KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
Lumajang)
Oleh:
Muchammad Khoiruddin Ro’uf (C02213043)
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah
ABSTRAK
Skripsi dengan judul Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Padang Kec. Padang Kab. Lumajang), adalah hasil penelitian kualitatif dengan metode deduktif untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang dan Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
Data penelitian dihimpun melalui wawancara dan dokumentasi dengan pihak pemilik lahan sawah dan penggarap sawah di desa tersebut serta kepada pihak GAPOKTAN Desa Padang Kecamatan Padang. Selanjutnya data yang berhasil dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif yaitu membuat deskripsi, gambaran atau menjelaskan secara sistematis atas data yang berhasil dihimpun dari pemilik lahan dan penggarap terkait dengan pembahasan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan yang dimaksud dengan maro sawah dengan sistem gembreng adalah membagi hasil panen sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara pemilik lahan dengan pekerja menggunakan takaran gembreng bukan per kilo ataupun per karung. Maro sawah dimana kerjasama tersebut lebih menguntungkan pihak penggarap dikarenakan terdapat kecurangan yang terjadi pada saat pembagian hasil waktu panen dimana pihak penggarap melebihi takaran yang telah disepakati antara pemilik sawah. Di dalam Hukum Islam apabila ada salah satu pihak yang melakukan kecurangan otomatis akad tersebut menjadi tidak sah dikarenakan pihak penggarap melakukan kecurangan. Orang yang melakukan perbuatan curang tersebut termasuk mengingkari janji dan tidak bisa menjaga amanah. Sehingga akad yang disepakati oleh pihak penggarap dan pemilik lahan bisa dikatakan melanggar dari perjanjian, sehingga akad tersebut menjadi batal di karenakan terjadi kecurangan disalah satu pihak. pelanggaran atau kecurangan yang dimaksud adalah dari sisi berat dalam konteksnya tetap pakai gembreng tapi berat gembreng antara bagian dari penggarap dengan penyedia lahan lebih berat bagian penggarap.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Penelitian ... 10
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Muzāra’ah ... 19
1. Pengertian Muzāra’ah ... 19
2. Dasar Hukum Muzāra’ah ... 21
3. Rukun-Rukun Muzāra’ah ... 22
B. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukhabarah, musaqah ... 37
1. Muza>ra’ah ... 37
2. Mukhabarah ... 37
3. Musa>qah ... 38
BAB III Letak Geografis Desa Padang kec padang kabupaten Lumajang A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 41
1. Sejarah Desa Padang Kec. Padang Kab. Lumajang ... 41
2. Demograf ... 41
3. Keadaan Sosial ... 47
4. Keadaan Ekonomi ... 50
5. Keadaan Pemerintah Desa ... 52
BAB IV PRAKTEK DAN TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG
A. Prektek Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng di
Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang ... 56
B. Analisis Hukum Islam dalam Kerjasama Maro Sawah
dengan Sistem Gembreng ... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan
satu sama lain untuk memenuhi kekurangannya, karena manusia
diciptakan Allah tidak ada yang sempurna. Ada yang kaya dan ada yang
miskin, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang tinggi dan ada yang
rendah, dan lain sebagainya. Tentunya untuk memudahkan manusia untuk
saling membantu dan bekerjasama dalam memenuhi kekurangan masing-
masing.1
Dalam kajian fiqih hubungan antara sesama manusia diantaranya
meliputi jual beli, hutang piutang, jasa penitipan, sewa menyewa, gadai,
kerjasama dan lain sebagainya. Tak ada seorangpun yang bisa memenuhi
kebutuhannya tanpa bantuan orang lain dan untuk bisa memenuhi
kebutuhan itulah mereka bekerja sama dengan cara bermuamalah.2
Kerjasama dengan cara bagi hasil merupakan salah satu kegiatan
mu’amalah yang sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang pertanian. Kerjasama secara bagi hasil ataupun
sewa menyewa ini diperbolehkan dalam Islam baik terhadap barang
1 Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1992), 462.
2 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
2
bergerak ataupun barang tidak bergerak seperti tanah.3 Hal ini dikenal
sebagai Muzāra’ah atau Mukhabārah.
Sistem bagi hasil menjadi suatu yang penting terhadap orang-
orang mempunyai tenaga kerja tetapi tidak mempunyai lahan, sementara
yang lain memiliki lahan tetapi tidak mempunyai modal dan tenaga kerja.
Berdasarkan keadaan seperti ini saling membantu dan bekerjasama, maka
hanya sistem bagi hasil yang merupakan cara efektif untuk menghasilkan
lebih banyak tanah yang dapat diolah sehingga menguntungkan kedua
belah pihak.4 Secara etismologi, Muzāra’ah diambil dari kata Az-zar’a, yang berati menaburkan benih ke dalam tanah atau menanam. Dalam
Ensiklopedia Hukum Islam disebutkan Muzāra’ah adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik lahan dan penggarap.5
Dasar hukum yang digunakan para ulama’ mengenai transaksi Muzāra’ah atau Mukhabārah yakni sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
َع ِن
ْبا
ِن
ُع َم
َر َر
ِض
َي
ُل
َع
ْ ن ُه
َما
َا ن
َر
ُس ْو
َل
ِل
َص ل
ى
ُل
َع َل
ْي ِه
َو َس
ل َم
َعا
َم َل
َا ْ
َل
َخ ْي
َ ب َر
ِب
َش
ْط
ِر
َما
َْي ُر
ُج
ِم ْ ن
َها
ِم
ْن
ََث ر
َا ْو
َز ْر ع
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw. melakukan kerjasama (penggarap tanah) dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang kelar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman. (H.R Bukhari-Muslim).6
3 SayyidSabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Jakarta: PT.PenaPundiAksana, 2009), 207.
4 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995),
279
5 Abdul Aziz Dahlan (Edi), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), 75.
6 Muhammad bin Isma’il Al-Kahli, Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa
3
Kerjasama mengenai pengolahan sawah yang sering dibahas dalam
fiqih mua’amalah yakni Muzāra’ah atau Mukhabārah yaitu ketentuannya telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi keadilan dan
tidak merugikan salah satu pihak baik pemilik tanpa maupun buruh itu
sendiri. Konsekuensinya dari adanya ketentuan ini adalah bahwa sistem
kerjasama bagi pekerja dan pemiliki tanah harus sesuai dengan ketentuan
norma yang ditetapkan. Menurut pengertian syara’ Muzāra’ah atau Mukhabārah berarti akad kejasama dalam pemindahan hak guna dari
barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa
tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.7
Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang memiliki
aset berupa persawahan yang luas. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai
petani. Namun, tidak semua petani memiliki sawah dan mereka
menggarap sawah milik orang lain dengan perjanjian yang telah
ditentukan yang biasa disebut dengan istilah maro sawah.
