• Tidak ada hasil yang ditemukan

Propinsi

Panitia Irigasi Tingkat Kabupaten

Panitia Irigasi Tingkat Kecamatan

Daerah Irigasi

Tersier KELEMBAGAAN PU

cukup tinggi. Jumlah pasokan air dari sumber setempat sekitar 70 persen. Sedangkan sisanya sekitar 30 persen dipasok dari waduk Jatiluhur sendiri. Tetapi pada saat musim kemarau, ketersediaan air irigasi menjadi berkurang karena jumlah curah hujan efektif dan sumber air setempat yang semakin mengecil. Untuk itu diperlukan tambahan dengan jumlah yang cukup besar dari waduk Jatiluhur, yaitu sekitar 90 persen. Akan tetapi apabila musim kemaraunya cukup panjang, permukaan waduk juga akan turun sehingga air yang tersedia tidak mencukupi untuk melakukan irigasi secara penuh. Oleh karena itu, panitia irigasi akan memberlakukan sistem irigasi rotasi (gilir giring). Pada pertengahan tahun 1997 dan tahun 1998 sistem irigasi rotasi diberlakukan di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang karena adanya fenomena El Nino yang menyebabkan musim kemarau berkepanjangan dan ketersediaan air menjadi lebih kecil daripada kebutuhan untuk irigasi.

Sistem irigasi rotasi (gilir girin g) dilakukan dengan cara membagi daerah irigasi menjadi dua bagian, yaitu bagian hulu (depan) yang dekat dengan sumber air irigasi dan bagian hilir (belakang) yang letaknya jauh dari sumber air irigasi. Agar setiap bagian mendapatkan jumlah air yang mencukupi, diperlukan penjadwalan pemberian air yang ketat. Saat irigasi rotasi diberlakukan, bagian hulu mendapat waktu pemberian air standar selama 3 hari 3 malam yang biasanya dimulai pada pukul 07.00 pada hari yang pertama. Kemudian bagian hilir mendapat waktu pemberian air standar selama 4 hari 4 malam berikutnya yang dimulai pada pukul 07.00 pada hari ke empat. Penentuan jangka waktu standar 4 hari 4 malam untuk daerah hilir disebabkan air irigasi membutuhkan waktu 1 hari 1 malam (24 jam) untuk mencapai dae rah hilir. Sehingga waktu pemberian air irigasi untuk bagian hilir adalah sama dengan bagian hulu yaitu 3 hari 3 malam (72 jam). Batas antara bagian hulu dan bagian hilir berupa bangunan bagi sadap. Jadwal gilir giring ditentukan oleh panitia irigasi dan diberitahukan oleh pihak kecamatan ke masing-masing desa. Prosedur pemberian air adalah pada 3 hari 3 malam pertama, pintu air (intake) di bagian hilir ditutup dan pintu air di bagian hulu dibuka. Pada 4 hari 4 malam berikutnya prosedur yang berlaku adalah sebaliknya yaitu pintu air hulu ditutup dan pintu air hilir dibuka. Salah satu jaringan irigasi yang pernah mengalami sistem gilir giring adalah saluran

sekunder Rawa Bendung dimana pintu air Rbd1 sampai Rbd7 menjadi bagian hulu dan pintu air Rbd9 sampai Rbd26 menjadi bagian hilir. Sistem ini menyisakan air setinggi kurang lebih 5 cm untuk bagian yang sedang tidak mendapat air. Irigasi rotasi (gilir giring) dilakukan pada saat penanaman (tandur) dan bukan saat pengolahan tanah. Waktu irigasi rotasi (gilir giring) biasanya terjadi sekitar bulan Juni sampai Agustus.

Kelemahan sistem irigasi gilir giring antara lain :

1. Jarang dilakukan perhitungan mengenai berapa luas bagian hulu (depan) dan bagian hilir (belakang), sehingga pemberian air irigasi menjadi tidak merata. Contoh: bagian yang mengalami proses tanam dengan luas tanam lebih besar mendapatkan air yang lebih sedikit daripada seharusnya.

