• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan golongan pemberian air untuk optimisasi penyaluran air irigasi di daerah irigasi jatiluhur menggunakan algoritman genetik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan golongan pemberian air untuk optimisasi penyaluran air irigasi di daerah irigasi jatiluhur menggunakan algoritman genetik"

Copied!
420
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMISASI PENYALURAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI

JATILUHUR MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIK

GANI SOEHADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

GANI SOEHADI. The Planning of Block System for Optimizing the Distribution of Irrigation Water in Jatiluhur Irrigation Area by using Genetic Algorithm. Supervised by BAMBANG PRAMUDYA, SETYO PERTIWI dan ERIZAL.

The first objective of this research is to obtain a model for optimizing block irrigation as a part of irrigation management. The result is SIMPERA model which can be used in the planning of block irrigation system for irrigating paddy and non-paddy fields.

The determination of block irrigation system is influenced by several type of inputs, namely spatial parameters (positions, distances and areas) of tertiary fields from water resources, environment parameters (rain, water availability and soil physics), production cost (machinery, seeds and fertilizer) and labours.

Fields areas of each block in planting season were predicted based on historical data of paddy fields areas. The result was then used for allocating tertiary fields on each block as a base for optimizing block areas by utilizing Genetic Algorithm to obtain maximum profit for the irrigation area.

Calculation of irrigation water requirement (I) showed that four simulation scenarios (S1, S2, S3 and S4) can save irrigation water compared to scenario based on existing planting pattern (S0). S1 gave about 45% saving, S2 is about 17%, S3 is about 43% and S4 gave about 35% saving on water irrigation requirement compared to S0.

Optimization results showed that S1, S2, S3 and S4 are more profitable than S0. S0’s profit was Rp. 2.700.000 per ha per year on average. S1 gave the largest additional profit which was Rp.1.300.000 per ha per year, while S2 gave the least one which was Rp.100.000 per ha per year.

This research used Genetic Algorithm’s operators namely elitist selection, uniform crossover and reciprocal exchange mutation. Crossover probability was 0,5 and mutation probability was 0,05. Optimization stopped when the maximum profit unchanged for the last five consecutive iterations.

The second objective of this research is to obtain rotation irrigation model to substitute block irrigation system when water availability is less than water irrigation requirement. Durations of rotational irrigation and irrigation intervals are then calculated.

Result showed that the area and distanc e of tertiary fields to water resources give influences on water losses along canals during distribution of water and in turn causes changes in the duration of existing rotation irrigation. On average, the durations of rotation irrigation in upland lowland fields on Jun1 were 47,2 hours and 61,2 hours respectively for each tertiary field. While in Agt2, the duration of rotation irrigation in upland and lowland fields were 59,7 and 79,1 hours respectively for each tertiary fields.

(3)

GANI SOEHADI. Perencanaan Golongan Pemberian Air Untuk Optimisasi Penyaluran Air Irigasi di Daerah Irigasi Jatiluhur Dengan Menggunakan Algoritma Genetik. Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA, SETYO PERTIWI dan ERIZAL.

Tujuan pertama dari penelitian adalah untuk mendapatkan rekayasa model optimisasi golongan pemberian air sebagai bagian dari manajemen irigasi. Untuk itu disusun model SIMPERA, yang dapat digunakan dalam perencanaan pokok sistem irigasi golongan untuk tanaman padi dan palawija.

Penentuan golongan pemberian air dipengaruhi oleh beberapa jenis masukan, yaitu spasial (posisi, jarak dan luas) petak tersier terhadap sumber air, lingkungan (curah hujan, debit dan fisika tanah), biaya produksi (mesin dan sarana produksi pertanian) dan tenaga kerja.

Berdasarkan data luas tanam terdahulu dilakukan pendugaan luas tanam setiap golongan pada setiap musim tanam. Dari hasil pendugaan luas tanam dan masukan lainnya, ditentukan alokasi petak tersier pada setiap golongan sebagai dasar optimisasi luas golongan menggunakan Algoritma Genetik untuk mendapatkan keuntungan wilayah yang maksimum.

