• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Letak Geografis Desa Padang kec padang kabupaten

B. Pandangan Masyarakat Desa Padang Kec Padang Kab.

praktek maro sawah sistem gembreng.

Di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang yang mayoritas penduduknya adalah sebagai petani. Karena letak geografis yang mendukung untuk melakukan kegiatan pertanian. Untuk menghindari adanya sawah menganggur dibutuhkan kerja sama antara pemilik sawah dengan petani, sehingga tidak ada kesenjangan salah satu pihak dan sama- sama saling

54

mendapat keuntungan. Sebab itu kerjasama maro sawah menjadi objek utama dalam hal kerjasama di Desa Padang.

Dalam masyarakat tersebut, terdapat sebagian mereka mempunyai sawah yang baik untuk ditanami tapi tidak memiliki kemampuan untuk bertani, ada yang memiliki kemampuan bertani namun tidak memiliki sawah untuk ditanami, dan ada pula yang memiliki sawah mampu mengelolah tapi kekurangan modal. Sebab itu kerjasama dalam akad maro sawah di Desa Padang melibatkan dua pihak, yaitu pemilik sawah dan penggarap. Akad maro sawah yang ada di Desa Padang sudah berlangsung. sangat lama. Seperti yang disampaikan oleh pemilik sawah, pengelola, dan masyarakat umum.

Dalam praktek gembreng ini dimana bagian penggarap sawah takaran gembreng dilebihkan dengan cara dipadatkan gabah ke dalam gembreng sudah menjadi rahasia umum, menurut pak Tasan selaku pemilik sawah memang sudah terbiasa dengan praktek ini dikarenakan dari pada sawahnya tidak ada yang mengelola sawah tersebut dikarenakan sudah jarang orang di desa padang yang mempunyai keahlian dalam mengelola sawah sedangkan pak Tasan sendiri mempunyai kesibukan dalam pekerjaannya.1

Sama seperti pemaparan diatas bahwa menurut Pak Buari mempunyai alasan yang hampir sama dengan Pak Tasan bahwa dari pada sawah menganggur lebih baik dikerjakan orang lain supaya menghasilkan.2 Akan

tetapi dari kedua orang tersebut sebenarnya tidak rela terkai upaya

1 pak Tasan wawancara tanggal 15 Juni 2017

55

penggarap sawah dengan melebihkan atau memadatkan takaran gabah dalam gembreng, mereka beranggapan bahwa bagian 2 yang lebih dulu diberikan adalah sebagai pengganti modal sedangkan sisa 7 yang dibagi berdua adalah sebagai ganti tenaga bagi pengelola sawah.

Jika menurut pak Ja’i selaku pengelola sawah bahwa beliau sudah terbiasa

dengan pembagian dengan melebihkan bagiannya dikarenakan menurut beliau bahwa beliau lah yang memodali bibit, pupuk dan tenaga untuk

menggarap sawah sehingga bagi pak ja’i bagian penggarap harus lebih banyak dari pada pemilik lahan, dikarenakan pemilik lahan hanya menyediakan sawah saja sehingga sudah sepantasnya mendapatkan bagian lebih kecil dari penggarap sawah.3

Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat dibebankan kepada orang yang mampu dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati maka dalam kerjasama ini salah satu atau keduanya bersama-sama membayar zakat, karena sudah nisab. Karena asal benih tanaman berasal dari pemilik tanah jadi yang diwajibkan zakat adalah pemilik tanah, penggarap hanya mengambil upah bekerja.

BAB IV

PRAKTEK DAN TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG

A. Prektek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

Desa yang terletak di Kabupaten Lumajang ini mempunyai lahan persawahan yang sangat luas, akan tetapi sangat disayangkan beberapa orang yang mempunyai sawah tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan lahannya dikarenakan pemilik lahan tersebut sibuk dengan rutinitas pekerjaan diluar pertanian, bahkan ada beberapa pemilik lahan tidk mempunyai kemahiran dalam mengolah lahan pertanian, sedangkan keluarga pemilik lahan tersebut tidak mempunyai keinginan untuk mengolah lahan persawahan karena beberapa hal anatar lain, tingkat pendidikan yang sudah maju atau mereka menganggap bahwa profesi petani sudah tidak relevan.

Persoalan diatas menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang , disatu sisi pemilik lahan tidak mempunyai keahlian untuk mengolah lahan pertanian sedangkan beberapa masyarakat desa tersebut yang mahir mengolah lahan sawah akan tetapi tidak mempunyai lahan pertanian. Sehingga terjadilah kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik lahan dengan pekerja, yaitu pekerja mengolah lahan persawahan dengan kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng.