2. Kebutuhan air pada petakan sawah belum diperhitungkan secara menyeluruh, dimana pada saat ini perhitungan hanya dilakukan berdasarkan faktor tanaman saja. Faktor lain yang berpengaruh adalah kehilangan air selama penyaluran disebabkan seepage dan evaporasi. 3. Belum ada perhitungan atau prosedur untuk menghitung pemasukan

air pada intake ke petakan sawah serta waktu yang dibutuhkan untuk penggenangan petakan

4. Di dalam satu bagian yang sama (hulu atau hilir) sering terjadi pemberian air yang tidak merata, karena aliran air irigasi dari sumbernya hanya dibatasi oleh bangunan bagi sadap yang menjadi batas antara bagian hulu dengan bagian hilir. Oleh karena itu, petakan sawah yang terdepan mendapat waktu pemberian air yang lebih lama dibandingkan dengan petakan sawah yang di belakang, walaupun kedua petakan tersebut terletak di bagian yang sama.

Hasil Pengujian Teknik Operator

Sebelum menggunakan metode Algoritma Genetik dalam proses optimisasi golongan pemberian air, terlebih dahulu harus dilakukan pengujian teknik pemrosesan di dalam Algoritma Genetik itu sendiri. Metode Algoritma

Genetik mempunyai banyak parameter yang dapat mempengaruhi kinerja proses optimisasi, sebab apabila tidak dilakukan pengujian maka kinerja Algoritma Genetik akan menjadi seburuk kinerja pencarian secara acak (random search). Pemrosesan dalam Algoritma Genetik meliputi seleksi, reproduksi dan mutasi, dengan masing-masing proses mempunyai teknik-teknik pilihan tersendiri. Dengan melakukan pengujian secara hati-hati, diharapkan Algoritma Genetik akan mampu melakukan proses optimisasi golongan dengan baik.

Menurut Sorensen (2002), Algoritma Genetik yang menggunakan representasi bilangan desimal (real) mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan kinerja lebih baik pada angka probabilitas mutasi mendekati 1 bila dibandingkan dengan Algoritma Genetik dengan representasi bilangan biner. Akan tetapi untuk mengidentifikasi angka probabilitas mutasi yang optimal masih menjadi perdebatan dan cenderung tergantung pada permasahan yang dihadapi.

Studi parameter yang pertama adalah membandingkan kinerja dari Algoritma Genetik berdasarkan angka probabilitas mutasi yang bervariasi. Angka probabilitas yang diuji adalah 0,05; 0,10; 0,25; 0,50; 0,75 dan 0,95.

Untuk setiap variasi probabilitas mutasi, tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses seleksi menggunakan teknik roulette-wheel dengan besaran slot berdasarkan pada nilai

fitness. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas

crossover dipilih sebesar 0,5 (Matthews 2001). Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan setiap gen mempunyai peluang yang sama untuk mengalami proses mutasi dengan angka probabilitas mutasi bervariasi. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Pengujian Probabilitas Mutasi

Test Ke 1 (juta Rp) Test Ke 2 (juta Rp) Test Ke 3 (juta Rp)

pm Terbaik Rerata Terbaik Rerata Terbaik Rerata

Rerata Total (juta Rp) 0,05 36 597 33 992 35 184 34 396 33 113 32 145 33 511 0,10 35 248 32 880 33 770 32 170 35 246 33 463 32 838 0,25 33 961 33 304 35 823 33 196 38 207 36 953 34 485 0,50 35 489 34 490 37 386 35 442 37 670 33 730 34 554 0,75 38 161 35 435 37 239 35 142 38 206 34 116 34 898 0,95 36 611 35 026 35 700 33 827 36 632 33 164 34 006

