• Tidak ada hasil yang ditemukan

92f98 panggilan tanah air

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "92f98 panggilan tanah air"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PANGGILAN TANAH AIR

Noer Fauzi Rachman, Ph.D

(5)

Penulis : Noer Fauzi Rachman, Ph.D Penyelaras bahasa : Haslinda Qodariah Tata letak : Prasetyo

Desain cover : Yayak Adya Yatmaka Gambar cover : Yayak Adya Yatmaka

Prakarsa Desa

(Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan, BP2DK)

Gedung Permata Kuningan Lt 17 Jl. Kuningan Mulia, Kav. 9C Jakarta Selatan 12910

Jl. Tebet Utara III-H No. 17 Jakarta Selatan 10240 t/f. +6221 8378 9729 m. +62821 2188 5876 e. office@bp2dk.id w. www.prakarsadesa.id Cetakan Pertama, 2015

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Noer Fauzi Rachman (penulis) Panggilan Tanah Air Cet. 1—Jakarta:

144 hal., 14 X 20 cm ISBN: 978-602-0873-00-8

(6)

Pengantar Penerbit

Bagaimana nasib desa di masa depan? Apakah setelah terbitnya UU Desa, yakni UU No. 6 tahun 2014, maka akan dengan sendirinya nasib desa berubah, dan akan dengan sendirinya gerak pembangunan menempatkan desa sebagai subyek? Apa dasar dari pandangan tersebut? Jika kita yakin akan kerja undang-undang, maka yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah ada dasar dari keyakinan kita tersebut? Bagaimana kondisi desa saat ini? Bagaimana kondisi kampung-kampung dewasa ini? Apakah dalam keadaan ideal? Ataukah desa, kampung dan atau dengan nama lainnya, telah berada dalam suatu situasi yang membuatnya tidak mudah untuk mengubah arah nasibnya? Jika demikian, apa yang harus dilakukan?

(7)

Ph.D., seorang guru pendidikan rakyat, yang telah bekerja demikian lama dalam urusan keagrariaan, pedesaan dan pemberdayaan masyarakat secara luas. Noer Fauzi Rachman, hendak memperlihatkan suatu keadaan “gawat”, yakni keadaan yang dilukiskannya sebagai keadaan porak-poranda, ketika tanah air Indonesia porak-poranda. Tentu saja naskah ini bukan jenis naskah yang mengundang kita untuk bersedih meratapi keadaan. Sebaliknya, naskah ini dimaksudkan untuk mengundang keterlibatan, mengundang agar kita bersedia menjadi pandu tanah air, sebagaimana yang tertuang dalam lagu Indonesia Raya.

Mengapa naskah ini terbit, di dalam rute pembangunan Sistem Informasi Desa dan Kawasan (SIDEKA)? Sebagaimana disebut di atas, bahwa naskah ini dimaksudkan menjadi energi bagi suatu semangat baru. Dengan semangat tersebut, maka sangat diharapkan lahirnya suatu cara pandang baru, sedemikian rupa sehingga SIDEKA tidak diperlakukan hanya sebagai teknologi (aplikasi yang sempit), melainkan menjadi “teknologi pemberdayaan” yang baru, dan karenanya disebut sebagai cara baru menghadirkan negara. Untuk karena itu pula, diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung terbitnya naskah ini, yang kelak akan ditempatkan sebagai bahan pokok pembelajaran bagi para Pandu Desa yang akan menggerakkan pembangunan SIDEKA. Diucapkan terima kasih kepada

(8)

pengantar penerbit

kontribusi bagi terbitnya naskah ini, dan juga penyebarannya. Akhirnya, selamat membaca, merenungi nasib bangsa, dan menjawab panggilan kepanduan: menyelamatkan tanah air, dan membawanya kepada masa depan baru, yang lebih baik dan lebih bermakna, sebagaimana maksud dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

(9)
(10)

Pengantar Penulis

Sebagai pembuka dari apa yang saya uraikan secara panjang lebar dalam buku ini, mari kita bayangkan apa yang masih sering dibicarakan banyak orang mengenai tanah air kita ini. Biarkan diri dan imajinasi kita bersafari pada keindahan kampung-kampung halaman yang beragam, apakah itu di pulau-pulau kecil, di pantai-pantai, hutan-hutan, ladang-ladang pertanian, permukiman kaki gunung, di dalam hutan dataran tinggi, maupun sabana-sabana? Kemudian tariklah nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata sambil membayangkan semua keindahan keanekaragaman bentang alam itu. Sungguh mempesona dan tiada taranya bukan?

(11)

Tanah Airku Indonesia Negeri elok amat kucinta

Tanah tumpah darahku yang mulia Yang kupuja sepanjang masa

Tanah airku aman dan makmur Pulau kelapa yang amat subur Pulau melati pujaan bangsa Sejak dulu kala

Melambai-lambai, nyiur di pantai Berbisik-bisik, raja klana

Memuja pulau, nan indah permai Tanah airku, Indonesia

Ternyata kita bisa juga membaca sambil menyanyikannya. Bagaimanakah rasa takjub dan imajinasi yang ditimbulkannya? Karya dari Ismail Marzuki yang senada adalah “Indonesia Tanah Air Beta” berikut ini.

Indonesia tanah air beta Pusaka abadi nan jaya Indonesia sejak dulu kala Tetap dipuja-puja bangsa

(12)

pengantar penulis

Satu lagi, mari kita pelajari lagu “Tanah Airku” karya pujangga lain Saridjah Niung Bintang Soedibio (1908-1993), yang lebih terkenal dengan panggilan Ibu Sud.

Tanah airku tidak kulupakan Kan terkenang selama hidupku Biarpun saya pergi jauh

Tidakkan hilang dari kalbu Tanahku yang kucintai Engkau kuhargai

Walaupun banyak negeri kujalani yang masyhur permai dikata orang Tetapi kampung dan rumahku Disanalah ku m’rasa senang Tanahku tak kulupakan

Engkau kubanggakan

(13)

Generasi saya mempelajari lagu-lagu itu melalui mata pelajaran “Seni Suara” semasa kami berada di Sekolah Dasar (SD) di tahun 1970-an, dan melalui acara televisi. Saat itu kami baru mengenal televisi sebagai produk teknologi baru dan menjadi sumber media hiburan yang segera saja populer di kalangan anak-anak. Pada saat itu, menyanyi menjadi salah satu acara idaman kami di Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan pengarah acara A.T. Mahmud dan pengasuh acara Ibu Mul untuk “Lagu Pilihanku” dan Ibu Fat untuk “Ayo Menyanyi”. Kedua acara itu diiringi oleh Ibu Meinar yang memainkan piano. Acara lomba menyanyi pun semarak di Radio Republik Indonesia (RRI) maupun radio-radio swasta. Karena di sekolah, siaran TVRI, RRI maupun radio-radio swasta sering memperdengarkan berbagai nyanyian seperti itu, kami pun menjadi pandai menyanyikannya.

Siapakah di antara para orang tua yang bisa ditanyakan situasi dan pengaruh dari pengajaran menyanyi dan siaran-siaran itu? Siapakah kini yang masih sering melantunkan lagu-lagu itu? Atau, di manakah kita masih dapat mendengarkan lagu-lagu itu sekarang? Seolah semuanya sudah hilang dan terlupakan begitu saja. Dimana kita bisa temukan tanda-tanda jejak bahwa kita pernah memiliki imaji bersama tentang apa itu tanah air, sebagaimana tergambar begitu mempesona dalam lagu-lagu di atas.

(14)

pengantar penulis

indah melalui tamasya. Tanah air yang saya maksudkan di sini adalah tempat nyata dimana rakyat Indonesia benar-benar hidup dan mempertahankannya.

(15)

Khusus” sebagai hasil dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, 2005. Apakah semaraknya demokrasi politik yang terbuka, dan pengaturan pembagian kewenangan pemerintah Pusat dan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria dengan mengakui klaim-klaim rakyat dan memulihkan situasi tanah air kampung halamannya yang porak poranda itu.

Buku kecil ini hendak mengajak kita semua membuka mata melihat situasi sebagian dari tanah air, kampung halaman tempat hidup rakyat di desa-desa, di seantero Nusantara (nusaantara, artinya gugusan pulau-pulau). Saya merasa tugas utama buku kecil ini adalah, pertama-tama, menunjukkan perlunya kita memperhatikan bagaimana reorganisasi ruang untuk meluaskan cara/sistem produksi kapitalis yang menghasilkan komoditas-komoditas global. Selanjutnya, naskah ini akan berhasil menjalankan tugasnya, bila pembaca dapat mengidamkan dan membayangkan suatu cara pengabdian untuk memperbaiki situasi tanah air kampung halaman rakyat.