Pelaksanaan bagi hasil kerjasama maro sawah antara pemilik lahan
dan penggarap sawah ketika panen padi di wilayah Desa Padang ini dari
masa ke masa menggunakan sistem bagi hasil yang disebut dengan sistem
gembreng. Sistem gembreng merupakan proses takaran yang
menggunakan media gembreng sebagai alat ukur yang digunakan oleh
penggarap dan pemilik sawah. Proses penakaran dilakukan saat panen
terjadi, dimana padi dirontokkan dengan mesin perontok, kemudian hasil
4
perontokan itu yang biasa disebut dengan gabah. Setelah perontokan
selesai, gabah dijadikan satu untuk kemudian ditakar dengan media
gembreng. Prosesnya gabah ditakar dengan media gembreng kemudian di
masukkan kedalam karung. Setiap karung berisi kisaran empat atau lima
gembreng sesuai dengan ukuran atau volume karung tersebut. Prosentase
dari sistem gembreng tersebut dari total seluruh gabah dibagi dengan
perbangdingan 7 : 2 : 1, dimana 7 bagian itu dibagi menjadi 2 yaitu untuk
pemilik sawah dan penggarap sawah, sedangkan 2 bagian itu
diperuntukkan kepada penggarap sawah dan 1 bagian diperuntukkan
sebagai pembayaran irigasi sawah. Dalam kenyataannya dengan luas
sawah 1 hektar persegi menghasilkan 5 ton gabah, 5 ton gabah sama
dengan 5000 kg gabah kemudian ditakar menggunakan gembreng dan
dibagi menjadi 7 : 2 : 1 bagian. Yang mana persatu gembreng berisi
kurang lebih 13 kg. Sehingga pembagian hasil tersebut dapat dihitung
sebagai berikut:
5000 kg / 13 = 384,6 gembreng
7/10 x 384,6 gembreng = 269 gembreng , 134.5 gembreng untuk
pemilik sawah dan 134.5 gembreng
untuk penggarap sawah.
2/10 x 384,6 gembreng = 77 gembreng untuk penggarap sawah.
Jadi, pemilik sawah mendapat 134.5 gembreng gabah, sedangkan
penggarap mendapat 211,5 gembreng gabah.8
5
Dalam pelaksanaan sistem gembreng tersebut buruh tani
melakukan tindakan yang menguntung dirinya sendiri dan merugikan
pemilik lahan. Seperti halnya saat proses penakaran gabah waktu panen
yang dilakukan oleh penggarap sawah menghasilkan berat gabah yang
diterima oleh pemilik sawah mempunyai berat yang tidak sesuai dengan
takaran gabah yang diterima oleh penggarap sawah. Jika dalam menakar
gabah untuk pembagian pemilik sawah, gabah ditakar sesuai dengan
volume gembreng. Namun, untuk penakaran gabah yang akan menjadi
bagian dari penggarap sawah, penakaran berbeda dengan takaran pemilik
sawah, penggarap melakukan tindakan kecurangan dengan melebihi
takaran gembreng tersebut dengan cara gabah yang dimasukkan kedalam
gembreng tersebut ditekan agar supaya memperoleh berat yang maksimal.
Dengan demikian pemilik sawah mengalami kerugian dalam kerjasama
bagi hasil tersebut karena ada unsur kecurangan dalam proses pembagian
yang tidak sesuai dengan kesepakan yang telah disepakati sebelumnya.
Berdasarkan realita tersebutlah yang melatar belakangi penulis
tertarik untuk meneliti terkait maro sawah dengan menggunakan sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang, Dan
untuk bahasan lebih lanjut akan dituang dalam bentuk skripsi yang
berjudul ‚Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng dalam Perspektif Hukum Islam (Studi kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
6
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian
dengan melakukan identifikasi sebanyak-banyaknya kemudian yang dapat
diduga sebagai masalah.9 Identifikasi masalah dalam kasus ini sebagai
berikut :
1. Praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
2. Perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
3. Analisa hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
4. Berakhinya akad kerjasama kerjasama maro sawah sistem gembreng
di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
5. Syarat dan Rukun dalam kerjasama bagi hasil pertanian
6. Norma kerjasama pertanian dalam Islam
7. Pentingnya kerjasama bagi hasil maro sawah sistem gembreng bagi
masyarakat di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
Untuk memperjelas persoalan masalah yang ada di dalam masalah
ini, agar nantinya mencegah uraian yang panjang lebar, maka penulis
perlu membatasi supaya maslah ini sesuai dengan judul serta yang penulis
harapkan, diantaranya :
9 Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi,
7
1. Praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
2. Perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian identifikasi dan pembatasan masalah, maka
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana praktik kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa
Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah
sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
Lumajang?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan
diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang
telah ada.10 Ada pun kajian pustaka dari penelitian ini yaitu :
1. Skripsi yang ditulis oleh Syahkrul Amil Mukminin, dalam skripsi
berjudul‚‛Analisis Hukum Islam Terhadap paron Sapi di Desa Ragang
10
8
Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan‛. Skripsi ini membahas tentang praktik Paron sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan
dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang telah dilakukan oleh
masyarakat di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan
tersebut diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hukum Islam
karena kedua belah pihak yang melakukan akad telah memenuhi
kewajiban dan persyaratan yang ada dan sesuai dengan hukum Islam.11.
2. Skripsi yang ditulis oleh Abu Yasid, dalam skripsi berjudul‚ ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron di Desa Gunung
Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛. Skripsi ini membahas tentang Pemanfaatan Hewan Paron dalam tinjauan hukum
Islam. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang
telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Gunung Sereng Kecamatan
Kwanyar Kabupaten Bangkalan tersebut diperbolehkan karena tidak
bertentangan dengan hukum Islam karena kedua belah pihak yang
melakukan akad telah sesuai dengan akad yang disepakati dan sesuai
dengan hukum Islam.12
3. Skripsi yang ditulis oleh Fairuz Abadi, dalam skripsi berjudul‚ ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama Penggemukan Sapi di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar
11
Syahkrul a il uk i i ,”A alisa Huku Islam terhadap paron sapi di desa Ragang kec Waru Kab Pamekasan”.(Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014).
12 Abu Yasid, ‚Analisis Hukum Islam TerhadapPemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung
9
Kabupaten Bangkalan‛. Skripsi ini membahas tentang kerjasama paron penggemukan sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari
skripsi ini adalah bahwa sistem sistem paron yang ada di Desa Batah
Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan selama ini
dilaksanakan sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Sebab,
pelaksanaan kerjasama yang mereka laksanakan berdasarkan
kesepakatan bersama dan tidak ada unsur paksaan.13
4. Penelitian Afia Susilo, dalam sekripsi berjudul, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pertanian (Muzāra’ah) studi kasus di Desa Dalangan Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten‛, Hasil skripsi Afia Susilo menjelaskan bahwa akad Muzāra’ah di Desa Dalangan Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten antara pemilik tanah dengan
penggarap belum sesuai dengan hukum Islam, karena dalam praktik
Muzāra’ah tersebut mengandung unsur (ketidak jelasan) pada objek akad dengan bagi hasil yang menyebabkan terjadi perbedaan antara
tujuan akad aslinya dengan akad yang terjadi.14
Skripsi yang akan diteliti oleh peneliti berbeda dengan skripsi
yang telah disebutkan diatas, yaitu membahas tentang proses pembagian
hasil gabah waktu panen yang menggunakan sistem gembreng yang
terjadi di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
13 Fairuz Abadi A, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama
Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya 2015), 60.
14 Afia Susilo, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Muzara’ah (Studi Kasus di
10
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah titik akhir yang akan dicapai dalam
sebuah penelitian dan juga menentukan arah penelitian agar tetap dalam
koridor yang benar hingga tercapainya sesuatu yang dituju.15 Tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana Praktek kerjasama maro sawah
sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten
Lumajang?
