• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KONSEP MASHLAHAH MURSALAH IMAM AL-

A. BIOGRAFI IMAM AL-SYATHIBY

3. Pandangan al-Syathiby tentang Mashlahah

Al-Syathiby mendefinisikan mashlahah dari dua sudut pandang, yaitu dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari tergantungnya tuntunan syara‟ kepada mashlahah. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti:

ىلع ةّيلقعلاو ةّيناوهشلا وفاصوأ ويضتقت ام ولينو وشيع ماتمو ناسنلإا ةايح مايق لىإ عجري ام

ىلع امّعنم نوكي ّتّح قلاطلإا

قلاطلإا

.

15

13 Ibid. 14

Abu Ishaq al-Syathiby, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari‟ah, KSA: Dar Ibn „Affan, 1997, h. E.

15

Abu Ishaq al-Syathiby, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari‟ah, KSA: Dar Ibn „Affan, 1997, h. 45.

70 Maksudnya sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaan hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat dan akalnya secara mutlak, sehingga dia merasakan kenikmatan. Sedangkan dari segi tergantungnya tuntunan syara‟ kepada mashlahah berarti:

ةدوصقلدا يهف دايتعلاا مكح في ةدسفلدا عم اتهرظانم دنع ةبلاغلا يى تناك اذإ ةحلصلداف

نوكيلو ليبس ىدىأو قيرط موقأ ىلع انهوناق يرجيل دابعلا ىلع بلطلا عقو اهليصحتلو ,اعرش

,ايندلا في ةيرالجا تاداعلا ىضتقم ىلع دوصقلدا لينب لىوأو برقأو ّتمأ الذوصح

اهعبت نإف

وبلطو لعفلا كلذ ةّيعرش في ةدوصقبم تسيلف ةّقشم وأ ةدسفم

.

16

Maksudnya kemaslahatan merupakan tujuan dari penetapan hukum syara‟. Untuk meraihnya, Allah menuntut manusia untuk berbuat, sehingga mencapai kesempurnaan dan lebih mendekati kehendak syara‟. Kalaupun dalam pelaksanaannya terdapa kerusakan sebenarnya bukan itu yang dikehendaki oleh syara‟.

Tujuan utama dari syari‟ah adalah kemaslahatan manusia. Kewajiban dalam syari‟ah adalah memperhatikan maqâshid al-syar

ȋ

‟ah dimana ia merubah tujuan untuk melindungi mashâlih manusia. Jadi maqâshid dan mashlahah menjadi istilah yang bisa saling ditukar dalam kaitan dengan

16

71

kewajiban dalam diskusi al-Syathiby tentang mashlahah. Al-Syathiby mendefinisikan mashlahah sebagai berikut:

لىإ عجري ام : ةحلصلداب نيعاو ةيلقعلاو ةيناوهشلا وفاصوأ وضقن ام ولينو وشيع ماتمو ناسنلإا ةايح ميق

.قلاطلإا ىلع امعنم نوكي ّتّح قلاطلإا ىلع 17

“Yang saya maksud dengan mashlahah disini adalah mashlahah yang menegakkan/memenuhi substansi kehidupan manusia, dan pencapaian apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak”.18

Adapun kemaslahatan yang dimaksud disini adalah semua kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum Islam, artinya kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada ayat al-Qur‟an atau hadits secara langsung, melainkan melalui prinsip umum kemaslahatan yang dikandung dalam nash al-Qur‟an dan al-hadits. Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh metode ini adalah dengan cara mengembangkan metode mashlahah mursalah.

Sebagai seorang ulama yang berlatar belakang madzhab Maliki, Imam al-Syatiby menjadikan mashlahah mursalahsebagai dalil terdepan setelah Qur‟an dan al-Hadits.19Menurut pandangan al-Syathiby mashlahah mursalah dapat digunakan sebagai metode legislasi hukum Islam, ini

17

Abu Ishaq al-Syathiby, Loc.cit., h. 25.

18

Amin Farih, op.cit. h. 101.

19

Halil Thahir, Ijtihad Maqashidi, Yogyakarta, Lkis Pelangi Aksara, 2015, h. 32.