(16)

pengantar penulis

Budi Supriatna, Sapei Rusin, dan banyak teman lain yang tertinggal di daftar dan tidak bisa saya masukkan dalam daftar itu, termasuk semua yang telah mengundang saya menyampaikan ceramah/kuliah dan mereka yang menyampai-kan pertanyaan, komentar kritis, dan pujian untuk ceramah-ceramah saya di berbagai tempat dan kesempatan yang berbeda-beda.

Terima kasih khusus pada Hendro Sangkoyo yang mengijinkan penggunaan karyanya untuk dimuat di bab V, Parakitri T. Simbolon yang mengijinkan pemuatan ringkasan yang dibuatnya atas Tan Malaka, Hatta dan Sukarno untuk Lampiran 1a, 1b, dan 1c. Tidak lupa juga banyak terima kasih untuk Haslinda untuk memeriksa dan memperbaiki tata bahasa dan kalimat naskah buku ini. Istri saya tercinta, Budi Prawitasari, dan kedua putra kami, Tirta Wening dan Lintang Pradipta, berkorban tidak terkira untuk keleluasaan yang saya dapatkan selama ini, termasuk untuk menuliskan naskah ini. Saya tidak tahu cara menyampaikan terima kasih yang layak untuk pengorbanan yang mereka berikan. Pengabdian saya untuk rakyat dan tanah air Indonesia adalah pengabdian kalian juga.

Terakhir rasa terima kasih kepada penerbit yang mengusahakan membuat buku ini sampai ke tangan pembaca sekalian. Selamat menikmati.

(17)
(18)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada

pada diri mereka”

(19)
(20)

Daftar Isi

Pengantar Penerbit ~~ v Pengantar Penulis ~~ ix

I. Pembuka ~~ 1

II. Situasi Umum Tanah Air Kita ~~ 5 III. Reorganisasi Ruang ~~ 15

IV. Merasani “Kutukan Kolonial” ~~ 25

V. Masa Depan Tanah Air, Tanah Air Masa Depan ~~ 39 VI. Penutup: Panggilan Ideologis untuk Pandu ~~ 57

Lampiran-lampiran

0 Tan Malaka (1925) Naar de “Republiek Indonesia” ~~ 65

0 Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka ~~ 76

(21)

0 Naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ~~ 103 0 Pidato Soekarno Memproklamasikan Kemerdekaan

Republik Indonesia 17 Agustus 1945 ~~ 105

0 Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia ~~ 107

0 Lirik Lagu “Indonesia Raya” versi asal (1928) ~~ 110 0 Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi Resmi

(1958, 2009) ~~ 112

0 Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi Resmi (dengan Ejaan Yang Disempurnakan) ~~ 114

(22)

I

-Pembuka

Naskah ini dibuat dalam situasi di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap transaksi jual-beli itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. Di Indo-nesia sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual-belikan. Bukankah demikian?

(23)

Naskah ini berangkat dari pengalaman-pengalaman saya, selama hampir tiga puluh tahun, menyaksikan bagaimana rakyat menghadapi operasi-operasi kekerasan, yang dijalankan oleh berbagai kekuatan, dalam rangka menciptakan modal bagi perusahaan raksasa. Terutama perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan untuk membangun sistem produksi kapitalisme, yang menghasilkan barang dagangan untuk diperjualbelikan di pasar bagi sebesar-besar keuntungan perusahaan.

(24)

pembuka

Bagaimana sesungguhnya kita menyikapi semua ini? Pendek kata, naskah ini bermaksud menggugah bagaimana kita bersikap menghadapi porak-porandanya tanah air, kampung halaman rakyat akibat reorganisasi ruang untuk perluasan cara/sistem produksi kapitalisme yang menghasilkan komoditas-komoditas global. Lebih lanjut, saya berharap naskah ini dapat membuat kita mengidamkan, memikirkan, dan merintis usaha-usaha memulihkan rakyat dan alam yang porak-poranda itu. Terbuka kemungkinan rakyat memilih dan menjadikan kampung atau desa (apapun namanya) sebagai tempat berangkat dan sekaligus tujuan pengabdian. Kita berangkat dari apa yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam perdebatan pembuatan pasal 18-B UUD 1945, yakni:

(25)
(26)

II

-Situasi Umum Tanah Air Kita

Masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam bangsa In-donesia secara umum pernah dirumuskan secara sederhana oleh elite pemerintahan nasional di zaman Reformasi melalui Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sebagai berikut: (i) ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah dan sumber daya alam di tangan segelintir perusahaan, (ii) konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan (iii) kerusakan ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat.1 Tiga golongan masalah ini sayangnya diabaikan

oleh banyak pejabat publik dan sama sekali tidak diurus secara serius oleh presiden-presiden, menteri-menteri dan para pejabat yang berhubungan dengan masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta para pejabat pemerintahan daerah.

(27)

di banyak desa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalaman maupun di pesisir dari pulau-pulau, dilanda rasa risau dan kuatir. Rakyat pedesaan menanggung beban berat secara kolektif sehubungan dengan akses pada tanah pertanian, hutan, dan lingkungan hidupnya semakin hari menyempit, produktivitasnya semakin hari merosot, lingkungan ekosistemnya semakin hari semakin tidak mendukung kehidupan, dan secara relatif kesejahteraannya menurun.

Konsentrasi penguasaan tanah, nilai tukar pertanian yang rendah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah membuat akibat yang nyata pada jumlah rumah tangga petani dan luas total pertanian rakyat. Data sensus pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indo-nesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003.

(28)

situasi umum tanah air kita

Arus pengurangan jumlah petani dimulai sejak pertengahan abad 20 yang lalu, dan diperhebat dalam dekade yang lalu di Indone-sia. Secara umum, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin sempit dari tahun ke tahun, dibanding dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran, di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti mereka. Di sana sini, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk, yang tidak mampu mencegah rombongan lain untuk pergi.

(29)

Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan untuk mereka meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metro-politan. Mereka yang berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota tidak kembali ke desa, menjadi konsumtif, dengan membeli/ menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropoli-tan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolimetropoli-tan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota.

Sejarawan terkenal, Eric Hobsbawm dalam karyanya yang terkenal, Age of Extremes, membuat deklarasi bahwa “the most dramatic change in the second half of this century, and the one which cuts us forever from the world of the past, is the death of the peasantry”. Artinya, “perubahan paling dramatis dalam paruh kedua abad (kedua puluh) ini, yang untuk selamanya memisahkan kita dari dunia masa lampau, adalah kematian petani” (Hobsbawm, 1994:288-9). Istilah untuk berkurangnya jumlah orang desa yang bekerja sebagai petani, yang dibuat oleh para sarjana peneliti masalah agraria , adalah depeasantization

(30)

situasi umum tanah air kita

lanjut, ahli agraria lain membuat istilah deagrarianization

(Bryceson 1996) untuk menunjukkan semakin kecilnya andil kerja-kerja dari dunia agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan orientasi hidup, identifikasi sosial, dan perubahan lokasi hidup.

(31)

Saya bukan akan membahas sisi modernisasi yang mentereng itu. Sisi lain dari cara perluasan sistem-sistem produksi komoditas globallah yang akan kita bahas, khususnya cara perluasan melalui konsesi-konsesi proyek pertambangan, kehutanan, perkebunan, infrastruktur, dll. Produktivitas rakyat yang hidup di lokasi-lokasi sasaran perluasan itu sesungguhnya diabaikan dan sama sekali tidak diperhitungkan, apalagi dihargai. Cerita dan berita mengenai penghancuran kehidupan yang sebelumnya melekat pada tempat sistem-sistem produksi baru itu tidak dimasukkan dan dimuat dalam naskah-naskah resmi di kantor-kantor pemerintah. Sebaliknya, pemerintah menyampaikan keharusan-keharusan bagaimana kebijakan dan fasilitas pemerintah diarahkan untuk mempermudah para perusahaan raksasa (biasa disebut: investor!) bekerja untuk memperbesar kapasitas produksi komoditas-komoditas global, mensirkulasikannya, dan menjualbelikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan dan penumpukan kekayaan.

