• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2. Tinjauan Pustaka"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1. Otitis Media Supuratif Kronis 2.1.1 Definisi

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus ataupun hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Helmi 2005).

2.1.2 Etiologi dan patogenesis OMSK

Ada beberapa faktor yang menjadi etiologi dari otitis media supuratif kronis antara lain : otitis media akut dan otitis media efusi, genetik dan ras, lingkungan, disfungsi tuba Eusthacius, refluks gastroesofagal, abnormalitas kraniofasial, defesiensi imun (Browning 2009).

Patogenesis dari OMSK tipe bahaya dengan kolesteatoma masih belum diketahui dengan pasti. Sejumlah kasus disebabkan oleh perforasi membran timpani yang berasal dari episode otitis media akut. Di sejumlah kasus, perforasi terkadang kering dan kasus lainnya dengan telinga berair. Pada kasus OMSK dengan tube timpanostomi, hal tersebut merupakan hasil superinfeksi dari mukosa telinga tengah, organisme dari telinga luar atau nasofaring (Lee 2008).

2.1.3 Klasifikasi OMSK

OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu :

• OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna) • OMSK tipe bahaya (tipe tulang=tipe maligna)

Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang

(2)

berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma sedangkan OMSK tipe bahaya biasanya perforasi marginal, atik ataupun dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya (Djaafar et al 2008).

Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).

2.2 Kolesteatoma 2.2.1 Definisi

Kolesteatoma dapat didefinisikan sebagai lesi non neoplastik dan destruktif yang mengandung lapisan keratin pada suatu kavitas yang dilapisi oleh epitel skuamus dan jaringan ikat subepitelial (Persaud 2007). Istilah kolesteatoma pertama sekali diperkenalkan oleh seorang ahli anatomi kebangsaan Jerman yang bernama Johannes Muller pada tahun 1838 dimana kata kolesteatoma berasal dari kata cole berarti kolesterol,

esteado berarti lemak, dan oma yang berarti tumor, yang bila digabungkan

berarti suatu tumor yang terbentuk dari jaringan berlemak dan Kristal dari kolesterol. Istilah lain yang digunakan antara lain pearl tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma oleh Craigie pada tahun 1891, epidermoid kolesteatoma oleh Causing pada tahun 1922 dan keratoma oleh Shuknecht pada tahun 1974. Bagaimanapun kolesteatoma berasal dari epitel skuamus keratinisasi dari membran timpani atau meatus auditori eksternal (Nunes 2010).

2.2.2 Epidemiologi

Insiden kolesteatoma berkisar antara 3 kasus dari 100.000 pada anak-anak dan 9 kasus dari 100.000 pada dewasa dan lebih dominan terhadap laki- laki dibanding perempuan (Nunes 2010).

(3)

Aquino pada penelitiannya menemukan selama 26 tahun (1962-1988) terdapat 1146 kasus kolesteatoma dengan melakukan prosedur mastoidektomi. Harker et al juga melaporkan insiden kolesteatoma sebesar 6 orang per 100.000 kasus di Iowa. Insiden lebih tinggi pada dekade ke-2 dan 3 dari kehidupan (Aquino 2012)

Padgham et al menemukan insiden tahunan sebesar 13 kasus dari 100.000 pertahun di Scotland (Aquino 2012).

Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma.

Aboet (2006) menemukan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan di THT RSUP H Adam Malik. Suryanti (2002) pada penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya menemukan 331 penderita otitis media supuratif Kronik yang berobat periode Januari sd Desember 2002. Penderita OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2009 – 31 Desember 2009 adalah sebanyak 47 penderita (Nora 2011). Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2010 sebanyak 119 pasien (Siregar 2013).

2.2.3 Patogenesis kolesteatoma

Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi kongenital atau acquired. Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Secondary

acquired cholesteatoma mengacu pada kolesteatoma muncul akibat

perforasi membran timpani (Chloe & Nason 2009).