2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam terhadap
kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang?
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Aspek teoritis
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga
dapat mengembangkan dan memberikan sumbangsih pengetahuan
terhadap pengembangan hukum Islam khususnya perihal praktek
kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng yang di dalam
istilah Islam kerjasma bagi hasil maro sawah dikenal dengan
Musāqah, Muzāra’ah dan Mukhabārah.
15 Haris Herdiansyah, ‚Metodologi Penelitian Kualitatif‛, (Jakarta Selatan: Salemba Humanika,
11
2. Aspek praktis
Diharapkan dengan adanya penelitian ini bergiuna bagi
mahasiswa untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan
diharapkan pula agar bisa membantu petani untuk lebih
mengetahui terkait apa yang dibahas dalam skripsi ini.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional yaitu untuk memuat penjelasan tentang
pengertian yang bersifat operasional dari konsep atau variabel penelitian
sehingga bisa dijadikan acuan dalam menelusuri, menguji atau mengukur
variabel tersebut melalui penelitian.16 Penelitian ini berjudul
‚KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA PADANG
KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG)‛ Untuk memudahkan pemahaman dalam judul penelitian ini, maka perlu untuk
menjelaskan secara operasional agar terjadi kesepahaman dalam
memahami judul skripsi.
Hukum Islam : Adalah peraturan-peraturan dan ketentuan
hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.17 Aturan yang dimaksud
kerjasama maro sawah sistem gembreng
16 Fakultas Syari’ah UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas
Syari’ah, 2016), 9.
17 Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islami, (Jakarta: Gema Insani
12
dalam skripsi ini yaitu syarat dan rukun
Muzāra’ah menurut pendapat ulama. Kerjasama maro sawah
Dengan Sistem gembreng : Kerjasama dimana antara pemilik dan
pekerja membagi hasil sawah
menggunakan takaran gembreng
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)
terhadap ‚KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA
PADANG KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG)‛ dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Kemudian untuk
memberikan gambaran yang baik, dibutuhkan serangkaian langkah yang
sistematis. Adapun langkah-langkah tersebut terdiri dari, data yang
dikumpulkan, sumber data, teknik analisis data, dan sistematika
pembahasan.
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang
berkenaan dengan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini
sesuai dengan rumusan masalah diatas. Data yang akan dikumpulkan
13
a. Data gambaran umum lokasi penelitian yang terletak di Desa
Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
b. Data tentang praktek kerjasama maro sawah dengan sistem
gembreng.
c. Data akibat kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng.
2. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan
penelitian lapangan (field research) yang mengkhususkan pada kasus
yang terjadi di lapangan dengan tetap mengarah pada konsep-konsep
yang ada seperti sumber dari kepustakaan maupun dari subyek
penelitian sebagai bahan data pendukung. Adapun sumber-sumber
dalam penelitian ini didapat dari sumber primer dan sumber sekunder
yaitu:
a. SumberPrimer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber subyek
penelitian.18 Yakni sumber data dari informasi atau wawancara
dengan para petani pada khususnya antara pemilik sawah (Pak
Tasan dan Pak Buari) dan penggarap sawah (Pak Jai) sebagai
pihak yang melakukan kerjasama.
b. Sumber Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan. Data
sekunder merupakan data pendukung proyek penelitian dan
14
sebagai pelengkap data primer, mengingat data primer merupakan
data praktik dalam lapangan.19 Karena penelitian ini merupakan
penelitian yang tidak terlepas dari kajian hukum Islam, maka
penulis menempatkan sekunder data yang berkenaan dengan
kajian-kajian tersebut sebagai sumber data sekunder. Adapun
buku-buku atau literatur yang menjadi sumber data sekunder
dalam skripsi ini meliputi:
1. Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam.
2. Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Hukum Bisnis dan Sosial.
3. Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah.
4. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat.
5. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12.
6. Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu suatu penggalian data dengan cara mengamati,
memperhatikan, mendengar dan mencatat terhadap peristiwa,
keadaan, atau hal lain yang menjadi sumber data.20 Dalam hal ini
penulis akan melakukan observasi di Desa Padang Kecamatan
19 Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian, ( Yogyakarta : Ar-Ruz Media, 2011),
33.
15
Padang Kabupaten Lumajang guna mengetahui secara langsung
praktek yang dilakukan oleh pelaku kerjasama maro sawah tersebut
b. Wawancara (interview), yakni proses percakapan dengan maksud
untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan,
organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan yaitu
pewawancara dan narasumber. Oleh karena itu wawancara
merupakan metode pengumpulan data yang amat terkenal, karena
itu banyak digunakan di berbagai penelitian.21 Adapun dalam
penelitian ini yakni dengan melakukan wawancara langsung kepada
para pihak terkait yang diperlukan dalam penelitian, khususnya
pemilik sawah dan penggarap sawah.
c. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melihat
atau mencatat suatu laporan yang telah tersedia. Dengan kata lain,
proses penyampaiannya dilakuan melalui data tertulis yang memuat
garis besar data yang akan dicari dan berkaitan dengan judul
penelitian.22 Dokumentasi ini merupakan data konkrit yang bisa
penulis jadikan acuan untuk memperoleh data-data yang digunakan
penulis sebagai landasan teoritis.
21 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
143.
16
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data berhasil dikumpulkan dari lapangan maupun
penulisan. Maka peneliti menggunakan teknik pengolahan data dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Organizing, yaitu menyusun data yang diperoleh secara sistematis
terhadap kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng di Desa
Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
b. Editing, yaitu data yang sudah dikumpulkan tersebut lalu diperiksa
kembali secara cermat. Pemeriksaan tersebut meliputi segi
kelengkapan sumber informasi, kejelasan makna, kesesuaian dan
keselarasan antara satu dan yang lainnya, relevansi dan
keseragaman data mengenai kerjasama maro sawah dengan sistem
gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.
c. Analizing, yaitu menganalisa data-data tersebut sehingga diperoleh
kesimpulan-kesimpulan tertentu.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, yaitu data dari hasil lapangan maupun
pustaka, maka dilakukan analisa data secara kualitatif melalui
pendekatan deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu data
yang telah diperoleh dari proses penalaran untuk menarik kesimpulan
berupa peinsip atau bsikap yang berlaku khusus berdasarkan atas
fakta-fakta yang bersifat umum., dengan diiringi uraian-uraian yang jelas
17
Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang. Sehingga
uraian-uraian tersebut dapat ditarik pada kesimpulan yang lebih khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat tentang landasan teori dari penelitian ini yang
berisi definisi Muzāra’ah, landasan hukum Muzāra’ah, hukum Muzāra’ah, syarat dan rukun Muzāra’ah, macam-macam, berakhirnya akad Muzāra’ah.
Bab ketiga mengemukakan hasil penelitian tentang pelaksanaan
kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan
Padang Kabupaten Lumajang meliputi: profil Desa Padang Kecamatan
Padang Kabupaten Lumajang dan mekanisme kerjasama maro sawah
sistem gembreng meliputi latar belakang kerjasama maro sawah sistem
gembreng, akad yang digunakan pada kerjasama maro sawah.