Ketika naskah ini ditulis, saya membaca berita di Koran Kompas

(32)

situasi umum tanah air kita

Dairi, dan Simalungun.” (Kompas “Konflik Lahan Adat Meningkat” 18 April 2015). Perlu diketahui bahwa PT TPL memperoleh lisensi izin pemanfaatan lahan untuk Hutan Tanaman Industri melalui SK Menhut nomor 58/2011 untuk lahan seluas 188.000 hektar. Izin ini merupakan pembaruan atas SK Menhut 493/1992 hektar untuk lahan seluas kurang lebih 269.000 hektar atas nama PT Inti Indorayon Utama (IIU).

Kasus konflik lahan di wilayah ini bukan hanya 18 kasus itu. Ke-18 kasus itu adalah mereka yang bertahan hingga saat ini. Banyak komunitas yang sudah kalah dan mengalah terhadap PT TPL atau PT IIU.2 Konflik-konflik lahan di wilayah ini sudah berlangsung

dalam jangka waktu yang panjang, semenjak PT IIU bekerja di sana mendapatkan lisensi pembalakan kayu (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) dari Menteri Kehutanan seluas 100.000 hektar pada tanggal 23 Oktober 1984 dengan jangka waktu pengusahaan 20 tahun.

Baru-baru ini di akhir tahun 2003, saya memiliki satu kesempatan istimewa mengunjungi salah satu dari konflik-konflik lahan itu, yakni yang terjadi di kampung Naga Hulambu, kabupaten Simalungun. Saya bertemu dan mendengar cerita bagaimana seorang ibu (inang) memimpin rakyatnya mempertahankan tanah air mereka dengan cara mengusir kontraktor-kontraktor PT TPL yang telah, sedang, dan akan menghabisi kebun-kebun mereka yang dipenuhi oleh pohon kayu, buah-buahan maupun sayur-sayuran.

(33)

menunjukkan masalah tanah air rakyat yang kronis. Lebih dari itu, sinyalemen mengenai sebaran konflik agraria di seantero Nusantara sudah menujukkan luasannya di seantero Nusantara (Konsorsium Pembaruan Agraria 2014).3 Di sini saya tidak akan

memperpanjang cerita-cerita kasus semacam itu. Di naskah ini, saya akan mengarahkan penjelasan mengenai sebab utama dari porak-porandanya rakyat dan tanah airnya, yang berlangsung secara sistemik, sebagai akibat dari reorganisasi ruang untuk perluasan cara/sistem produksi kapitalisme untuk menghasilkan komoditas-komoditas global.

Catatan Akhir

1 Satu mandat utama dari TAP MPR ini adalah penyelesaian

pertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkronnya berbagai perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berlaku. Ironisnya tidak ada satupun Presiden Republik Indonesia yang menjalankan arah kebijakan dan mandat yang termuat di dalam Ketetapan MPR itu. Semenjak dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 melalui UU Nomor 24/2003 sudah cukup banyak undang-undang agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diuji konstitusionalitasnya, dan sebagian telah dibatalkan karena tidak sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku. Yang terbanyak diuji adalah Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Yang baru saja dibatalkan adalah Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Air sebagai sumber daya yang vital tidak boleh diswastakan, dan harus dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

2 Pertama kalinya saya membaca satu kasus dari wilayah ini melalui

(34)

situasi umum tanah air kita

di Bandung oleh Badan kerjasama Pembelaan Mahasiswa Indonesia. Buku ini adalah Pledoi Ibrahim Gidrach Zakir, salah seorang mahasiswa yang dipenjarakan oleh rezim militer Orde Baru karena tuntutan mereka agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Kasus ini telah menjadi perhatian para pekerja hak asasi manusia sejak akhir ahun 1989. Saya membacanya di YLBHI (1990), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989. Naskah akademik terbaik mengenai perjuangan agraria di sana, termasuk yang digerakkan oleh ibu-ibu Sugapa, adalah Simbolon, Indira Juditka 1998 Peasant Women and Access to Land; Customary Law, State Law and Gender Based Ideology; The Case of the Toba - Batak (North Sumatra). PhD thesis in Wageningen University.

3 Salah satunya dibuat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

(35)
(36)

III

-Reorganisasi Ruang

Secara gamblang saya mengajak pembaca melihat sebagian situasi rakyat dan tanah airnya yang porak-poranda itu sebagai bagian akibat dari reorganisasi ruang yang digerakkan oleh kekuatan-kekuatan yang memperluas sistem-sistem produksi kapitalis. Sebagai suatu sistem produksi yang mendasarkan pada pemisahan antara pemilik dan pekerja, serta manajer pengelola produksi, dan yang senantiasa berorientasi untuk pelipatgandaan keuntungan si pemilik, mesin-mesin industrinya harus terus bergerak memproduksi tak henti-henti untuk menghasilkan komoditi atau barang dagangan secara standar dan massal. Barang dagangan atau komoditi itu kemudian disirkulasikan sedemikian rupa sehingga bisa sampai pada konsumen.

(37)

dan alam yang berubah. Memang penting juga melihat pengaruh kekuatan politik dan segala pergolakan yang timbul dari padanya pada perubahan industrial, akan tetapi semua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula hanya karena pengaruh yang begitu rupa dari ilmu dan jumlah modal yang diinvestasikan, atau oleh pengaruh khusus dari sistem-sistem moneter, yang semuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang membentuk dan menggerakkan mesin kapitalis sesungguhnya berasal dari kemampuannya membuat rakyat mengkonsumsi barang-barang yang baru, yang dimungkinkan melalui cara-cara produksi baru, transportasi baru, pasar-pasar baru, dan manajemen organisasi industrial baru.

(38)

reorganisasi ruang

Demikianlah, ekspansi sistem produksi kapitalis memerlukan reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus agar cara/sistem produksi kapitalisme bisa meluas secara geografis (geographic expansion). Istilah yang dimaksudkan di sini lebih luas maknanya dari istilah yang disebut oleh pemerintah sebagai “penataan ruang”. Secara umum, yang dimaksudkan dengan istilah ruang dalam “reorganisasi ruang” di sini mencakup: (a) ruang imajinasi dan penggambaran, termasuk perancangan teknokratik yang diistilahkan master plan, grand design, dan sebagainya; (b) ruang material, tempat kita hidup; dan (c) praktik-praktik keruangan dari berbagai pihak dalam membuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, dan melenyapkan ruang, dalam rangka berbagai upaya memenuhi keperluan, termasuk mereka yang berada dalam posisi sebagai bagian negara, atau korporasi, atau rakyat.1

Reorganisasi ruang dilakukan terus-menerus oleh kekuatan yang bermaksud melipatgandakan keuntungan perusahaan-perusahaan kapitalis. Keuntungan itu pada dasarnya diperoleh dari privatisasi tanah dan sumber daya alam, pemisahan antara penghasil dan pemilik barang yang dihasilkan, dan eksploitasi tenaga kerja untuk menghasilkan barang dagangan yang bernilai tambah. Komoditas atau barang dagangan yang dihasilkan oleh sistem produksi kapitalis itu ditransportasikan sedemikian rupa mulai dari tempat ia diproduksi hingga diperdagangkan dan dikonsumsi rakyat, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun melayani kebiasaan berbelanja (budaya konsumtif).

(39)

.

dan memahami cara bekerjanya. Sebab, kapitalisme telah menjadi suatu sistem produksi yang menguasai Indonesia dan dunia sekarang ini. Fernand Braudel, sejarawan Perancis dan pemimpin dari Aliran Annales (Annales School) dalam ilmu sejarah, menulis kalimat yang dikutipkan di atas itu dalam salah satu karya klasiknya Civilization and Capitalism 15th – 18th Century Volume II: the Wheels of Commerce: “manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.” Ia melanjutkan, “Suka atau tidak, … terdapat suatu bentuk kegiatan ekonomi yang tak bisa dihindari memanggil ingatan kita pada kata ini dan tidak bisa tidak” (Braudel 1979:231).

Manusia-manusia yang sepenuhnya menikmati menjadi bagian dari sirkuit produksi-konsumsi komoditas itu terus menyebarluaskan kehebatan dari sistem produksi ini, dan meyakini bahwa kita tidak bisa mengelak kecuali menjadi bagian dari pada kapitalisme. Kita sepenuhnya bisa memahami mereka yang bekerja mengabdikan dirinya secara profesional dengan andalan keahliannya, memperoleh upah, penghargaan, dan jaminan karir yang diatur secara manajemen.

(40)

reorganisasi ruang

penggerak sistem produksi kapitalis itu.