1. Congenital cholesteatoma

Kista keratin bisa terakumulasi karena epitel yang dihasilkan tertutup. Pada umumnya, kista akan terbentuk sebagai kelainan pertumbuhan atau karena penyebab iatrogenik. Kista epidermal akan ditemukan pada daerah

(4)

medial dengan membran timpani yang utuh. Menurut Derlaki dan Clemis (2005), kolesteatoma dikatakan kongenital apabila memiliki syarat sebagai berikut yakni:

• Massa putih medial dengan membran timpani utuh. • Pars tensa dan pars plaksida normal.

• Tidak ada riwayat telinga berair, perforasi ataupun prosedur otologik sebelumnya.

• Kemungkinan bahwa terjadinya otitis media tidak bisa disingkirkan sebagai kriteria ekslusi dari kolesteatoma kongenital ini karena sangat jarang anak tidak memiliki episode dari otitis media pada lima tahun pertama kehidupannya.

2. Acquired cholesteatoma

Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi pars flaksida, sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi membran timpani, biasanya pada kuadran posterior superior telinga tengah (Chole & Nason 2009) Bentuk sisa, formasi epidermoid yang berasal dari kolesteatoma kongenital mungkin berasal dari epitimpanum anterior. Tidak seluruh kolesteatoma kongenital berlokasi di daerah anterosuperior dan tidak semua ditemukan menjadi kista epitelial seperti adanya invaginasi epitel skuamosa dari liang telinga atau masuknya elemen skuamosa pada cairan amnion (Browning 2009).

Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat yakni:

A. Teori invaginasi

Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima sebagai salah satu mekanisme primer dalam pembentukan atik

(5)

kolesteatoma. Retraction pockets dari pars flaksida terjadi karena tekanan negatif telinga tengah dan kemungkinan disebabkan inflamasi berulang. Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat dibersihkan dari reses kemudian terbentuk kolesteatoma. Asal dari

retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba

Eustachius atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang tahan terhadap pergerakan, biasanya sebagai sumber kolesteatoma. Sebagai hasil dari tipe kolesteatoma ini adalah defek yang terlihat pada kuadran posterosuperior membran timpani dan erosi dari dinding liang telinga yang berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan akumulasi keratin dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi matriks keratin, membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan proliferasi epitel (Chole & Sudhoff 2005 ; Chole & Nason 2009).

B. Teori invasi epitel

Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain, yang di sebut dengan contact inhibition (Chole & Nason 2009).

Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa cytokeratin (CK 10), yang merupakan intermediate

filament protein dan marker untuk epitel skuamosa,ditemukan pada

epidermis liang telinga matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab pertumbuhan epidermal dari pada perforasi sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan struktur dinding tulang liang telinga (Chole & Nason 2009).

(6)

Palva dan peneliti lain menunjukkan perubahan histologi ini pada tulang temporal manusia. Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang temporal dapat terjadi dari mekanisme ini. Fraktur liang telinga menyebabkan pertumbuhan epitel berkeratinisasi dengan mekanisme kontak (Chole & Sudhoff 2005).

Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).

C. Teori hiperplasia sel basal

Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars flasida dapat menginvasi ruang sub epitelial normal yang memiliki akses untuk membentuk kolesteatoma di atik (Chole & Nason 2009).

Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan subepitelial dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang menginvasi lamina propria, basal lamina (basement membrane) menjadi berubah. Huang dan Masaki meneliti teori ini dengan memperlihatkan bahwa pertumbuhan epitel membran timpani dapat diinduksi dengan meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit. Kerusakan basal lamina menyebabkan invasi kerucut epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan membentuk mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan beberapa tipe kolesteatoma, termasuk yang terbentuk di belakang membran timpani yang utuh. Mikrokolesteatoma membesar dan mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani, meninggalkan ciri khas kolesteatoma atik (Chole & Nason 2009).

Perubahan diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks kolesteatoma telah diteliti pada beberapa penelitian. Distribusi abnormal dari marker diferensiasi epidermal, seperti filaggrin dan involucrin, c-jun,

(7)

p53 protein, peningkatan reseptor epidermal growth factor terlihat dalam

matriks kolesteatoma telinga tengah. Peningkatan cytokeratin (CK 13 dan

16), di mana marker diferensiasi dan hiperproliferasi juga ditemukan. Kim

dkk mendemonstrasikan peningkatan ekspresi cytokeratin CK 13 dan 16 pada area perifer pars tensa yang diinduksi oleh kolesteatoma oleh ligasi liang telinga dan area perifer serta sentral pars tensa yang diinduksi kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius. Peningkatan ekspresi

human intercellular adhesion molecule-1 dan –2 terlihat yang memiliki

peran terhadap migrasi sel ke jaringan. Adanya heat shock protein 60 dan 70 menunjukkan proliferasi dan diferensiasi aktif dari keratinosit basal yang berhubungan dengan kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005).