Hasil perhitungan kebutuhan air irigasi (I) menunjukkan ke empat skenario simulasi (S1, S2, S3 dan S4) dapat menghemat pemberian air irigasi dibandingkan dengan skenario didasarkan pada pola umum musim tanam yang berlaku saat ini (S0). S1 memberikan penghematan sebesar 45%, S2 sebesar 17%, S3 sebesar 43% dan S4 sebesar 35% bila dibandingkan dengan S0.

Hasil optimisasi menunjukkan keuntungan dari S1, S2, S3 dan S4 lebih besar dari keuntungan dengan pola tanam S0. Rata -rata keuntungan S0 adalah Rp 2 700 000 per ha per tahun. S1 memberikan selisih keuntungan terbesar terhadap S0 yaitu Rp 1 300 000 per ha per tahun, sedangkan S2 memberikan selisih keuntungan terkecil yaitu Rp 100 000 per ha per tahun.

Operator Algoritma Genetik yang dipergunakan meliputi seleksi elitist, reproduksi (crossover) teknik uniform, dan mutasi reciprocal exchange untuk operator mutasi. Nilai probabilitas crossover sebesar 0,5 dan mutasi sebesar 0,05. Optimisasi dihentikan bila nilai keuntungan maksimum tidak mengalami perubahan dalam lima generasi berturut-turut.

Tujuan kedua dari penelitian adalah mendapatkan rekayasa model sistem irigasi rotasi untuk menggantikan sistem irigasi golongan bila ketersediaan air kurang dari kebutuhan irigasi.

Hasil penelitian menunjukkan, luas dan jarak petak tersier ke sumber air berpengaruh terhadap kehilangan air selama penyaluran dan pada gilirannya menyebabkan perubahan standar waktu irigasi rotasi. Durasi rata-rata irigasi rotasi di bagian hulu dan hilir pada periode Jun1 adalah 47,2 jam dan 61,2 jam per petak tersier. Durasi rata-rata irigasi rotasi di bagian hulu dan hilir pada periode Agt2 adalah 59,7 jam dan 79,1 jam per petak tersier.

(4)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perencanaan Golongan Pemberian Air Untuk Optimisasi Penyaluran Air Irigasi Di Daerah Irigasi Jatiluhur Menggunakan Algoritma Genetik adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2005

Gani Soehadi

(5)

OPTIMISASI PENYALURAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI

JATILUHUR MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIK

GANI SOEHADI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Penyaluran Air Irigasi Di Daerah Irigasi Jatiluhur Dengan Menggunakan Algoritma Genetik

Nama : Gani Soehad i NIM : 995105

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. Ketua

Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr. Dr. Ir. Erizal, M.Agr. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Keteknikan Dekan Sekolah Pascasarjana Pertanian

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(7)

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 23 September 1966 dari ayah Soehadi dan ibu Endang Tyastoeti sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri ITS, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1996, penulis diterima di program Master of Information Science pada Department of Computer and Software Engineering UNSW Sydney dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian IPB diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2003 ini ialah irigasi, dengan judul Perencanaan Golo ngan Pemberian Air Untuk Optimisasi Penyaluran Air Irigasi Di Daerah Irigasi Jatiluhur Menggunakan Algoritma Genetik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya M.Eng, Ibu Dr. Ir. Setyo Pertiwi M.Agr, dan Bapak Dr. Ir. Erizal M.Agr selaku komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Astika M.Agr dan Bapak Dr. Ir. Darmadi SU selaku penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pimpinan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atas bantuan yang diberikan selama pendidikan, serta Bapak Endang Kamil dan Bapak Muradih dari Perum Jasa Tirta II Seksi Lemahabang yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri penulis Diah Handayani, bapak, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2005

