• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Shinto Tentang Penyucian

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HARAE DAN PANDANGAN

2.3 Pandangan Shinto Tentang Penyucian

Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto

atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau (祓う atau 払う) yang

artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto, dan berbagai bentuk telah berkembang, seperti nagoshi

no ōharai. Shubatsu adalah upacara harae dimana garam ditebarkan ke atas pendeta atau penyembah, sedangkan tindakan membersihkan mulut dan tangan sebelum memasuki kuil disebut temizu (手水).

Pada umumnya ada tiga metode dasar dari penyucian (harae), yaitu:

1. Harae dilakukan oleh seorang pendeta menggunakan tongkat penyucian (haraigushi) dengan cara mengibaskannya diatas kepala orang, pada tempat, atau kendaraan dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki () digunakan sebagai pengganti haraigushi. Pohon sakaki adalah pohon yang senantiasa hijau sepanjang tahun dan menjulang tinggi.

Orang Jepang percaya disaat ritual dilakukan dewa akan turun dari langit melalui pohon ini sebagai tangga untuk mendengarkan permohonan dan memberi keselamatan. Cara ini dapat ditemukan pada saat penyucian dalam membangun

rumah (jichinsai barai), pernikahan (shinzen kekkon), penyucian untuk keselamatan perjalanan (kotsu anzen oharai), dan lain-lain.

2. Misogi (). Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti

penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Di Kuil Tsubaki di prefektur Mie, misogi dilakukan pagi atau malam antara pukul 11 malam dan jam 1 pagi karena saat dimana satu hari telah berakhir dan hari baru datang, dan menurut pemikiran orang Jepang waktu tersebut sangat mudah menerima roh kami.

Misogi mendapat populeritasnya kembali sejak akhir perang Pasifik, disaat

kuil-kuil dapat kembali melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Beberapa kuil memiliki sebuah perkumpulan pelaksana (misogi kai) yang mengunjungi kuil secara reguler untuk melaksanakan misogi. Jika sungai letaknya jauh dari kuil atau kuil tidak memiliki fasilitas sungai, maka praktek misogi dapat digantikan dengan cara mandi dengan air dingin.

3. Imi (忌み). Dalam Nihongo Dai Jiten (Kodansha, 1989 : 138) yang dimaksud

dengan imi yaitu:

神事 に際し 、不 浄を慎 むこ と·遠 慮すべ きこ と·死 ·穢れ ·喪中 こと·物忌み。

Terjemahannya:

Hal untuk berhati-hati terhadap ‘ketidakbersihan’ pada waktu pelaksanaan ritual keagamaan, harus berhati-hati, mati, kotor, berkabung, mono imi.

Sedangkan yang dimaksud dengan mono imi (物忌み) yaitu:

決 められ た期 間に 身を 清め 禁忌 を守 り、 飲食 を断 った りす る こと·精進潔斎。不吉の前兆として、ある物事を忌むこと。塞

Terjemahannya:

Membersihkan diri pada waktu yang telah ditentukan, mentaati larangan, menolak makan dan minum, penyucian, menghindari suatu kejadian atau hal yang membawa sial, menghindar dari pelanggaran, menyendiri dalam rumah.

Dalam pengertian imi di atas, terlihat pengertian yang luas yaitu selain mencakup hal-hal yang kotor (berkabung, mati, kotor); menghindari ritual keagamaan pada waktu ‘ketidakbersihan’; tetapi juga membersihkan diri pada waktu yang telah ditentukan dengan mentaati larangan dan menyendiri dalam rumah.

Imi kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang

mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Imi dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk menghindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita, karena kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci.

Seperti contoh di Pulau Izu terdapat kebiasaan setiap wanita baik melahirkan atau menstruasi diharapkan tinggal di sebuah rumah sementara yang bernama Taya dan kebiasaan ini dipraktekkan sampai pertengahan jaman Meiji. Menurut “sejarah lokal pulau Izu” yang dikutip oleh bapak Motoyama berkata: “Banyak sekali terdapat gubuk-gubuk kecil bernama “Taya” di kaki gunung

setiap desa-desa. Gubuk yang atapnya dari jerami dan tanpa lantai. Wanita yang masa menstruasinya atau melahirkan dipaksa tinggal di “taya-taya” ini dan mereka tidak diijinkan melakukan kontak dengan keluarganya. Selama delapan

atau sembilan hari dalam kasus menstruasi dan selama sekitar 50 hari dalam kasus melahirkan, mereka tidak diijinkan pulang kerumah mereka. Jadi wanita dan bayi-bayinya sering menderita karena embun dan kedinginan dan beberapa dari mereka meninggal atau terjangkit penyakit yang serius. Ini berat bagi mereka untuk tinggal dengan nyaman di gubuk-gubuk ini. Selain itu mereka yang tinggal di “taya” tidak diijinkan untuk mengunjungi orang tua mereka sekalipun orang tua mereka sakit serius sekali bahkan sampai meninggal dunia” (Katō,

1973 : 143).

