• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerjasama maro sawah sistem gembreng dalam perspektif hukum Islam : studi kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerjasama maro sawah sistem gembreng dalam perspektif hukum Islam : studi kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten

Lumajang)

Oleh:

Muchammad Khoiruddin Ro’uf (C02213043)

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Padang Kec. Padang Kab. Lumajang), adalah hasil penelitian kualitatif dengan metode deduktif untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang dan Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

Data penelitian dihimpun melalui wawancara dan dokumentasi dengan pihak pemilik lahan sawah dan penggarap sawah di desa tersebut serta kepada pihak GAPOKTAN Desa Padang Kecamatan Padang. Selanjutnya data yang berhasil dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif yaitu membuat deskripsi, gambaran atau menjelaskan secara sistematis atas data yang berhasil dihimpun dari pemilik lahan dan penggarap terkait dengan pembahasan.

Hasil penelitian ini menyimpulkan yang dimaksud dengan maro sawah dengan sistem gembreng adalah membagi hasil panen sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara pemilik lahan dengan pekerja menggunakan takaran gembreng bukan per kilo ataupun per karung. Maro sawah dimana kerjasama tersebut lebih menguntungkan pihak penggarap dikarenakan terdapat kecurangan yang terjadi pada saat pembagian hasil waktu panen dimana pihak penggarap melebihi takaran yang telah disepakati antara pemilik sawah. Di dalam Hukum Islam apabila ada salah satu pihak yang melakukan kecurangan otomatis akad tersebut menjadi tidak sah dikarenakan pihak penggarap melakukan kecurangan. Orang yang melakukan perbuatan curang tersebut termasuk mengingkari janji dan tidak bisa menjaga amanah. Sehingga akad yang disepakati oleh pihak penggarap dan pemilik lahan bisa dikatakan melanggar dari perjanjian, sehingga akad tersebut menjadi batal di karenakan terjadi kecurangan disalah satu pihak. pelanggaran atau kecurangan yang dimaksud adalah dari sisi berat dalam konteksnya tetap pakai gembreng tapi berat gembreng antara bagian dari penggarap dengan penyedia lahan lebih berat bagian penggarap.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 12

(8)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Muzāra’ah ... 19

1. Pengertian Muzāra’ah ... 19

2. Dasar Hukum Muzāra’ah ... 21

3. Rukun-Rukun Muzāra’ah ... 22

B. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukhabarah, musaqah ... 37

1. Muza>ra’ah ... 37

2. Mukhabarah ... 37

3. Musa>qah ... 38

BAB III Letak Geografis Desa Padang kec padang kabupaten Lumajang A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 41

1. Sejarah Desa Padang Kec. Padang Kab. Lumajang ... 41

2. Demograf ... 41

3. Keadaan Sosial ... 47

4. Keadaan Ekonomi ... 50

5. Keadaan Pemerintah Desa ... 52

(9)

BAB IV PRAKTEK DAN TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG

A. Prektek Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng di

Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang ... 56

B. Analisis Hukum Islam dalam Kerjasama Maro Sawah

dengan Sistem Gembreng ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan

satu sama lain untuk memenuhi kekurangannya, karena manusia

diciptakan Allah tidak ada yang sempurna. Ada yang kaya dan ada yang

miskin, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang tinggi dan ada yang

rendah, dan lain sebagainya. Tentunya untuk memudahkan manusia untuk

saling membantu dan bekerjasama dalam memenuhi kekurangan masing-

masing.1

Dalam kajian fiqih hubungan antara sesama manusia diantaranya

meliputi jual beli, hutang piutang, jasa penitipan, sewa menyewa, gadai,

kerjasama dan lain sebagainya. Tak ada seorangpun yang bisa memenuhi

kebutuhannya tanpa bantuan orang lain dan untuk bisa memenuhi

kebutuhan itulah mereka bekerja sama dengan cara bermuamalah.2

Kerjasama dengan cara bagi hasil merupakan salah satu kegiatan

mu’amalah yang sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang pertanian. Kerjasama secara bagi hasil ataupun

sewa menyewa ini diperbolehkan dalam Islam baik terhadap barang

1 Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1992), 462.

2 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),

(11)

2

bergerak ataupun barang tidak bergerak seperti tanah.3 Hal ini dikenal

sebagai Muzāra’ah atau Mukhabārah.

Sistem bagi hasil menjadi suatu yang penting terhadap orang-

orang mempunyai tenaga kerja tetapi tidak mempunyai lahan, sementara

yang lain memiliki lahan tetapi tidak mempunyai modal dan tenaga kerja.

Berdasarkan keadaan seperti ini saling membantu dan bekerjasama, maka

hanya sistem bagi hasil yang merupakan cara efektif untuk menghasilkan

lebih banyak tanah yang dapat diolah sehingga menguntungkan kedua

belah pihak.4 Secara etismologi, Muzāra’ah diambil dari kata Az-zar’a, yang berati menaburkan benih ke dalam tanah atau menanam. Dalam

Ensiklopedia Hukum Islam disebutkan Muzāra’ah adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik lahan dan penggarap.5

Dasar hukum yang digunakan para ulama’ mengenai transaksi Muzāra’ah atau Mukhabārah yakni sebuah hadist yang diriwayatkan oleh

َع ِن

ْبا

ِن

ُع َم

َر َر

ِض

َي

ُل

َع

ْ ن ُه

َما

َا ن

َر

ُس ْو

َل

ِل

َص ل

ى

ُل

َع َل

ْي ِه

َو َس

ل َم

َعا

َم َل

َا ْ

َل

َخ ْي

َ ب َر

ِب

َش

ْط

ِر

َما

َْي ُر

ُج

ِم ْ ن

َها

ِم

ْن

ََث ر

َا ْو

َز ْر ع

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw. melakukan kerjasama (penggarap tanah) dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang kelar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman. (H.R Bukhari-Muslim).6

3 SayyidSabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Jakarta: PT.PenaPundiAksana, 2009), 207.

4 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995),

279

5 Abdul Aziz Dahlan (Edi), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1997), 75.

6 Muhammad bin Isma’il Al-Kahli, Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa

(12)

3

Kerjasama mengenai pengolahan sawah yang sering dibahas dalam

fiqih mua’amalah yakni Muzāra’ah atau Mukhabārah yaitu ketentuannya telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi keadilan dan

tidak merugikan salah satu pihak baik pemilik tanpa maupun buruh itu

sendiri. Konsekuensinya dari adanya ketentuan ini adalah bahwa sistem

kerjasama bagi pekerja dan pemiliki tanah harus sesuai dengan ketentuan

norma yang ditetapkan. Menurut pengertian syara’ Muzāra’ah atau Mukhabārah berarti akad kejasama dalam pemindahan hak guna dari

barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa

tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.7

Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang memiliki

aset berupa persawahan yang luas. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai

petani. Namun, tidak semua petani memiliki sawah dan mereka

menggarap sawah milik orang lain dengan perjanjian yang telah

ditentukan yang biasa disebut dengan istilah maro sawah.