(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ………... ix

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiv

PENDAHULUAN ……….. 1

TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Sistem ……….. 10

Kebutuhan Air Tanaman ………. 12

Pemenuhan Kebutuhan Air Tanaman ………. 19

Sistem Irigasi ……….. 19

Curah Hujan ………. 24

Efisiensi Irigasi ……… 34

Kebutuhan Air Irigasi ……….. 37

Sistem Irigasi Rotasi ……… 37

Budidaya Padi dan Palawija ……… 44

Optimisasi ……… 46

ALGORITMA GENETIK Kromosom ………... 53

Representasi ………. 53

Operator ………... 55

Parameter Operator ………. 63

Tahapan Algoritma Genetik ……… 65

Pembentukan Populasi B aru ……… 66

Pengujian Teknik Operator ……….. 67

METODE Pendekatan Sistem ………... 68

Analisis Kebutuhan ………. 70

Formulasi Masalah ……….. 72

Identifikasi Sistem ……….. 73

Pengambilan Data ……… 78

Model Optimisasi Pemberian Air Irigasi ………. 80

Skenario Analisis ………. 100

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ………. 101

Hasil Pengujian Teknik Operator ……… 115

Hasil Optimisasi ……….. 121

(10)

Analisis Hasil Simulasi Golongan ………... 135

Alternatif Sistem Irigasi Rotasi ………... 142

Sistem Pendukung Keputusan ………. 158

Pertimbangan Pada Perencanaan SIMPERA ………... 162

Rancang Bangun Model ……….. 163

Operasionalisasi Program SIMPERA ……….. 174

Tampilan Program SIMPERA ………. 178

SIMPULAN ………. 194

SARAN ……… 195

DAFTAR PUSTAKA ……….. 196

(11)

Halaman

1 Golongan petak tersier (rendeng) sebelum dioptimisasi……… 203

2 Hasil optimisasi Skenario 1 untuk musim rendeng……… 207

3 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hulu periode Jun1 ………. 211

4 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hilir periode Jun1 ……….. 212

5 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hulu periode Agt1 ……….. 213

6 Spesifikasi irigasi rotasi bagian hilir periode Agt2 ………... 214

7 Alokasi waktu pola tanam untuk setiap skenario ……….. 215

8 Grafik faktor tanaman (Kc) terhadap usia tanaman ……….. 218

9 Kode sumber SIMPERA ………... 219

(12)

Halaman

1 Indikasi kebutuhan air oleh tanaman d alam berbagai kondisi iklim …….. 13

2 Nilai Kc untuk tanaman padi ………. 16

3 Nilai Kc untuk tanaman palawija ………... 16

4 Koefisien tanaman palawija ………... 17

5 Hubungan tekstur, kemiringan dan perkolasi ……… 19

6 Kelas fisiografik lahan ………... 19

7 Pengaruh iklim terhadap kebutuhan air tanaman ………... 25

8 Hujan efektif (RE) ……….. 33

9 Nilai indikasi efisiensi penyaluran dengan tingkat pemeliharaan baik ….. 35

10 Nilai indikasi dari efisiensi pemberian air (Ea) ……… 36

11 Harga efisiensi untuk tanaman palawija ………... 36

12 Peningkatan keb utuhan tenaga kerja pada produksi beras ……… 45

13 Kebutuhan tenaga kerja pada produksi palawija ……….. 45

14 Kelas jarak pintu air tersier ke sumber beserta nilainya ………... 88

15 Penilaian waktu panen untuk petak tersier ……… 89

16 P enilaian tingkat ketersediaan saprodi untuk p etak tersier ………... 90

17 Penilaian tingkat ketersediaan tenaga kerja di daerah irigasi …………... 91

18 Penilaian ketersediaan layanan jasa traktor di daerah irigasi ……… 92

19 Skenario pengujian model optimisasi ………... 99

20 Daerah irigasi yang termasuk wilayah otoritas PJT II ……….. 101

21 Nilai perkolasi pada setiap tahap pertumbuhan tanaman padi ………….. 102

22 Nilai pengujian probabilitas mutasi ……….. 117

23 Pengujian teknik crossover ………... 118

24 Pengujian teknik seleksi ……… 119

25 Pengujian teknik mutasi ……… 120

26 Data luas golongan ……… 121

27 Peluang kejadian relatif dan peluang kumulatif dari luas golongan ……. 122

28 Nilai awal luas golongan dari hasil inisialisasi ………. 123

(13)