Saya mengajak kita melihat bagaimana nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang melanjutkan hidup di desa-desa dengan cara menguasai dan memanfaatkan tanah dan wilayahnya melalui sistem pertanian keluarga, perladangan suku, wana-tani, penggembalaan suku, kebun-hutan bersama, hingga pengelolaan pesisir dan laut. Ekspansi sistem-sistem produksi kapitalis akan memaksa kehidupan mereka berubah. Keadaan kampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai mereka telah, sedang dan akan terus diubah oleh industri pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasir besi, bauksit, emas, semen, marmer, dsb), industri pulp and paper, industri perkebunan kelapa sawit, industri perumahan dan turisme, industri manufaktur, dan lain sebagainya.

(41)

dari tanah dan wilayah hidupnya, baik oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi itu, maupun aparatur keamanan/ polisi yang bekerja untuk perusahan-perusahaan pemegang lisensi itu. Konsesi-konsesi berupa taman-aman nasional dan kawasan konservasi lainnya, yang dihasilkan oleh keputusan-keputusan Menteri Kehutanan, juga menjadi dasar penyingkiran rakyat atas nama biodiversity hotspot,di mana spesies-spesies flora fauna yang langka dan ekosistemnya perlu dikonservasi.

Saat ini yang sedang menjadi andalan pemerintah adalah pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, lapangan terbang beserta

aerocity, kompleks industri pengolahan, dsb. Berbeda dengan yang lain, infrastruktur memiliki fungsi khusus melayani komoditas untuk bersirkulasi, khususnya dengan jalan darat atau kereta api, pelabuhan, atau bandara udara. Komoditas ditransportasikan dari satu tempat ke tempat lainnya hingga sampai ke konsumen. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang masif ini ikut menyumbang juga pada penyingkiran rakyat dari kampung halamannya.

(42)

reorganisasi ruang

berujung pada kewenangan kabupaten dalam pemberian izin lokasi, izin usaha pertambangan, dan sebagainya.

Alih-alih mengurus masalah porak-porandanya tanah air, kampung halaman rakyat, negara memfasilitasi pemenuhan kepentingan akumulasi kekayaan segelintir orang, sebagaimana disinyalir oleh Karl Marx (1948) dalam pamfletnya yang termasyhur The Communist Manifesto bahwa “(t)he executive of the modern state is nothing but a committee for managing the common affairs of the whole bourgeoisie. Tentu saja, keberadaan negara yang bersifat melulu instrumental terhadap perluasan sistem kapitalisme ini sesungguhnya bertentangan dengan maksud pembentukan Republik Indonesia, sebagaimana dicita-citakan pada masa pendiriannya. Justru sebaliknya, negara diidamkan sebagai kekuatan pembebas rakyat.

Barang-barang yang diperjualbelikan dihasilkan di pabrik-pabrik yang lokasinya jauh dari tempat barang itu dijual. Semua barang itu dimungkinkan hadir melalui rantai komoditas (commodity chain) yang merupakan bagian dari sirkuit produksi-sirkulasi-konsumsi. Tontonlah video 20 menit yang diproduksi oleh Annie Leonard, dkk. dari Story of Stuff Project. Mereka menunjukkan bagaimana daya rusak dari sistem produksi kapitalis dan pola konsumsi yang dibentuknya https://www.youtube.com/ watch?v=9GorqroigqM. Dengan menonton film ini dan film-film mereka lainnya (lihat informasinya di http://storyofstuff.org) kita akan tercengang dan terinspirasi!

(43)

terdapat pembagian kerja yang telah diatur secara internasional (international division of labour), di mana posisi dan andil Indo-nesia dalam tata perekonomian global itu sungguh penting untuk dicermati. Kebijakan industri mengatur kehadiran pabrik-pabrik yang menghasilkan barang dagangan sesuai standar dan secara massal. Semua itu diatur dalam perjalanan industrialisasi Indonesia secara nasional, yang telah melintasi beberapa kali periode. Kita telah mengalami suatu pengalaman industrialisasi substitusi impor (ISI) yang dimulai awal tahun 1970-an hingga industrialisasi orientasi ekspor (IOE) pada tengah tahun 1980-an. Muaranya adalah pembangunan kawasan-kawasan industri khusus (special economic zone), yang menjadi lokasi pabrik-pabrik, dengan sistem produksi kapitalis yang mendasarkan diri pada cara pabrik model Fordism. Istilah Fordism ini berasal dari nama industrialis Amerika Henry Ford, yang membangun pabrik mobil Ford dengan suatu sistem sosial dan ekonomi modern berbasiskan bentuk produksi massal industri yang memiliki standar. Teknik dalam manajemen industrinya disebut sebagai assembly line dengan alat “ban berjalan” dan tugas buruh yang repetitif.

(44)

reorganisasi ruang

yakni suatu sistem manajemen industri untuk produksi barang dagangan yang massal melalui mekanisme yang lebih lentur dalam skala produksi, spesialisasi, lokasi produksi, dan sebagainya, dengan basis penggunaan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi baik dalam rantai pasokan untuk produksi (supply chain) hingga sirkulasi barang dagangan sampai ke konsumen.

Model paling akhir dan terbaru adalah yang disebut sebagai “jaringan produksi internasional” (international production network), atau juga disebut sebagai jaringan produksi global (global production network). Jaringan produksi internasional/global berlangsung dalam skala besar dan sedang dilayani oleh negara, termasuk melalui pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur dalam kerangka pelaksanaan Comprehensive Asia Development Plan (CADP) dan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (ERIA 2009, 2010, Pemerintah Indonesia 2011). Pelajarilah apresiasi dan kritik atas rancangan MP3EI sebagai Master Plan untuk mereorganisasi ruang bagi perluasan investasi dan pasar di Asia melalui pembangunan proyek infrastruktur raksasa (Rachman dan Januardi 2014).

(45)

(Asia Factory). Istilah Asia Factory ini dibuat untuk menunjukkan suatu model baru dalam produksi komoditas yang berisi jaringan-jaringan produksi tingkat regional yang menghubungkan pabrik-pabrik di berbagai wilayah ekonomi Asia yang memproduksi bagian-bagian dan komponen-komponen yang kemudian dirakit, dan produk akhirnya dikirim ke wilayah-wilayah “ekonomi maju” (ADB 2013: 2).

Contoh yang terbaik adalah produksi cellphone. Kita tidak bisa lagi mengenali di mana cellphone sesungguhnya diproduksi. Kita tidak bisa lagi percaya tanda-tanda lokasi produksinya pada label barang dagangan itu, seperti “made in Japan”, “made in Ko-rea”, “made in Indonesia”, dsb. Tontonlah suatu film (4 menit, 23 detik) yang dibuat oleh Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO) berjudul Made in The World: https:// www.youtube.com/watch?v=KMkJu8S8ztE.2

Menonton film singkat itu, kita akan terkesan, dan memahami kecenderungan baru yang mengagumkan, sekaligus mengkhawatirkan!

Catatan Akhir

1 Rujukan mengenai konsep produksi ruang ini berangkat dari

pemikiran Henri Lefebvre (1992). Menurut Lefebvre (1976), kapitalisme akan mati bila tidak memperluas diri dengan melakukan ekspansi geografis ini. Penjelasan lebih terbaru dibuat oleh Harvey (2003, 2005, 2006)

2 Terima kasih untuk Hendro Sangkoyo yang telah menunjukkan

(46)

IV

-Merasani “Kutukan Kolonial”

Ayolah kita sedikit lebih dalam memahami apakah modal itu, bagaimana mekanisme bekerjanya modal sebagai suatu kekuatan pengubah tanah air rakyat di seantero kepulauan In-donesia, memporak-porandakan cara berproduksi yang ada dalam ruang hidup rakyat berserta seluruh kelangsungan layanan alamnya. Lebih lanjut, marilah kita menyadari betapa pentingnya hadir dan berperan sebagai pejuang tanah air, merintis cara berjuang baru menghadapi konteks perkembangan kapitalisme yang baru, dan menjadi bagian dari perjuangan tanah air itu.

Ellen M. Wood (1994, 2002) membedakan market-as-opportu-nity (pasar-sebagai-kesempatan), dan market-as-imperative

(47)

pemerintahan hingga pada pemikiran bagaimana ekonomi pasar itu diagung-agungkan. Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan pemutakhiran teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, serta efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan.