Bab keempat memuat tentang analisis terhadap kerjasama maro
sawah sistem gembreng dalam perspektif hukum Islam di Desa Padang
18
Bab kelima merupakan bab penutup dari keseluruhan isi
pembahasan skripsi, pada bab ini meliputi kesimpulan dan saran dari
BAB II
Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Muzara’ah
A. Muzāra’ah
1. Pengertian Muzara’ah
Menurut etimologi Muzāra’ah adalah
ُةَعاَزُمْلَا
bentuk katayang mengikuti wazan
ةَلَعاَفُم
dari kataعرزلَا
yang sama artinyadengan
ُتاَبُ ن
ِءَاا
(Menumbuhykan).1 memiliki dua macam arti,yaitu:
a. Menabur benih di tanah.
b. Menumbuhkan
Pengertian yang pertama merupakan arti majaz, sedangkan
pengertian yang kedua adalah makna haqiqi. Oleh karena itu
terdapat larangan seorang manusia mengucapkan‚ saya telah menumbuhkan hendaklah ia mengucapkan Saya petani.2
Sebagaimana Firman Allah SWT:
ۡ يَءََܱفَأ ݗُت ۡ اَݘ ۡ ۡ َ ت َۡنوُثُܱ ۡ ۡۡ ۡ ݗُتنَأَء ۡ ۡ َܲت ُۡهَنوُعَر ۡ ۥۡ ۡ مَأ ۡ ۡ َ ن ُۡن ۡٱ ۡ َزل َۡنوُعِر ۡ ۡ ۡ
1 Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: yayasan Ali Maksum
Krapyak Yogyakarta, 1999), 1875.
20
Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam?
Kamukah yang menumbuhkan ataukah kami yang
menumbuhkannya (al-Waqiah 63-64)
Adapun Muzāra’ah menurut terminologi Ulama’ fiqih sebagai berikut:
a. Menurut mazhab Hanafi
Muzāra’ah menurut pengertian syara’ ialah suatu akad perjanjian, pengelolaan tanah dengan
memperoleh hasil sebagian dari penghasilan Tanah
itu.3
b. Menurut mazhab Maliki
Muzāra’ah menurut pengertian syara’ ialah persekutuan dalam satu akad Perjanjian 4
c. Menurut mazhab Syafi’i
Berpendapat muza>ra’ah adalah kerjasama antara pemilik dengan penggarap untuk menggarap
tanahnya dengan imbalan sebagian dari hasil nanti
dibagi menurut kesepakatan bersama, sedangkan
benih diberikan oleh pemilik tanah.5
d. Menurut mazhab Hanabilah
3 Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994,
18
21
Mengatakan bahwa Muzāra’ah adalah penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk
digarap dan hasilnya dibagi berdua.6
e. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri
Muzāra’ah adalah pekerjaan mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan
modal pemilik tanah.7
f. Menurut Muhammad Syafi'i Antonio
Adalah kerjasama pengelolahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap di mana pemiliki
lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami
dan dipelihara dengan imbalan sebagian persentase
dari hasil panennya.8
2. Dasar Hukum Muzāra’ah.
Dalil-dalil yang menyatakan tentang dibolehkannya
Muzāra’ah antara lain sebagai berikut:
Al-Qur’an Surat al-Waqi’ah ayat 63-64
ۡ يَءََܱفَأ ݗُت ۡ اَݘ ۡ ۡ َ ت َۡنوُثُܱ ۡ ۡۡ ۡ ݗُتنَأَء ۡ ۡ َܲت ُۡهَنوُعَر ۡ ۥۡ ۡ مَأ ۡ ۡ َ ن ُۡن ۡٱ ۡ َزل َۡنوُعِر ۡ ۡ
Artinya: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya.9
6 Nasoen Haroen, Fiqih Muamalah, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 27. 7 Suhendi , Fiqih, 216
8 Belajar Ekonomi Syari'ah, faizlife.blogspot.com/2012/04/muzara’ah.html diakses tanggal 12
Juni 2017
22
Al-Qur’an Surat Al-Jum’ah ayat 10
٤َذِإَف ۡ ِۡتَي ِضُق ۡٱ ۡ وَݖ َصل ُۡةۡ َۡفٱ ۡ ٤وُ َِِتن ۡ ِۡف ۡٱ ۡ َ ل ۡ ۡ ِض َۡۡو ٱۡ ب َۡت ۡ ٤وُغ ۡ نِݘ ۡ ۡ ضَف ِۡلۡ ٱ ِۡ َّ َۡۡو ٱۡ ذ ۡ ٤وُُܱك ۡٱ َۡ َّ ۡ ۡميِثَك اۡ ۡ ݗُكَݖَعَل ۡ ۡ فُت َۡنوُحِݖ ۡ ٠ ۡ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.10
3. Rukun-Rukun Muzāra’ah
Rukun merupakan suatu yang harus ada, tanpa adanya
rukun maka Muzāra’ah tidak akan dibilang sah, hal tersebut merupakan prinsip mendasar yang harus dipenuhi dalam
Muzāra’ah seperti ijab dan qabul dalam masalah jual beli, tanpa adanya ijab qabul jual beli itu tidaklah sah, karena ijab qabul
merupakan rukun jual beli.
Demikian juga dalam masalah muza>ra’ah tentulah ada unsurunsur (rukun) yang dapat menyebabakan sahnya suatu
perjanjian muza>ra’ah. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam menetapkan rukun-rukun tersebut.
Pendapat itu antara lain:
a. Ulama’- ulama’ Hanafiah
Menurut ulama’ Hanafiyah rukun muza>ra’ah antara lain ijab qabul yaitu perkataan pemilik tanah
kepada penggarap. Akan tetapi, sebagian ulama
23
Hanafi mengatakan bahwa sahnya rukun muza>ra’ah ada 4 macam:
1) Ada tanah yang dikelolah
2) Pekerjaan yang dilakukan pengelola
3) Benih
4) Alat Pertanian11
b. Ulama’- ulama’ Malikiyah
Menurut Ulama Maliki mengatakan bahwa rukun
muza>ra’ah adalah segala sendi yang menjadikan muza>ra’ah itu berjalan sesuai dengan aturan yang benar. Dan ada tiga macam pendapat mengenai
rukun muza>ra’ah yaitu:
1) Bentuk kerjasama itu dianggap berlangsung
dengan ijab qabul semata.
2) Bahwa kerjasama itu dianggap berlangsung
dengan ijab qabul serta adanya upaya
pengelola tanah seperti membajak dan
meratakan tanah.
3) Kerjasama itu tidak dapat berlangsung
kecuali setelah adanya penaburan benih.12
c. Ulama’- ulama’ Syafi’iyah
11 Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994,
24.
24
Menurut ulama Syafi’iyah rukun muza>ra’ah antara lain:
1) Pemilik tanah
2) Petani penggarap
3) Objek muza>ra’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani
4) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari
pemilik tanah) qabul (pernyataan penerima
tanah untuk digarap dari petani).13
d. Ulama’- ulama’ Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah rukum muza>ra’ah adalah:
1) Pemilik tanah
2) Petani penggarap
3) Objek muza>ra’ah yaitu anatar tanah dan hasil kerja petani
4) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari
pemilik tanah) dan Qabul (pernyataan
penerimaan tanah untuk digarap dari
petani).14 Namun, ulama hanabilah
mengatakan bahwa penerimaan (qabul) akad
13 Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2000), 278.