Terdapat berbagai laporan bahwa respon imun terlibat dalam derajat hiperproliferasi epitel kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan reaksi imun dan menunjang proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL-1α (Chole & Sudhoff 2005).

D. Teori Metaplasia Skuamosa

Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole & Nason 2009).

2.2.4 Inflamasi dan proliferasi sel

Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium dan integritas struktural. Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang

(8)

bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan

Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal,

osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu

osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.

Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6,

Tumor Necrosis Factor–alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui

meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009).

2.2.5 Gejala dan tanda

Gejala khas dari OMSK adalah telinga berair berkepanjangan melalui membran timpani yang tidak utuh lagi. Telinga biasanya tidak terasa sakit kecuali jika bersamaan dengan otitis eksterna ataupun jika komplikasi intrakranial atau temporal. Pasien juga mengeluhkan telinga berair. Pemeriksaan otoskopi biasanya menemukan perforasi membran timpani dengan mukosa telinga tengah yang sedikit edema. Pada OMSK tipe bahaya, juga sering disertai dengan adanya jaringan granulasi pada sekitar daerah perforasi (Lee 2008)

(9)

Menurut Djaafar (2007), tanda- tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah : 1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler

2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah.

3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum 4. Sekret berbau nanah dan berbau khas

5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada rontgen mastoid

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis OMSk ditegakkan dengan beberapa tahapan (Lee et al, 2007; Chole & Nason 2009 ; Dhingra 2010, Vercryysse et al. 2010):

1. Anamnesis

Penyakit ini datang dengan perlahan –lahan dan gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang berbau busuk, kadangkala disertai jaringan granulasi ataupun polip, maka sekret yang keluar berupa darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga berdarah.

2. Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi menunjukkan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.

3. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan foto polos proyeksi schuller berguna untuk menilai kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT Scan dapat lebih efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.

4. Pemeriksaan audiologi

Audiogram nada murni digunakan untuk menilai hantaran udara dan tulang, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.

(10)

Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold pada kasus untuk memperbaiki pendengaran.

5. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotika yang tepat.

2.2.7 Penatalaksanaan

Prosedur operasi untuk pembedahan kolesteatoma:

Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright & Valentine 2008).

Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal

wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright &

Valentine 2008).

a. Canal wall down procedures

Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Dhingra 2007; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

b. Intact canal wall procedures

Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum.

Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired

(11)

complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dimasuki.

Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan “second look operation” setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009).

2.2.8. Komplikasi otitis media kronis dan kolesteatoma Komplikasi dapat dibagi atas : ( Dhingra 2010)

A. Komplikasi Intratemporal • Petrositis

• Paralisis nervus fasialis • Labirinitis • Mastoiditis B. Komplikasi intrakranial • Abses ekstradural • Abses subdural • Meningitis

• Abses otak otogenik

• Tromboplebitis sinus lateralis • Hidrosefalus otikus

2.3 Stadium Kolesteatoma

Pembagian stadium pada kolesteatoma secara berguna untuk pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi timpanomastoidektomi yang dipublikasikan. Pada tahun 1999, Saleh & Mills mengajukan stadium kolesteatoma berdasarkan perluasan lesi, keadaan osikel dan komplikasi pre operasi. Hal ini menunjukkan hubungan antara stadium penyakit, kerusakan osikel dan terjadinya komplikasi. Pembagian stadium pada kolesteatoma berguna untuk

(12)

pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi timpanomastoidektomi yang dipublikasikan (Saleh & Mills 1999).

A. Berdasarkan lokasi kolesteatoma, Saleh & Mills (1999) membagi stadium kolesteatoma menjadi:

S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal

S3 : Bila mengenai tiga lokasi S4 : Bila mengenai empat lokasi

S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi.

Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi Saleh dan Mills membagi stadium kolesteatoma menjadi:

C1 : Bila tidak terdapat komplikasi C2 : Bila terdapat komplikasi

C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih (Nunes et al. 2009).

B. Menurut Japan Otological Society (JOS) stadium kolesteatoma primer terdiri atas: (Ikihara et al 2011)

Stadium I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah atic Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi daerah atic

Stadium III : Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan sedikitnya satu komplikasi di bawah ini:

• Kelumpuhan saraf fasialis • Komplikasi intrakranial • Fistel labirin

• Defek luas pada kanal telinga luar

• Ganguan pendengaran sensorineural luas • Adhesi total pada membran timpani

C. Berdasarkan derajat dektruksi tulang, kolesteatoma terbagi atas : (kuczkowski et al 2011)

(13)

• Mild : erosi dari skutum dan osikel

• Moderate : destruksi dari tegmen dan seluruh osikel

• Severe : destruksi dari seluruh osikel, labirin tulang, kanalis fasialis dan liang telinga luar.

Sedangkan derajat invasi kolesteatoma terdiri atas 3 kelompok yaitu: • Derajat 1 : melibatkan 1 area (epitimpanum atau mesotimpanum) • Derajat 2: melibatkan 2 area (epitimpanum atau mesotimpanum dan

antrum

• Derajat 3 : mesotimpanum, epitimpanum dan antrum

2.4. Ki-67

Proliferasi sel adalah dasar yang berperan penting terhadap proses biologis yang dikontrol oleh mekanisme yang sangat serasi. Jaringan regulasi kompleks akan bertindak sebagai mediasi pada embrio dan perkembangan normal serta bertanggung jawab terhadap respon sistemik berupa inflamasi ataupun proses infeksi. Kemajuan besar terhadap mekanisme dan regulasi dari siklus sel telah diterima akhir – akhir ini. Sejumlah siklus sel yang dihubungkan dengan sejumlah protein tidak hanya bersifat sementara pada bagian siklus sel tetapi keberadaannya tidak selalu dihubungkan dengan sejumlah siklus sel (Schluter 1993).

Antigen Ki-67 pertama sekali diidentifikasi karena reaksifitasnya terhadap antibodi Ki-67. Protein ini adalah protein inti dan tidak hanya dihubungkan dengan proliferasi sel somatik tapi juga diintegrasikan dengan jaringan regulasi protein yang menjalankan siklus pembagian sel. Sejak protein Ki-67 diaktifkan pada fase aktif dari siklus sel ( G1,S,G2 dan mitosis tetapi tidak aktif pada fase istirahat (G0), hal ini menunjukkan bahwa Ki-67 merupakan marker proliferasi dihubungkan dengan rangkain penyakit. Gen Ki-67 berasal dari isoform dua protein yang dihasilkan oleh penyambung alternatif dari prekusor M-RNA. Kedua isoform dengan 320 dan 359 kDa dikarakteristikan oleh sejumlah tempat posforilasi seperti protein kinase c, casein kinase II, tyrosin kinase dan cdc2 kinase. Fosforilasi dan

(14)

defosforilasi dari protein Ki-67 dikendalikan oleh kunci regulasi cyclinB/cdc2 yang paralel untuk transit dari mitosis sel (Tian 2010 ; Schluter 1993).

Ekspresi KI-67 mencerminkan keadaan fisiologis tertentu dari sel. Walaupun fungsi yang tepat dari protein Ki-67 selama proliferasi sel masih sulit dijelaskan. Baru- baru ini, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sintesis DNA dapat dihambat oleh komplimenter oligodeoksinukleotida dari mRNA Ki-67 (Tian 2010).

Sejumlah penelitian yang menggunakan Ki-67 selain pada kolesteatoma juga sering digunakan pada beberapa tipe kanker seperti karsinoma, sarkoma, limfoma dan glioma (Torp 2002).

2.5. Ki-67 terhadap kolesteatoma

Kolesteatoma dianggap memiliki karakteristik proliferatif dan sejumlah penelitian telah menguraikan mekanisme proliferatif dari kolesteatoma (Chae et al, 2000). Meskipun telah banyak penelitian berfokus pada mekanisme pembentukan kolesteatoma, patogenese yang tepat dari penyakit ini belum juga berhasil diungkapkan.

Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor

Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblast

memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL. Jeong et al

(15)

(2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis.

Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factor– alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoclastogenesis (Chole & Nason 2009). Proses inilah meningkatkan

aktivitas proliferatif sel yang dinilai dengan antigen Ki-67.

Sikka et al (2011) di India melakukan penelitian untuk mendeteksi proliferasi kolesteatoma dibandingkan kulit normal dengan menggunakan Ki-67 sebagai marker dan menemukan kolesteatoma memiliki overekspresi yang tinggi dibandingkan kulit normal.

Kuczkowski et al (2007) di Polandia melakukan penelitian untuk menganalisis ekspresi Ki-67 pada kolesteatoma telinga tengah dengan jumlah sebanyak 51 spesimen mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 pada 21 sampel (41,5%) dan menyimpulkan bahwa Ki-67 memiliki peran penting pada proliferasi sel.

Olsweska et al (2006) di Polandia menemukan penelitian terhadap 29 pasien dengan kolesteatoma dan menemukan ekspresi kolesteatoma meninggi sekitar 22% dibanding kulit yakni sekitar 7 %.

Raynov et al (2005) di Bulgaria melakukan penelitian terhadap 5 pasien dengan kolesteatoma dan menemukan bahwa ekspresi Ki-67 terjadi pada setiap fase sel, tetapi tidak terjadi pada fase istirahat.

Huisman et al (2003) di Belanda menemukan ekspresi positif Ki-67 pada pasien dengan kolesteatoma dan lebih dominan ditemukan di daerah basal dan parabasal epitel.

Chae et al (2000) di Korea melakukan penelitian untuk mendeteksi ekspresi pada Ki-67 pada 27 sampel dan mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 lebih tinggi pada kolesteatoma di epitel (36, 6% ± 10,8%) dibandingkan pada liang telinga (23,8% ± 4,0%). Peneliti menemukan

(16)

terdapat perbedaan yang signifikan antara ekpresi kolesteatoma pada telinga tengah dan liang telinga.

2.6 Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran timpani , kavum timpani, tuba Eustachius dan prosesus mastoid (Gacek 2009).

2.6.1 Membran timpani

Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum nasi. Tinggi 9-10 mm, lebar 8-9 mm dan ketebalan rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat sudut 45º dari dataran sagital dan horizontal. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya (Dhingra 2010).

Membran timpani mempunyai tiga lapisan :

1. Stratum kutaneum(lapisan epitel) berasal dari liang telinga 2. Stratum mukosum(lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani 3. Stratum fibrosum (lamina propia) yang letaknya antara stratum

kutaneum dan mukosum pada pars tensa (Dhingra 2010).

Secara anatomi membran timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars tensa dan pars flaksida atau membrane shrapnell yang letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Antara pars tensa dan pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : plika maleolaris anterior (Lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (Dhingra 2010)

(17)

Gambar. 2.1 Membran timpani (Dhingra 2010)

2.6.2 Kavum Timpani

Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal. Kavum timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral , dinding medial, dinding anterior, dinding posterior.

Atap kavum timpani dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap aditus ad antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa kranii media. Lantai kavum timpani juga merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang- kadang secara kongenital tidak sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke telinga tengah dan hanya dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan arteri karotis. Juga terdapat tuba Eustachius dibagian bawah dan kanalis muskulus tensor timpani di bagian atas. Dinding posterior berbatasan dengan sel- sel mastoid muncul sebagai penonjolan tulang yang disebut piramid. Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran yang disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fossa kranii posterior dan sinus sigmoid. Dinding medial

(18)

berbatasan dengan labirin. Tampak tonjolan promontorium yang merupakan dasar koklea. Foramen ovale terfiksasi pada kaki stapes. Diatas foramen ovale terdapat kanalis saraf fasialis. Tulang penutupnya kadang secara kongenital mengalami dehisensi dan saraf fasialis lebih terekspos yang membuat lebih terangsang infeksi. Dinding lateral berbatasan dengan membran timpani dan liang telinga luar.