Pelaksanaan bagi hasil kerjasama maro sawah antara pemilik lahan

dan penggarap sawah ketika panen padi di wilayah Desa Padang ini dari

masa ke masa menggunakan sistem bagi hasil yang disebut dengan sistem

gembreng. Sistem gembreng merupakan proses takaran yang

menggunakan media gembreng sebagai alat ukur yang digunakan oleh

penggarap dan pemilik sawah. Proses penakaran dilakukan saat panen

terjadi, dimana padi dirontokkan dengan mesin perontok, kemudian hasil

(13)

4

perontokan itu yang biasa disebut dengan gabah. Setelah perontokan

selesai, gabah dijadikan satu untuk kemudian ditakar dengan media

gembreng. Prosesnya gabah ditakar dengan media gembreng kemudian di

masukkan kedalam karung. Setiap karung berisi kisaran empat atau lima

gembreng sesuai dengan ukuran atau volume karung tersebut. Prosentase

dari sistem gembreng tersebut dari total seluruh gabah dibagi dengan

perbangdingan 7 : 2 : 1, dimana 7 bagian itu dibagi menjadi 2 yaitu untuk

pemilik sawah dan penggarap sawah, sedangkan 2 bagian itu

diperuntukkan kepada penggarap sawah dan 1 bagian diperuntukkan

sebagai pembayaran irigasi sawah. Dalam kenyataannya dengan luas

sawah 1 hektar persegi menghasilkan 5 ton gabah, 5 ton gabah sama

dengan 5000 kg gabah kemudian ditakar menggunakan gembreng dan

dibagi menjadi 7 : 2 : 1 bagian. Yang mana persatu gembreng berisi

kurang lebih 13 kg. Sehingga pembagian hasil tersebut dapat dihitung

sebagai berikut:

5000 kg / 13 = 384,6 gembreng

7/10 x 384,6 gembreng = 269 gembreng , 134.5 gembreng untuk

pemilik sawah dan 134.5 gembreng

untuk penggarap sawah.

2/10 x 384,6 gembreng = 77 gembreng untuk penggarap sawah.

Jadi, pemilik sawah mendapat 134.5 gembreng gabah, sedangkan

penggarap mendapat 211,5 gembreng gabah.8

(14)

5

Dalam pelaksanaan sistem gembreng tersebut buruh tani

melakukan tindakan yang menguntung dirinya sendiri dan merugikan

pemilik lahan. Seperti halnya saat proses penakaran gabah waktu panen

yang dilakukan oleh penggarap sawah menghasilkan berat gabah yang

diterima oleh pemilik sawah mempunyai berat yang tidak sesuai dengan

takaran gabah yang diterima oleh penggarap sawah. Jika dalam menakar

gabah untuk pembagian pemilik sawah, gabah ditakar sesuai dengan

volume gembreng. Namun, untuk penakaran gabah yang akan menjadi

bagian dari penggarap sawah, penakaran berbeda dengan takaran pemilik

sawah, penggarap melakukan tindakan kecurangan dengan melebihi

takaran gembreng tersebut dengan cara gabah yang dimasukkan kedalam

gembreng tersebut ditekan agar supaya memperoleh berat yang maksimal.

Dengan demikian pemilik sawah mengalami kerugian dalam kerjasama

bagi hasil tersebut karena ada unsur kecurangan dalam proses pembagian

yang tidak sesuai dengan kesepakan yang telah disepakati sebelumnya.

Berdasarkan realita tersebutlah yang melatar belakangi penulis

tertarik untuk meneliti terkait maro sawah dengan menggunakan sistem

gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang, Dan

untuk bahasan lebih lanjut akan dituang dalam bentuk skripsi yang

berjudul ‚Kerjasama Maro Sawah Sistem Gembreng dalam Perspektif Hukum Islam (Studi kasus di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten

(15)

6

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan

kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian

dengan melakukan identifikasi sebanyak-banyaknya kemudian yang dapat

diduga sebagai masalah.9 Identifikasi masalah dalam kasus ini sebagai

berikut :

1. Praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang

Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

2. Perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem

gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

3. Analisa hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem

gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

4. Berakhinya akad kerjasama kerjasama maro sawah sistem gembreng

di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

5. Syarat dan Rukun dalam kerjasama bagi hasil pertanian

6. Norma kerjasama pertanian dalam Islam

7. Pentingnya kerjasama bagi hasil maro sawah sistem gembreng bagi

masyarakat di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

Untuk memperjelas persoalan masalah yang ada di dalam masalah

ini, agar nantinya mencegah uraian yang panjang lebar, maka penulis

perlu membatasi supaya maslah ini sesuai dengan judul serta yang penulis

harapkan, diantaranya :

9 Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi,

(16)

7

1. Praktek kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang

Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

2. Perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah sistem

gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian identifikasi dan pembatasan masalah, maka

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana praktik kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa

Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap kerjasama maro sawah

sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten

Lumajang?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan

diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak

merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang

telah ada.10 Ada pun kajian pustaka dari penelitian ini yaitu :

1. Skripsi yang ditulis oleh Syahkrul Amil Mukminin, dalam skripsi

berjudul‚‛Analisis Hukum Islam Terhadap paron Sapi di Desa Ragang

10

(17)

8

Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan‛. Skripsi ini membahas tentang praktik Paron sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan

dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang telah dilakukan oleh

masyarakat di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan

tersebut diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hukum Islam

karena kedua belah pihak yang melakukan akad telah memenuhi

kewajiban dan persyaratan yang ada dan sesuai dengan hukum Islam.11.

2. Skripsi yang ditulis oleh Abu Yasid, dalam skripsi berjudul‚ ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron di Desa Gunung

Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛. Skripsi ini membahas tentang Pemanfaatan Hewan Paron dalam tinjauan hukum

Islam. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang

telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Gunung Sereng Kecamatan

Kwanyar Kabupaten Bangkalan tersebut diperbolehkan karena tidak

bertentangan dengan hukum Islam karena kedua belah pihak yang

melakukan akad telah sesuai dengan akad yang disepakati dan sesuai

dengan hukum Islam.12

3. Skripsi yang ditulis oleh Fairuz Abadi, dalam skripsi berjudul‚ ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama Penggemukan Sapi di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar

11

Syahkrul a il uk i i ,”A alisa Huku Islam terhadap paron sapi di desa Ragang kec Waru Kab Pamekasan”.(Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014).

12 Abu Yasid, ‚Analisis Hukum Islam TerhadapPemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung

(18)

9

Kabupaten Bangkalan‛. Skripsi ini membahas tentang kerjasama paron penggemukan sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari

skripsi ini adalah bahwa sistem sistem paron yang ada di Desa Batah

Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan selama ini

dilaksanakan sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Sebab,

pelaksanaan kerjasama yang mereka laksanakan berdasarkan

kesepakatan bersama dan tidak ada unsur paksaan.13

4. Penelitian Afia Susilo, dalam sekripsi berjudul, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Pertanian (Muzāra’ah) studi kasus di Desa Dalangan Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten‛, Hasil skripsi Afia Susilo menjelaskan bahwa akad Muzāra’ah di Desa Dalangan Kecamatan Tulung Kabupaten Klaten antara pemilik tanah dengan

penggarap belum sesuai dengan hukum Islam, karena dalam praktik

Muzāra’ah tersebut mengandung unsur (ketidak jelasan) pada objek akad dengan bagi hasil yang menyebabkan terjadi perbedaan antara

tujuan akad aslinya dengan akad yang terjadi.14

Skripsi yang akan diteliti oleh peneliti berbeda dengan skripsi

yang telah disebutkan diatas, yaitu membahas tentang proses pembagian

hasil gabah waktu panen yang menggunakan sistem gembreng yang

terjadi di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

13 Fairuz Abadi A, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama

Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan‛, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya 2015), 60.

14 Afia Susilo, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Bagi Hasil Muzara’ah (Studi Kasus di

(19)

10

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah titik akhir yang akan dicapai dalam

sebuah penelitian dan juga menentukan arah penelitian agar tetap dalam

koridor yang benar hingga tercapainya sesuatu yang dituju.15 Tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui bagaimana Praktek kerjasama maro sawah

sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten

Lumajang?

2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam terhadap

kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang

Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang?

