• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Suami Dan Istri Terhadap Peran Ganda Yang

BAB II GAMBARAN UMUM

B. Beban Ganda Perempuan Dalam Ranah Domestik

6. Pandangan Suami Dan Istri Terhadap Peran Ganda Yang

Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sering digunakan untuk membedakan peran yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki stereotip yang berkembang di tengah masyarakat sebagai makhluk yang lemah lembut, halus, dan tidak kuat, sehingga layak bekerja dalam sektor domestik, Sebaliknya laki-laki dipandang sebagai makhluk yang lebih agresif dan kuat sehingga cocok bekerja pada bidang publik. Pembagian kerja secara seksual menyebabkan hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Dilihat dari sudut pandang budaya, diferensiasi peran antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan oleh kondisi fisik biologis melainkan lebih disebabkan oleh faktor budaya. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologi dan selanjutnya terinstitusionalisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang telah melembaga dalam masyarakat dipandang sebagai hal yang bersifat kodrat,

57

sehingga perempuan menerima pekerjaan domestik sebagai kodrat kaum perempuan.

Gerakan feminisme telah banyak menyumbangkan dan memberikan inspirasi pemikiran bahkan pemahaman terhadap terciptanya dunia yang lebih baik dan lebih adil, gerakan feminisme tidak hanya mempengaruhi lembaga-lembaga birokrasi pembangunan, teori-teori baru ilmu sosial penelitian sosial, bahkan juga mempengaruhi pandangan berbagai agama. Gerakan ini juga yang mendorong munculnya gugatan atas pelbagai kultur, tradisi yang mempengaruhi kondisi dan posisi perempuan di banyak tempat (Fakih, 1996:127).

Selain itu Banyak yang salah mengerti dan memahami setiap ajaran yang ada dalam agama, karena minimnya pengetahuan tentang ajaran agama yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dan laki-laki dan juga interpretasi agama yang lebih bias terhadap laki-laki. Dewasa ini agama mendapat ujian baru, karena agama sering dianggap sebagai biang masalah bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender, misal bahwa penggambaran Tuhan seolah-olah adalah laki-laki, pandangan tersebut dipengaruhi oleh kultur yang dikenal sebagai patriarki. Paham keagamaan yang didominasi ideologi patriarki. Paham keagamaan ini berada dalam kehidupan masyarakat bukan hanya pada tataran elit namun juga pada penganut awam, hal ini disebabkan kuatnya pengaruh paham keagamaan yang bersifat patriarkis yang menjadikan nilai-nilai ketimpangan gender sebagai suatu kebenaran hakiki

58

(Enny, 2007:87). Kondisi tersebut mempengaruhi pandangan laki-laki atau suami, dalam memandang kedudukan serta peran perempuan mereka menganggap bahwa perempuan berada di posisi kedua setelah mereka apapun alasannya karena menurut ajaran agama yang mereka terima dan mereka mengerti, hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan dan pemahaman agama serta konstruksi budaya yang ada pada masyarakat, kebanyakan dari mereka menjadikan faktor agama untuk membandingkan perempuan dan laki-laki. Bahkan ada sebagian dari mereka yang sebenarnya tidak menyukai perempuan atau istrinya untuk bekerja diluar rumah, seperti JW (40 Tahun) suami dari EN menuturkan kepada peneliti:

“Saya sebenarnya tidak suka istri saya kerja berdagang seperti itu, dengan saya saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya, lagipula dalam Islam juga yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga kan sudah jelas suami tugas istri hanya melayani suami dan anak-anaknya,karena istri harus ikut suami dia kan dibawa. Di Al-Quran juga ada,tapi karena istri merengek minta ijin untuk berdagang ya sudah asal dia tahu kewajiban dia sehabis berdagang dia harus mengurus rumah, saya dan anak-anak” (wawancara 01 Desember 2013).

Berdasarkan penuturan JW yang bekerja sebagai pegawai swasta terlihat bahwa, ia beranggapan seorang istri tugas dan kewajibannya hanya mengurus rumah tangga (domestik). Dalam ajaran Islam tidak membedakan kesempatan bekerja bagi laki-laki maupun perempuan, ajaran Islam yang ada di dalam Al-quran dan Hadis tidak memberikan pernyataan yang menunjukan adanya pembatasan kerja yang jelas tentang sektor yang dapat diakses oleh laki-laki maupun perempuan. Karena mengacu kepada kehidupan perempuan di masa awal-awal Islam, ada

59

banyak hal yang dapat dijadikan bukti sejarah atas keterlibatan perempuan dalam berbagai bentuk kegiatan baik di sektor publik maupun di sektor domestik. Semua ini menunjukan bahwa Islam tidak setuju dengan prinsip bahwa perempuan secara ketat berada pada wilayah domestifikasi (ida dan Hermawati, 2013:126).