14 Abdul Aziz Dahlan(ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Hoeve, 2006),
25
muza>ra’ah tidak perlu diungkapkan, tetapi boleh juga dengan tindakan yaitu petani
langsung menggarap tanah itu.15
4. Syarat-syarat Muza>ra’ah a. Mazhab Hanafi
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut
ulama-ulama mazhab Hanafi meliputi:
1) Aqid (orang yang mengadakan kesepakatan )
minimal seorang aqid harus memenuhi dua syarat:
a) Aqid harus berakal.
b) Tidak murtad.
2) Tanaman harus jelas dengan menjelaskan tanaman
apa yang akan ditanam. Adapun syarat mazru
(tanaman yang ditanam) sebagaimana tanaman
yang biasanya ditanam terutama yang sesuai
dengan cara muza>ra’ah, syarat-syarat yang berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari tanaman
antara lain:
a) Hasil yang diperoleh teruslah diterangkan
dalam akad.
26
b) Hasil yang diperoleh merupakan barang
yang disekutukan antara dua orang yang
bersepakat (berakad).
c) Bagian hasil yang diperoleh berupa bagian
yang belum dibagi secara garis besar antara
dua orang yang berakad.
3) Syarat-syarat tanah yang ditanami antara lain:
a) Tanahnya harus subur ditanami.
b) Tanah yang akan ditanami harus jelas.
c) Tanahnya diserahkan secara penuh dan
terlepas dari segala halangan yang yang
merintangi penggarapan.
4) Syarat-syarat yang berkaitan dengan waktu
muza>ra’ah antara lain:
a) Waktu harus ditentukan.
b) Waktunya layak untuk terselenggaranya
pengelolahan tanah sampai selesai.
c) Waktunya terbentang selama-lamanya.
b. Mazhab Maliki
Dalam masalah akad muza>ra’ah ulama Maliki memberikan syarat sebagai berikut:
1) Akad penyewaan tanah tidak mengandung sesuatu
27
2) Dua orang yang bekerjasama hendaknya
bersama-sama dalam memperoleh keuntungan artinya
masing-masing memungut keuntungan sesuai
dengan modal yang diserahkan jadi salah satu pihak
menyerahkan separuh yang dibutuhka maka ia tidak
boleh memungut hasilnya lebih dari sepertiga.
3) Mencampurkan bahan makanan pokok dari
masing-masing orang yang bekerja sama.
4) Masing-masing dari orang yang bekerjasama
mengeluarkan benih yang sama dengan benih
kawannya dalam jenis dan sifatnya.16
c. Mazhab Syafi’i.
Sedangkan syarat-syarat muza>ra’ah menurut ulama syafi’i antara lain:
1) Akad musaqah dan akad muza>ra’ah di jadikan satu, kalau akadnya sendiri sendiri maka akad tersebut
tidak sah (batal).
2) Akad muza>ra’ah dan musaqah bersambung artinya akad muza>ra’ahlah yang mengikuti akad musaqah. 3) Mendahulukan akad musaqah dari akad muza>ra’ah. 4) Hendaklah berhati-hati terhadap penggunaan akad
musaqah dengan tanpa merawat hasil itu jika tidak
28
tetap menyirami pohon (tumbuh-tumbuhan) atau
pohon kurma salah satunya, apabila hasil itu
dimungkinkan dan sesugguhnya praktek diatas
seperti itu sah, dengan memberi upah secara
kontinyu terhadap muza>ra’ah akan tetapi syarat ini tidak tetap.17
d. Mazhab Hanabilah
Adapun syarat-syarat muza>ra’ah menurut ulama Hanabilah antara lain18:
1) Orang yang melangsungkan akad.
Untuk orang yang melakukan syarat dilakukan
bahwa keduanya adalah orang yang telah baligh dan
berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat
seseorang dianggap lebih cakap bertindak hukum.
2) Benih yang akan ditanam.
Syarat yang menyangkut benih yang ditanam harus
jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,
benih yang ditanam itu jelas dan akan
menghasilkan.
3) Tanah yang akan dikerjakan.
Syarat yang menyangkut benih yang ditanam harus
jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,
17 Ibid.,17.
29
benih yang ditanam itu jelas dan akan
menghasilkan. Tanah yang akan dikerjakan :
a) Menurut adat dikalangan petani tanah itu
boleh digarap dan menghasilkan jika tanah
itu boleh digarap dan menghasilkan jika
tanah itu adalah tanah yang tandus dan
kering sehingga tidak memungkinkan untuk
dijadikan tanah pertanian maka akad
muzara’ah> tidak sah. b) Batas tanah itu harus jelas.
c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada
petani untuk digarap apabila disyaratkan
bahwa pemilik tanah ikut mengelola tanah
pertanian itu, maka akad muzara’ah> itu tidak sah.
4) Hasil yang akan dipanen
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen
adalah sebagai berikut:
a) Pembagian hasil panen bagi masing-masing
pihak harus jelas.
b) Hasil itu benar-benar milik bersama orang
yang berakad tanpa boleh ada
30
c) Pembagian hasil panen itu (1/2) setengah,
(1/3) sepertiga atau (1/4) seperempat sejak
dari awal akad sehingga tidak timbul
perselisihan di kemudian hari dan
penetuannya tidak boleh berdasarkan jumlah
tertentu secara mutlak seperti 1 kwintal
untuk pekerja atau satu karung karena
kemungkinan seluruh hasil panen jauh di
bawah jumlah itu atau dapat dengan jauh
melampaui jumlah itu.
d) Syarat yang menyangkut jangka waktu yang
harus dijelaskan dalam akad sejak semula,
karena akad muzara’ah mengandung akad ijarah (sewa menyewa atau upah-mengupah)
dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh
karena itu, jangka waktunya harus jelas,
untuk penentuan jangka waktu itu biasanya
disesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat.19
e. Pendapat Jumhur Ulama’.
Jumhur Ulama’ yang membolehkan akad muza>ra’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
31
sehingga akad dianggap sah.20 Rukun muza>ra’ah menurut mereka adalah:
a) Pemilik lahan.
b) Petani penggarap.
c) Objek muza>ra’ah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja petani.
d) Ijab dan qabul.
Adapun syarat-syarat yang muza>ra’ah menurut jumhur ulama’ adalah ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam dan lahan
yang dikerjakan hasil yang akan dipanen dan dan
jangka waktunya berlakunya akad. Untuk orang
yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya
harus orang yang telah baligh dan berakal dan
kedua syarat inilah yang membuat seseorang
dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat
lain dari kalangan ulama Mazhab Hanafi
menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya
bukan orang yang murtad karena tindakan hukum
orang yang murtad dianggap mauquf. Akan tetapi,
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
Asy-Syafi’I tidak menyetujui syarat tambahan ini,
32
karena menurut mereka akad muza>ra’ah boleh dilakukan antara muslim dan non muslim termasuk
orang murtad.21
Syarat yang menyangkut benih ditanam harus jelas,
sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang ditanam
itu jelas dan akan menghasilkan, sedangkan syarat yang
menyangkut lahan pertanian adalah:
a. Menurut adat dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan
menghasilkan jika lahan tersebut adalah lahan yang tandus
dan kering sehingga tidak mungkin dijadikan lahan
pertanian maka akad muza>ra’ah tidak sah. b. Batas-batas lahan itu jelas.
c. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk
diolah. Apabila disyaratkan bahwa pemilik lahan ikut
mengelola pertanian itu, maka akad muza>ra’ah tidak sah. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah
sebagai berikut:
a. Pembagian hasil panen untuk masing-masing pihak harus
jelas.