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aspek teoritis

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga

dapat mengembangkan dan memberikan sumbangsih pengetahuan

terhadap pengembangan hukum Islam khususnya perihal praktek

kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng yang di dalam

istilah Islam kerjasma bagi hasil maro sawah dikenal dengan

Musāqah, Muzāra’ah dan Mukhabārah.

15 Haris Herdiansyah, ‚Metodologi Penelitian Kualitatif‛, (Jakarta Selatan: Salemba Humanika,

(20)

11

2. Aspek praktis

Diharapkan dengan adanya penelitian ini bergiuna bagi

mahasiswa untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan

diharapkan pula agar bisa membantu petani untuk lebih

mengetahui terkait apa yang dibahas dalam skripsi ini.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional yaitu untuk memuat penjelasan tentang

pengertian yang bersifat operasional dari konsep atau variabel penelitian

sehingga bisa dijadikan acuan dalam menelusuri, menguji atau mengukur

variabel tersebut melalui penelitian.16 Penelitian ini berjudul

‚KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA PADANG

KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG)‛ Untuk memudahkan pemahaman dalam judul penelitian ini, maka perlu untuk

menjelaskan secara operasional agar terjadi kesepahaman dalam

memahami judul skripsi.

Hukum Islam : Adalah peraturan-peraturan dan ketentuan

hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.17 Aturan yang dimaksud

kerjasama maro sawah sistem gembreng

16 Fakultas Syari’ah UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: Fakultas

Syari’ah, 2016), 9.

17 Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islami, (Jakarta: Gema Insani

(21)

12

dalam skripsi ini yaitu syarat dan rukun

Muzāra’ah menurut pendapat ulama. Kerjasama maro sawah

Dengan Sistem gembreng : Kerjasama dimana antara pemilik dan

pekerja membagi hasil sawah

menggunakan takaran gembreng

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)

terhadap ‚KERJASAMA MARO SAWAH SISTEM GEMBRENG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA

PADANG KECAMATAN PADANG KABUPATEN LUMAJANG)‛ dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Kemudian untuk

memberikan gambaran yang baik, dibutuhkan serangkaian langkah yang

sistematis. Adapun langkah-langkah tersebut terdiri dari, data yang

dikumpulkan, sumber data, teknik analisis data, dan sistematika

pembahasan.

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang

berkenaan dengan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini

sesuai dengan rumusan masalah diatas. Data yang akan dikumpulkan

(22)

13

a. Data gambaran umum lokasi penelitian yang terletak di Desa

Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

b. Data tentang praktek kerjasama maro sawah dengan sistem

gembreng.

c. Data akibat kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng.

2. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan

penelitian lapangan (field research) yang mengkhususkan pada kasus

yang terjadi di lapangan dengan tetap mengarah pada konsep-konsep

yang ada seperti sumber dari kepustakaan maupun dari subyek

penelitian sebagai bahan data pendukung. Adapun sumber-sumber

dalam penelitian ini didapat dari sumber primer dan sumber sekunder

yaitu:

a. SumberPrimer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber subyek

penelitian.18 Yakni sumber data dari informasi atau wawancara

dengan para petani pada khususnya antara pemilik sawah (Pak

Tasan dan Pak Buari) dan penggarap sawah (Pak Jai) sebagai

pihak yang melakukan kerjasama.

b. Sumber Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan. Data

sekunder merupakan data pendukung proyek penelitian dan

(23)

14

sebagai pelengkap data primer, mengingat data primer merupakan

data praktik dalam lapangan.19 Karena penelitian ini merupakan

penelitian yang tidak terlepas dari kajian hukum Islam, maka

penulis menempatkan sekunder data yang berkenaan dengan

kajian-kajian tersebut sebagai sumber data sekunder. Adapun

buku-buku atau literatur yang menjadi sumber data sekunder

dalam skripsi ini meliputi:

1. Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam.

2. Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Hukum Bisnis dan Sosial.

3. Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah.

4. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat.

5. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12.

6. Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi, yaitu suatu penggalian data dengan cara mengamati,

memperhatikan, mendengar dan mencatat terhadap peristiwa,

keadaan, atau hal lain yang menjadi sumber data.20 Dalam hal ini

penulis akan melakukan observasi di Desa Padang Kecamatan

19 Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian, ( Yogyakarta : Ar-Ruz Media, 2011),

33.

(24)

15

Padang Kabupaten Lumajang guna mengetahui secara langsung

praktek yang dilakukan oleh pelaku kerjasama maro sawah tersebut

b. Wawancara (interview), yakni proses percakapan dengan maksud

untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan,

organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan yaitu

pewawancara dan narasumber. Oleh karena itu wawancara

merupakan metode pengumpulan data yang amat terkenal, karena

itu banyak digunakan di berbagai penelitian.21 Adapun dalam

penelitian ini yakni dengan melakukan wawancara langsung kepada

para pihak terkait yang diperlukan dalam penelitian, khususnya

pemilik sawah dan penggarap sawah.

c. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melihat

atau mencatat suatu laporan yang telah tersedia. Dengan kata lain,

proses penyampaiannya dilakuan melalui data tertulis yang memuat

garis besar data yang akan dicari dan berkaitan dengan judul

penelitian.22 Dokumentasi ini merupakan data konkrit yang bisa

penulis jadikan acuan untuk memperoleh data-data yang digunakan

penulis sebagai landasan teoritis.

21 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),

143.

(25)

16

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah data berhasil dikumpulkan dari lapangan maupun

penulisan. Maka peneliti menggunakan teknik pengolahan data dengan

tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Organizing, yaitu menyusun data yang diperoleh secara sistematis

terhadap kerjasama maro sawah dengan sistem gembreng di Desa

Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

b. Editing, yaitu data yang sudah dikumpulkan tersebut lalu diperiksa

kembali secara cermat. Pemeriksaan tersebut meliputi segi

kelengkapan sumber informasi, kejelasan makna, kesesuaian dan

keselarasan antara satu dan yang lainnya, relevansi dan

keseragaman data mengenai kerjasama maro sawah dengan sistem

gembreng di Desa Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang.

c. Analizing, yaitu menganalisa data-data tersebut sehingga diperoleh

kesimpulan-kesimpulan tertentu.

5. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, yaitu data dari hasil lapangan maupun

pustaka, maka dilakukan analisa data secara kualitatif melalui

pendekatan deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu data

yang telah diperoleh dari proses penalaran untuk menarik kesimpulan

berupa peinsip atau bsikap yang berlaku khusus berdasarkan atas

fakta-fakta yang bersifat umum., dengan diiringi uraian-uraian yang jelas

(26)

17

Padang Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang. Sehingga

uraian-uraian tersebut dapat ditarik pada kesimpulan yang lebih khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,

kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua memuat tentang landasan teori dari penelitian ini yang

berisi definisi Muzāra’ah, landasan hukum Muzāra’ah, hukum Muzāra’ah, syarat dan rukun Muzāra’ah, macam-macam, berakhirnya akad Muzāra’ah.

Bab ketiga mengemukakan hasil penelitian tentang pelaksanaan

kerjasama maro sawah sistem gembreng di Desa Padang Kecamatan

Padang Kabupaten Lumajang meliputi: profil Desa Padang Kecamatan

Padang Kabupaten Lumajang dan mekanisme kerjasama maro sawah

sistem gembreng meliputi latar belakang kerjasama maro sawah sistem

gembreng, akad yang digunakan pada kerjasama maro sawah.