30 Debit air tersedia di Bendung Cibeet ……… 124

31 Kebutuhan air irigasi menggunakan Skenario 0 ………... 125

32 Kebutuhan air irigasi menggunakan S kenario 1 ………... 127

33 Kebutuhan air irigasi menggunakan S kenario 2 ………... 128

34 Kebutuhan air irigasi menggunakan S kenario 3 ………... 130

35 Kebutuhan air irigasi menggunakan Skenario 4 ………... 131

36 Hasil simulasi o ptimisasi dan perhitungan keuntungan tiap skenario ….. 141

37 Detil jenis masukan proses perencanaan irigasi rotasi ……….. 144

38 Detil proses perencanaan irigasi rotasi ………. 144

39 Pembagian daerah irigasi ……….. 145

40 File-file yang digunakan dalam Basisdata Irigasi ………. 164

(14)

Halaman

1 Jarak dari inlet tersier ……… 20

2 Plot distribusi normal dengan berbagai macam variasi σ ………….…… 28

3 Plot distribusi log-normal dengan beberapa nilai standar deviasi ……… 29

4 Plot kurva d ata pengamatan ……….. 31

5 Simpanan genangan air pada padi sawah ……….. 43

6 Penentuan durasi antar irigasi untuk tanaman padi ……….. 44

7 Ruang pencarian ……… 46

8 Pengkodean kromosom ………. 56

9 Diagram alir seleksi roulette-wheel ……….. 59

10 Ilustrasi crossover 1-point untuk bilangan biner ………. 60

11 Kromosom parent untuk ilustrasi crossover 1 -point ……….. 61

12 Kromosom child yang dihasilkan dari crossover 1-point ……… 61

13 Ilustrasi teknik crossover modifikasi ………... 62

14 Ilustrasi metode crossover 1-point menghasilkan kromosom child ……. 62

15 Kromosom parent untuk ilustrasi crossover uniform ……….. 63

16 Kromosom child yang dihasilkan dari crossover uniform ………... 63

17 Ilustrasi proses mutasi ……….. 64

18 Ilustrasi mutasi reciprocal exchange ………... 64

19 Ilustrasi mutasi creep ………... 65

20 Ilustrasi mutasi acak ………. 65

21 Tahapan kerja dalam pendekatan sistem ……….. 71

22 Diagram sebab akibat optimisasi pemberian air irigasi ………... 76

23 Diagram masukan keluaran optimisasi pemberian air irigasi ………….. 77

24 Wilayah Pengamat Irigasi Cikarang Perum Jasa Tirta II ………. 79

25 Struktur model optimisasi pemberian air irigasi ……….…. 80

26 Tahapan Algoritma Genetik untuk optimisasi golongan ………. 81

27 Contoh representasi kromosom P&P ………... 85

28 Prosedur algoritma greedy untuk penentuan golongan ……… 88

(15)

Halaman

30 Manajemen Sistem Irigasi ……… 107

31 Parameter Temporal-Spasial pada perencanaan strategi pelayanan irigasi ……… 109

32 Sistem dan mekanisme penentuan kebutuhan air irigasi di Jatiluhur ….. 112

33 Struktur organisasi formal kelembagaan irigasi ……….. 113

34 Perbandingan ETc + P terhadap RE untuk Skenario 1 di Golongan II ... 133

35 Perbandingan kebutuhan air irigasi untuk setiap skenario ……….. 133

36 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 0 ……….. 136

37 Konfigurasi petak tersier berdasarkan Skenario 1 ……….. 136

38 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 1 ……….. 138

39 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 2 ……….. 138

40 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 3 ……….. 139

41 Hasil keuntungan dengan menggunakan Skenario 4 ……….. 140

42 Struktur proses perencanaan irigasi rotasi ………... 143

43 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Sukatani ……… 148

44 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Rengasbendung………. 149

45 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Rawakuda ……… 150

46 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Gelonggong ………. 152

47 Durasi konvensional dan duras i irigasi SS Kahuripan ……… 153

48 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Kb Lompong ……… 153

49 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Kendayakan ………. 155

50 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Kalenderwak ……… 156

51 Durasi konvensional dan durasi irigasi SS Lemahabang ………. 157

52 Konfigurasi model SIMPERA ………. 161

53 Struktur menu SIMPERA ……… 170

54 Rencana operasional SPK SIMPERA ……….. 173

55 Arsitektur jaringan komputer SPK SIMPERA ……… 175

56 Diagram alir model SIMPERA ……… 176

57 Tampilan judul SIMPERA ……….. 178

58 Tampilan menu utama SIMPERA ………... 179

(16)