72 berdasarkan pada interpretasi pada ayat-ayat yang terkandung dalam nash, karena dalam nash sendiri diterangkan bahwa tujuan syari‟at Islam diantaranya adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia secara menyeluruh dengan memenuhi kebutuhan hidupnya.20Al-Syathiby adalah pencipta terobosan baru yang meletakkan maqâshid al-syâri‟ dalam posisi sentral, yakni posisi sejajar dengan dalil juz‟i (terinci). Pada dasarnya, ia setuju dengan pemikiran al-Ghazali tentang mashlahah tentang tanqîh al-manâth (uji coba empiris), meskipun pada akhirnya ia mempertajam dengan memberikan porsi lebih banyak terhadap peran rasio. Epistemologi baru ini disebut dengan epistemologi rasionalisme-induktif (istiqra‟i).21Menurut al-Wa‟i, al-Syathiby memiliki manhaj tersendiri yang bisa jadi manhaj ini membedakan al-Syathiby dengan al-Ghazali, al-Thufi dan ulama ushul fiqh lainnya.

Pertama, al-Syathiby tidak behenti hanya pada nash

semata sebagaimana pengikut Dhahiriyyah yang tidak mengakui adanya ruh syariah tetapi al-Syathiby mencoba melihat ruh syariah dalam menentukan mashlahah untuk kebaikan manusia.

Kedua, al-Syathiby dalam metodenya tidak kaku secara

tertib urut sesuai dengan peringkat mashlahah tetapi al-Syathiby lebih melihat pada esensi mashlahah itu sendiri.

20

Amin Farih, op.cit. h. 81

21

Muhyar Fanani, Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu, Semarang: Walisongo Press, 2009, h. 118-120.

73

Ketiga, al-Syathiby tidak membiarkan akal melampaui

syariah tetapi akal tetap dimasksimalkan dalam panduan syara‟ untuk memperoleh kemaslahatan dunia dan akhirat.

Keempat, al-Syathiby membagi mashlahah menjadi

tiga, yaitu syariah dapat menerima eksistensinya, syariah menolak eksistensinya, dan tidak ada ketentuan yang khusus yang menerima atau menolaknya. Untuk pembagian yang ketiga ini, al-Syathiby membaginya menjadi dua bagian, yaitu nash menolaknya dan nash menerimanya. Inilah yang disebut dengan istidlâl mursal atau mashlahah mursalah. Ini dapat dijadikan sebagai dalil penetapan hukum untuk mengembangkan kajian hukum.

Kelima, mashlahah mursalahal-Syathiby didasarkan

kepada akal, nash, dan contoh teladan para salaf al-shâlih.

Keenam, al-Syathiby membedakan antara mashlahah mursalahdan bid‟ah. Mashlahah mursalahdipakai untuk muamalah sedangkan bid‟ah ada hubungannya dengan ibadah.22

Dalam merumuskan suatu produk hukum, al-Syathiby berpegang pada dalil naqly dan „aqly. Meski terbagi menjadi golongan sumber naqly dan „aqly, namun sesungguhnya keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Ber-istidlâl dengan dalil naqly tentu membutuhkan pemikiran (nalar)

22

Imron Rosyadi, Pemikiran al-Syathiby tentang Mashlahah mursalah, E-Journal, h. 87.

74 manusia, sementara ber-istidlâl dengan ra‟yu (rasio) juga perlu disandarkan kepada dalil naqly. Dalil naqly yang dimaksud adalah al-Qur‟an dan Sunnah, sementara dalil „aqly-nya adalah qiyas, ijma‟, madzhab shahaby, syar‟u man qablanâ, istihsân, dan mashlahah mursalah.23

Bagi al-Syathiby, dalil akal mempunyai kedudukan yang kuat dan dapat mencapai derajat kepastian sebagaimana dalil-dalil syariat yang tercantum dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dalil-dalil syariat itu sendiri tidak dapat mencapai derajat kepastian jika masing-masing berdiri sendiri secara parsial. Dalil-dalil itu hanya dapat mencapai kepastiannya jika dirumuskan secara induktif, yang di dalamnya akal ikut berperan. Dengan kata lain, cara induktif (al-istiqrâ‟ al-kully) dapat ditempuh hanya dengan penggunaan pikiran.24

Secara terang, al-Syathiby memberikan penjelasan tentang bagaimana akal berperan dalam proses pembentukan hukum. Meski akal mendapat penghargaan tertinggi karena berkemampuan untuk mengetahui mashlahah sebagai tujuan syariat, namun ia tidak bisa berfungsi sebagai dalil yang mencipta syariat (al-„aql laysa bi al-syâri‟). Allah menciptakan manusia dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Kemudian Allah

23

Abu Ishaq al-Syathiby, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‟ah, www.al-kottob.com, h. 282.