Bab keempat memuat tentang analisis terhadap kerjasama maro

sawah sistem gembreng dalam perspektif hukum Islam di Desa Padang

(27)

18

Bab kelima merupakan bab penutup dari keseluruhan isi

pembahasan skripsi, pada bab ini meliputi kesimpulan dan saran dari

(28)

BAB II

Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Muzara’ah

A. Muzāra’ah

1. Pengertian Muzara’ah

Menurut etimologi Muzāra’ah adalah

ُةَعاَزُمْلَا

bentuk kata

yang mengikuti wazan

ةَلَعاَفُم

dari kata

عرزلَا

yang sama artinya

dengan

ُتاَبُ ن

ِءَاا

(Menumbuhykan).1 memiliki dua macam arti,

yaitu:

a. Menabur benih di tanah.

b. Menumbuhkan

Pengertian yang pertama merupakan arti majaz, sedangkan

pengertian yang kedua adalah makna haqiqi. Oleh karena itu

terdapat larangan seorang manusia mengucapkan‚ saya telah menumbuhkan hendaklah ia mengucapkan Saya petani.2

Sebagaimana Firman Allah SWT:

ۡ يَءََܱفَأ ݗُت ۡ اَݘ ۡ ۡ َ ت َۡنوُثُܱ ۡ ۡۡ ۡ ݗُتنَأَء ۡ ۡ َܲت ُۡهَنوُعَر ۡ ۥۡ ۡ مَأ ۡ ۡ َ ن ُۡن ۡٱ ۡ َزل َۡنوُعِر ۡ ۡ ۡ

1 Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: yayasan Ali Maksum

Krapyak Yogyakarta, 1999), 1875.

(29)

20

Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam?

Kamukah yang menumbuhkan ataukah kami yang

menumbuhkannya (al-Waqiah 63-64)

Adapun Muzāra’ah menurut terminologi Ulama’ fiqih sebagai berikut:

a. Menurut mazhab Hanafi

Muzāra’ah menurut pengertian syara’ ialah suatu akad perjanjian, pengelolaan tanah dengan

memperoleh hasil sebagian dari penghasilan Tanah

itu.3

b. Menurut mazhab Maliki

Muzāra’ah menurut pengertian syara’ ialah persekutuan dalam satu akad Perjanjian 4

c. Menurut mazhab Syafi’i

Berpendapat muza>ra’ah adalah kerjasama antara pemilik dengan penggarap untuk menggarap

tanahnya dengan imbalan sebagian dari hasil nanti

dibagi menurut kesepakatan bersama, sedangkan

benih diberikan oleh pemilik tanah.5

d. Menurut mazhab Hanabilah

3 Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994,

18

(30)

21

Mengatakan bahwa Muzāra’ah adalah penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk

digarap dan hasilnya dibagi berdua.6

e. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri

Muzāra’ah adalah pekerjaan mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan

modal pemilik tanah.7

f. Menurut Muhammad Syafi'i Antonio

Adalah kerjasama pengelolahan pertanian antara

pemilik lahan dan penggarap di mana pemiliki

lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami

dan dipelihara dengan imbalan sebagian persentase

dari hasil panennya.8

2. Dasar Hukum Muzāra’ah.

Dalil-dalil yang menyatakan tentang dibolehkannya

Muzāra’ah antara lain sebagai berikut:

Al-Qur’an Surat al-Waqi’ah ayat 63-64

ۡ يَءََܱفَأ ݗُت ۡ اَݘ ۡ ۡ َ ت َۡنوُثُܱ ۡ ۡۡ ۡ ݗُتنَأَء ۡ ۡ َܲت ُۡهَنوُعَر ۡ ۥۡ ۡ مَأ ۡ ۡ َ ن ُۡن ۡٱ ۡ َزل َۡنوُعِر ۡ ۡ

Artinya: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya.9

6 Nasoen Haroen, Fiqih Muamalah, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 27. 7 Suhendi , Fiqih, 216

8 Belajar Ekonomi Syari'ah, faizlife.blogspot.com/2012/04/muzara’ah.html diakses tanggal 12

Juni 2017

(31)

22

Al-Qur’an Surat Al-Jum’ah ayat 10

٤َذِإَف ۡ ِۡتَي ِضُق ۡٱ ۡ وَݖ َصل ُۡةۡ َۡفٱ ۡ ٤وُ َِِتن ۡ ِۡف ۡٱ ۡ َ ل ۡ ۡ ِض َۡۡو ٱۡ ب َۡت ۡ ٤وُغ ۡ نِݘ ۡ ۡ ضَف ِۡلۡ ٱ ِۡ َّ َۡۡو ٱۡ ذ ۡ ٤وُُܱك ۡٱ َۡ َّ ۡ ۡميِثَك اۡ ۡ ݗُكَݖَعَل ۡ ۡ فُت َۡنوُحِݖ ۡ ٠ ۡ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.10

3. Rukun-Rukun Muzāra’ah

Rukun merupakan suatu yang harus ada, tanpa adanya

rukun maka Muzāra’ah tidak akan dibilang sah, hal tersebut merupakan prinsip mendasar yang harus dipenuhi dalam

Muzāra’ah seperti ijab dan qabul dalam masalah jual beli, tanpa adanya ijab qabul jual beli itu tidaklah sah, karena ijab qabul

merupakan rukun jual beli.

Demikian juga dalam masalah muza>ra’ah tentulah ada unsurunsur (rukun) yang dapat menyebabakan sahnya suatu

perjanjian muza>ra’ah. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam menetapkan rukun-rukun tersebut.

Pendapat itu antara lain:

a. Ulama’- ulama’ Hanafiah

Menurut ulama’ Hanafiyah rukun muza>ra’ah antara lain ijab qabul yaitu perkataan pemilik tanah

kepada penggarap. Akan tetapi, sebagian ulama

(32)

23

Hanafi mengatakan bahwa sahnya rukun muza>ra’ah ada 4 macam:

1) Ada tanah yang dikelolah

2) Pekerjaan yang dilakukan pengelola

3) Benih

4) Alat Pertanian11

b. Ulama’- ulama’ Malikiyah

Menurut Ulama Maliki mengatakan bahwa rukun

muza>ra’ah adalah segala sendi yang menjadikan muza>ra’ah itu berjalan sesuai dengan aturan yang benar. Dan ada tiga macam pendapat mengenai

rukun muza>ra’ah yaitu:

1) Bentuk kerjasama itu dianggap berlangsung

dengan ijab qabul semata.

2) Bahwa kerjasama itu dianggap berlangsung

dengan ijab qabul serta adanya upaya

pengelola tanah seperti membajak dan

meratakan tanah.

3) Kerjasama itu tidak dapat berlangsung

kecuali setelah adanya penaburan benih.12

c. Ulama’- ulama’ Syafi’iyah

11 Abdul Rahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab, Moh. Zuhri dkk, Asy Syifa, Semarang, 1994,

24.

(33)

24

Menurut ulama Syafi’iyah rukun muza>ra’ah antara lain:

1) Pemilik tanah

2) Petani penggarap

3) Objek muza>ra’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani

4) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari

pemilik tanah) qabul (pernyataan penerima

tanah untuk digarap dari petani).13

d. Ulama’- ulama’ Hanabilah

Menurut ulama Hanabilah rukum muza>ra’ah adalah:

1) Pemilik tanah

2) Petani penggarap

3) Objek muza>ra’ah yaitu anatar tanah dan hasil kerja petani

4) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari

pemilik tanah) dan Qabul (pernyataan

penerimaan tanah untuk digarap dari

petani).14 Namun, ulama hanabilah

mengatakan bahwa penerimaan (qabul) akad

13 Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2000), 278.

14 Abdul Aziz Dahlan(ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Hoeve, 2006),

(34)

25

muza>ra’ah tidak perlu diungkapkan, tetapi boleh juga dengan tindakan yaitu petani

langsung menggarap tanah itu.15

4. Syarat-syarat Muza>ra’ah a. Mazhab Hanafi

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut

ulama-ulama mazhab Hanafi meliputi:

1) Aqid (orang yang mengadakan kesepakatan )

minimal seorang aqid harus memenuhi dua syarat:

a) Aqid harus berakal.

b) Tidak murtad.