Probabilitas mutasi yang menghasilkan nilai fitness tertinggi didapatkan dari angka 0,75 dan angka probabilitas mutasi 0,10 menghasilkan nilai fitness

terendah. Dari tabel di atas tidak terdapat kecenderungan (trend) yang pasti dari pengujian yang telah dilakukan terlihat dari nilai fitness yang didapat dari angka probabilitas mutasi 0,05 ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai fitness yang didapat dari angka probabilitas mutasi 0,10. Oleh karena itu, nilai tetapan probabilitas mutasi yang optimal belum dapat didefinisikan secara formal. Michalewicz (1995) menggunakan probabilitas mutasi sebesar 0,01 akan tetapi Gen dan Cheng (1997) menyatakan probabilitas mutasi yang terlampau rendah berakibat pada kurangnya kesempatan gen-gen yang menguntungkan untuk masuk dalam kromosom. Sedangkan bila probabilitas mutasi terlampau tinggi menyebabkan perubahan acak yang semakin banyak dan hal tersebut berakibat pada kromosom child yang semakin tidak memiliki kemiripan dengan kromosom

parent. Berdasarkan pertimbangan di atas, angka 0,05 digunakan sebagai probabilitas mutasi terpilih untuk studi berikutnya.

Berikutnya dilakukan pengujian terhadap beberapa tipe dari teknik

crossover. Tiga mekanisme crossover diputuskan untuk diuji, yaitu uniform crossover dengan probab ilitas yang seimbang antar parent chromosome, 1-point crossover yang mengkombinasikan 2 kromosom pada satu titik perpotongan dan mengabaikan panjang kromosom, serta modification crossover dengan teknik perpotongan yang mirip dengan 1-point crossover tetapi dengan perolehan gen

parent dari posisi yang berbeda. Ketiga mekanisme tersebut telah dijelaskan pada bab Algoritma Genetik. Untuk setiap tipe crossover, tiga proses pengujian

Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian

steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses seleksi menggunakan teknik roulette-wheel dengan besaran slot berdasarkan pada nilai

fitness. Probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Pengujian Teknik Crossover Test Ke 1 (juta Rp) Test Ke 2 (juta Rp) Test Ke 3 (juta Rp) Crossover

Terbaik Rerata Terbaik Rerata Terbaik Rerata

Rerata Total (juta Rp) Uniform 37 258 36 031 36 506 34 015 38 351 36 014 35 353 1 – point 36 518 34 844 37 426 34 815 37 417 35 831 35 163 Modifikasi 34 603 33 166 35 204 34 112 33 164 32 222 33 167

Studi menunjukkan bahwa crossover uniform memberikan hasil rerata total yang terbaik dan crossover 1-point mempunyai kinerja yang terburuk dian tara ke tiga teknik yang diuji. Hal ini dikarenakan crossover uniform

mempertukarkan gen secara individual antar kromosom parent dibandingkan pertukaran gen secara segmental yang terjadi pada crossover 1-point maupun modifikasi, sehingga karakteristik kromosom child menjadi lebih bervariasi sebagai hasil kombinasi dari kromosom parent. Variasi ini akan memperbesar peluang crossover uniform untuk mengeksplorasi searchspace.

Studi mengenai operator Algoritma Genetik berikutnya adalah untuk memilih teknik seleksi. Ada 3 teknik yang akan diuji. Pertama adalah metode turnamen dimana metode ini memilih 2 individu dari populasi dengan seluruh individu mempunyai peluang yang sama untuk dipilih dan kemudian individu dengan nilai fitness (keuntungan) lebih tinggi akan terpilih untuk menjadi kromosom parent. Metode berikutnya yang diuji adalah metode roulette-wheel

(keuntungan) dari setiap kromosom yang nantinya akan dipilih untuk menjadi kromosom parent. Sedangkan teknik terakhir yang diuji adalah metode elitist

yang mempertahankan kromosom terbaik untuk menjadi anggota pada populasi berikutnya. Untuk setiap teknik seleksi, tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steady- state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar

parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Teknik mutasi yang digunakan adalah random dengan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Pengujian Teknik Seleksi

Test Ke 1 (juta Rp) T est Ke 2 (juta Rp) Test Ke 3 (juta Rp)

Seleksi Terbaik Rerata Terbaik Rerata Terbaik Rerata

Rerata Total (juta Rp)

Turnamen 32 533 31 619 32 532 31 954 32 532 31 648 31 741

Roulette-wheel 32 532 31 642 32 532 32 259 32 532 32 318 32 073

Elitist 32 533 32 474 32 532 32 197 32 533 32 258 32 310

Dari tiga test yang dilakukan untuk setiap kasus seleksi, metode elitist

memberikan nilai fitness tertinggi dan metode turnamen memberikan nilai fitness

yang terendah di antara ketiga teknik tersebut. Metode elitist mengungguli metode roulette-wheel karena konsistensi nilai fitness yang dihasilkannya. Dengan mempertahankan kromosom terbaik pada generasi berikutnya, metode elitist

sekaligus memberikan nilai terbaik yang stabil selama tiga kali pengujian.

