• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Pandangan Masyarakat Desa Cigugur Mengenai Kerukunan

a. Kerukunan Antar Umat Beragama Menurut Tokoh Sunda Wiwitan

Apabila kita berbicara mengenai Sunda Wiwitan tentulah kita bisa sedikit menafsirkan bahwa ini sebuah aliran kepercayaan masyarakat atau dahulu sering disebut dengan aliran kebatinan yang sempat menjadi polemik dalam kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia. Pada mulanya dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2 di Magelang, ketika para tokoh kebatinan mulai melancarkan cita-cita ilmu kebatinan, kritik tajam datang dari kelompok matrealisme dan kiri. Sekarang, kita mengenal bahwa kritik itu datang dari kelompok agama, terutama Islam. Kemudian dengan semakin jelasnya kehadiran kebatinan sebagai kekuatan spiritual baru yang terorganisir, mulailah terjadi keretakan yang sungguh-sungguh, sehingga Departemen Agama merasa perlu mendirikan lembaga PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) pada tahun 1954. Selanjutnya pada tahun 1955, organisasi sosial kebatinan dikukuhkan menjadi Badan Kongres Kebatinan Seluruh

Indonesia. Badan inilah yang menyelenggarakan pertemuan-pertemuan tahunan. Sesudah tahun 1966 kedudukan kebatinan semakin mantap, dan dalam bentuknya yang terakhir mendapat legitimasi dengan adanya suatu direktorat yang secara khusus ditugaskan dalam pembinaan warga, Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya badan ini, pemilihan antara agama dan kebatinan atau budaya spiritual, menjadi semakin jelas. Begitupun, keributan masih tetap ada, terutama yang menyangkut soal perkawinan, KTP, dan sebagainya.6

Ketika penulis bertanya mengenai kerukunan agama menurut penganut Sunda Wiwitan beliau mengatakan bahwa sebagai manusia mempunyai rasa cinta kasih dengan sesama. Manusia diciptakan beragam merupakan suatu kodrat dari Sang Maha Pencipta karena setiap bangsa mempunya rupa, bahasa, adat dan kebudayaannya. Nah keadaan seperti ini bukan dibentuk, tetapi suatu yang muncul bersamaan dengan adanya bangsa itu sendiri, karena ini merupakan suatu kodrat pemahaman dan pelestarian.7

Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat di Desa Cigugur sangatlah harmonis meskipun berbeda-beda keyakinan. Hal ini karena masyarakat Desa Cigugur mempunyai landasan filosofis dasar yang sama. Yang pada akhirnya meskipun berbeda-beda dalam hal keyakinan, kita tidak mempermasalahkan perbedaannya itu, tapi bagaimana kita saling pengertian satu sama lain.

Agama atau keyakinan yang kita yakini itu harus benar-benar kita pelajari dengan sungguh-sungguh. Dengan kesungguh-sungguhan itu kita akan mengenal aturan, tentunya aturan yang sesuai dengan tuntunan yang diyakininya. Karena dari apa yg kita yakini itu tidak ada yang mengharuskan untuk menghalalkan hal-hal yang tidak sesuai dengan

6

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 28-29

7

Wawancara dengan Bapak Kento Subarman, di kediamannya, Jalan Raya Cigugur Cipager pada tanggal 3 Juli 2013

sifat-sifat kemanusiaan. Pasti setiap agama atau keyakinan mengajarkan bagaimana kita saling sayang menyayangi.

Kita harus mensyukuri apa yang Tuhan telah berikan. Sifat mensyukuri itu sendiri bukan hanya dengan ucapan, tapi wujud nyatanya bagaimana kita saling berbagi, berbagi rasa, berbagi rizki dan saling tolong menolong, seperti halnya gotong royong. Gotong royong ini tidak melihat latar belakang keyakinan atau suku.

Apabila melihat konflik yang dilatar belakangi oleh SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) beliau merasa perihatin, kenapa semua itu bisa terjadi. Karena menurut pandangannya bahwa ketenangan itu hanya akan dapat kita rasakan atau terbangun jika satu sama lain saling menghormati. Dengan kondisi konflik seperti itu baik yang kuat maupun yang lemah tidak akan merasakan kenyamanan.

Konflik seperti itu dilatar belakangi oleh pemahaman yang keliru terhadap keyakinan yang mereka percayai. Karena masalah yang sangat sederhana sekali ialah bahwa kita manusia sama-sama memiliki rasa dan bisa merasa. Tapi untuk merasakan terkadang seseorang itu tidak mengindahkan. Sedangkan yang utama selain kita bisa merasa kita juga harus bisa merasakan. Misalkan, apabila kita dicubit orang lain maka kita akan merasa sakit, nah oleh karena itu kita tidak boleh mencubit orang lain, imbuh beiau.