Kesamaan kebiasaan memiliki taya (seperti yang ada di Pulau Izu) bahkan terlihat juga di pulau kecil seperti Pulau Ohnejima (pulau “tako” menurut “sejarah lokal Propinsi Izumo) di pedalaman laut Izumo. Di awal jaman Meiji, istri Yoshio Kadowaki, seorang pendeta Shinto di pulau tersebut, biasa tinggal sendiri dan hidup terpisah dari keluarganya selama periode menstruasinya di sebuah gubuk kecil bernama ‘taya’ dimana dia biasa memasak untuk dirinya sendiri. Ini disebut

Betsubi atau memasak terpisah (separate cooking). Bagaimanapun kebiasaan Betsubi, yang disebabkan ketakutan api untuk memasak telah tercemar, sudah

lama dipertahankan. Tentu saja para wanita di Pulau Ohnejima biasa menyebut menstruasi mereka sebagai taya. Untungnya, kebiasaan seperti ini sudah ditiadakan lagi di pulau tersebut.

Pulau Mikurajima di Izu dimana kebiasaan tabu terhadap kekotoran akibat kematian dan darah lama dipertahankan sangat keras. Tidak ada wanita yang diterima di puncak gunung di pulau tersebut. Dan lagi selama 75 hari setelah melahirkan tidak ada wanita yang diijinkan mendaki gunung bahkan untuk jarak yang pendek, maupun wanita dalam masa menstruasi. Begitu juga bagi mereka

yang orang tua atau orang terdekatnya meninggal, tidak diijinkan memasuki area gunung selama 13 bulan. Kebiasaan ini disebut Yamadone atau menjauhi gunung. Mereka yang melanggar tabu ini, harus disucikan di kuil Fuga dengan mempersembahkan seratus Mon (sejumlah uang) dan satu Shō (satuan jumlah) beras ke kuil.

Di jaman modern, bentuk imi berlanjut dalam sebuah cara yang terkemuka yang berhubungan kepada kematian, misalnya: (1) Ketika saat berkabung setelah pemakaman disebut imi, karena kekotoran itu sendiri. Seseorang yang baru kehilangan tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan; (2) Banyak kebiasaan jaman dahulu yang berlanjut dalam masyarakat Jepang sampai sekarang yang kegemarannya memilih hari-hari baik berdasarkan ramalan bintang orang timur (oriental zodiac) untuk perjalanan bisnis dan peristiwa-peristiwa penting, serta menghindari hari-hari buruk untuk pernikahan, atau usaha yang berarti lainnya (Picken, 1994 : 175). Dari ketiga tipe penyucian, imi sangat dekat hubungannya dengan tahkyul rakyat.

Upacara harae disertai dengan pembacaan harai no kotoba (norito) dan persembahan tamagushi yang tertuju kepada kami. Harai no kotoba (norito) terdiri dari kata-kata khusus yang dipilih dan didesain untuk memiliki bunyi yang menyenangkan (hati). Rakyat Jepang memiliki kepercayaan kuno bahwa kata-kata yang indah membawa nasib baik dan begitu sebaliknya kata-kata yang jelek membawa nasib buruk. Ini berasal dari kepercayaan dalam kotodama, mistik dan kekuatan spiritual yang terletak dalam kata-kata. Model untuk semua norito disusun dalam Engishiki. Catatan perintah pertama untuk menyelenggarakan

menghendaki agar membersihkan dari pelanggaran-pelanggaran di semua tingkatan. Sebagai hasilnya, di hari terakhir bulan Juni dan Desember ōharae (

祓え) di selenggarakan di seluruh kuil dan keluarga kerajaan.

Tujuan / sasaran harae dari semua metode dasarnya adalah mengembalikan keadaan yang suci/bersih yang dikenal sebagai seimei-shin (清明

) yang merupakan dasar berhubungan erat dengan kami. Ini digolongkan

dengan empat kondisi hati ( 心 ) yaitu: akaki kokoro ( 赤 き 心 ) atau

ketulusan/kesungguhan hati, kiyoki kokoro (清 き 心) atau hati yang bersih, tadashiki kokoro (正き心) atau hati yang sebenarnya, naoki kokoro (直き心) atau

Dokumen terkait