Studi operator Algoritma Genetik yang terakhir adalah membandingkan 3 mekanisme mutasi yang berbeda. Mekanisme yang pertama adalah mutasi

reciprocal-exchange yang diekspresikan sebagai penentuan 2 gen secara acak pada kromosom yang akan mengalami mutasi untuk kemudian nilai kedua gen tersebut dipertukarkan. Mekanisme yang kedua adalah mutasi acak, dimana setiap gen pada kromosom yang akan mengalami mutasi mempunyai peluang yang sama

untuk digantikan nilainya dengan nilai lain yang diambil secara acak dari

searchspace. Sedangkan mutasi ketiga adalah mutasi creep dimana nilai gen yang ditentukan secara acak pada kromosom yang akan mengalami mutasi akan ditambah atau dikurangi dengan bilangan kecil yang dibangkitkan secara acak. Untuk setiap teknik mutasi tiga proses pengujian Algoritma Genetik dijalankan, dimana pembangkit bilangan acak untuk setiap eksekusinya didasarkan pada angka sumber (seed) yang berbeda. Jumlah populasi dalam pengujian sebanyak 20 kromosom dengan menggunakan penggantian steady-state dan Algoritma Genetik dieksekusi selama 10 generasi. Proses reproduksi menggunakan teknik crossover uniform dengan probabilitas yang seimbang antar parent chromosome, sedangkan probabilitas crossover dipilih sebesar 0,5. Pengujian ketiga teknik tersebut menggunakan probabilitas mutasi sebesar 0,75 yang didasarkan pada uji nilai probabilitas mutasi sebelumnya. Proses pengujian menggunakan Skenario 1. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Pengujian Teknik Mutasi

Test Ke 1(juta Rp) Test Ke 2 (juta Rp) Test Ke 3 (juta Rp) Mutasi

Terbaik Rerata Terbaik Rerata Terbaik Rerata

Rerata Total (juta Rp)

R-Exchg 34 603 32 508 33 961 32 634 35 728 34 271 33 138

Acak 32 532 32 136 32 532 32 082 32 532 32 178 32 132

Creep 35 146 32 444 33 585 32 465 33 165 32 625 32 511

Dari hasil pengujian metode reciprocal exchange memberikan hasil yang tertinggi baik untuk nilai maksimum maupun nilai rata-rata, kecuali pada test ke 1 dimana metode creep memberikan hasil yang lebih baik untuk nilai maksimum. Sedangkan metode acak menghasilkan nilai terburuk untuk nilai tertinggi maupun nilai rata-rata. Hal ini mengindikasikan bahwa kromosom hasil crossover telah cukup baik dalam merepresentasikan prosentase golongan yang diinginkan. Sedangkan perubahan nilai gen yang berasal dari searchspace tidak cukup mampu untuk meningkatkan nilai keuntungan yang telah dicapai, terbukti dari hasil mutasi acak yang mencatat hasil terendah dibandingkan kedua metode lainnya.

Dengan menggunakan hasil studi yang telah dicapai, langkah selanjutnya adalah menerapkan teknik -teknik tersebut untuk proses optimisasi golongan pemberian air.

Hasil Optimisasi Analisis Inisialisasi Luas Golongan

Proses Inisialisasi Luas Golongan berfungsi untuk mencari harga awal dari luas masing-masing golongan pemberian air. Pemberian harga awal bertujuan agar dalam simulasi optimisasi golongan, proses pencarian luas golongan terfokus pada nilai-nilai yang mungkin (feasible) dan berada di searchspace.