24

Hamka Haq, Al-Syathibi; Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab

75

memberinya ilmu dan petunjuk menuju kemaslahatannya di dunia dan akhirat. Dalam pengenalan mashlahah duniawi, akallah yang berperan penting.25 Meski demikian, akal tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan hukum wajib (mûjib) berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Al-Syathiby menolak adanya kewajiban sebelum datangnya syariat. Lewat perkataannya al-„aql laysa bi al-syâri‟(akal bukanlah pembuat syariat), itu berarti bahwa akal tidak berhak memerintahkan atau melarang sesuatu. Tegasnya, akal tidak berhak menetapkan halal-haramnya sesuatu.26

Dalam al-Muwafaqat dia mengatakan:

قنلا مّدقتي نأ طرش ىلعف ,ةّيعرشلا لئاسملا ىلع لقعلاو لقنلا دضاعت اذإ ,اعوبتم نوكيف ل

لقنلا هحّرسي ام ردقب ّلّإ رظنلا لاجم يف لقعلا حرسي لاف ,ًاعبات نوكيف لقعلا رّخأتيو .

27

“Ketika dalil naqly dan „aqly saling berlawanan dalam masalah-masalah syar‟iyyah, maka disyaratkan mendahulukan dalil naqly sebagai dalil yang diikuti, dan mengakhirkan dalil „aqly sebagai dalil yang mengikuti. Sehingga dalil „aqly tidak dapat mengatur (dengan sendirinya) dalam menentukanpendapat kecuali dengan arahan dalil naqly.”

Jelaslah bahwa meskipun akal memiliki kemampuan nalar dalam memahami syariat namun ia tidak dapat menjadi

25 Ibid, h. 108-109. 26 Ibid., h. 113. 27

Abu Ishaq al-Syathiby, Al-Muwafaqat, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2004, h. 51.

76 penentu bagi ada-tidaknya suatu hukum. Sehingga nash-lah yang memegang jabatan tertinggi bagi terciptanya suatu hukum. Lewat nash, Allah menghendaki adanya kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan tersebut, menurut al-Syathiby dapat terwujud apabila lima unsur pokok berikut terwujud, yakni agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.28

Kutipan pernyataan di atas oleh Hamka Haq dijabarkan dalam bukunya yang membahas tentang aspek teologis konsep mashlahah mursalah milik al-Syathiby bahwa menurut beliau, dalil akal dapat digunakan hanya jika dirumuskan berdasarkan dalil-dalil tekstual (sam‟iyyât). Dengan demikian, baik dalil tekstual syariat atau dalil akal akan mencapai kepastiannya masing-masing jika antara satu dengan lainnya saling menopang. Akal tidak dapat menjadi dalil syariat secara mandiri meski akal punya kemampuan besar. Akal tidak dapat berfungsi sebagai dalil yang mecipta syariat (al-„aql lays bi syâri‟). Sebagian ahli kalam, termasuk al-Syathiby berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui kemaslahatan secara garis besarnya saja. Akal belum dapat mengetahuinya secara rinci hingga syariat datang menjelaskannya. Bukti bahwa akal dapat mengetahui mashlahah secara garis besar adalah kesepakatan manusia untuk meninggalkan pengaruh jahat nafsu demi tercapainya

28

77

kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian, salah satu fungsi syariat yang datang kepada manusia adalah memerinci kemaslahatan dan mewajibkannya demi tegaknya kehidupan dunia untuk kebahagiaan kehidupan akhirat dengan jalan meninggalkan kecenderungan hawa nafsu.29 Syariat yang mewajibkan, sedangkan akal menjadi wash

