Sudah lama kita hidup dalam situasi di mana “agraria adalah akibat, kapitalisme adalah sebab” (Juliantara 1997). Mari kita buat arus balik, dengan menjadikan situasi tanah air rakyat, menjadi tempat berangkat, yang harus terlebih dahulu dirawat dan diurus untuk dipastikan keberlanjutannya. Karena itu, tanah air rakyat juga sekaligus tempat pengabdian. Kita tidak bisa sekedar berangan-angan, dan menganggap segala sesuatunya bisa dijalankan dengan mudah dan bisa begitu saja sesuai dengan angan-angan. Saya ingat suatu pepatah penting bahwa memang manusia dapat mengubah sejarah, tapi tidak dalam situasi yang kita pilih sendiri. Kita hidup dengan berbagai kebiasaan yang kita terima sebagai warisan.1
Jadi sudah pasti tidak mudah. Soekarno pernah mengingatkan bahwa “kesoelitan-kesoelitan hendaknja tidak mendjadi penghalang daripada tekad kita, tidak mendjadi penghalang daripada kesediaan kita oentoek teroes berdjoang dan teroes bekerdja, bahkan kesoelitan-kesoelitan itu hendaknja mendjadi satoe tjamboekan bagi kita oentoek berdjalan teroes, bekerdja
teroes oleh karena memang diharapkan daripada kita sekarang ini realisasi daripada penjelenggaraan daripada masjarakat jang adil dan makmoer jang telah lama ditjita-tjitakan oleh rakjat In- donesia”. Lebih lanjut, pada sidang pleno pertama Dewan Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus 1959, Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus “dengan tegas haroes menoedjoe kepada masjarakat adil dan makmoer”, yang pada waktu itu disebutnya sebagai “masjarakat sosialis a la Indo- nesia”. Upaya merealisasikannya “tidak boleh tidak kita haroes mengadakan planning dan kita haroes mengadakan pimpinan dan haroes kita mengadakan kerahan tenaga. … Tanpa plan- ning, tanpa pimpinan, tanpa pengerahan tenaga tak moengkin masjarakat jang ditjita-tjitakan oleh rakjat Indonesia itoe bisa tertjapai dan terealisasi”.
Perencanaan, pengerahan tenaga dan kepemimpinan yang bagaimana?
Tentu konteks waktu dan ruang ketika dan di mana Soekarno menyampaikan pesan itu sudah jauh berbeda. Tapi, kita bisa memperlakukannya sebagai rujukan dan inspirasi.
Pemimpin dalam semua satuan, termasuk di desa-desa, harus bekerja secara gotong-royong dengan perencanaan yang matang. Adalah tugas kita semua untuk kembali menjadikan perjuangkan tanah air sebagai pijakan, termasuk untuk pemerintah yang selayaknya memposisikan diri dan menjalankan perannya untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
penutup: panggilan ideologis untuk pandu
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone- sia” (kalimat dari Pembukaan UUD 1945. Lihat Lampiran 2,
Naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945).
Di sini saya menganjurkan kita semua untuk segera menggenapkan tekad dan mengerahkan segala daya upaya untuk merintis arus balik memperjuangkan tanah air, dengan benar-benar menimbang sejarah dan geografi mulai dari masing- masing kampung/desa, lalu kawasan, lalu pulau, hingga mengurus kembali Indonesia sebagai bangsa maritim terbesar di dunia.
Penggunaan istilah “arus balik” di atas secara sadar dipakai merujuk pada novel karya Pramoedya Ananta Toer,2 dan juga
diinspirasi oleh konsep counter-movement dari Karl Polanyi (1944). Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermove- ment) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Membuat arus balik ini adalah ekspresi dari suatu kesadaran kritis dan sekaligus semangat mengubah nasib. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat dari daya rusak pasar kapitalis. Arus balik atau gerakan tandingan itu sesungguhnya menandingi prinsip “pengaturan diri-sendiri” dari pasar kapitalis (Polanyi 1944:130). Sesungguhnya, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dan Cita-cita Pembentukan Negara Republik Indonesia merupakan keberanian membuat
suatu arus balik pada zamannya (lihat Lampiran 3, Pidato Soekarno Memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indo- nesia 17 Agustus 1945).