Kavum timpani terdiri dari tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus,stapes), dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius juga saraf korda timpani, saraf pleksus timpanikus (Dhingra 2010).

Gambar 2.2. Dinding dari telinga tengah (Dhingra 2010)

2.6.3 Tuba Eustachius

Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah yang bertanggung jawab terhadap proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan atmosfir. Stabilnya tuba Eustachius disebabkan karena adanya konstraksi muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat

(19)

mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa dan epitel saluran nafas (Gacek 2009).

2.6.4 Prosesus mastoid

Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal (Gacek 2009).

Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater, sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Gacek 2009).

2.6.5. Vaskularisasi kavum timpani

• Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang dapat berasal dari a. Aurikularis posterior atau a. Oksipital. A. Timpani Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang – cabang kecil arteri karotis eksterna. Cabang – cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah:

(20)

posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani

• Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang asedens a karotis eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan cabang timpani timpani n IX lalu mendarahi terutama bagian inferior kavum timpani

• Arteri petrosus superfisialis dan arteri timpani superior yang merupakan cabang-cabang a. Meningea media yang masuk ke kavum timpani masing masing melalui lubang kecil di tegmen timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian superior kavum timpani

• Arteri karotimpani yang merupakan satu satunya cabang berasal dari arteri karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus dengan telinga tengah.

Aliran vena jalan sering dengan arterinya untuk bermuara pada sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi 2005)

2.7 Imunohistokimia

Pemeriksaan imunohistokimia dapat 33ntibo informasi mengenai kandungan berbagai 33ntibo molekul didalam sel normal maupun sel neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang terkandung dalam sel) dengan 33ntibody spesifiknya yang diberi label chromogen. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur pembuatan irisan jaringan (33ntibody33) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia (Hardjolukito & Endang 2005)

Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan petanda-petanda 33ntibody tersebut karena 33ntibody mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin histopatologik. Namun demikian perlu

(21)

diperhatikan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian hasil pulasan (Hardjolukito & Endang 2005).

2.7.1 Metode pewarnaan imunohistokimia

Prinsip dari metode imunohistokimia adalah perpaduan antara reaksi imunologi dan kimiawi, dimana reaksi imunologi ditandai adanya reaksi antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi ditandai adanya reaksi antara enzim dengan substrat (Sugiana & Ketut 2005)

Pemeriksaan imunohistokimia dimaksudkan untuk mengenali bahan spesifik tertentu didalam jaringan dengan menggunakan antibodi dan antibodi deteksi yang memungkinkan untuk mengenali bahan spesifik tersebut secara visual (Sugiana & Ketut 2005).

Dengan diketahuinya bahan spesifik tersebut maka dokter dapat menentukan dengan lebih tepat histogenesis dari lesi tertentu dan prognostiknya (Sugiana & Ketut 2005)

Antibodi bereaksi terhadap determinan dari antigen yang berada dalam bahan spesifik yang diperiksa. Antibodi-antibodi ini akan berikatan dengan bahan dalam jaringan, dan antibodi-antibodi ini diketahui dengan menggunakan antibodi-antibodi lain yang dirancang untuk mengenal immunoglobulin tersebut dari spesies-spesies yang terekspos dengan bahan asli (Sugiana & Ketut 2005).

Antibodi-antibodi penentu (anti-antibodi dari spesies lain) ini ditempeli (tagged) dengan beberapa molekul pelapor (reporter molecule) misalnya fluorecein atau enzim yang dapat mengkatalisa reaksi selanjutnya menuju produk yang dapat dilihat (Sugiana & Ketut 2005).

(22)

Cara pewarnaan imunohistokimia ; (Sugiana & Ketut 2005) 1. Metode langsung (direct) :

Pada metode ini antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu enzim.

2. Metode tidak langsung (indirect)

Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel dengan suatu enzim. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi primer. Namun pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan antibodi yang dilabel enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang dilabel adalah antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect dikenal dengan sebutan antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi sekunder dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung artinya antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu enzim. Sedangkan secara tidak langsung artinya pelabelan antibodi sekunder dengan suatu enzim adalah menggunakan suatu bahan perantara (kombinasi) seperti : biotin-streptavidin atau biotin-avidin.