Proses inisialisasi dilakukan dengan cara menghitung peluang kejadian dari nilai luas golongan berdasarkan data-data terdahulu. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pendekatan terhadap nilai awal luas golongan. Data luas golongan yang berhasil dikumpulkan mempunyai rentang waktu 8 tahun mulai dari musim tanam 1996 sampai dengan musim tanam 2004. Tabel 28 menyajikan data luas golongan yang menjadi dasar dalam proses inisialisasi dimana R menyatakan musim tanam rendeng dan G menyatakan musim tanam gadu.

Dari data luas golongan kemudian ditentukan peluang kejadian relatif dari masing-masing luas golongan terhadap total seluruh kejadian. Setelah nilai peluang relatif diketemukan kemudian dilakukan perhitungan peluang kumulatif masing-masing kejadian. Nilai peluang kejadian relatif dan kumulatif disajikan di Tabel 26. Proses selanjutn ya adalah menentukan luas golongan sebagai harga inisialisasi dengan menggunakan bilangan acak.

Tabel 26. Data luas golongan

Tahun Golongan I (ha) Golongan II (ha) Golongan III (ha) Golongan IV (ha) R G R G R G R G 1996-1997 744 744 1 772 1 772 5 457 5 457 2 116 2 116 1997-1998 744 744 1 772 1 772 5 426 5 426 2 116 2 116 1998-1999 744 744 1 772 1 858 5 625 5 539 2 116 2 116 1999-2000 744 744 1 947 1 947 5 322 5 322 2 116 2 116 2000-2001 705 705 1 908 1 908 5 486 5 486 2 086 2 086 2001-2002 744 744 1 772 1 772 5 497 5 497 2 116 2 116 2002-2003 723 723 1 949 1 939 5 701 5 701 1 874 1 874 2003-2004 805 805 2 052 2 023 4 711 4 191 2 615 2 164 Sumber : Pengamat Irigasi Cikarang

Dari perhitungan peluang kejadian relatif pada Tabel 27, terlihat bah wa luas lahan target pada Golongan II dan Golongan III mempunyai tingkat keragaman yang cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan karena lahan pada Golongan II dan III terletak lebih dekat dengan sumber air di BTb30a dan BKg4 sehingga proses budidaya padi dan palawija di daerah tersebut lebih tinggi dan bervariasi. Lahan di Golongan I telah banyak mengalami konversi dari daerah persawahan menjadi daerah industri, sedangkan lahan di Golongan IV termasuk sulit untuk mendapat air karena letaknya yang jauh dari sumber air dan kondisi jaringan irigasi yang sudah tidak baik lagi.

Setiap kali optimisasi dilakukan, model inisialisasi golongan dijalankan untuk menghasilkan nilai golongan awal yang dipergunakan untuk masukan dari model penentuan golongan. Contoh nilai awal luas golongan hasil dari proses inisialisasi disajikan pada Tabel 28.

Tabel 27. Peluang kejadian relatif dan peluang kumulatif dari luas golongan

Rendeng Gadu Golongan Luas (ha) Peluang Relatif Peluang Kumulatif Luas (ha) Peluang Relatif Peluang Kumulatif I 705 0,125 0,125 705 0,125 0,125 723 0,125 0,250 723 0,125 0,250 744 0,625 0,875 744 0,625 0,875 805 0,125 1,000 805 0,125 1,000 II 1 772 0,500 0,500 1 772 0,375 0,375 1 908 0,125 0,625 1 858 0,125 0,500 1 947 0,125 0,750 1 908 0,125 0,625 1 949 0,125 0,875 1 939 0,125 0,750 2 052 0,125 1,000 1 947 0,125 0,875 2 023 0,125 1,000 III 4 711 0,125 0,125 4 191 0,125 0,125 5 322 0,125 0,250 5 322 0,125 0,250 5 426 0,125 0,375 5 426 0,125 0,375 5 457 0,125 0,500 5 457 0,125 0,500 5 486 0,125 0,625 5 486 0,125 0,625 5 497 0,125 0,750 5 497 0,125 0,750 5 625 0,125 0,875 5 539 0,125 0,875 5 701 0,125 1,000 5 701 0,125 1,000 IV 1 874 0,125 0,125 1 874 0,125 0,125 2 086 0,125 0,250 2 086 0,125 0,250 2 116 0,625 0,875 2 116 0,625 0,875 2 615 0,125 1,000 2 164 0,125 1,000