ȋ

lah (media) yang maknanya sama dengan sabab (sebab).30Karena itu, al-Syathiby berkeyakinan bahwa ada sekian banyak hal yang harus mengacu pada pertimbangan akal dalam pelaksanaan syariat sepanjang hal itu bersifat umum dan syariat secara khusus tidak mengaturnya. Atas dasar itu, hukum muamalah diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesulitan dan tidak pula mengabaikan kemaslahatan manusia.31

Mengingat perlindungan syari‟ah terhadap kemaslahatan begitu luas maka menurut al-Syathiby perlu adanya pembatasan yang jelas terhadap mashlahah guna menghindari “bid‟ah” terhadap penafsiran metode mashlahah dan penafsiran yang tidak sesuai dengan nash. Pembatasan tersebut terbagi dalam tiga unsur yaitu:32

29

Hamka Haq, Al-Syathibi; Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab

al-Muwafaqat, Penerbit Erlangga, 2007, h. 108. 30

Ibid., h. 114. 31

Ibid., h. 116. 32

78 a. Mashlahah yang legalitasnya berdasar pada nash

(al-mashlahah al-mu‟tabarah)

ةضقانم ناك ّلاإو ,ولامعإ في فلاخ لاو وتحص في لاكشإ لاف ,ولوبقب عرشلا دهشي نأ

نلل اظفح صاصقلا ةعيرشك ,ةعيرشلل

اىنًغو فارطلأاو سوف

.

33

Di dalam al-Qur‟an atau al-hadits bila terdapat suatu „illah yang mengandung suatu kemaslahatan secara jelas, maka kemaslahatan tersebut disebut mashlahah mu‟tabarah. Pemeliharaan jiwa misalnya, merupakan kemaslahatan yang perlu diwujudkan. Keharusan perwujudan ini diterangkan secara jelas oleh al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 178 tentang pelaksanaan hukum qishâsh.

b. Mashlahah yang ditolak legislasinya oleh nash (al-mashlahah al-mulghah)

اهسفنب مكلحا يضتقت لا ةبسانلدا ذإ ,ولوبق لىإ ليبس لاف هدرب عرشلا دهش ام

.

34

Ada suatu kemaslahatan yang dalam kebiasaan menusia itu merupakan suatu mashlahah yang perlu dilindungi, namun oleh syari‟at hal itu tidak dibenarkan karena bertentangan dengan isi dan ajaran nash secara mendasar. Contohnya adalah fatwa dari seorang ulama yang bernama Imam Al-Laits kepada seorang raja di kerajaan

33

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syathiby, I‟tisham, Juz II, Mesir, Al-Maktabah Al-Tijariyyah al-Kubra, tt, h. 113.

34 Ibid.

79

Andalusia yang melakukan jima‟ (persetubuhan) dengan istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan. Menurut al-Laits, raja diharuskan berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari kewajiban memerdekakan budak. Pertimbangan Imam al-Laits akan hal tersebut karena menurutnya hukuman memerdekakan budak merupakan hukuman yang ringan dan tidak berdampak positif bagi raja karena sangat mampu memerdekakan budak, artinya dimungkinkan raja tersebut akan mengulang lagi perbuatannya. Maka, menurut Imam al-Laits cara untuk memberikan efek jera pada raja terebut adalah dengan cara memberi sanksi yang lebih berat yaitu dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Walaupun sanksi puasa ini dalam ketentuan nash merupakan urutan kedua setelah memerdekakan budak (sebagai urutan sanksi pertama) sehingga hal tersebut memiliki kemaslahatan menurut Imam al-Laits. Kemaslahatan seperti yang dimaksud oleh Imam al-Laits seperti yang diterangkan di atas merupakan kemaslahatan yang tidak mendapat legislasi dari al-Qur‟an.