(48)

merasani “kutukan kolonial”

Menurut David Harvey (2006), creative destruction itu semakin mencolok saat berbagai praktik dan kebijakan pemerintah didasari oleh paham neoliberalisme. Dalam hal ini neoliberalisme merupakan suatu paham yang menempatkan kebebasan individu untuk berusaha sebagai norma tertingi dan paling baik dilindungi dan dicapai dengan tata kelembagaan ekonomi yang mengandalkan jaminan atas hak kepemilikan pribadi, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Paham neoliberalisme tidak anti pada intervensi pemerintah, melainkan justru mendayagunakannya. Aransemen kelembagaan dan kebijakan ekonomi yang diabdikan untuk mengoperasionalisasikan paham ini secara sungguh-sungguh dirancang untuk terwujud, termasuk privatisasi, finansialisasi, dan berbagai formula menghadapi krisis-krisis finansial dan ekonomi.

Membicarakan kapitalisme bukanlah sesuatu topik yang baru bagi Indonesia sebagai bangsa. Cara bagaimana kapitalisme ini bekerja memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secara gamblang dulu ditunjukkan oleh Soekarno dalam karyanya In-donesia Menggugat (1930). Lebih lanjut, bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai arus balik menandingi kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme dapat dipelajari pada karya Tan Malaka (1925) Naar de ‘Republiek-Indonesia’ (Menudju Republik Indonesia), Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indone-sia Merdeka, Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia Merdeka. Siapakah yang sekarang membaca naskah-naskah itu?1

(49)

itu sanggup menjadi rujukan utama bagi semua orang Indonesia yang berusaha mencari tahu akar-akar kesengsaraan rakyat In-donesia. Selanjutnya pamflet yang ditulis Tan Malaka, Soekarno dan Mohammad Hatta yang ditulis hampir secara bersamaan mampu menjadi rujukan untuk mengerti mengapa Indonesia Merdeka adalah suatu cita-cita dan sekaligus pembentuk dari cara rakyat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, zonder

kapitalisme, dan kolonialisme.

Di sini kita musti secara khusus menyebut andil Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dalam pidato di BPUPKI 1 Juni 1945. Ia dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik Indonesia musti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warga negaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”

(50)

merasani “kutukan kolonial”

perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera dan penguasaan lahan hutan oleh Perhutani di Jawa, berhasil berlanjut hidup dengan menempatkan diri sebagai perusahaan-perusahaan milik negara, yang dikerangkakan sebagai bagian dari Ekonomi Terpimpin. Selanjutnya, kebijakan land reform

berfokus pada urusan membatasi penguasaan tanah-tanah pertanian rakyat, melarang penguasaan tanah swapraja dan tanah-tanah guntai, redistribusi tanah-tanah negara dan pengaturan bagi hasil (Fauzi 1999, Rachman 2012).

Land reform kemudian bergeser dari agenda bangsa untuk mewujudkan keadilan agraria berubah menjadi isu politik yang membelah pengelompokan sosial-politik dan membuat perebutan tanah menjadi basis dari konflik yang lebih luas di pedesaan Jawa, Bali, sebagian Sumatera dan sebagian Nusa Tenggara. Konflik itu berkulminasi menjadi pembunuhan massal, penangkapan dan pemenjaraan puluhan ribu orang yang digolongkan komunis, pelarangan PKI, ideologi komunis, dan organisasi yang digolongkan dalam underbow-nya. Konflik itu juga berpuncak pada digulingkannya Soekarno melalui suatu cara kudeta merangkak, naiknya jenderal Soeharto sebagai Presiden RI, dan awal mula dari rezim otoritarianisme militer.

Seperti ditunjukkan oleh sejarawan Hilmar Farid (2005), suatu kekerasan massal yang berlangsung 1965-1966, merupakan

(51)

yang terjadi dalam babak sejarah itu, termasuk menghubungkannya dengan perkembangan kapitalisme, yang sempat jeda terhenti sepanjang sekitar 23 tahun, yakni 1942-1945, 1945-1949, 1949-1957, dan 1958-1965.

Sekarang kita bisa memandang betapa penting periode ketika Soekarno memimpin 1958-1965 itu. Soekarno telah menegaskan fondasi ideologis untuk menandingi kapitalisme kolonialisme. Selain Soekarno, kita ingat juga Mohammad Hatta dan Mochammad Tauchid yang telah meletakkan dasar-dasar baru pengaturan agraria nasional, yang berdasarkan kritik terhadap cara politik agaria kolonial bekerja. Mohammad Hatta telah meletakkan dasar-dasar yang melarang tanah (dan sumber daya alam) untuk diperlakukan sebagai komoditas (barang dagangan). Kita ingat juga Mochammad Tauchid dalam bukunya Masalah Agraria jilid 1 dan 2 (1952/3), yang memberikan penjelasan paling menyeluruh tentang politik agraria Indonesia, termasuk meletakkan dasar bahwa penyelesaian masalah agraria menentukan kelangsungan hidup bangsa dan rakyat Indonesia.

(52)

merasani “kutukan kolonial”

Namun, selama kepemimpinan langsung Presiden Soekarno (1958-1965), Indonesia belum berhasil mengatasi apa yang saya istilahkan “kutukan kolonial”, yang secara lantang pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno pada sidang pleno pertama Dewan Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus 1959. Kutukan itu, pertama, “Indonesia mendjadi pasar pendjualan daripada produk-produk negeri pendjadjah atau negeri-negeri luaran di tanah air kita”; kedua, “Indonesia mendjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industriil kapitalisme di negeri pendjadjah atau negeri-negeri lain”, dan ketiga, “Indonesia mendjadi tempat investasi daripada modal-modal pendjadjah dan modal-modal-modal-modal asing jang lain”.

Kutukan kolonial ini menemukan rezim penguasa politik yang mewujudkannya, rezim otoritarian-militer Orde Baru (1966-1998), yang kembali menjalankan politik agraria kolonial, khususnya dengan mempraktikkan kembali azas domein Negara. Sejarah politik agraria di Hindia-Belanda memberi pelajaran bahwa pemberlakuan azazdomein negara, baik dengan

Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), dan Agrarische Wet

(53)

perkebunan, yang menghasilkan komoditas ekspor (Tauchid 1952/2009:32-90; Peluso 1992:44-67, Simbolon 1995/2007:155-7, Fauzi 1999:33-37).

Rezim penguasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto yang berkuasa melalui peralihan kekuasaan yang berdarah-darah di tahun 1965-1966, kembali memberlakukan azas domein ini. Melalui sistem perizinan (lisensi) yang serupa dijalankan oleh pemerintah kolonial, badan-badan pemerintahan pusat mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan, dan mengeluarkan paksa penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Tiap-tiap rezim kebijakan dari badan pemerintah pusat memiliki instrumen hukum dan birokrasi pemberian lisensi yang berbeda-beda. Nama, definisi, dan bentuk dari lisensi-lisensi itu berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan keperluan perusahaan untuk mengakumulasikan kekayaan, karakteristik sumber daya alam yang disasar, dan rancangan pemerintah untuk mengkomodifikasi atau mengkonservasi sumber daya alam. Untuk menyebut beberapa saja, misalnya, rezim perizinan pertambangan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memiliki “Kontak Karya” dan “Kontrak Karya Pertambangan”; rezim perizinan kehutanan di Kementerian Kehutanan3 memiliki “Hak Pengusahaan Hutan” dan “Hak

(54)

merasani “kutukan kolonial”

“Taman Nasional”, “Cagar Alam”, “Taman Wisata Alam”, dll., hingga yang baru adalah “Izin Pemanfatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi Ekosistem)”; dan Badan Pertanahan Nasional memiliki instru-men “Hak Guna Usaha (HGU)” untuk perkebunan-perkebunan.

Teritorialisasi yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984/5, untuk pertama kalinya menetapkan kawasan hutan negara seluas sekitar 2/3 dari total wilayah daratan Republik Indonesia. TGHK mengatur secara agregat hutan permanen dikategorikan menjadi: (1) hutan produksi seluas 64,3 juta hektar; (2) hutan lindung seluas 30,7 juta hektar; (3) wilayah konservasi dan hutan cagar alam seluas 18,8 juta hektar; dan (4) hutan produksi, yang dapat diubah peruntukannya, seluas 26,6 juta hektar. Luasan masing-masing kategori ini kemudian berubah setelah ada pem-baruan data dari Departemen Kehutanan. Kewenangan legal Menteri Kehutanan mengeluarkan lisensi berbentuk surat-surat izin pemanfaatan hutan sesuai dengan kategori-kategori itu.

(55)

kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan, dan tidak ada mekanisme penyelesaian konflik yang tepat untuk menjamin tercapainya keadilan agraria (Rachman 2013).

Hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari tanah airnya telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pengkaplingan wilayah secara f isik, hingga penggunaan wacana dan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipunyai rakyat. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk mengklaim dan menguasai kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih oleh pemerintah dan diberikan ke perusahaan-perusahaan itu, maka mereka menerima akibat yang sangat nyata, yakni menjadi sasaran tindakan kekerasan secara langsung maupun melalui birokrasi aparatus hukum negara.

Pengkapling-kaplingan dan pemutusan hubungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnya itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik.4 Jadi, perubahan dari alam

(56)

merasani “kutukan kolonial”

pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota pasca kolonial, yang dijuluki planet of slums (Davis 2006), banyak dilahirkan oleh proses demikian ini.

Betapa ironisnya bahwa sebagian dari wajah Indonesia masih mengidap “kutukan kolonial” setelah hampir 70 tahun berjalan melewati “jembatan emas” kemerdekaan. Sesungguhnya, “kutukan kolonial” itu, oleh Soekarno dikontraskan dengan keperluan untuk secara leluasa “menyusun masyarakat Indo-nesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”. Secara jelas hal ini dipidatokan oleh Ir. Soekarno dalam Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan 1 Juni tahun 1945, setelah memaknai kemerdekaan Indonesia sebagai “jembatan emas”. Kita sudah menyelesaikan revolusi nasional yang menghasilkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, dan perjalanan Indone-sia masa lalu membentuk kebiasaan-kebiasaan yang menyulitkan kita mencapai cita-cita kemerdekaan itu.

Mengapa kita mesti leluasa? Karena, dalam memikirkan mengenai masa depan Indonesia, kita tidak boleh dikekang dan dikungkung oleh cara-cara penyelenggaraan pemerintahan yang lalu. Cara-cara yang menggagalkan itu tidak perlu diulang. Indo-nesia seharusnya tidak lagi berkedudukan yang melanggengkan kedudukan Indonesia sebagai “Een natie van koelies enen koelie onder de naties”, “A nation of coolies and a coolie amongst na-tions”.

(57)

Catatan Akhir

1 Bagi yang sulit mendapatkan naskah-naskah ini, ikutilah ringkasan

karya-karya itu yang dibuat oleh Parakitri T. Simbolon, seorang cendekiawan cum wartawan di Lampiran 1a, Lampiran 1b, dan Lampiran 1c

2 Isi Dasasila Bandung yang dicetuskan dalam Konferensi Asia-Afrika

pada tahun 1955 menjadi relevan dan mendesak untuk diaktualisasikan. Kita mengingat butir-butir “Dasasila Bandung” yang selengkapnya, yakni: (1) Menghormati hak-hak asasi manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

(2) Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa,

(3) Mengakui persamaan semua etnis dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil;

(4) Tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam masalah-masalah dalam negeri negara lain;

(5) Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian maupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB;

(6) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, dan tidak melakukan campur tangan terhadap negara lain;

(7) Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu Negara;

(8) Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase, atau penyelesaian masalah hukum, ataupun lain-lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB;

(58)

merasani “kutukan kolonial”

(10)Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

3 Sejak tahun 2014, Presiden Jokowi mengubahnya menjadi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

4 Karl Marx dalam Capital (1867) mengembangkan konsep “the

(59)
(60)

V

-Masa Depan Tanah Air,

Tanah Air Masa Depan

Rezim Orde Baru adalah rezim ekstraktif (extractive regime) (Gellert 2010), yang berhasil melahirkan elite oligarki penguasa ekonomi dan politik Indonesia, dan merupakan mitra kerja perusahaan-perusahaan asing transnasional. Dari waktu ke waktu, kekayaan mereka diperoleh melalui perusahaan-perusahaan raksasa pertambangan minyak, gas, emas, batu bara, dsb., perusahaan-perusahaan pembalakan kayu, hingga perusahaan-perusahaan perkebunan untuk kayu lapis, bubur kertas, kelapa sawit, dan sebagainya. Mereka adalah tiang penyangga keberlangsungan rezim Orde Baru. Karenanya, pemerintah perlu memastikan mereka mempunyai konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk akumulasi kekayaan mereka itu.1

(61)

berbagai Instruksi Presiden (inpres), berhasil melumpuhkan kekuatan serta menghilangkan kewenangan lembaga-lembaga adat/lokal untuk mengatur tanah airnya.2

Selama Indonesia berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, desa didudukkan sebagai sasaran pengaturan dan sekaligus kekuatan untuk mengendalikan dan sekaligus memobilisir rakyat. Kepala desa bersama dengan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) menjadi aparat pengendalian teritorial dan mobilisasi rakyat. Di atas birokrasi pemerintahan desa, terdapat struktur pengendali dan mobilisasi yang terkordinasi dalam Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) yang terdiri dari camat, Komandan Rayon Militer (Danramil), dan Kepala Polisi Sektor (Kapolsek).3

Setelah Orde Baru tumbang, DPR RI dan Pemerintah menyadari bahwa penyeragaman nama, bentuk, susunan dan kedudukan desa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian yang ditulis dalam bagian “menimbang” Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Norma dasar yang termuat dalam pasal 18 UUD 1945 diabaikan oleh pemerintahan Orde Baru. Secara khusus, pada penjelasan pasal 18 UUD 1945 itu secara eksplisit dinyatakan bahwa :

(62)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali,

nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

Warisan yang kita dapat saat ini adalah sebagian dari tanah air yang porak-poranda, berada dalam situasi krisis sosial ekologi yang parah. Komponen utama krisis itu, sebagaimana pernah ditunjukkan oleh Hendro Sangkoyo (1999) adalah keselamatan rakyat yang tidak terjamin, produktivitas rakyat yang menurun, layanan alam yang rusak, dan kesejahteraan rakyat merosot.

Quo vadis? Mau kemana kita menuju?

Pedoman apa yang bisa kita rujuk untuk bisa keluar dari krisis itu, menempuh jalan mencapai cita-cita bersama dengan cara yang baru?

(63)

2007 dan seterusnya, PNPM Mandiri menjadi andalan untuk pengentasan kemiskinan, dengan jangkauan 2.827 kecamatan dengan alokasi anggaran sekitar Rp 3,6 triliun. Pada tahun 2008 jumlah kecamatan yang dijangkau menjadi 3.999 kecamatan dengan anggaran yang disediakan sekitar 13 triliun. Sedangkan pada tahun 2009 diagendakan seluruh kecamatan di Indonesia yang berjumlah sekitar 5.263 kecamatan akan mendapat PNPM Mandiri. Besarnya bantuan langsung pada tahun 2007 antara Rp 750 juta s/d Rp 1,5 miliar per kecamatan, sementara pada tahun 2008 besarnya bantuan per kecamatan sudah ada yang mencapai Rp 3 miliar (Menko Kesra 2008). Sampai akhir kepemimpinan SBY-Boediono di tahun 2014, secara total PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan telah mengalokasikan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp 74,46 triliun. Sedangkan dana BLM P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) dan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2008 - 2013 sebesar Rp 9,124 triliun dan pada 2014 dana yang dialokasikan sebesar 1,380 triliun.

Sampai saat tahun terakhir kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kedua jenis program tersebut diklaim “telah menghasilkan berbagai dampak positif terhadap peningkatan kapasitas, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat” (Paket Informasi PNPM Mandiri 2014:23). Apa yang sesungguhnya dihasilkan?

(64)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

masyarakat proyek. Struktur administratif program ini membuka persaingan antar kelompok satu dengan lainnya dalam proses penyampaian proposal proyek untuk perolehan dana. Semuanya itu mengandung norma-nilai kewirausahaan, inovasi individual, dan kompetisi pasar bebas. Norma-nilai demikian itu menyertakan prinsip-prinsip, seperti akuntabilitas yang dilaksanakan melalui aturan-aturan maupun prosedur yang mensyaratkan transparansi dalam pengambilan keputusan, dan hak partisipasi individu yang dilaksanakan melalui aturan maupun prosedur seperti voting, sistem kuota, dan kewajiban konsultasi (Rawski 2006:942). Lebih jauh, melalui proyek-proyek ini pemerintah berhasil “memerintah melalui komunitas” dalam rangka mengatur ulang aspirasi, keyakinan, perilaku, tindakan, dan hal-hal subjektivitas lainnya (Li 2014). Pendek kata, PPK menggunakan teknologi partisipatif sebagai alat pengantar dari norma-nilai yang cocok dan diperlukan mereka agar bisa hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh hubungan-hubungan sosial yang kapitalistik (Carrol 2010:86).