60 Pesan konfirmasi pemilihan basisdata IRIGASI ………. 180

61 Pemilihan submenu Isi Musim Tanam ……… 180

62 Pengisian Tahun Musim Tanam ……….. 181

63 Pemilihan submenu Isi Data Lahan ………. 181

64 Pemilihan informasi wilayah ………... 182

65 Tampilan untuk memasukkan data rencana tanam ………. 182

66 Tampilan rencana tanam ………. 183

67 Pemasukkan atau menampilkan data tanah dan iklim ………. 183

68 Pemasukan atau menampilkan data pemilik lahan ……….. 184

69 Pemasukan atau menampilkan data Perkolasi/Efisiensi ……….. 184

70 Pemasukan atau melihat data iklim dan curah hujan ………... 185

71 Tampilan untuk memilih submenu Isi Data Tanam an………. 185

72 Pemasukan atau melihat data tanaman ……… 186

73 Tampilan untuk memilih submenu Penen tuan Golongan ……… 186

74 Hasil simulasi proses optimisasi penentuan golongan ………. 187

75 Tampilan hasil proses optimisasi penentuan golongan ……… 187

76 Tampilan hasil penentuan golongan menggunakan SIG ………. 188

77 Pilihan untuk menampilkan kebutuhan air irigasi ………... 188

78 Tampilan Kebutuhan Air Irigasi untuk setiap petak tersier ……… 189

79 Pilihan submenu Estimasi Produksi ……… 189

80 Tampilan Estimasi Produksi untuk setiap periode per petak tersier …… 190

81 Pilihan submenu Irigasi Rotasi ……… 190

82 Proses perhitungan irigasi rotasi ……….. 191

83 Pemilihan submenu Irigasi Rotasi dari menu Display ………. 191

84 Pilihan untuk menampilkan hasil perhitungan irigasi rotasi ……… 192

85 Tampilan hasil perhitungan irigasi rotasi ……… 193

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya dan mencapai puncaknya pada tahun 1980 yang mencapai 2 juta ton. Setelah itu impor beras mulai menurun pada tahun 1981 sampai dengan 1984.

Usaha untuk menuju swasembada beras telah lama dilakukan. Pemerintah mencanangkan program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) antara lain di bidang pertanian untuk mendukung program pangan nasional. Sejak Pelita I (1969/1970), produksi beras mengalami peningkatan. Saat Pelita I dimulai, produksi beras Indonesia baru mencapai 11,67 juta ton dengan produktivitas 1,45 ton ha-1. Dengan usaha keras, swasembada pangan tercapai pada tahun 1984, dimana kebutuhan beras dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri yang mencapai 25,84 juta ton dan produktivitasnya hampir dua kali lipat produktivitas tahun 1969, yaitu 2,68 ton beras ha-1. Produksi beras nasional meningkat terus dan pada tahun 1990 mencapai 45,18 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 29 juta ton beras

Salah satu daerah penghasil beras di Indonesia adalah di sepanjang pantai utara propinsi Jawa Barat, terutama di daerah irigasi Jatiluhur. Pada tahun 2002, produktivitas gabah kering giling di daerah tersebut mencapai 4,5 sampai 5 juta ton ha-1 dengan luas tanam padi mencapai sekitar 230.000 hektar. Produktivitas tersebut dicapai melalui penerapan dan inovasi teknologi yang dikembangkan pemerintah, misalnya penggunaan benih unggul, pengendalian organisme pengganggu, dan pengolahan tanah Selain itu, saluran irigasi teknis yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II juga merupakan faktor penting dalam peningkatan produktivitas beras di daerah irigasi Jatiluhur.

(18)

kerja yang cukup besar, mempunyai bendung sendiri dan mengelola jaringan irigasi

untuk lahan persawahan seluas ± 10 000 hektar.