Marilah kita, para tetua bapak dan ibu, terutama para pemuda dan pemudi, menjadi pandu tanah air, merintis dan membangun arus balik dengan menjadikan kampung/desa atau apapun namanya sebagai tempat berangkat dan sekaligus tempat kita mengabdi.3
Panggilan menjadi pandu ini adalah panggilan ideologis. Ketahuilah, kepanduan adalah salah satu dari dasar-dasar persatuan Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam “Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia”, 28 Oktober 1928 (lihat
Lampiran 4, Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia)
Saya menjadi ingat pada kata-kata utama dalam teks lagu kebangsaan Indonesia Raya versi asal, yang dikenal sebagai karya Wage Rudolf Supratman. Lirik Indonesia Raya untuk pertama kalinya dipublikasi di Koran Sin Po 10 November 1928, kira-kita sebulan setelah W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya itu dengan biola pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.4
Seluruh lirik lagu itu terdiri dari tiga stanza.5 Perhatikanlah bait-
bait pertama dari tiap stanza. Karena “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku”, maka “di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku” (dari bait pertama stanza pertama); Karena “Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya”, maka “di sanalah aku berdiri untuk selama-lamanya” (dari bait pertama stanza kedua); dan karena “Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti”,
penutup: panggilan ideologis untuk pandu
maka “di sanalah aku berdiri, menjaga ibu sejati” (dari bait pertama stanza ketiga).
Sebagai penutup, marilah kita hayati panggilan ideologis menjadi pandu, dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya versi asal (Lihat
Lampiran 5c: Indonesia Raya oleh Wage Rudolf Supratman).
Memang akan terasa panjang karena tiga stanza. Namun, justru karena itu, kita diajak menghayati filosofi yang terkandung di dalam lirik lagunya, khususnya mengenai keniscayaan “berdiri” menjadi “pandu” “untuk selama-lamanya” “menjaga ibu sejati”. Bukankah semua itumerupakan panggilan dari tanah air. Selamat merasa, berpikir, memutuskan, dan bekerja.
Catatan Akhir
1 Kalimat terkenal dari Karl Marx (1852): “Manusia membuat
sejarahnya sendiri, tapi mereka tidak membuatnya seperti apa yang mereka inginkan dalam situasi yang mereka pilih sendiri, tapi dalam situasi yang langsung dihadapi, ditentukan dan diteruskan dari masa lampau. Tradisi dari semua generasi yang sudah mati membebani bagaikan impian buruk di benak manusia yang hidup.”
2 Menurut Hilmar Farid (2014) “Arus Balik karya Pramoedya Ananta
Toer (1985) disebut novel sejarah bukan semata karena latarnya mengambil tempat di Tuban lima ratus tahun yang lalu, tapi karena novel itu menggambarkan sebuah transformasi yang hebat, sebuah arus balik yang hebat, dalam sejarah perairan kita. Sejarah sebagai kritik bertujuan mengenali semua kekuatan yang membentuk transformasi itu. Kesadaran inilah yang akan menjadi landasan bagi transformasi besar di masa mendatang.”
3 Cf. Zakaria (2005).
4 Majalah Mingguan Tempo baru-baru ini membuat edisi khusus
Hari Kemerdekaan Muhammad Yamin (1903-1962) 18-24 Agustus 2014. Salah satu liputannya adalah mengindikasikan bahwa Muhammad Yamin lah yang menuliskan dan memberikan teks lagu Indonesia Raya itu untuk Wage Rudolf Supratman.
5 Saya berterima kasih pada Gunawan Wiradi (2004) “Lagu
Kebangsaan dan Nasionalisme”. https://sajogyoinstitute.wordpress.com/ 2013/09/20/lagu-kebangsaan-dan-nasionalisme/ (unduh terakhir pada 4 April 2015)