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad,
tanpa ada pengkhususan.
33
c. Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga,
atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak
timbul perselisihan di kemudian hari dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak
seperti satu kwintal untuk pekerjaan atau satu karung
karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah
jumlah tersebut atau dapat dengan jauh melampaui jumlah
itu.
Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus
dijelaskan dalam akad sejak semula karena akad muza>ra’ah mengandung makna akad ijarah ( sewa menyewa atau upah )
dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktu harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya
disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. Untuk objek akad
jumhur Ulama’ membolehkan muza>ra’ah mensyaratkan juga harus jelas baik berupa jasa petani sehingga benih yang akan ditanam
datangnya dari pemilik lahan maupun pemanfaatan lahan sehingga
benihnya dari petani.
Imam Abu Yusuf dan Muhammmad bin Hasan
34
akad muza>ra’ah, maka ada empat bentuk muza>ra’ah tersebut yaitu:22
a. Apabila lahan dan bibit dari pemlik lahan, kerja dan alat
dari petani, sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah jasa petani maka hukumnya sah.
b. Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan,
sedangkan petani menyediakan bibit, alat dan kerja.
Sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah manfaat lahan, maka akad muza>ra’ah juga sah.
c. Apabila lahan, dan bibit dari pemilik lahan dan kerja dari
petani sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah jasa petani, maka akad muza>ra’ah juga sah.
Apabila lahan petani dan alat disediakan pemilik lahan
sedangkan bibit dan kerja dari petani, maka akad ini tidak sah.
Menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani, menentukan alat pertanian dari pemilik lahan membuat
akad ini menjadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikuti
pada lahan, menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak
sejenis dengan manfaat lahan, karena lahan adalah untuk
menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah sedangkan manfaat
lahan hanya untuk mengolah lahan. Alat pertanian menurut
22 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam : Fiqih Muamalah, Jakarta : PT Raja
35
mereka harus mengikuti pada petani penggarap bukan kepada
pemilik lahan.
Akibat akad muza>ra’ah menurut jumhur Ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya maka akibat hukumnya adalah sebagai
berikut23:
a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan
biaya pemeliharaan petani tersebut.
b. Biaya pertanian seperti pupuk biaya penuaian serta biaya
pembersihan tanaman ditanggung oleh petani dan pemilik
lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak.
d. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak. Apabila tidak ada kesepakatan berlaku di
tempat masing-masing apabila kebiasaan lahan itu diairi
air hujan maka masingmasing pihak tidak boleh dipaksa
untuk mengairi lahan itu dengan melalui irigasi.
Sedangkan dalam akad disepakati menjadi tujuan petani,
maka petani bertujuan mengairi pertanian dengan irigasi.
e. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen,
maka akad tetap berlaku sampai panen, dan yang
36
meninggal diwakili ahli warisnya. Dalam hal ini, karena
jumhur ulama’ berpendapat bahwa akad ijarah (upah) bersifat mengikat kedua belah pihak dan bisa diwariskan.
Oleh sebab itu, menurut mereka kematian salah satu pihak
yang berakad tidak membatalkan akad ini.
Ulama’ fiqih yang membolehkan akad muzara’ah> mengatakan akad ini akan berakhir apabila:
a. Jangka waktu yang disepakati berakhir, akan tetapi apabila
jangka waktu habis sedangkan hasil pertanian itu belum
layak panen maka akad itu tidak dibatalkan samapi panen
dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan diwaktu akad.
b. Menurut ulama mazhab Hanafi dan Hambali, apabila salah
seorang yang berakada wafat maka akad muza>ra’ah berakhir, karena mereka berpendapat bahwa akad ijarah
tidak bisa diwariskan.24 Akan tetapi ulama mazhab Maliki
dan mazhab Syafi’I berpendapat bahwa akad muza>ra’ah itu dapaat diwariskan oleh sebab itu akad tidak berakhir
dengan wafatnya salah satu meninggal dunia.
c. Adanya uzur salah satu pihak baik dari pemilik lahan
maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak
bisa melanjutkan akad muza>ra’ah tersebut. Uzur dimaksud antara lain:
37
a) Pemilik lahan terbelit hutang sehingga lahan
pertanian tersebut harus, karena tidak ada harta lain
yang dapat melunasi hutang tersebut pembatalan
ini harus dilaksanakan melalui campur tangan
hakim. Akan tetapi, apabila tumbuhtumbuhan itu
telah berbuah tetapi belum layak panen maka lahan
itu boleh dijual sebelum panen.
b) Adanya uzur petani, seperti sakit harus melakukan
suatu perjalanan keluar kota sehingga tidak mampu
melaksanakan pekerjaannya.
B. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukhabarah, musaqah. 1. Muza>ra’ah
Mengerjakan tanah (orang lain) dengan sebagian hasilnya
dan biaya pengerjaan ditanggung pemilik tanah. Hukum dari
muza>ra’ah diperselisihkan ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkannnya. Pihak-pihak yang membolehkan
beralasan pada hadis yang menyatakan bahwa Nabi Saw
memberikan hasil tanah Khaibar kepada orang-orang yahudi.
Khaibar yang membolehkan seperti Imam Syafi’I pendapatnya dikuatkan dengan kenyataan diberbagai daerah orang-orang Islam
38
Sedangkan pihak yang tidak membolehkannya seperti Imam
Khuzaimah dengan alasan bahwa Nabi Saw menyuruh untuk
memberi upah tidak muza>ra’ah. 2. Mukhabarah
Mengerjakan tanah dengan hasilnya dan biaya pengerjaan
ditanggung orang yang mengerjakan. Muzara’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah diantara keduanya terdapat
sedikit perbedaan sebagau berikut:
Muza>ra’ah : benih dari pemilik tanah Mukhabarah : benih dari penggarap.25
3. Musa>qah
Bentuk yang lebih sederhana dari muza>ra’ah dimana si penggarap hanya bertujuan atas penyiraman dan pemeliharaan
sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil
panen.26
Musa>qah ada dua macam, yaitu:
a. Musa>qah yang bertitik pada manfaatnya yaitu pada
hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah
menyerahkan kepada yang mengerjakan segala
upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil
yang baik. Kalau demikian orang yang mengerjakan
berkewajiban mencarai air termasuk membuat
39
sumur, parit, bendungan yang membawa air.27 Jadi
pemilik hanya mengetahui hasilnya
b. Musa>qah yang bertitik tolak pada asalnya yaitu
untuk mengairi sawah tanpa ada tujuan untuk
mencari air, maka pemiliknyalah yang
berkewajiban mencari jalan air, baik yang menggali
sumur, membuat parit atau usaha usaha yang lain.
Musa>qah yang pertama harus diulangulang setiap
tahunnya (setiap tahun harus ada penegasan lagi).
Bentuk yang lebih sederhana dari muza>ra’ah dimana si penggarap hanya bertujuan atas penyiraman dan pemeliharaan
sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil
panen.