2) Tanaman harus jelas dengan menjelaskan tanaman

apa yang akan ditanam. Adapun syarat mazru

(tanaman yang ditanam) sebagaimana tanaman

yang biasanya ditanam terutama yang sesuai

dengan cara muza>ra’ah, syarat-syarat yang berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari tanaman

antara lain:

a) Hasil yang diperoleh teruslah diterangkan

dalam akad.

(35)

26

b) Hasil yang diperoleh merupakan barang

yang disekutukan antara dua orang yang

bersepakat (berakad).

c) Bagian hasil yang diperoleh berupa bagian

yang belum dibagi secara garis besar antara

dua orang yang berakad.

3) Syarat-syarat tanah yang ditanami antara lain:

a) Tanahnya harus subur ditanami.

b) Tanah yang akan ditanami harus jelas.

c) Tanahnya diserahkan secara penuh dan

terlepas dari segala halangan yang yang

merintangi penggarapan.

4) Syarat-syarat yang berkaitan dengan waktu

muza>ra’ah antara lain:

a) Waktu harus ditentukan.

b) Waktunya layak untuk terselenggaranya

pengelolahan tanah sampai selesai.

c) Waktunya terbentang selama-lamanya.

b. Mazhab Maliki

Dalam masalah akad muza>ra’ah ulama Maliki memberikan syarat sebagai berikut:

1) Akad penyewaan tanah tidak mengandung sesuatu

(36)

27

2) Dua orang yang bekerjasama hendaknya

bersama-sama dalam memperoleh keuntungan artinya

masing-masing memungut keuntungan sesuai

dengan modal yang diserahkan jadi salah satu pihak

menyerahkan separuh yang dibutuhka maka ia tidak

boleh memungut hasilnya lebih dari sepertiga.

3) Mencampurkan bahan makanan pokok dari

masing-masing orang yang bekerja sama.

4) Masing-masing dari orang yang bekerjasama

mengeluarkan benih yang sama dengan benih

kawannya dalam jenis dan sifatnya.16

c. Mazhab Syafi’i.

Sedangkan syarat-syarat muza>ra’ah menurut ulama syafi’i antara lain:

1) Akad musaqah dan akad muza>ra’ah di jadikan satu, kalau akadnya sendiri sendiri maka akad tersebut

tidak sah (batal).

2) Akad muza>ra’ah dan musaqah bersambung artinya akad muza>ra’ahlah yang mengikuti akad musaqah. 3) Mendahulukan akad musaqah dari akad muza>ra’ah. 4) Hendaklah berhati-hati terhadap penggunaan akad

musaqah dengan tanpa merawat hasil itu jika tidak

(37)

28

tetap menyirami pohon (tumbuh-tumbuhan) atau

pohon kurma salah satunya, apabila hasil itu

dimungkinkan dan sesugguhnya praktek diatas

seperti itu sah, dengan memberi upah secara

kontinyu terhadap muza>ra’ah akan tetapi syarat ini tidak tetap.17

d. Mazhab Hanabilah

Adapun syarat-syarat muza>ra’ah menurut ulama Hanabilah antara lain18:

1) Orang yang melangsungkan akad.

Untuk orang yang melakukan syarat dilakukan

bahwa keduanya adalah orang yang telah baligh dan

berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat

seseorang dianggap lebih cakap bertindak hukum.

2) Benih yang akan ditanam.

Syarat yang menyangkut benih yang ditanam harus

jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,

benih yang ditanam itu jelas dan akan

menghasilkan.

3) Tanah yang akan dikerjakan.

Syarat yang menyangkut benih yang ditanam harus

jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,

17 Ibid.,17.

(38)

29

benih yang ditanam itu jelas dan akan

menghasilkan. Tanah yang akan dikerjakan :

a) Menurut adat dikalangan petani tanah itu

boleh digarap dan menghasilkan jika tanah

itu boleh digarap dan menghasilkan jika

tanah itu adalah tanah yang tandus dan

kering sehingga tidak memungkinkan untuk

dijadikan tanah pertanian maka akad

muzara’ah> tidak sah. b) Batas tanah itu harus jelas.

c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada

petani untuk digarap apabila disyaratkan

bahwa pemilik tanah ikut mengelola tanah

pertanian itu, maka akad muzara’ah> itu tidak sah.

4) Hasil yang akan dipanen

Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen

adalah sebagai berikut:

a) Pembagian hasil panen bagi masing-masing

pihak harus jelas.

b) Hasil itu benar-benar milik bersama orang

yang berakad tanpa boleh ada

(39)

30

c) Pembagian hasil panen itu (1/2) setengah,

(1/3) sepertiga atau (1/4) seperempat sejak

dari awal akad sehingga tidak timbul

perselisihan di kemudian hari dan

penetuannya tidak boleh berdasarkan jumlah

tertentu secara mutlak seperti 1 kwintal

untuk pekerja atau satu karung karena

kemungkinan seluruh hasil panen jauh di

bawah jumlah itu atau dapat dengan jauh

melampaui jumlah itu.

d) Syarat yang menyangkut jangka waktu yang

harus dijelaskan dalam akad sejak semula,

karena akad muzara’ah mengandung akad ijarah (sewa menyewa atau upah-mengupah)

dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh

karena itu, jangka waktunya harus jelas,

untuk penentuan jangka waktu itu biasanya

disesuaikan dengan adat kebiasaan

setempat.19

e. Pendapat Jumhur Ulama’.

Jumhur Ulama’ yang membolehkan akad muza>ra’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi,

(40)

31

sehingga akad dianggap sah.20 Rukun muza>ra’ah menurut mereka adalah:

a) Pemilik lahan.

b) Petani penggarap.

c) Objek muza>ra’ah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja petani.

d) Ijab dan qabul.

Adapun syarat-syarat yang muza>ra’ah menurut jumhur ulama’ adalah ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam dan lahan

yang dikerjakan hasil yang akan dipanen dan dan

jangka waktunya berlakunya akad. Untuk orang

yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya

harus orang yang telah baligh dan berakal dan

kedua syarat inilah yang membuat seseorang

dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat

lain dari kalangan ulama Mazhab Hanafi

menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya

bukan orang yang murtad karena tindakan hukum

orang yang murtad dianggap mauquf. Akan tetapi,

Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan

Asy-Syafi’I tidak menyetujui syarat tambahan ini,

(41)

32

karena menurut mereka akad muza>ra’ah boleh dilakukan antara muslim dan non muslim termasuk

orang murtad.21

Syarat yang menyangkut benih ditanam harus jelas,

sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang ditanam

itu jelas dan akan menghasilkan, sedangkan syarat yang

menyangkut lahan pertanian adalah:

a. Menurut adat dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan

menghasilkan jika lahan tersebut adalah lahan yang tandus

dan kering sehingga tidak mungkin dijadikan lahan

pertanian maka akad muza>ra’ah tidak sah. b. Batas-batas lahan itu jelas.

c. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk

diolah. Apabila disyaratkan bahwa pemilik lahan ikut

mengelola pertanian itu, maka akad muza>ra’ah tidak sah. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah

sebagai berikut:

a. Pembagian hasil panen untuk masing-masing pihak harus

jelas.

b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad,

tanpa ada pengkhususan.

(42)

33

c. Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga,

atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak

timbul perselisihan di kemudian hari dan penentuannya

tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak

seperti satu kwintal untuk pekerjaan atau satu karung

karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah

jumlah tersebut atau dapat dengan jauh melampaui jumlah

itu.

Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus

dijelaskan dalam akad sejak semula karena akad muza>ra’ah mengandung makna akad ijarah ( sewa menyewa atau upah )

dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka

waktu harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya

disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. Untuk objek akad

jumhur Ulama’ membolehkan muza>ra’ah mensyaratkan juga harus jelas baik berupa jasa petani sehingga benih yang akan ditanam

datangnya dari pemilik lahan maupun pemanfaatan lahan sehingga

benihnya dari petani.

Imam Abu Yusuf dan Muhammmad bin Hasan

(43)

34

akad muza>ra’ah, maka ada empat bentuk muza>ra’ah tersebut yaitu:22

a. Apabila lahan dan bibit dari pemlik lahan, kerja dan alat

dari petani, sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah jasa petani maka hukumnya sah.

b. Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan,

sedangkan petani menyediakan bibit, alat dan kerja.

Sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah manfaat lahan, maka akad muza>ra’ah juga sah.

c. Apabila lahan, dan bibit dari pemilik lahan dan kerja dari

petani sehingga yang menjadi objek muza>ra’ah adalah jasa petani, maka akad muza>ra’ah juga sah.

Apabila lahan petani dan alat disediakan pemilik lahan

sedangkan bibit dan kerja dari petani, maka akad ini tidak sah.

Menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan

Asy-Syaibani, menentukan alat pertanian dari pemilik lahan membuat

akad ini menjadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikuti

pada lahan, menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak

sejenis dengan manfaat lahan, karena lahan adalah untuk

menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah sedangkan manfaat

lahan hanya untuk mengolah lahan. Alat pertanian menurut

22 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam : Fiqih Muamalah, Jakarta : PT Raja

(44)

35

mereka harus mengikuti pada petani penggarap bukan kepada

pemilik lahan.

Akibat akad muza>ra’ah menurut jumhur Ulama yang membolehkan akad muza>ra’ah apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya maka akibat hukumnya adalah sebagai

berikut23:

a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan

biaya pemeliharaan petani tersebut.

b. Biaya pertanian seperti pupuk biaya penuaian serta biaya

pembersihan tanaman ditanggung oleh petani dan pemilik

lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.

c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah

pihak.

d. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua

belah pihak. Apabila tidak ada kesepakatan berlaku di

tempat masing-masing apabila kebiasaan lahan itu diairi

air hujan maka masingmasing pihak tidak boleh dipaksa

untuk mengairi lahan itu dengan melalui irigasi.

Sedangkan dalam akad disepakati menjadi tujuan petani,

maka petani bertujuan mengairi pertanian dengan irigasi.

e. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen,

maka akad tetap berlaku sampai panen, dan yang

(45)

36

meninggal diwakili ahli warisnya. Dalam hal ini, karena

jumhur ulama’ berpendapat bahwa akad ijarah (upah) bersifat mengikat kedua belah pihak dan bisa diwariskan.

Oleh sebab itu, menurut mereka kematian salah satu pihak

yang berakad tidak membatalkan akad ini.

Ulama’ fiqih yang membolehkan akad muzara’ah> mengatakan akad ini akan berakhir apabila:

a. Jangka waktu yang disepakati berakhir, akan tetapi apabila

jangka waktu habis sedangkan hasil pertanian itu belum

layak panen maka akad itu tidak dibatalkan samapi panen

dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan diwaktu akad.

b. Menurut ulama mazhab Hanafi dan Hambali, apabila salah

seorang yang berakada wafat maka akad muza>ra’ah berakhir, karena mereka berpendapat bahwa akad ijarah

tidak bisa diwariskan.24 Akan tetapi ulama mazhab Maliki

dan mazhab Syafi’I berpendapat bahwa akad muza>ra’ah itu dapaat diwariskan oleh sebab itu akad tidak berakhir

dengan wafatnya salah satu meninggal dunia.

c. Adanya uzur salah satu pihak baik dari pemilik lahan

maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak

bisa melanjutkan akad muza>ra’ah tersebut. Uzur dimaksud antara lain:

(46)

37

a) Pemilik lahan terbelit hutang sehingga lahan

pertanian tersebut harus, karena tidak ada harta lain

yang dapat melunasi hutang tersebut pembatalan

ini harus dilaksanakan melalui campur tangan

hakim. Akan tetapi, apabila tumbuhtumbuhan itu

telah berbuah tetapi belum layak panen maka lahan

itu boleh dijual sebelum panen.

b) Adanya uzur petani, seperti sakit harus melakukan

suatu perjalanan keluar kota sehingga tidak mampu

melaksanakan pekerjaannya.

B. Perbedaan Muza>ra’ah, Mukhabarah, musaqah. 1. Muza>ra’ah

Mengerjakan tanah (orang lain) dengan sebagian hasilnya

dan biaya pengerjaan ditanggung pemilik tanah. Hukum dari

muza>ra’ah diperselisihkan ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkannnya. Pihak-pihak yang membolehkan

beralasan pada hadis yang menyatakan bahwa Nabi Saw

memberikan hasil tanah Khaibar kepada orang-orang yahudi.

Khaibar yang membolehkan seperti Imam Syafi’I pendapatnya dikuatkan dengan kenyataan diberbagai daerah orang-orang Islam

(47)

38

Sedangkan pihak yang tidak membolehkannya seperti Imam

Khuzaimah dengan alasan bahwa Nabi Saw menyuruh untuk

memberi upah tidak muza>ra’ah. 2. Mukhabarah

Mengerjakan tanah dengan hasilnya dan biaya pengerjaan

ditanggung orang yang mengerjakan. Muzara’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah diantara keduanya terdapat

sedikit perbedaan sebagau berikut:

Muza>ra’ah : benih dari pemilik tanah Mukhabarah : benih dari penggarap.25

3. Musa>qah

Bentuk yang lebih sederhana dari muza>ra’ah dimana si penggarap hanya bertujuan atas penyiraman dan pemeliharaan

sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil

panen.26

Musa>qah ada dua macam, yaitu:

a. Musa>qah yang bertitik pada manfaatnya yaitu pada

hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah

menyerahkan kepada yang mengerjakan segala

upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil

yang baik. Kalau demikian orang yang mengerjakan

berkewajiban mencarai air termasuk membuat

(48)

39

sumur, parit, bendungan yang membawa air.27 Jadi

pemilik hanya mengetahui hasilnya

b. Musa>qah yang bertitik tolak pada asalnya yaitu

untuk mengairi sawah tanpa ada tujuan untuk

mencari air, maka pemiliknyalah yang

berkewajiban mencari jalan air, baik yang menggali

sumur, membuat parit atau usaha usaha yang lain.

Musa>qah yang pertama harus diulangulang setiap

tahunnya (setiap tahun harus ada penegasan lagi).

Bentuk yang lebih sederhana dari muza>ra’ah dimana si penggarap hanya bertujuan atas penyiraman dan pemeliharaan

sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil

panen.

Musa>qah ada dua macam,28 yaitu:

a. Musa>qah yang bertitik pada manfaatnya yaitu pada

hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah

menyerahkan kepada yang mengerjakan segala

upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil

yang baik. Kalau demikian orang yang mengerjakan

berkewajiban mencarai air termasuk membuat

sumur, parit, bendungan yang membawa air. Jadi

pemilik hanya mengetahui hasilnya

27 Zuhaili Wahab, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (jakarta: Gema Insani, 2011), 528.

(49)

40

b. Musa>qah yang bertitik tolak pada asalnya yaitu

untuk mengairi sawah tanpa ada tujuan untuk

mencari air, maka pemiliknyalah yang

berkewajiban mencari jalan air, baik yang menggali

sumur, membuat parit atau usaha usaha yang lain.