Babak PNPM berakhir setelah kabinet Jokowi-JK tersusun dan mulai bekerja dengan sembilan agenda utama yang diberi nama “Nawa Cita”, yang salah satunya “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”. Undang-undang Nomor 6/2014 tentang Desa menjadi rujukan yang utama dan kesempatan bagi desa untuk diutamakan.4 Dirumuskan bahwa “desa dan desa

(65)

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Penyebutan desa dan desa adat dapat disesuaikan dengan nama setempat.

Tidak mudah bagi elit pemerintah kabupaten/kota dan DPRD Kabupaten/kota untuk membuat pengaturan-pengaturan dengan azas-azas baru yang ditetapkan dalam Undang-Undang Desa tersebut. Para legislator dan eksekutif pembuat aturan perlu memiliki imajinasi yang baru, khususnya karena azas-asas baru dalam UU tentang Desa ini.5 Undang-undang Desa ini tidak bisa

dijalankan dengan mentalitas “hanya sekedar melaksanakan sesuai instruksi”.

Masalahnya juga, banyak elit pemerintah desa dan juga sebagian anggota masyarakat desa, saat ini sudah terbiasa diposisikan sebagai yang diatur. Desa terbiasa diatur sebagai bawahan dari birokrasi kecamatan (dan bukan sebagai entitas yang memiliki hak asal-usul), sasaran dari berbagai macam proyek yang dipegang oleh badan-badan pemerintah (bukan unit yang mengatur sendiri apa yang menjadi kepentingannya), dan diatur secara seragam (dan bukan mempertimbangkan keanekaragaman geografi dan sejarah masing-masing).

(66)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

“pemerintahan” itu.

“Pemerintahan” sebagai mitos yang harus diterima sebagai ketentuan bagi rakyat, yang nyaris diterima begitu saja dan dianggap bersifat alami. Dalam mitos yang sekarang masih melekat sebagai wacana publik itu, pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana mengelola sumber-sumber alam, orang, barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai pemain panggungnya, dan rakyat sebagai pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan. Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta pada ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada akar kata itu: perintah.

(67)

berlebihan pemerintah pusat di Jakarta, serta besarnya ruang pengaruh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada proses pemerintahan daerah pada saat ini, merupakan situasi persimpangan yang genting bagi rakyat: meneruskan tradisi pertunjukan sebagai penonton dalam panggung-panggung yang lebih kecil, atau bersama-sama berperan sebagai pemain, mengurusi apa yang hendak dimainkan bersama. Keputusan yang harus rakyat tentukan pada saat ini bukan saja bergantung pada kehendak sendiri, melainkan juga pada keterdesakan waktu untuk memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang selama lebih dari satu generasi yang lampau telah mengasingkan rakyat dari wilayah hidupnya.

Ya, kita musti mengurus secara sungguh-sungguh pemulihan kerusakan sosial dan ekologis yang menjadi syarat-syarat keberlangsungan hidup rakyat. Tidak ada jalan lain! Bagaimana kampung atau desa dapat dijadikan tempat berangkat dan sekaligus sasaran pengabdian? Saya menganjurkan untuk benar-benar mempelajari panduan yang berikut ini diuraikan secara kental oleh Hendro Sangkoyo,6 agar dapat kita dapat bekerja

mengenali dan menangani krisis sosial ekologis melalui pemahaman baru atas tiga golongan masalah: (a) keselamatan dan kesejahteraan rakyat, (b) keutuhan fungsi-fungsi faal ruang hidup, dan (c) produktivitas rakyat.

A. Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat

(68)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

rombongan, tidak pernah kita urus sebagai syarat yang harus dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara dan alat-alatnya. Hilangnya nyawa, ingatan, tanah halaman, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat karena proses penyelenggaraan perubahan selama tiga puluh tahun terakhir ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama keselamatan rakyat tidak kita persyaratkan sebagai agenda pengurusan masyarakat dan wilayah, akan terus jatuh korban. Keselamatan rakyat sudah saatnya menjadi salah satu agenda inti dari proses pembaruan ketentuan-ketentuan kenegaraan, termasuk pembaruan hukum, dan dari penyelenggaraan fungsi-fungsi politik seperti pengelolaan produksi dan keuangan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa mengurus keselamatan rakyat harus menjadi tindakan kolektif sehari-hari dari lembaga-lembaga politik terkecil pada aras desa hingga kabupaten.

(69)

Pemenuhan syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat di sini merupakan cara bagi rakyat khususnya pada aras desa untuk ikut menentukan arah dan besaran perubahan yang menyangkut dirinya secara teratur dan terorganisir. Proses pemenuhan persyaratan tersebut di atas menuntut tiga syarat (dua hal dalam syarat pertama dapat dipenuhi langsung pada tingkat kesepakatan bersama):

(1) pemetaan berkala mengenai keadaan persyaratan bagi rakyat desa dan agenda tindakan bersama untuk mengoreksi kegagalan pemenuhan;

(2) usaha kolektif untuk mengatasi kesulitan rakyat memenuhi syarat keselamatan/kesejahteraannya sendiri; dan (3) pelayanan publik lewat peralatan kenegaraan termasuk

dana dan ketentuan hukum;

Prioritas utama agenda tindakan pada saat ini adalah perumusan dan penyepakatan persyaratan keselamatan dan kesejahteraan setempat, serta penerapan ketiga proses di atas dalam suatu proses belajar bersama yang harus melibatkan warga desa, legislator daerah (DPRD kabupaten) dan pengurus-pengurus negara di daerah (pemerintah kabupaten).

B. Keutuhan Fungsi-fungsi Faal Ruang Hidup

(70)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

pendek, atau karena kegiatan penambangan, pengeruhan dan pendangkalan aliran sungai, hilangnya sumber-sumber hayati perairan pesisir, adalah beberapa contoh tidak terpenuhinya kelangsungan “pelayanan alam” bagi kehidupan yang dikandungnya, yang bersifat mendorong pengawetan bahkan peluasan pemiskinan rakyat khususnya di desa, dan merupakan ancaman jangka panjang terhadap syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

(71)

onggokan zat karbon yang terkandung dalam pohon dan tanahnya, dihitung bobot matinya, dan dibubuhi harganya dalam ukuran kilogram atau ton. Apa-apa yang berharga untuk dilindungi dan apa-apa yang bisa rusak dari bentang-alam hutan beserta penghuninya dicomot sebagian kecilnya saja, yaitu terurainya zat karbon ke atmosfir, seolah-olah kita semua adalah benda mati yang boleh diperlakukan sebagai seonggok zat karbon. Itulah sebabnya, segala sesuatu dalam skema jual-beli dan penciptaan nilai atas nilai-uang dari zat karbon, termasuk dalam program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan adalah penghinaan terhadap logika kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini, apa yang tengah dirusak dengan kecepatan penuh oleh logika neoliberal dari pengurusan publik sekarang bukanlah ketersediaan air, lahan atau bahan-bahan alami, melainkan syarat keberlangsungan fungsi-fungsi faal infrastruktur ekologis dari sebuah ruang hidup, beserta ikatan menyejarahnya dengan masyarakat manusia di situ.

(72)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

Ketika pencurian besar-besaran terhadap segala yang bersifat ‘milik negara’, menjadi kesepakatan tidak tertulis di antara pengurus negara setempat dan pemilik modal pribadi, untuk berbagai maksud dan tujuan, maka akibatnya wilayah-wilayah perlindungan yang eksklusif pun turut menjadi sasaran utama. Tidak berlakunya konsep ‘kepentingan bersama’ dan ‘milik bersama’ menjadi pelancar penjarahan atas wilayah-wilayah yang seharusnya dimanfaatkan atau dilindungi secara hati-hati. Penanganan dengan kekerasan negara lewat tindakan polisionil dan peradilan, maupun pengerahan dana untuk pemecahan teknis seperti penanaman pohon, telah terbukti tidak mampu menghentikan laju perusakan apalagi menumbuhkan keinginan rakyat untuk memulihkannya.

Tandingan terhadap penciptaan wilayah-wilayah negara itu adalah penciptaan wilayah-wilayah kelola bersama. Kepentingan rakyat atas kelangsungan pelayanan alam, serta kebutuhan pemanfaatan bahan terbarui dari hutan, perbukitan dan dataran tinggi, daratan dan perairan pesisir, bukan saja harus diakui secara resmi, tetapi justru harus menjadi tumpuan dari usaha mempertahankan kelangsungan pelayanan alam atau pemulihan wilayah-wilayah rusak yang sering dinamai ‘lahan kritis’ itu.