Selain itu juga ada yang namanya fanatisme berlebihan. Seseorang merasa bahwa agamanya lah yang paling baik dan agamanya lah yang satu-satunya agama Tuhan. Ia beranggapan bahwa “saya ini seorang pembela Tuhan, karna agama saya ini agama tuhan makanya

saya membela tuhan”. Tapi jika berbicara membela Tuhan, sebetulnya

kita sudah merendahkan Tuhan, Tuhan itu kita akui maha besar, maha segalanya, mengapa kita yang lemah itu harus membelanya. Membela Tuhan itu bukan dengan otot, tapi menjunjung tinggi nama baik Tuhan. Tuhan mengharapkan kita sebagai mahluk ciptaannya agar bisa bersikap, berprilaku dan berinteraksi dengan baik kepada sesama ciptaannya.

Disinilah kita kembali kepada pemahaman yang terkadang akhirnya salah memaknai, sedangkan jika kita cermati atau kita maknai dari sebuah konflik, sebagian pihak yang teraniaya itu sama-sama ciptaan tuhan. Dengan kondisi seperti ini apakah Tuhan tidak sakit atau tidakmarahketika melihat sesama ciptaannya saling bermusuhan?, mislkan contoh seperti ini, coba kita tanyakan kepada orang tua kita jika melihat anak-anaknya bertengkar. Pasti mereka akan merasa sedih dan prihatin ketika melihat anak-anaknya tidak rukun. Akan tetapi orang tua akan merasa bangga dan terhormat jika anak-anaknya saling rukun dan damai. Begitulah analogi sederhananya, Orang tua kita anggap sebagai Tuhan dan anak-anaknya sebagai ciptaan Tuhan. Tuhan tidak menghendaki ciptaannya saling membunuh atau berkonflik.

Setiap agama itu sama, yaitu sama-sama mengharapkan penganutnya menjadi manusia yang baik. Tapi agama itu berbeda jika kita lihat dari metode peribadatan atau akidah. Menurut ajaran yang beliau yakini, untuk melaksanakan kehidupansebagai insan yang berketuhanan, kita harus kembali kepada tiga aspek yang harus dilakukan, yaitu aspek teologis, aspek sosial dan aspek kultural.Secara aspek teologis bahwa kita harus kembali sesuai dengan apa yang kita yakini. Kemudian aspek sosial, bahwa manusia hidup bermasyarakat satu samalain saling membutuhkan, untuk tidak terjadi pertentangan, maka kita harus satu pemersatu yaitu kembali kepada sifat kemanusian itu sendiri. Maka dengan ini sikap saling hormat menghormati akan muncul secara sendirinya. Yang terakhir aspek kultural, kita harus menyadari bahwa tiap-tiap daerah mempunyai kebiasaan atau kehidupan yang berbeda.

Beliau selalu menekankan kepada anaknya untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimanapun kita berada, mengajarkan kebaikan dan selalu mengkontrol ucapan dan tingkah laku kita. Sikap seperti ini akan mengantarkan kepada kehidupan yang damai,

aman dan rukun. Kemudian beliau berharap kerukunan yang telah terjalin sekian lama di Desa Cigugur ini harus tetap kita jaga dan pertahankan.

b.Kerukunan Antar Umat Beragama Menurut Tokoh Islam

Konsep kerukunan umat beragama dalam ajaran agama Islam menurutnya, yaitu hidup saling bersama-sama, saling menjalankan ibadahnya sendiri-sendiri tanpa memaksakan pola agama tertentu. Lakum

Dinukum Waliyadin “Untukmu agamamu, dan untukulah agamaku”

artinya kita tidak mengusik agama mereka dan mereka tidak mengusik agama kita, entah itu minoritas maupun, mayoritas. Dalam konteks Indonesia untuk konsep ini sangat bisa sekali diterapkan karena Ajaran Islam sendiri sangat menghargai perbedaan.