Tabel 28. Nilai awal luas golongan dari hasil inisialisasi

Musim Tanam Luas Lahan (ha)

Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV

Rendeng 744 1 947 5 457 2 116

Gadu 744 1 908 5 426 2 116

Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi diartikan sebagai jumlah air yang diperlukan untuk melaksanakan budidaya tanaman padi dan palawija ditambah dengan kehilangan air akibat perkolasi dan dikurangi dengan hujan efektif. Kebutuhan air irigasi pada Pengamat Irigasi Cikarang dihitung berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan dan luas lahan yang ditanami. Perhitungan kebutuhan air irigasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan evapotranspirasi acuan dan evapotranspirasi tanaman, sedangkan tahap kedua adalah menentukan kebutuhan air irigasi berdasarkan evapotranspirasi tanaman, perkolasi dan hujan efektif.

Evapotranspirasi

Besarnya kebutuhan air tanaman (ETc) dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dibudidayakan yaitu padi dan palawija, tingkat pertumbuhan dan umur tanaman, serta kondisi iklim. Faktor iklim yang mempengaruhi adalah lama penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Nilai

ETc dihitung menggunakan data evapotranspirasi acuan setiap periode.

Evapotranspirasi acuan (ETo) dihitung menggunakan metode Penmann- Monteith dengan perangkat lunak CROPWAT menghasilkan nilai 4,06 – 5,47 mm hari-1. Nilai ETo terendah terjadi pada bulan Desember sebesar 4,06 mm hari-1 dan tertinggi pada bulan September sebesar 5,47 mm hari-1. Tabel 29 menyajikan nilai

ETo di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang. Data ketinggian menunjukkan 46 meter di atas permukaan laut dengan posisi 6,14o Lintang Selatan dan 106,39o Bujur Timur.

Nilai evapotranspirasi tanaman (ETc) selanjutnya dihitung untuk setiap bulan tanam dengan menggunakan koefisien tanaman (Kc).

Tabel 29. Nilai ETo di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang Suhu Suhu Kelembaban Kecepatan Sinar

Bulan Maksimum Minimum Udara Angin Matahari ETo

( oC ) ( oC ) (%) (m dtk-1) (jam) (mm hari-1) Januari 32,9 24,2 79 0,8 7,3 4,09 Pebruari 33,2 23,8 81 0,8 7,6 4,41 Maret 33,4 23,9 80 0,8 8,2 4,79 April 33,6 24,5 79 0,8 8,9 5,02 Mei 34,0 23,8 81 0,8 8,6 4,76 Juni 33,0 24,1 80 0,8 8,9 4,64 Juli 32,9 23,7 78 0,8 9,7 4,86 Agustus 33,1 24,0 78 0,8 10,5 5,27 September 33,7 24,1 77 0,8 10,7 5,47 Oktober 33,8 24,2 78 0,8 9,7 5,07 Nopember 34,6 24,2 76 0,8 8,7 4,62 Desember 33,6 23,9 78 0,8 7,4 4,06 Debit Tersedia

Data debit air masuk ke saluran sekunder melalui pintu air BTb30a dan BKg4 yang disuplai dari Bendung Cibeet. Tabel 30 menyajikan data debit tersedia di Bendung Cibeet.