Musa>qah ada dua macam,28 yaitu:
a. Musa>qah yang bertitik pada manfaatnya yaitu pada
hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah
menyerahkan kepada yang mengerjakan segala
upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil
yang baik. Kalau demikian orang yang mengerjakan
berkewajiban mencarai air termasuk membuat
sumur, parit, bendungan yang membawa air. Jadi
pemilik hanya mengetahui hasilnya
27 Zuhaili Wahab, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (jakarta: Gema Insani, 2011), 528.
40
b. Musa>qah yang bertitik tolak pada asalnya yaitu
untuk mengairi sawah tanpa ada tujuan untuk
mencari air, maka pemiliknyalah yang
berkewajiban mencari jalan air, baik yang menggali
sumur, membuat parit atau usaha usaha yang lain.
Musa>qah yang pertama harus diulangulang setiap
BAB III
Letak Geografis Desa Padang Kec Padang Kabupaten Lumajang
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian
1. Sejarah Desa Padang Kec. Padang Kab. Lumajang
Sejarah Desa Padang tidak terlepas dari sejarah Masyarakat
Padang Kecamatan Padang di Kabupaten Lumajang. Desa ini awalnya
bernama Desa Padang dengan lurah seumur hidup yang bernama
Sawangi. Lurah Sawangi adalah Kepala Desa yang dermawan, karena
sangat terpengaruh oleh gaya kehidupan masyarakat Padang. Karena
adanya semangat perubahan maka desa ini pada tahun 1930 diubah
Lurahnya bernama Misni.
Nama Padang didasarkan pada keadaan Desanya yang sangat
terang/benter atau padang yang ada di desa ini. Adapun kepala desa
yang pernah menjabat hingga sekarang adalah sebagai berikut :Sawangi,
Misni, Selar (tahun ...s.d 1974), Matali (tahun 1974 s.d 1990),
Admari (tahun 1991 s.d 2006), dan Buyan (tahun 2007 s.d 2009), Sinal
( 2009 s.d 2015 ), Yasid (2015 s.d 2021)
2. Demografi.
Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2010,
jumlah penduduk Desa Padang adalah terdiri dari 704 KK, dengan jumlah
42
Dibawah ini pembagian jumlah Masyarakat Desa Padang Kec. Padang
Kab. Lumajang dalam segi usia:
No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah %
1 0-4 553 736 1289 orang 16,16%
2 5-9 547 647 1194 orang 14,97%
3 10-14 154 253 407 orang 5,10%
4 15-19 191 316 507 orang 6,36%
5 20-24 342 409 751 orang 9,42%
6 25-29 322 437 759 orang 9,52%
7 30-34 174 234 408 orang 5,12%
8 35-39 163 251 414 orang 5,19%
9 40-44 179 267 446 orang 5,59%
10 45-49 208 309 517 orang 6,48%
11 50-54 215 284 499 orang 6,26%
12 55-58 179 209 388 orang 4,86%
13 59
keatas
184 213 397 orang 4,98%
43
Dari data di atas nampak bahwa penduduk usia produktif pada
usia 20-49 tahun Desa Padang sekitar 3.295 atau hampir 41,3 %. Hal
ini merupakan modal berharga bagi pengadaan tenaga produktif dan
SDM. Tingkat kemiskinan di Desa Padang termasuk tinggi. Dari
jumlah 704 KK di atas, sejumlah KK tercatat sebagai Pra Sejahtera;
461 KK tercatat Keluarga Sejahtera I; 15 KK tercatat Keluarga
Sejahtera II; 53 KK tercatat Keluarga Sejahtera III; 3 KK sebagai
sejahtera III plus. Jika KK golongan Pra-sejahtera dan KK golongan I
digolongkan sebagai KK golongan miskin, maka lebih 50 % KK
Desa Padang adalah keluarga miskin.
Secara geografis Desa Padang terletak pada posisi 7°21'-7°31'
Lintang Selatan dan 110°10'-111°40' Bujur Timur. Topografi
ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156 m
di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS kabupaten
Lumajang tahun 2004, selama tahun 2004 curah hujan di Desa
Padang rata-rata mencapai 2.400 mm. Curah hujan terbanyak terjadi
pada bulan Desember hingga mencapai 405,04 mm yang merupakan
curah hujan tertinggi selama kurun waktu 2000-2008.
Secara administratif, Desa Padang terletak di wilayah
Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang dengan posisi dibatasi oleh
wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah Utara berbatasan dengan
Desa kalisemut Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kedawung
44
berbatasan dengan Desa Kalisemut. Jarak tempuh Desa Padang ke ibu
kota kecamatan adalah 0,5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu
sekitar 5 menit. Sedangkan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten
adalah 5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit.
Pendidikan adalah satu hal penting dalam memajukan tingkat
SDM (Sumber Daya Manusia) yang dapat berpengaruh dalam jangka
panjang pada peningkatan perekonomian. Dengan tingkat pendidikan
yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat
yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya ketrampilan
kewirausahaan dan lapangan kerja baru, sehingga akan membantu
program pemerintah dalam mengentaskan pengangguran dan
kemiskinan. Prosentase tinggkat pendidikan Desa Padang dapat
dilihat pada Tabel 5.
No Keterangan Jumlah Prosentase
1 Buta Huruf Usia 10 tahun ke atas - 0
2 Usia Pra-Sekolah 2.351 29 %
3 Tidak Tamat SD 1.286 16 %
4 Tamat Sekolah SD 1.815 23 %
5 Tamat Sekolah SMP 1.765 22 %
6 Tamat Sekolah SMA 545 7 %
45
Jumlah Total 2.250 100 %
Dari di atas menunjukan bahwa mayoritas penduduk Desa
Padang hanya mampu menyelesaikan sekolah di jenjang pendidikan
wajib belajar sembilan tahun (SD dan SMP). Dalam hal kesediaan
sumber daya manusia (SDM) yang memadahi dan mumpuni, keadaan
ini merupakan tantangan tersendiri. Rendahnya kualitas tingkat
pendidikan di Desa Padang, tidak terlepas dari terbatasnya sarana dan
prasarana pendidikan yang ada, di samping tentu masalah ekonomi
dan pandangan hidup masyarakat.
Sarana pendidikan di Desa Padang baru tersedia di tingkat
pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP), sementara untuk pendidikan
tingkat menengah ke atas berada di tempat lain yang relatif jauh.
Sebenarnya ada solusi yang bisa menjadi alternatif bagi persoalan
rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa Padang yaitu
melalui pelatihan dan kursus. Namun sarana atau lembaga ini
ternyata juga belum tersedia dengan baik di Desa Padang. Bahkan
beberapa lembaga bimbingan belajar dan pelatihan yang pernah ada
tidak bisa berkembang.
Masalah pelayanan kesehatan adalah hak setiap warga
46
kualitas masyarakat kedepan. Masyarakat yang produktif harus
didukung oleh kondisi kesehatan. Salah satu cara untuk mengukur
tingkat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari banyaknya
masyarakat yang terserang penyakit. Dari data yang ada
menunjukkan adanya jumlah masyarakat yang terserang penyakit
relatif tinggi. Adapun penyakit yang sering diderita antara lain
infeksi pernapasan akut bagian atas, malaria, penyakit sistem otot
dan jaringan pengikat. Data tersebut menunjukkan bahwa gangguan
kesehatan yang sering dialami penduduk adalah penyakit yang
bersifat cukup berat dan memiliki durasi lama bagi kesembuhannya,
yang diantaranya disebabkan perubahan cuaca serta kondisi
lingkungan yang kurang sehat. Ini tentu mengurangi daya
produktifitas masyarakat Desa Padang secara umum.