57

Yang dimaksud dengan maro sawah dengan sistem gembreng adalah membagi hasil panen sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara pemilik lahan dengan pekerja menggunakan takaran gembreng bukan per kilo ataupun per karung. Yang di maksud gembreng disini adalah tempat kerupuk dari seng yang dipotong bagian atasnya.

Pembagian hasil pertanian dengan gembreng adalah 2:7, 2 untuk pekerja dan 7 untuk pemilik lahan sedangkan yang 1 untuk pengarian, bagian 7 dari pemilik lahan di bagi lagi 2 dengan pekerja, sehingga pekerja mendapat total 5,5 (2 dari bagiannya sendiri 3,5 bagi hasil dengan bagian pemilik lahan), sedangkan pemilik lahan mendapatkan 3,5.

Dalam pelaksanaan sistem gembreng tersebut buruh tani melakukan tindakan yang menguntung dirinya sendiri dan merugikan pemilik lahan. Seperti halnya saat proses penakaran gabah waktu panen yang dilakukan oleh penggarap sawah menghasilkan berat gabah yang diterima oleh pemilik sawah mempunyai berat yang tidak sesuai dengan takaran gabah yang diterima oleh penggarap sawah. Jika dalam menakar gabah untuk pembagian pemilik sawah, gabah ditakar sesuai dengan volume gembreng. Namun, untuk penakaran gabah yang akan menjadi bagian dari penggarap sawah, penakaran berbeda dengan takaran pemilik sawah, penggarap melakukan tindakan kecurangan dengan melebihi takaran gembreng tersebut dengan cara gabah yang dimasukkan kedalam gembreng tersebut ditekan agar supaya memperoleh berat yang maksimal. Dengan demikian pemilik sawah mengalami kerugian dalam kerjasama bagi hasil tersebut karena ada unsur

58

kecurangan dalam proses pembagian yang tidak sesuai dengan kesepakan yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam kenyataannya dengan luas sawah 1 hektar persegi menghasilkan 5 ton gabah, 5 ton gabah sama dengan 5000 kg gabah kemudian ditakar menggunakan gembreng dan dibagi menjadi 7 : 2 : 1 bagian. Yang mana persatu gembreng berisi kurang lebih 13 kg. Sehingga pembagian hasil tersebut dapat dihitung sebagai berikut:

5000 kg / 13 = 384,6 gembreng

7/10 x 384,6 gembreng = 269 gembreng , 134.5 gembreng untuk pemilik sawah dan 134.5 gembreng untuk penggarap sawah.

2/10 x 384,6 gembreng = 77 gembreng untuk penggarap sawah.

Jadi, pemilik sawah mendapat 134.5 gembreng gabah, sedangkan penggarap mendapat 211,5 gembreng gabah.

Dalam pelaksanaan sistem gembreng tersebut buruh tani melakukan tindakan yang menguntung dirinya sendiri dan merugikan pemilik lahan. Seperti halnya saat proses penakaran gabah waktu panen yang dilakukan oleh penggarap sawah menghasilkan berat gabah yang diterima oleh pemilik sawah mempunyai berat yang tidak sesuai dengan takaran gabah yang diterima oleh penggarap sawah. Jika dalam menakar gabah untuk pembagian pemilik sawah, gabah ditakar sesuai dengan volume gembreng. Namun, untuk penakaran gabah yang akan menjadi bagian dari penggarap sawah, penakaran berbeda dengan takaran pemilik sawah, penggarap melakukan tindakan kecurangan dengan melebihi takaran gembreng tersebut dengan

59

cara gabah yang dimasukkan kedalam gembreng tersebut ditekan agar supaya memperoleh berat yang maksimal. Dengan demikian pemilik sawah mengalami kerugian dalam kerjasama bagi hasil tersebut karena ada unsur kecurangan dalam proses pembagian yang tidak sesuai dengan kesepakan yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam praktek ini biarpun terdapat kecurangan dalam pembagian bagi hasil terutama dalam berat gembreng akan tetapi pihak pemilik lahan membiarkan kecurangan tersebut bertahun-tahun.

B. Analisis Hukum Islam Dalam kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng.

Kerjasama maroh sawah adalah kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap sawah ketika panen padi di wilayah Desa Padang ini dari masa ke masa menggunakan sistem bagi hasil yang disebut dengan sistem gembreng. Sejalan dengan BAB II bahwa dalam Islam akad kerjasama sangat banyak akan tetapi akad kerjasama yang melibatkan tanah atau sawah ada 4 antara lain akad muzara’ah dan akad Mukhabarah, dan akad Musaqah dimana pengertian akad tersebut antara lain:.