Toleransi menurut pandangan beliau adalah bagaimana mensosialisasikan perbedaan-perbedaan disetiap agama yang kita yakini.8 Dengan mensosialisasikan perbedaan-perbedaan itu maka orang lain diluar agama kita akan mengetahui batasan-batasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap diri kita. Dengan ini munculah suatu keterbukaan diantara pemeluk agama yang kemudian sikap saling menghormati dan menghargai akan terjadi sehingga kerukunan antar pemeluk agama itu benar-benar terwujud.

c. Kerukunan Antar Umat Beragama Menurut Tokoh Kristen

Beliau mengatakan bahwa keyakinan dan ketaatan seseorang terhadap keyakinanya itu apabila dijalankan dengan benar maka akan mendatangkan keserasian ketika berhubungan dengan orang lain. Kita harus menyadari bahwa perbedaan keyakinan ini janganlah dijadikan suatu penghalang untuk kita bisa hidup rukun dan berdampingan.9

Mengenai Konsep kerukunan antara Umat beragama dalampandangan Kristen, dalam Alkitab sndiri pada intinya adalah menjalankan kasih yang diajarkan Jesus atau Isa Almasih. Menurutnya kasih itu adalah kerendahan hati, kedamaian, kebaikan, dan kesetiaan.

8

Wawancara dengan Bapak Aang , di Masjid, desa Cipager, tanggal 1 Juli 2013

9

Konsep ini tentunya bisa diterapkan di Indonesia. Karena Kasih yang dimaksud adalah bagaimana kita kasih kepada Tuhan Allah dengan segenap jiwa, dan kekuatan akal, dan kasihilah sesama manusia, itulah hukum kasih. Kelebihan dari konsep ini yaitu kerendahan hati, hal ini mencakup keseluruhan. Menurutnya dalam konsep ini tidak ada kelemahan, itu tergantung bagaimana manusia memahami dan menjalankannya.

Dari pengalaman sehari-hari tersebut, beliau menganggap bahwa kerukunan bukanlah suatu proses yang datang dari suatu aturan yang “dipaksakan” tetapi terjadi melalui suatu proses yang berlangsung secara alamiah. Hal ini mungkin tercipta ketika ada saling menerima di dalamnya. Itu berarti yang utama untuk diwujudkan adalah biarkan masyarakat berinteraksi secara wajar dan alamiah tanpa “diintervensi” apalagi “diintimidasi” oleh aturan-aturan ataupun pembatasan-pembatasan yang bersifat diskrimitatif. Menurut beliau, hal itu mungkin untuk dicapai ketika orang menghayati agama sebagai sebuah relasi yang eksistensial dengan yang illahi, dan bukan sekedar rumusan dogma ataupun sistem ritual. Artinya: agama adalah masalah bagaimana seseorang menghayati “adanya” Sang Illahi, dan “kehendakNya” di dalam hidup manusia sehari-hari. Dogma, Kitab Suci, ritual, bukanlah hakekat agama itu sendiri; tetapi cara orang merayakan kehadiran dan pertemuannya dengan Sang Illahi yang pada gilirannya akan memberi arah dan makna bagi hidup sehari-harinya.

Dengan pemaknaan seperti ini kata beliau, orang tidak persoalan hidup keagamaan tidak akan dipahami secara dangkal. Misal: orang Kristen tidak akan kehilangan kekristenannya hanya karena bergaul dengan umat Islam atau pun yang lainnya. Demikian pula sebaliknya, umat Islam tidak perlu takut kehilangan keislamannya hanya karena bersalaman ataupun mengucapkan selamat Natal kepada rekannya yang merayakannya.

Penghayatan agama yang semacam ini akan menempatkan agama pada tatarannya yang mulia, karena agama membuat kebaikan Sang Illahi

diwujudkan melalui relasi yang baik antar manusia. Sebaliknya, ketika agama membuat relasi antar manusia menjadi rusak, bukan hanya agama ditempatkan pada posisi yang “rendah”, tetapi membuat “kasih” dan “kebaikan” Sang Illahi menjadi tidak nampak dan terasa dalam hidup sehari-hari. Agama menurutnya, bukanlah realitas yang terpisah dari hidup sehari-hari penganutnya, melainkan justru memberi arah dan makna pada apa yang manusia lakukan dalam hidup sehari-harinya. Dalam ajaran beliau, pada prinsipnya tentang kerukunan Umat Beragama, “Kami meyakini apa yang kami Imani dan kami tidak menghakimi apa yang mereka Imani”. Artinya menjalankan apa yang kami yakini, dan mereka menjalankan apa yang diyakini mereka, tanpa harus mengganggu atau menghakimi ajaran mereka. Tentunya konsep ini bisa diterapkan di Indonesia karena konsep dasar agama kami menganai keimanan berbicara relasi dengan Tuhan, jadi ketika kita kasih kepada Tuhan, maka kasih itu diwujudkan dalam hubungan dengan mansuia pada umumnya, tanpa membedakan darimana dia berasal.

Dokumen terkait