Di samping itu, menurut jumhur ulama dan cendekiawan muslim termasuk Dr. Yusuf al-Qardhawi berpendapat, bahwa Imam al-Laits hanya melihat kepada mashlahah untuk diri raja, dan melupakan mashlahah yang lebih besar yaitu mashlahah para budak yang perlu

80 dimerdekakan dan dibebaskan dari dunia perbudakan. Sementara syariat memandang perbudakan seperti sebuah kematian bagi manusia karena hak kemerdekaan sudah tidak ada lagi. Untuk itulah al-Qur‟an dan al-hadits menganggap perbuatan memerdekakan budak sebagai ibadah paling besar untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. Dengan demikian mashlahah di atas termasuk kategori mashlahah mulghah.35

c. Mashlahah yang tidak terdapat legislasinya dalam nash (al-mashlahah al-mursalah)

ام

.اهئاغلإب لاو هرابتعاب دهشت ملف ,ةّصالخا دىاوشلا ونع تتكس

36

Yaitu mashlahah yang tidak ditunjuk oleh nash baik dalam tingkat nau‟ (macam) maupun pada tingkat jins (jenis). Dalam hal ini nash tidak menyebutkan keberlakuan dan ketidak berlakuannya. Mashlahah ini disebut dengan mashlahah mursalah, yakni mashlahah yang terlepas dari nash secara khusus. Meski tidak memiliki dasar nash khusus, tetapi mashlahah ini dapat dikembalikan kepada dalil umum atau barangkali lebih tepat dapat dikembalikan kepada dalil umum yag diambil dari ayat atau hadits.37

35

Amin Farih, op.,cit, h. 82-83.

36

Abu Ishaq al-Syathiby, al-I‟tishâm, h. 114.

37

Al Yasa‟ Abubakar, Metode Istishlahiyah, Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016, h. 43.

81

Terhadap mashlahah mursalahini, al-Syathiby membagi pada dua kategori, yaitu:

1) Kemaslahatan yang tidak diakui oleh Syâri‟ karena secara mendasar kemaslahatan tersebut sama sekali bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an dan al-hadits. Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan warisan.38

Dalam al-I‟tisham dikatakan:

ثانًملل لتقلا عنم ليلعتك ,نىعلدا كلذ قفو ىلع ّصن ّدري نأ

.

39

2) Kemaslahatan yang ada relevansinya dengan tujuan syariat. Seperti upaya sahabat dalam mengumpulkan mushaf al-Qur‟an yang sebelumnya sama sekali tidak diperintahkan oleh syariat. Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada pada saat itu dimana banyak di antara huffâdz yang meninggal dunia dalam peperangan melawan kaum kafir, maka para sahabat khawatir akan eksistensi al-Qur‟an yang bisa jadi tidak dapat diserap nilai-nilainya oleh generasi selanjutnya sebab meninggalnya para huffâdz.40

38

Amin Farih, op. cit, h. 84.

39

Al-Syathiby, op.cit., h. 115.

40

82 ةلملجا في عراشلا هبرتعا سنج نىعلدا كلذل دجوي نأ وىو ,عرشلا تافّرصت مئلاي نأ

ّنٌعم ليلد نًغب .

41

Terkait dengan mashlahah ini, al-Syathibi membagi maqâshid atau mashâlih menjadi dlarûry (keharusan), hâjiy (kebutuhan), dan tahs

ȋ

ny (keindahan). Maqâshid al-dlarûrykeberadaannya merupakan sebuah keharusan, karena maqashid ini tidak bisa dihindarkan dalam menopang mashâlih al-d

ȋ

n dari dunia, dalam pengertian jika mashâlih ini dirusak maka stabilitas mashâlih dunia pun rusak. Kerusakan mashâlih ini berakibat berakhirnya kehidupan didunia ini, dan diakhirat ia mengakibatkan hilangnya keselamatan dan rahmat. Kategori dlarûry terdiri atas lima hal: dîn (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), mâl (kekayaan) dan „aql (intelek). Para ulama, kata al-Syathiby, berpendapat bahwa kelima prinsip diterima secara universal. Menganalisa tujuan dari kewajiban syar‟i, kita menemukan bahwa syari‟at juga menganggap tujuan ini penting. Kewajiban syar‟i bisa dibagi dari sudut pandang positif dan cara proteksi tertentu ke dalam dua kelompok. Termasuk ke dalam cara protektif adalah ibadah dan mu‟amalah, sedangkan yang termasuk ke dalam kelompok prefentif adalah jinâyah. Adapun maqâshid hâjiydisebut