Pengertian dari ke tiga akad tersebut adalah akad muzara’ah yaitu akad antara pemilik lahan dan pengelola lahan dengan bagi hasil sepertua, sepertiga, atau lebih tergantung kesepakatan diawal akan tetapi benihnya dari pengelola, akad Mukhabarah yaitu akad antara pemilik lahan dan pengelola lahan dengan pembagian sepertua, sepertiga, atau lebih tergantung

60

kesepakatan diawal bibit dari pemilik lahan, akad Musaqah adalah akad kerjasama dimana pemilik kebun menyerahkan kebunnya kepada orang yang lebih ahli untuk dikelola sedangkan hasil dari perkebunan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal.

Jika ditarik kesimpulan dari ketiga akad diatas bahwa inti dari akad atau kerjasama adalah antarodin (saling rela ), antarodin disini pengertian tidak hanya rela akan tetapi juga mengetahui berapa modal dan hasil dari kerjasama tersebut bisa dikatakan saling transparan dalam peembibitan, pengolahan, maupun hasil dari pertanian maupun perkebunan, sehingga diawal akad sudah dijelaskan berapa modal yang diperlukan dan berapa hasil yang akan dibagi setelah panen atau hasil dari persawahan atau perkebunan, sehingga kedua belah pihak atau lebih mengetahui berapa hasil yang dia dapatkan agar dikemudian hari tidak ada saling tuduh ataupun saling menfitnah.

Jika di kontekskan akad diatas dengan perjanjian bagi hasil maro Di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang yang mayoritasnya penduduknya adalah sebagai petani mereka mempraktikkan kerjasama bagi hasil memakai akad muzara’ah dimana pemilik lahan hanya menyediakan lahan persawahan sedangkan penggarap yang memodali bibit dan menggarap sawah, dan diawal disepakati pembagian hasil yaitu 2 diawal untuk penggarap 1 untuk pengairan dan sisanya 7 dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap jika ditotal keseluruhan penggarap mendapatkan bagian 5,5,

61

pemilik lahan 3,5, dan 1 untuk pengairan, sedangkan takaran yang digunakan yaitu memakai gembreng.

Jika diperhatikan diawal perjanjian yang sudah disepakati para pihak sehingga unsur antarodin sudah terpenuhi, akan tetapi permasalahn yang muncul adalah ketika penggarap menakar gabah bagiannya dengan memadatkan isi gembreng sedangkan menakar bagian dari pemilik lahan dengan takaran biasa, disini bisa dilihat bahkan bagian penggarap bisa lebih berat dari takaran pemilik lahan.

Memang diawal akad memakai takaran gembreng tanpa menyebut berat disini terdapat celah yang dimanfaatkan oleh penggarap untuk menambah berat bagiannya, dalam situasi tersebut penggarap sudah melanggar perjanjian diawal meskipun diawal tidak menyebutkan berat akan tetapi perjanjian diawal gembreng secara rata jadi semisal dalam satu gembreng batas penuh sampai lubang atas maka penghitungan tetap harus sama tanpa memadatkan isi gembreng dari salah satu pihak karena salah satu rukun dan syarat dari akad muzara’ah adalah pembagian hasil harus sama rata, sama rata disini yang dimaksud dalam pembagian gembreng adalah jika penuhnya selubang gembreng maka harus segitu untuk kedua belah pihak.

Mengenai pemilik lahan yang mengetahui dan mendiamkan praktek kecurangan bukan digambarkan sebagai antarodin dari pemilik lahan akan tetapi karena faktor keterpaksaan dari pemilik lahan dikarenakan pemilik lahan tidak mempunyai keahlian sedangkan jumlah penggarap terbatas sehingga kerelaan dari pemilik lahan dikarenakan situasi yang memaksa

62

pemilik lahan untuk membiarkan kecurangan tersebut, sehingga pemilik lahan bisa dikatakan tidak rela terhadap praktek kecurangan.

Sedangkan alasan penggarap yang memadatkan bagiannya karena dia merasa mengeluarkan biaya dan tenaga lebih dari pemilik lahan antara lain penggarap memodali pupuk dan biaya perawatan selama penggarapan sedangkan pemilik lahan hanya menyediakan lahan pertanian dan bibit, logika dari penggarap ini tidak bisa dibenarkan, jika di lihat dari pembagian hasil penggarap mendapat lebih dulu 2 bagian, 1 pengairan, sedangkan sisa 7 dibagi dua antara penggarap dan pemilik lahan. Jika dipilah pembagian modal dan tenaga penggarap dengan pemilik lahan sebenarnya sudah sesuai yaitu pembagian 2 bagian diawal untuk penggarap adalah sebagai balik modal dari bibit dan pupuk, sedangkan bagi dua dari sisa yaitu 7 bagian masing-masing 3,5 adalah bagian dari tenaga penggarap dalam mengelola sedangkan 3,5 untuk pemilik lahan adalah sebagai ganti sewa lahan.