Musa>qah yang pertama harus diulangulang setiap

(50)

BAB III

Letak Geografis Desa Padang Kec Padang Kabupaten Lumajang

A. Gambaran Umum Obyek Penelitian

1. Sejarah Desa Padang Kec. Padang Kab. Lumajang

Sejarah Desa Padang tidak terlepas dari sejarah Masyarakat

Padang Kecamatan Padang di Kabupaten Lumajang. Desa ini awalnya

bernama Desa Padang dengan lurah seumur hidup yang bernama

Sawangi. Lurah Sawangi adalah Kepala Desa yang dermawan, karena

sangat terpengaruh oleh gaya kehidupan masyarakat Padang. Karena

adanya semangat perubahan maka desa ini pada tahun 1930 diubah

Lurahnya bernama Misni.

Nama Padang didasarkan pada keadaan Desanya yang sangat

terang/benter atau padang yang ada di desa ini. Adapun kepala desa

yang pernah menjabat hingga sekarang adalah sebagai berikut :Sawangi,

Misni, Selar (tahun ...s.d 1974), Matali (tahun 1974 s.d 1990),

Admari (tahun 1991 s.d 2006), dan Buyan (tahun 2007 s.d 2009), Sinal

( 2009 s.d 2015 ), Yasid (2015 s.d 2021)

2. Demografi.

Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2010,

jumlah penduduk Desa Padang adalah terdiri dari 704 KK, dengan jumlah

(51)

42

Dibawah ini pembagian jumlah Masyarakat Desa Padang Kec. Padang

Kab. Lumajang dalam segi usia:

No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah %

1 0-4 553 736 1289 orang 16,16%

2 5-9 547 647 1194 orang 14,97%

3 10-14 154 253 407 orang 5,10%

4 15-19 191 316 507 orang 6,36%

5 20-24 342 409 751 orang 9,42%

6 25-29 322 437 759 orang 9,52%

7 30-34 174 234 408 orang 5,12%

8 35-39 163 251 414 orang 5,19%

9 40-44 179 267 446 orang 5,59%

10 45-49 208 309 517 orang 6,48%

11 50-54 215 284 499 orang 6,26%

12 55-58 179 209 388 orang 4,86%

13 59

keatas

184 213 397 orang 4,98%

(52)

43

Dari data di atas nampak bahwa penduduk usia produktif pada

usia 20-49 tahun Desa Padang sekitar 3.295 atau hampir 41,3 %. Hal

ini merupakan modal berharga bagi pengadaan tenaga produktif dan

SDM. Tingkat kemiskinan di Desa Padang termasuk tinggi. Dari

jumlah 704 KK di atas, sejumlah KK tercatat sebagai Pra Sejahtera;

461 KK tercatat Keluarga Sejahtera I; 15 KK tercatat Keluarga

Sejahtera II; 53 KK tercatat Keluarga Sejahtera III; 3 KK sebagai

sejahtera III plus. Jika KK golongan Pra-sejahtera dan KK golongan I

digolongkan sebagai KK golongan miskin, maka lebih 50 % KK

Desa Padang adalah keluarga miskin.

Secara geografis Desa Padang terletak pada posisi 7°21'-7°31'

Lintang Selatan dan 110°10'-111°40' Bujur Timur. Topografi

ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156 m

di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS kabupaten

Lumajang tahun 2004, selama tahun 2004 curah hujan di Desa

Padang rata-rata mencapai 2.400 mm. Curah hujan terbanyak terjadi

pada bulan Desember hingga mencapai 405,04 mm yang merupakan

curah hujan tertinggi selama kurun waktu 2000-2008.

Secara administratif, Desa Padang terletak di wilayah

Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang dengan posisi dibatasi oleh

wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah Utara berbatasan dengan

Desa kalisemut Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kedawung

(53)

44

berbatasan dengan Desa Kalisemut. Jarak tempuh Desa Padang ke ibu

kota kecamatan adalah 0,5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu

sekitar 5 menit. Sedangkan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten

adalah 5 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit.

Pendidikan adalah satu hal penting dalam memajukan tingkat

SDM (Sumber Daya Manusia) yang dapat berpengaruh dalam jangka

panjang pada peningkatan perekonomian. Dengan tingkat pendidikan

yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat

yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya ketrampilan

kewirausahaan dan lapangan kerja baru, sehingga akan membantu

program pemerintah dalam mengentaskan pengangguran dan

kemiskinan. Prosentase tinggkat pendidikan Desa Padang dapat

dilihat pada Tabel 5.

No Keterangan Jumlah Prosentase

1 Buta Huruf Usia 10 tahun ke atas - 0

2 Usia Pra-Sekolah 2.351 29 %

3 Tidak Tamat SD 1.286 16 %

4 Tamat Sekolah SD 1.815 23 %

5 Tamat Sekolah SMP 1.765 22 %

6 Tamat Sekolah SMA 545 7 %

(54)

45

Jumlah Total 2.250 100 %

Dari di atas menunjukan bahwa mayoritas penduduk Desa

Padang hanya mampu menyelesaikan sekolah di jenjang pendidikan

wajib belajar sembilan tahun (SD dan SMP). Dalam hal kesediaan

sumber daya manusia (SDM) yang memadahi dan mumpuni, keadaan

ini merupakan tantangan tersendiri. Rendahnya kualitas tingkat

pendidikan di Desa Padang, tidak terlepas dari terbatasnya sarana dan

prasarana pendidikan yang ada, di samping tentu masalah ekonomi

dan pandangan hidup masyarakat.

Sarana pendidikan di Desa Padang baru tersedia di tingkat

pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP), sementara untuk pendidikan

tingkat menengah ke atas berada di tempat lain yang relatif jauh.

Sebenarnya ada solusi yang bisa menjadi alternatif bagi persoalan

rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa Padang yaitu

melalui pelatihan dan kursus. Namun sarana atau lembaga ini

ternyata juga belum tersedia dengan baik di Desa Padang. Bahkan

beberapa lembaga bimbingan belajar dan pelatihan yang pernah ada

tidak bisa berkembang.

Masalah pelayanan kesehatan adalah hak setiap warga

(55)

46

kualitas masyarakat kedepan. Masyarakat yang produktif harus

didukung oleh kondisi kesehatan. Salah satu cara untuk mengukur

tingkat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari banyaknya

masyarakat yang terserang penyakit. Dari data yang ada

menunjukkan adanya jumlah masyarakat yang terserang penyakit

relatif tinggi. Adapun penyakit yang sering diderita antara lain

infeksi pernapasan akut bagian atas, malaria, penyakit sistem otot

dan jaringan pengikat. Data tersebut menunjukkan bahwa gangguan

kesehatan yang sering dialami penduduk adalah penyakit yang

bersifat cukup berat dan memiliki durasi lama bagi kesembuhannya,

yang diantaranya disebabkan perubahan cuaca serta kondisi

lingkungan yang kurang sehat. Ini tentu mengurangi daya

produktifitas masyarakat Desa Padang secara umum.

Sedangkan data orang cacat mental dan fisik juga cukup tinggi

jumlahnya. Tercatat penderita bibir sumbing berjumlah 3 orang, tuna

wicara 12 orang, tuna rungu 14 orang, tuna netra 7 orang, dan lumpuh

25 orang. Data ini menunjukkan masih rendahnya kualitas hidup

sehat di Desa Padang.

Hal yang perlu juga dipaparkan di sini adalah terkait

keikutsertaan masyarakat dalam KB. Terkait hal ini peserta KB aktif

tahun 2007 di Desa Padang berjumlah 1.449 pasangan usuia subur.

