuk-kan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan.

Pasal 153 Perlembagaan Persekutuan juga menegaskan bahwa Yang di-Pertuan Agong mempunyai tanggungjawab sebagai pelindung kedudukan istimewa orang Melayu.38 Berdasarkan ketentuan tersebut orang Melayu dalam Perlembagaan Persekutuan, Yang di-Pertuan Agong mempunyai tanggungjawab untuk melindungi agama Islam sebagai agama yang dianut oleh orang-orang Melayu. Majelis Raja-Raja39 bertindak sebagai sebuah badan undang-undang dalam beberapa perkara tertentu.40 Majelis Raja-Raja juga yang memilih, melantik dan memberhentikan Yang di-Pertuan Agong. Terkait dengan agama Islam, Majelis Raja-Raja mempunyai fungsi untuk menentukan perbuatan, adat dan agama Islam yang mencakup seluruh

38

Perlembagaan Persekutuan, Perkara 153(1) Cf. Abdul Aziz Hussin, Isntitusi Raja, h.. 64-65.

39

Penubuhan Majlis Raja-Raja diperuntukan oleh Perkara 38 Perlembagaan Persekutuan dan mengikut peruntukan Jadual Kelima Perlembagaan Persekutuan.

40

(56)

negara41 dan memilih tanggal permulaan puasa dan tanggal perayaan orang-orang Islam.42

Oleh sebab itu dalam Perlembagaan Persekutuan tidak ada seorang ketua agama Islam bagi seluruh persekutuan, penulis buku “Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia” karya Mahamad Arifin mengatakan beliau setuju dengan pandangan Abdul Aziz Bari bahwa Majelis Raja-Raja, meskipun tidak disebut secara jelas dalam Perlembagaan Persekutuan, ia juga merupakan penguasa tertinggi dalam berbagai bidang yang terkait dengan agama Islam di tingkat persekutuan.43

2. Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Raja-Raja

Keanggotaan Majelis Raja-Raja terlihat jelas perbedaanya ketika sebelum merdeka. Pada masa itu, Majelis Raja-Raja adalah sebuah perkumpulan yang eksklusif buat raja-raja Melayu saja. Mulai tahun1957, Perlembagaan Persekutuan telah mengikut sertakan ketua-ketua negeri yang bukan raja yakni Yang DiPertuan Negeri (pada masa itu masih gubernur)44 bagi Melaka dan Pulau Pinang. Apabila Malaysia dibentuk pada tahun 1963,

41

Perlembagaan Persekutuan, P

Referensi

Dokumen terkait

Flushing berbasis produk ketala po- hon pada kambing Kejobong mengakibatkan timbulnya birahi lebih awal dan birahi lebih lama; meningkatkan konsentrasi

Hasil pemberian ekstrak akar tuba dapat memberikan pengaruh pada ikan nila dengan hasil dosis 2ppm mempunyai nilai waktu yang sangat lama berbeda dengan dosis 4ppm, 6ppm, dan 8ppm

Dalam perhitungan Nilai Pasar Wajar Surat Berharga Negara yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana Terproteksi, Manajer Investasi dapat menggunakan metode harga perolehan yang

Kadar karbon arang sabut kelapa pada berbagai suhu ini lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif komersial merk India dan juga karbon aktif dari empulur batang

Dari hasil uji tersebut diketahui bahwa nilai signifikan lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat diketahui bahwa ada perbedaan harga diri lansia setelah diberikan pengajian

Primary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi pars flaksida, sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terjadi

Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Ada

Ini ter ter*asu *asuk k salu saluran ran ter teran,a an,ar r e! e!Bank Banking ing ,ang ,ang *e*u *e*ungki ngkinka nkan n nasa nasa0a$ 0a$ *elakukan transaksi 8ia