(23)

2.8. Kerangka Teori

Gambar 2.3. Kerangka teori

• Usia • Jenis kelamin • Lama keluhan • Derajat destruksi tulang • Komplikasi

Otitis Media Supuratif Kronik Tipe bahaya /

Kolesteatoma Inflamasi Proliferasi Ki-67 Peningkatan aktivitas osteoklas dalam kolesteatoma Degradasi ekstraseluler matriks Bakteri Komplikasi Destruksi tulang

(24)

Keterangan :

= Variabel Penelitian

Pada pasien OMSK tipe bahaya atau dengan kolesteatoma akan terjadi akumulasi sel debris dan keratinosit yang diinvasi oleh sel-sel sistem imun termasuk sel Langerhans, sel-T dan makrofag. Proses ini distimulasi oleh proliferasi epitel yang tidak seimbang, diferensiasi dan maturasi keratinosit dan pemanjangan apoptosis. Migrasi sel digantikan oleh hyperplasia dalam kondisi inflamasi. Inflamasi yang mendorong proliferasi epitel behubungan dengan peningkatan ekspresi enzim litik dan sitokin termasuk asam arakidonat, Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor Activator Of Nuclear Factor Kappa-β Ligand (RANKL), Interleukin-1, 2 dan 6 (IL-1, IL-2, IL-6), Matrix Metalloproteinase-2 dan 9 (MMP-2, MMP-9) dan Tumor Necrosis Factor Alpha yang sebagian diinduksi oleh antigen bakterial termasuk endotoksin seperti lipopolisakarida. Sel mast banyak terdapat pada jaringan kolesteatoma dan berkontribusi terhadap inflamasi kronis. Sel efektor yang melepaskan sitokin temasuk osteoklas yang menyebabkan degradasi matriks tulang ekstraselular dan hiperproliferasi, sehingga terjadi erosi tulang. Aktivitas proliferasi dari kolesteatoma inilah yang dinilai dengan antigen Ki-67. Derajat destruksi tulang berdasarkan keparahannya dibagi dalang tingkat ringan, sedang dan berat

(25)

Kerangka konsep

Gambar 2.4. Kerangka konsep • USIA • JENIS KELAMIN • LAMA KELUHAN • KOMPLIKASI • DERAJAT DESTRUKSI TULANG KOLESTEATOMA Ki-67 Mild moderate Severe Derajat destruksi tulang

Gambar

Gambar 2.2.  Dinding dari telinga tengah (Dhingra  2010)
Gambar 2.3. Kerangka teori
Gambar 2.4. Kerangka konsep

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan PPL ini memiliki tujuan untuk pelaksanaan program individu serta guna mendapatkan suatu pengalaman mengenai proses pembelajaran dan metode pembelajaran, serta proses

Berita yang terkait dengan garis atau area ditampilkan dalam bentuk chartlet untuk membantu pelaut mengetahui posisi suatu objek, Contoh : Peletakan kabel laut

Garis singgung lingkaran adalah garis yang me motong lingkaran tepat pada satu titik dan titik tersebut dinamakan titik singgung lingkaran.. Menentukan gradien garis

Jalan keluarnya adalah merealisasikan stimulus-stimulus itu dalam program komputer dengan menggunakan piranti lunak (software) yang mudah dipelajari sehingga dengan

129 Jurnal Pengabdian Mitra Masyarakat (JPMM) Vol. Pemateri pengabdian kepada masyarakat sedang menjelaskan tentang produk – produk wirausaha kepada siswa – siswi SMK Karya

Farmasist berlisensi, teknisi berlisensi, atau profesional yang terlatih menelaah ketepatan setiap resep atau pesanan obat, obat yang baru saja diresepkan atau dipesan, atau bilamana

Nearest Neighbor adalah pendekatan untuk mencari kasus dengan menghitung kedekatan antara kasus baru dengan kasus lama, yaitu berdasarkan pada pencocokan bobot dari

Kejuaraan Nasional ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi atlet arung jeram nasional sekaligus ajang perlombaan bagi tim-tim yang mewakili seluruh Pengurus Daerah FAJI di