(73)

macam itu, pemilahan fungsi-fungsi sosial-ekologis dari bentang daratan dan perairan digantikan dengan pertimbangan lokasi dalam angan-angan memaksimalkan surplus dari rerantai penciptaan nilai dan rerantai produksi/pasokan/konsumsi barang. Hilangnya imajinasi sosial-ekologis tentang pulau, yang telah nyaris paripurna digantikan dengan sistem kepercayaan pada garis-garis batas juro-politik, bukanlah tanda kurangnya kecerdasan semata, tetapi adalah produk dari pengerahan kepatuhan politik terhadap rezim penataan ruang tanpa asas keselamatan manusia dan kelangsungan ruang-hidupnya. Di setiap pulau di kepulauan Indonesia, bermakna tidaknya agenda pembaruan politik tani sepenuhnya bergantung pada ada tidaknya agenda pembaruan pikiran tentang duduk perkara kota di dalam logika keberlangsungan sosial-ekologis pada skala pulau.

Mendesakkan pilihan ini sebagai ketentuan negara atas dasar kesepakatan rakyat adalah prioritas nomor satu bagi badan legislatif di daerah.

C. Produktivitas Rakyat

(74)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

nilai tukar produk petani, serentak dengan penyedotan tabungan rakyat lewat pengurangan atau penghapusan subsidi input produksi termasuk penyediaan pengairan dan angkutan rakyat, politik pengembangan wilayah dan sarananya yang diskriminatif terhadap bentuk-bentuk tradisional hak dan kuasa rakyat atas tanah dan wilayah serta terhadap kemampuan lokal untuk menghasilkan bahan pangan. Naiknya produktivitas pertanian pangan maupun pertanian lainnya —karena tambahan input per satuan luas lahan— tidak menjadikan naiknya produktivitas kerja tani, bahkan memperbesar kebutuhan untuk kerja sampingan nontani. Selama politik produktivitas pertanian tidak mendorong naiknya nilai kerja tani dan nilai produk tani, dan selama masing-masing daerah tidak menerapkan syarat-syarat perlindungan pada tanah-tanah rakyat desa dari pembelian atau pengambilalihan untuk berbagai fungsi-fungsi non pertanian seperti pariwisata, rakyat desa khususnya pekerja tani tanpa tanah akan tetap miskin, dan proses pemusatan hak milik dan kuasa atas lahan di desa akan terus merambat luas, tanpa atau dengan pendudukan kembali/reklamasi hak atas tanah-tanah pertanian maupun redistribusi tanah.

(75)

digunakan (listrik, jalan raya, televisi, dan sebagainya) harus serta merta selalu dikoreksi dengan ada tidaknya penggusuran baru atau perampasan hak yang belum dipulihkan kembali, kemiskinan kronis, ketidakmampuan warga memenuhi syarat keselamatan, kesehatan atau pendidikan yang dibutuhkannya, atau naiknya pengeluaran tunai untuk mencukupi syarat kesehatan maupun pelayanan sosial sehari-hari seperti pendidikan anak.

(76)

masa depan tanah air, tanah air masa depan

Catatan Akhir

1 Bagaimana dinamika kekuasaan oligarki bekerja dalam periode yang

berbeda-beda dapat dipelajari dari karya-karya Robison (1986), Robison dan Hadiz (2004, 2014), dan Winter (2014).

2 Zakaria (2000) menunjukkan perjalanan pengaturan negara

mengenai desa sejak kolonial hingga akhir Orde Baru.

3 Struktur pengendali dan mobilisasi rakyat ini serupa dengan yang

dilakukan oleh pemerintah balatentara Jepang ketika menguasai Jawa 1942-1945. Aiko Kurosawa (1993) sangat baik menjelaskan apa yang dilakukan pemerintahan balatentara Jepang dengan memperlakukan desa sebagai alat memobilisir dan mengendalikan rakyat. Susunan, kedudukan dan bentuk dari organisasi Rukun Tetangga-Rukun Warga (RT-RW), Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Koperasi Unit Desa (KUD), pertahanan sipil (hansip) beserta doktrin Hankamrata dan peraturan “1 x 24 jam harus lapor”, dan sebagainya.

4 Saat ini Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal,

dan Transmigrasi memulai rekrutmen 16.000 fasilitator desa. Akan banyak kepentingan yang mengarah ke desa, baik untuk suatu politik membangun konstituensi politik, menjadikannya sasaran pengaturan, hingga yang mau meraup keuntungan bisnis melalui pencarian lisensi atau menawarkan jasa. Banyak mantan fasilitator PNPM Mandiri yang diperkirakan akan masuk melamar untuk mendapatkan posisi itu. Ke mana orientasi mereka, dan bagaimana cara kita ikut membentuk mereka menjadi pandu-pandu rakyat dan tanah airnya?

5 Pengaturan-pengaturan mengenai desa itu harus berdasarkan pada

(77)

bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa; (5) kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun desa; (6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa; (7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan; (8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin; (9) kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri; partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan; kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran; (10) partispasi; (11) kesetaraan; (12) pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa; dan (13) keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa.

6 Hendro Sangkoyo secara khusus memodifikasi apa yang pernah

(78)

VI

-Penutup:

Panggilan Ideologis untuk Pandu

Sudah lama kita hidup dalam situasi di mana “agraria adalah akibat, kapitalisme adalah sebab” (Juliantara 1997). Mari kita buat arus balik, dengan menjadikan situasi tanah air rakyat, menjadi tempat berangkat, yang harus terlebih dahulu dirawat dan diurus untuk dipastikan keberlanjutannya. Karena itu, tanah air rakyat juga sekaligus tempat pengabdian. Kita tidak bisa sekedar berangan-angan, dan menganggap segala sesuatunya bisa dijalankan dengan mudah dan bisa begitu saja sesuai dengan angan-angan. Saya ingat suatu pepatah penting bahwa memang manusia dapat mengubah sejarah, tapi tidak dalam situasi yang kita pilih sendiri. Kita hidup dengan berbagai kebiasaan yang kita terima sebagai warisan.1

(79)

teroes oleh karena memang diharapkan daripada kita sekarang ini realisasi daripada penjelenggaraan daripada masjarakat jang adil dan makmoer jang telah lama ditjita-tjitakan oleh rakjat In-donesia”. Lebih lanjut, pada sidang pleno pertama Dewan Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus 1959, Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus “dengan tegas haroes menoedjoe kepada masjarakat adil dan makmoer”, yang pada waktu itu disebutnya sebagai “masjarakat sosialis a la Indo-nesia”. Upaya merealisasikannya “tidak boleh tidak kita haroes mengadakan planning dan kita haroes mengadakan pimpinan dan haroes kita mengadakan kerahan tenaga. … Tanpa plan-ning, tanpa pimpinan, tanpa pengerahan tenaga tak moengkin masjarakat jang ditjita-tjitakan oleh rakjat Indonesia itoe bisa tertjapai dan terealisasi”.

Perencanaan, pengerahan tenaga dan kepemimpinan yang bagaimana?

Tentu konteks waktu dan ruang ketika dan di mana Soekarno menyampaikan pesan itu sudah jauh berbeda. Tapi, kita bisa memperlakukannya sebagai rujukan dan inspirasi.

Referensi

Dokumen terkait

Kami menyadari Buku Laporan Pengujian Kualitas Air Tanah di Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar Tahun 2015 masih belum sempurna, oleh karena itu saran dan

ingin menjadi katolik karena teladan dan cara hidup guru-gurunya. Di mana para guru itu hidup rukun dan saling menolong, juga ramah dan dekat dengan semua murid.

Namun yang pasti, buku ini bisa menjadi hadiah yang tepat di saat Natal ini khususnya kepada orang- orang di sekitar Anda yang belum menemukan anugerah Allah yang besar itu

Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah

Namun demikian hanya sebilangan kecil sahaja yang beranggapan demikian itu item “Pegawai Psikologi buka minda kenal pasti masalah saya” hanya 5 responden (3.1 %),

Demikian subjek G menuturkannya: Penyakit gagal ginjal ini merupakan ujian dari Tuhan, karena itu saya bersyukur kepada Tuhan karena masih memberi kesempatan untuk

Sejak Indonesia merdeka, konsep negara berdasarkan atas hukum ditemukan pada Penjelasan UUD 1945, dan praktik kenegaraan saat itu belum bisa mengimplementasikan; demikian juga pada masa

18 Semua karyawan mendapat jaminan kerja dari perusahaan 19 Saya diberikan jaminan kenaikan pangkat jika saya berprestasi 20 Prestasi yang baik belum tentu menentukan kenaikan