Sedangkan jumlah bayi yang diimunisasikan dengan Polio dan DPT-1

(56)

47

walaupun masih bisa dimaksimalkan mengingat cukup tersedianya

fasilitas kesehatan berupa sebuah Puskesmas, dan Polindes di Desa

Padang. Maka wajar jika ketersediaan fasilitas kesehatan yang relatif

lengka ini berdampak pada kualitas kelahiran bagi bayi lahir. Dari

113 kasus bayi lahir pada tahun 2007, hanya 1 bayi yang tidak

tertolong.

Hal yang perlu juga dipaparkan di sini adalah kualitas balita.

Dalam hal ini, dari jumlah 583 balita di tahun 2007, masih terdapat 5

balita bergizi buruk, 35 balita bergizi kurang dan lainnya sedang dan

baik. Hal inilah kiranya yang perlu ditingkatkan perhatiannya agar

kualitas balita Desa Padang ke depan lebih baik.

3. Keadaan Sosial.

Dengan adanya perubahan dinamika politik dan sistem politik di

Indonesia yang lebih demokratis, memberikan pengaruh kepada

masyarakat untuk menerapkan suatu mekanisme politik yang dipandang

lebih demokratis. Dalam konteks politik lokal Desa Padang, hal ini

tergambar dalam pemilihan kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain

(pilleg, pilpres, pemillukada, dan pimilugub) yang juga melibatkan warga

masyarakat desa secara umum.

Khusus untuk pemilihan Kepala Desa Padang, sebagaimana tradisi

kepala desa di Jawa, biasanya para peserta (kandidat) nya adalah mereka

yang secara trah memiliki hubungan dengan elit kepala desa yang lama.

(57)

48

bahwa jabatan kepala desa adalah jabatan garis tangan keluarga-keluarga

tersebut. Fenomena inilah yang biasa disebut pulung – dalam tradisi

jawa- bagi keluarga-keluarga tersebut.

Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta merta

dapat diwariskan kepada anak cucu. Mereka dipilh karena kecerdasan,

etos kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa. Kepala desa

bisa diganti sebelum masa jabatannya habis, jika ia melanggar peraturan

maupun norma-norma yang berlaku. Begitu pula ia bisa diganti jika ia

berhalangan tetap. Karena demikian, maka setiap orang yang memiliki

dan memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam perundangan

dan peraturan yang berlaku, bisa mengajukan diri untuk mendaftar

menjadi kandidat kepala desa. Fenomena ini juga terjadi pada pemilihan

desa Padang pada tahun 2007. Pada pilihan kepala desa ini partisipasi

masyarakat sangat tinggi, yakni hampir 95%. Tercatat ada dua kandidat

kepala desa pada waktu itu yang mengikuti pemilihan kepala desa.

Pilihan Kepala Desa bagi warga masyarakat Desa Padang seperti acara

perayaan desa.

Pada bulan Juli dan Nopember 2008 ini masyarakat juga

dilibatkan dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur putaran I dan II secara

langsung. Walaupun tingkat partisipasinya lebih rendah dari pada pilihan

kepala Desa, namun hampir 70% daftar pemilih tetap, memberikan hak

pilihnya. Ini adalah proggres demokrasi yang cukup signifikan di desa

(58)

49

berjalan normal. Hiruk pikuk warga dalam pesta demokrasi desa berakhir

dengan kembalinya kehidupan sebagaimana awal mulanya. Masyarakat

tidak terus menerus terjebak dalam sekat-sekat kelompok pilihannya. Hal

ini ditandai dengan kehidupan yang penuh tolong menolong maupun

gotong royong.

Walaupun pola kepemimpinan ada di Kepala Desa namun

mekanisme pengambilan keputusan selalu ada pelibatan masyarakat baik

lewat lembaga resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun lewat

masyarakat langsung. Dengan demikian terlihat bahwa pola

kepemimpinan di Wilayah Desa Padang mengedepankan pola

kepemimpinan yang demokratis. Berdasarkan deskripsi beberapa fakta di

atas, dapat dipahami bahwa Desa Padang mempunyai dinamika politik

lokal yang bagus. Hal ini terlihat baik dari segi pola kepemimpinan,

mekanisme pemilihan kepemimpinan, sampai dengan partisipasi

masyarakat dalam menerapkan sistem politik demokratis ke dalam

kehidupan politik lokal. Tetapi terhadap minat politik daerah dan

nasional terlihat masih kurang antusias. Hal ini dapat dimengerti

dikarenakan dinamika politik nasional dalam kehidupan keseharian

masyarakat Desa Padang kurang mempunyai greget, terutama yang

berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat

secara langsung.

Berkaitan dengan letaknya yang berada diperbatasan Jawa Timur

(59)

50

Padang. Dalam hal kegiatan agama Islam misalnya, suasananya sangat

dipengaruhi oleh aspek budaya dan sosial Jawa. Hal ini tergambar dari

dipakainya kalender Jawa/ Islam, masih adanya budaya nyadran,

slametan, tahlilan, mithoni, dan lainnya, yang semuanya merefleksikan

sisi-sisi akulturasi budaya Islam dan Jawa.

Dengan semakin terbukanya masyarakat terhadap arus informasi,

hal-hal lama ini mulai mendapat respon dan tafsir balik dari masyarakat.

Hal ini menandai babak baru dinamika sosial dan budaya, sekaligus

tantangan baru bersama masyarakat Desa Padang. Dalam rangka

merespon tradisi lama ini telah mewabah dan menjamur kelembagaan

sosial, politik, agama, dan budaya di Desa Padang. Tentunya hal ini

membutuhkan kearifan tersendiri, sebab walaupun secara budaya

berlembaga dan berorganisasi adalah baik tetapi secara sosiologis ia akan

beresiko menghadirkan kerawanan dan konflik sosial.

Dalam catatan sejarah, selama ini belum pernah terjadi bencana

alam dan sosial yang cukup berarti di Desa Padang. Isu-isu terkait tema

ini, seperti kemiskinan dan bencana alam, tidak sampai pada titik kronis

yang membahayakan masyarakat dan sosial.

4. Keadaan Ekonomi.

Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Desa Padang

Rp.1.550.000 Secara umum mata pencaharian warga masyarakat Desa

Padang dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor yaitu pertanian,

(60)

51

masyarakat yang bekerja di sektor pertanian berjumlah 1.114 orang, yang

bekerja disektor jasa berjumlah 300 orang, yang bekerja di sektor industri

125 orang, dan bekerja di sektor lain-lain 2.125 orang. Dengan demikian

jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian berjumlah 3.794

orang. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata

pencaharian.

No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase

1 Pertanian 1.114 orang 30,4 %

2 Jasa/ Perdagangan

1. Jasa Pemerintahan

2. Jasa Perdagangan

3.

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rahma Nurvidiana dkk (2015) “Pengaruh Word Of Mouth Terhadap Minat Beli Serta Dampaknya Pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut: Peran Unit Pelaksana Teknis

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam padal 362 menjelaskan bahwa barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,

Muncul pesan data pengguna berhasil diperbarui dan data yang baru muncul dalam daftar Berhasil Pengujian hapus data user Memilih data pengguna tertentu dan

Di Kecamatan Langgam berdiri perusahaan perkebunan yang menjadi penunjang ekonomi masyarakat di Kecamatan Langgam, dan area atau batas-batas perkebunan telah

Adapun penulisan skripsi ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi pada Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya

Hasil Penelitian Variasi Bahan Tambah Dalam Menentukan Kadar Aspal/ As-rukem Optimum (KAO). Pengaruh Gondorukem sebagai bahan tambah aspal pertama terlihat pada campuran AC-BC

3. Hasil penelitian pengukuran kondisi umum perarairan mangrove pada zonasi mangrove pada stasiun I stasiun I memiliki nilai rata-rata salinitas pada saat pasang yaitu