Sejalan dengan pemikiran feminis liberal yang menentang status quo terutama dominasi suami dalam keluarga. Menurut feminis liberal suami harus mendorong perempuan untuk bekerja di luar rumah agar subordinasi tidak terjadi dalam kehidupan berkeluarga (Ida dan Hermawati, 2013:54). Selain itu kurangnya tafsir tentang isi kandungan kitab suci agamanya, menjadikan subordinasi terhadap perempuan semakin langgeng dimata masyarakat, harusnya menurut (Asad, 1980:933) Al-Quran sebagai prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Hal yang hampir sama juga di katakan oleh HR (30 Tahun) yang merupakan suami dari informan LR kepada peneliti:

“Meskipun istri saya sama-sama mempunyai pendapatan dan bekerja seperti sekarang, biar bagaimanapun juga saya (suami) tetap yang paling tinggi posisinya, dan buat saya pendidikan ataupun besarnya pendapatan dia atau saya tidak mempengaruhi karena dalam Islam laki-laki lebih mendominasi dari perempuan. Meskipun zaman sudah berubah menurut saya tidak berperngaruh dimana-mana juga perempuan posisinya dibawah dari laki-laki, kalau kata orang-orang emansipasi wanita di agama juga gak ada kayagitu hanya dibuat-buat sama orang aja itu” (wawancara 04 Desember 2013).

Datangnya pemikiran yang telah menjadi tradisi dan tafsir keagamaan yang meletakkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki,

60

antara lain adalah pengaruh kultur timur tengah yang diikuti oleh Negara Islam lain pada jaman dulu, kultur semacam itu disebagian masyarakat islam masih dipertahankan, namun di berbagai masyarakt muslim sudah tidak berlaku (Faqih, 1996:132), dengan kata lain kultur patriarki yang masih dianut oleh sebagian masyrakat benar-benar ikut andil dalam melanggengkan ketidak adilan gender. Dengan menekuni persoalan- persoalan gender, ada beberapa permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untk dilakukan kajian. Masalah persoalan subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletekkan kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal).

Oleh Karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan seperti beberapa ayat dalam Al- Quran, surat Al-Hujurat ayat 14 yang berbunyi:

“Sesungguhnya telah aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenal; sesungguhnya yang mulia diantara kalian adalah yang paling takwa” (Q.S. AL-Hujurat, Ayat 14).

Masih banyak lagi ayat Al-Quran yang mendukung pandangan bahwa kaum perempuan tidaklah subordinasi terhadap kaum laki- laki,seperti at-taubah ayat 71; an-Nisa ayat 123. Selain itu pemahaman

61

yang bias gender selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan, juga segenap ayat yang berkaitan dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan dalam tradisi penafsiran Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, sehingga kaum perempuan tidak memiliki hak berproduksi maupun reproduksi (Faqih, 1996:138). Ketidak pahaman laki- laki dalam memaknai setiap ajaran agama dan isi kandungan ayat suci Al- Quran melahirkan kesenjangan yang terjadi didalam keluarga serta menanamkan subordinasi terhadap masing-masing anggota keluarga mereka, bahkan perempuan sendiri yang melanggengkan subordinasi tersebut karena pemahaman yang serupa dengan laki-laki. Seperti penuturan EY (43 Tahun):

“Karena sudah dari kecil di keluarga ditanamkan agama yang kuat, saya juga melihat ibu saya begitu patuh kepada bapak jadi saya ingin seperti ibu saya, jadi ikhlas-ikhlas aja ngelakuinnya meskipun capek dan suami jarang membantu, yang penting mendapatkan pahala dari dulu juga perempuan sebenarnya tugasnya mengurus rumahya istilahnya di dapur mah memang sudah kodratnya perempuan” (wawancara 27 November 2013).

Hal senada diungkapkan oleh EN (35 Tahun) kepada peneliti:

“Sebenarnya suami saya tidak mengijinkan saya untuk bekerja, karena menurutnya perempuan itu harusnya di rumah, kalau dia bekerja pekerjaan rumah tidak bisa dipegang jadi anak-anak tidak bisa diperhatikan juga, jadi saya kalau mau berdagang harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dulu, kalau sudah rapih baru boleh berangkat ke pasar, jadi sangat nurut apa kata suami karena keluarga harus diutamkan, kalau masalah pekerjaan jadi double sudah resiko, karena suami sudah lelah bekerja jadi pekerjaan saya lakukan sendiri kalau laki-laki yang mengerjakan nanti dibilang tidak becus mengurus keluarga dan rumah” (wawancara 27 November 2013).

62

Menurut gambaran diatas terlihat bahwa apa yang mereka lakukan meniru apa yang dilakukan perempuan terdahulu pada umumnya, hal itu semata-mata kontruksi sosial yang turun menurun ada di keluarga atau masyarakat kelas menengah. Dan latar belakang pendidikan mereka yang kurang dalam memahami kajian agama dan konsep kesetaraan gender dalam rumah tangga. Hal ini juga diperkuat dengan ajaran agama yang mereka dapatkan terlalu bias gender seperti penafsiran teks suci secara harfiah yang berdampak pada posisi perempuan semakin terpuruk (Ida dan Hermawati, 2013:118). Selain itu tidak adanya penyuluhan yang diadakan lembaga-lembaga yang terkait menyebabkan subordinasi masih kerap terjadi di kalangan masyarakat menengah dan kebawah, bahkan mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan hal yang biasa.

C.Dampak Peran Ganda Terhadap Kehidupan Perempuan Secara Personal

Dokumen terkait