Tabel 30. Debit air tersedia di Bendung Cibeet

Periode Debit (m3 dtk-1) Periode Debit (m3 dtk-1)

Okt1 24,75 Apr1 20,43 Okt2 28,65 Apr2 31,30 Nop1 31,69 Mei1 32,24 Nop2 45,91 Mei2 35,88 Des1 38,24 Jun1 46,80 Des2 26,21 Jun2 51,05 Jan1 16,77 Jul1 53,55 Jan2 19,86 Jul2 40,99 Peb1 17,78 Agt1 32,94 Peb2 18,83 Agt2 12,39 Mar1 14,31 Sep1 12,77 Mar2 14,27 Sep2 12,11 Sumber : PJT II (2001)

Kebutuhan Air Tanaman dan Irigasi Untuk Setiap Skenario

Kebutuhan air tanaman (ETc) dihitung berdasarkan pola tanam terpilih. Kebutuhan air irigasi (I) dipengaruhi oleh ETc, perkolasi dan hujan efektif. Tabel 31 menyajikan I dengan menggunakan p ola tanam pada Skenario 0.

Kebutuhan air irigasi (I) untuk tanaman padi dipengaruhi oleh besarnya kebutuhan air tanaman (ETc), perkolasi (P) dan hujan efektif (RE). Kebutuhan air irigasi menggunakan satuan m3 dtk-1 setelah diperhitungkan dengan luas areal yang menjadi target penanaman. Dari Tabel 31 terlihat bahwa nilai I meningkat sejak dimulainya musim tanam pada periode Okt1 dan mencapai 6,9 m3dtk-1 pada periode Nop1. Hal tersebut disebabkan adanya kebutuhan air irigasi untuk mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV, dimana luas lahan untuk MT rendeng dari kedua golongan mencapai lebih dari 7.300 ha atau sekitar 70% dari luas wilayah Pengamat Irigasi Cikarang sehingga berpengaruh terhadap tingginya kebutuhan air irigasi. Nilai perkolasi saat pengolahan yaitu 8,3 mm hari- 1

juga berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada bulan September dikarenakan hujan efektif yang mencukupi untuk mengairi tanaman palawija di Golongan I dan untuk olah tanah di Golongan I serta terjadinya bera terjadi di lahan Golongan II, III dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan di Golongan II, III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 5,1 m3dtk-1.

Besarnya kebutuhan air irigasi dengan menggunakan pola tanam Skenario 1 yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 32. Nilai I mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m3dtk-1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada periode Sep1 yang disebabkan bera di seluruh golongan . Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan Agustus dan September. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 2,8 m3 dtk-1, sehingga penggunaan Skenario 1 dapat menghemat pemakaian air sekitar 45% bila dibandingkan Skenario 0.

Tabel 33 menyajikan kebutuhan air irigasi menggunakan variasi pola tanam pada Skenario 2. Nilai I mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m3dtk-1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan

tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada Sep1 sebesar 0,6 m3 dtk-1 yang disebabkan penanaman palawija di Golongan III dan terjadinya bera di Golongan II dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan September dan Oktober untuk Golongan II, III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 4,2 m3dtk-1, sehingga penggunaan Skenario 2 dapat menghemat pemakaian air sekitar 17% bila dibandingkan Skenario 0.

Kebutuhan air irigasi menggunakan pola tanam pada Skenario 3 yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 34. Nilai I

mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m3 dtk-1. Hal tersebut disebabkan mulai tanam di Golongan III dan pengolahan tanah di Golongan IV. Nilai perkolasi yang cukup tinggi yaitu 8,3 mm hari-1 berpengaruh pada besarnya kebutuhan air irigasi pada periode tersebut. Kebutuhan air irigasi minimum terjadi pada bulan September sebesar 0,6 m3dtk-1 yang disebabkan terjad inya bera di Golongan II, III dan IV. Kegiatan pembersihan saluran air dapat dilakukan pada bulan Agustus, September dan Oktober untuk Golongan II, III dan IV. Nilai kebutuhan irigasi rata-rata selama 1 tahun musim tanam adalah 2,9 m3 dtk-1, sehingga penggunaan Skenario 3 dapat menghemat pemakaian air sekitar 43% bila dibandingkan Skenario 0.

Kebutuhan air irigasi menggunakan pola tanam pada Skenario 4 yang juga direkomendasikan oleh Dinas Pertanian setempat disajikan pada Tabel 35. Nilai I

mencapai maksimum pada periode Nop1 sebesar 6,9 m3 dtk-1. Hal tersebut

Dokumen terkait