41 Ibid.

83

karena dibutuhkan untuk memperluas (tawassu‟) tujuan maqâshid dan untuk menghilangkan kekakuan pengertian literal, karena penerapan hukum itu menggiring ke dalam kesulitan dan akhirnya menghancurkan maqâshid. Jadi jika hâjiyah tidak dipertimbangkan bersama dlaruriyah maka manusia secara keseluruhan akan menghadapi kesulitan. Kendatipun demikian, hancurnya hâjiyah tidak berarti hancurnya keseluruhan mashâlih seperti yang ada dalam dlaruriyah. Sementara maqashid tahsiniyberarti mengambil apa yang sesuai dengan apa yang terbaik dari kebiasaan-kebiasaan (adat) dan menghindari cara yang tidak disukai oleh orang-orang bijak. Tipe mashlahah ini mencakup kebiasaan-kebiasaan terpuji seperti etik dan moralitas.42

Adapun hubungan antara ketiga jenis dan tingkatan keperluan dan perlindungan ini oleh al-Syathiby dijelaskan sebagai berikut:

1. Al-dlarûriyyât adalah dasar bagi hajiyyât dan al-tahs

ȋ

niyyât.

2. Kerusakan al-dlarûriyyât akan menyebabkan kerusakan seluruh al-hajiyyât dan al-tahs

ȋ

niyyât.

3. Kerusakan al-hajiyyât dan al-tahs

ȋ

niyyât tidak akan menyebabkan kerusakan al-dlarûriyyât.

42

84 4. Kerusakanseluruh hajiyyât atau kerusakan seluruh

al-tahs

ȋ

niyyât akan mengakibatkan kerusakan sebagian al-dlarûriyyât.

5. Keperluan dan perlindungan hajiyyât dan al-tahs

ȋ

niyyât perlu dipelihara untuk kelestarian al-dlarûriyyât.43

Bila diamati lebih dalam, maka akan ditemui bahwa al-Syathiby hanya membuat dua kriteria agar mashlahah dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam, yaitu:

1) Mashlahah tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara‟. Karena itu mashlahah mashlahah yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara‟ atau yang berlawanan dengan dalil syara‟ (al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟) tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. 2) Mashlahah seperti kriteria nomor satu di atas tidak

ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut al-Syathiby termasuk dalam kajian qiyas.44

43Al Yasa‟ Abu Bakar, Metode Istislahiah; Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan

dalam Ushul Fiqh, Jakarta: Pranadamedia Group, 2016, h. 80. 44

M. Sidiq Purnomo, Reformulasi Mashlahah Mursalah al-Syathiby dalam

85

No.

Lima Unsur Pokok

Dlarûriyyat Hâjiyyat Tahsîniyyat 1. Agama Memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu Memelihara dan melaksanaka n ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat lima jama‟ dan qashar bagi musafir Mengikuti petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibanny a kepada Tuhan. Misalnya menutup aurat, membersihk an pakaian dan badan. 2. Jiwa Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahank an hidup, dan kebutuhan lainnya yangberkaitan dengan anggota badan Dibolehkann ya berburu dan menikati makanan dan minuman yang lezat. Ditetapkann ya tata cara/adab makan dan minum.

86 dan haram membunuh orang lain. 3. Akal Diharamkanny a meminum minuman keras. Anjuran untuk meuntut ilmu pengetahuan . Menghindar kan diri dari menghayal atau mendengark an sesuatu yang tidak berguna. 4. Keturunan Disyariatkann ya nikah dan larangan berzina. Ditetapkann ya menyebutka n mahar bagi suami pada waktu akad nikah. Disyariatkan nya khithbah dan walimah dalam perkawinan. 5. Harta Disyariatkann ya tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Disyariatkan ya jual beli dengan cara salam. Seperti adanya ketentuan agar menghindark an diri dari transaksi yang ada unsur gharar (spekulasi).

Klasifikasi mashlahah seperti tersebut di atas dapat memudahkan pengkaji hukum Islam dalam menganalisis kasus hukum yang di dalamnya terdapat pertentangan antara beberapa mashlahah. Ketika yang bertentangan adalah mashlahah yang

87

sama-sama dalam peringkat dlarûriyyat, maka penyelesaiannya adalah dengan mendahulukan urutan paling tinggi dalam lima unsur pokok (al-ushûl al-khamsah), dimana peringkat tertinggi adalah agama, kemudian secara berurutan diikuti dengan jiwa, akal, keturunan dan harta.45

Dokumen terkait