Maro sawah dimana kerjasama tersebut lebih menguntungkan pihak penggarap dikarenakan terdapat kecurangan yang terjadi pada saat pembagian hasil waktu panen dimana pihak penggarap melebihi takaran yang telah disepakati antara pemilik sawah. Di dalam Hukum Islam apabila ada salah satu pihak yang melakukan kecurangan otomatis akad tersebut menjadi tidak sah dikarenakan pihak penggarap melakukan kecurangan. Orang yang melakukan perbuatan curang tersebut termasuk mengingkari janji dan tidak bisa menjaga amanah.

63

Sehingga akad yang disepakati oleh pihak penggarap dan pemilik lahan bisa dikatakan melanggar dari perjanjian, pelanggaran atau kecurangan yang dimaksud adalah dari sisi berat dalam konteksnya tetap pakai gembreng tapi berat gembreng antara bagian dari penggarap dengan penyedia lahan lebih berat bagian penggarap.

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Yang dimaksud dengan maro sawah dengan sistem gembreng adalah membagi hasil panen sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara pemilik lahan dengan pekerja menggunakan takaran gembreng bukan per kilo ataupun per karung. Yang di maksud gembreng disini adalah tempat kerupuk dari seng yang dipotong bagian atasnya. Pembagian hasil pertanian dengan gembreng adalah 2:7, 2 untuk pekerja dan 7 untuk pemilik lahan sedangkan yang 1 untuk pengarian, bagian 7 dari pemilik lahan di bagi lagi 2 dengan pekerja, sehingga pekerja mendapat total 5,5 (2 dari bagiannya sendiri 3,5 bagi hasil dengan bagian pemilik lahan), sedangkan pemilik lahan mendapatkan 3,5.

2. maro sawah dimana kerjasama tersebut lebih menguntungkan pihak penggarap dikarenakan terdapat kecurangan yang terjadi pada saat pembagian hasil waktu panen dimana pihak penggarap melebihi takaran yang telah disepakati antara pemilik sawah. Di dalam Hukum Islam apabila ada salah satu pihak yang melakukan kecurangan dalam mengaplikasikan akad tersebut, Hukum akad sendiri tetap sah akan tetapi dalam praktek menjalankan akad tidak memenuhi syara’. Orang yang melakukan perbuatan curang tersebut termasuk mengingkari janji dan tidak bisa menjaga amanah.

65

Sehingga akad yang disepakati oleh pihak penggarap dan pemilik lahan bisa dikatakan melanggar dari perjanjian, pelanggaran atau kecurangan yang dimaksud adalah dari sisi berat dalam konteksnya tetap pakai gembreng tapi berat gembreng antara bagian dari penggarap dengan penyedia lahan lebih berat bagian penggarap.

B.Saran

Untuk menghindari kecurangan dan untuk memperjelas hasil dari prmbagian hasil panen agar kiranya takaran yang semula menggunakan gembreng diganti dengan timbangan kuloan ataupun kwintalan karena dengan memakai takaran timbangan lebih jelas, sehingga antara penyedia lahan dan penggarap tidak ada yang dirugikan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kahli, Muhammad bin Isma’il. Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa Al-Babiy Al-Halabi, Mesir, cet. I, 1960.

Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, Yogyakarta: yayasan Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, 1999

Aziz Dahlan (Edi), Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam. cet. 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Dahlan(ed), Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Hoeve, 2006.

Derpateman Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: Jumanatul ‘Ali- ART, 2005.

Harjono, Anwar, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islami, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Haroen, Nasoen, Fiqih Muamalah, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Hasan, M.Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003.

Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta Selatan: Salemba Humanika, 2010.

Jaziri, Abdul Rahman Al, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994.

Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya: Fakultas Syari’ah dan Hukum, 2016. Rahman al-Jaziri, Abdur, Fiqh Empat Mazhab, Terj. Moh. Zuhri,

Rahman, Fazlur, Doktrin Ekonomi Islam. Jilid II, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995.

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz III. Jakarta: PT.PenaPundiAksana, 2009. Skripsi Abu Yasid, ‚Analisis Hukum Islam TerhadapPemanfaatan Hewan Paron

Di Desa Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya 2015).

Skripsi Afia Susilo, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Muzara’ah (Studi Kasus di Desa Dalangan, Kabupaten Klaten‛, (Skripsi--Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012).

Skripsi Fairuz Abadi A, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya 2015).

Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1992. Tanzeh, Ahmad, Metodologi Penelitian Praktis, Yogyakarta: Teras, 2011

Belajar Ekonomi Syari'ah, faizlife.blogspot.com/2012/04/muzara’ah.html diakses tanggal 12 Juni 2017.

Dokumen terkait