Sedangkan data orang cacat mental dan fisik juga cukup tinggi
jumlahnya. Tercatat penderita bibir sumbing berjumlah 3 orang, tuna
wicara 12 orang, tuna rungu 14 orang, tuna netra 7 orang, dan lumpuh
25 orang. Data ini menunjukkan masih rendahnya kualitas hidup
sehat di Desa Padang.
Hal yang perlu juga dipaparkan di sini adalah terkait
keikutsertaan masyarakat dalam KB. Terkait hal ini peserta KB aktif
tahun 2007 di Desa Padang berjumlah 1.449 pasangan usuia subur.
Sedangkan jumlah bayi yang diimunisasikan dengan Polio dan DPT-1
47
walaupun masih bisa dimaksimalkan mengingat cukup tersedianya
fasilitas kesehatan berupa sebuah Puskesmas, dan Polindes di Desa
Padang. Maka wajar jika ketersediaan fasilitas kesehatan yang relatif
lengka ini berdampak pada kualitas kelahiran bagi bayi lahir. Dari
113 kasus bayi lahir pada tahun 2007, hanya 1 bayi yang tidak
tertolong.
Hal yang perlu juga dipaparkan di sini adalah kualitas balita.
Dalam hal ini, dari jumlah 583 balita di tahun 2007, masih terdapat 5
balita bergizi buruk, 35 balita bergizi kurang dan lainnya sedang dan
baik. Hal inilah kiranya yang perlu ditingkatkan perhatiannya agar
kualitas balita Desa Padang ke depan lebih baik.
3. Keadaan Sosial.
Dengan adanya perubahan dinamika politik dan sistem politik di
Indonesia yang lebih demokratis, memberikan pengaruh kepada
masyarakat untuk menerapkan suatu mekanisme politik yang dipandang
lebih demokratis. Dalam konteks politik lokal Desa Padang, hal ini
tergambar dalam pemilihan kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain
(pilleg, pilpres, pemillukada, dan pimilugub) yang juga melibatkan warga
masyarakat desa secara umum.
Khusus untuk pemilihan Kepala Desa Padang, sebagaimana tradisi
kepala desa di Jawa, biasanya para peserta (kandidat) nya adalah mereka
yang secara trah memiliki hubungan dengan elit kepala desa yang lama.
48
bahwa jabatan kepala desa adalah jabatan garis tangan keluarga-keluarga
tersebut. Fenomena inilah yang biasa disebut pulung – dalam tradisi
jawa- bagi keluarga-keluarga tersebut.
Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta merta
dapat diwariskan kepada anak cucu. Mereka dipilh karena kecerdasan,
etos kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa. Kepala desa
bisa diganti sebelum masa jabatannya habis, jika ia melanggar peraturan
maupun norma-norma yang berlaku. Begitu pula ia bisa diganti jika ia
berhalangan tetap. Karena demikian, maka setiap orang yang memiliki
dan memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam perundangan
dan peraturan yang berlaku, bisa mengajukan diri untuk mendaftar
menjadi kandidat kepala desa. Fenomena ini juga terjadi pada pemilihan
desa Padang pada tahun 2007. Pada pilihan kepala desa ini partisipasi
masyarakat sangat tinggi, yakni hampir 95%. Tercatat ada dua kandidat
kepala desa pada waktu itu yang mengikuti pemilihan kepala desa.
Pilihan Kepala Desa bagi warga masyarakat Desa Padang seperti acara
perayaan desa.
Pada bulan Juli dan Nopember 2008 ini masyarakat juga
dilibatkan dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur putaran I dan II secara
langsung. Walaupun tingkat partisipasinya lebih rendah dari pada pilihan
kepala Desa, namun hampir 70% daftar pemilih tetap, memberikan hak
pilihnya. Ini adalah proggres demokrasi yang cukup signifikan di desa
49
berjalan normal. Hiruk pikuk warga dalam pesta demokrasi desa berakhir
dengan kembalinya kehidupan sebagaimana awal mulanya. Masyarakat
tidak terus menerus terjebak dalam sekat-sekat kelompok pilihannya. Hal
ini ditandai dengan kehidupan yang penuh tolong menolong maupun
gotong royong.
Walaupun pola kepemimpinan ada di Kepala Desa namun
mekanisme pengambilan keputusan selalu ada pelibatan masyarakat baik
lewat lembaga resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun lewat
masyarakat langsung. Dengan demikian terlihat bahwa pola
kepemimpinan di Wilayah Desa Padang mengedepankan pola
kepemimpinan yang demokratis. Berdasarkan deskripsi beberapa fakta di
atas, dapat dipahami bahwa Desa Padang mempunyai dinamika politik
lokal yang bagus. Hal ini terlihat baik dari segi pola kepemimpinan,
mekanisme pemilihan kepemimpinan, sampai dengan partisipasi
masyarakat dalam menerapkan sistem politik demokratis ke dalam
kehidupan politik lokal. Tetapi terhadap minat politik daerah dan
nasional terlihat masih kurang antusias. Hal ini dapat dimengerti
dikarenakan dinamika politik nasional dalam kehidupan keseharian
masyarakat Desa Padang kurang mempunyai greget, terutama yang
berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat
secara langsung.
Berkaitan dengan letaknya yang berada diperbatasan Jawa Timur
50
Padang. Dalam hal kegiatan agama Islam misalnya, suasananya sangat
dipengaruhi oleh aspek budaya dan sosial Jawa. Hal ini tergambar dari
dipakainya kalender Jawa/ Islam, masih adanya budaya nyadran,
slametan, tahlilan, mithoni, dan lainnya, yang semuanya merefleksikan
sisi-sisi akulturasi budaya Islam dan Jawa.
Dengan semakin terbukanya masyarakat terhadap arus informasi,
hal-hal lama ini mulai mendapat respon dan tafsir balik dari masyarakat.
Hal ini menandai babak baru dinamika sosial dan budaya, sekaligus
tantangan baru bersama masyarakat Desa Padang. Dalam rangka
merespon tradisi lama ini telah mewabah dan menjamur kelembagaan
sosial, politik, agama, dan budaya di Desa Padang. Tentunya hal ini
membutuhkan kearifan tersendiri, sebab walaupun secara budaya
berlembaga dan berorganisasi adalah baik tetapi secara sosiologis ia akan
beresiko menghadirkan kerawanan dan konflik sosial.
Dalam catatan sejarah, selama ini belum pernah terjadi bencana
alam dan sosial yang cukup berarti di Desa Padang. Isu-isu terkait tema
ini, seperti kemiskinan dan bencana alam, tidak sampai pada titik kronis
yang membahayakan masyarakat dan sosial.
4. Keadaan Ekonomi.
Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Desa Padang
Rp.1.550.000 Secara umum mata pencaharian warga masyarakat Desa
Padang dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor yaitu pertanian,
51
masyarakat yang bekerja di sektor pertanian berjumlah 1.114 orang, yang
bekerja disektor jasa berjumlah 300 orang, yang bekerja di sektor industri
125 orang, dan bekerja di sektor lain-lain 2.125 orang. Dengan demikian
jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian berjumlah 3.794
orang. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata
pencaharian.
No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase
1 Pertanian 1.114 orang 30,4 %
2 Jasa/ Perdagangan
1. Jasa Pemerintahan
2. Jasa Perdagangan
3.