Dalam penyediaan dan penyaluran air serta pemeliharaan sistem irigasi di daerah irigasi Jatiluhur terdapat permasalahan teknis maupun non teknis. Permasalahan teknis yang timbul dalam penyediaan irigasi adalah air sebagai sumberdaya yang vital semakin langka dan semakin terbatas ketersediaannya, sementara kebutuhan air untuk sektor pertanian dan non-pertanian semakin meningkat. Apalagi pada musim kemarau, persediaan air berkurang mengakibatkan suplai air irigasi ke areal pertanaman juga berkurang. Permasalahan teknis lainnya adalah timbulnya kerusakan-kerusakan di daerah aliran sungai, pencemaran-pencemaran yang terjadi pada sumber irigasi dan menciutnya areal sawah beririgasi. Hal tersebut disebabkan perubahan fungsi lahan yang semula adalah lahan pertanian menjadi lahan industri. Pawitan (1997) menyatakan makin berkurangnya penyediaan air untuk sektor pertanian disebabkan pemakaian air untuk sektor industri yang makin bertambah. Hingga tahun 2020, diperkirakan kebutuhan air untuk industri akan meningkat tiga kali lipat dari kebutuhan tahun 1990, atau meningkat menjadi 43-56 m3/detik (Rachman 1999).

Selain permasalahan teknis pada jaringan irigasi, terdapat juga permasalahan non teknis yaitu tanggung jawab pengelolaan jaringan irigasi terutama pada saluran tersier. Menurut Sinotech (1978), peranan kelompok petani pemakai air irigasi dalam pemeliharaan saluran irigasi masih lemah. Selain itu, berkurangnya minat pemuda untuk bekerja sebagai petani juga berpengaruh pada penyediaan tenaga kerja dalam proses produksi padi (Prasetyo 2002)

(19)

Salah satu usaha pra panen yang dapat dilakukan untuk pengaturan alokasi air adalah dengan melakukan pergiliran pembagian air. Lahan persawahan di DI Jatiluhur dibagi menjadi beberapa golongan dimana seluruh petak pertanaman dalam satu golongan mendapatkan jatah air yang sama sesuai dengan kegiatan produksi. Pembagian tersebut diputuskan dalam rapat panitia irigasi yang terdiri dari Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan dan wakil petani. Sebelum tahun 1996, panitia irigasi telah mencoba beberapa konfigurasi pembagian air, yaitu 3 golongan, 4 golongan, 5 golongan, 6 golongan dan 7 golongan. Saat konfigurasi 3 golongan ditetapkan, ternyata banyak petani yang tidak dapat mengikuti jadwal penanaman tersebut. Pada penggunaan konfigurasi 5 golongan, 6 golongan atau 7 golongan terjadi banyak pemborosan air irigasi. Setelah melalui berbagai pendekatan kepada petani, sejak tahun 1996, panitia irigasi membagi daerah irigasi Jatiluhur menjadi 4 golongan. Hal tersebut didasarkan pada kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi dimana konfigurasi 4 golongan cukup sesuai dengan situasi yang ada di lapangan. Dengan diberlakukannya sistem tersebut, semua petak pertanaman dalam satu golongan harus melakukan kegiatan produksi yang sama.

(20)

Pada rapat panitia irigasi, setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul akan dilakukan rekapitulasi rencana musim tanam untuk desa tersebut. Berdasarkan rekapitulasi tersebut kemudian laporan rencana musim tanam dibuat dan dikirimkan ke kecamatan. Pada tingkat kecamatan, laporan rencana tanam dari seluruh desa di kecamatan tersebut akan dievaluasi oleh panitia irigasi tingkat kecamatan yang terdiri dari Camat sebagai ketua panitia, Kepala Cabang Dinas Pertanian, Koordinator Penyuluh Pertanian dan Pengamat Irigasi dari Perum Jasa Tirta II sebagai sekretaris. Panitia irigasi tingkat kecamatan akan mengkoordinasikan mengenai kesiapan musim tanam dari masing-masing desa dan mengkonfirmasikan luas lahan yang akan ditanami pada masing-masing petak tersier dari setiap desa. Pada panitia irigasi tingkat kecamatan inilah akan dicapai keputusan menyangkut luas lahan dari masing-masing petak tersier dan golongan dari petak tersier tersebut. Setelah itu kemudian dibuat laporan rekapitulasi musim tanam dari seluruh kecamatan dan dikirimkan ke seksi pengairan dari Perum Jasa Tirta II.

Seksi pengairan akan merekapitulasi seluruh laporan rencana musim tanam dari seluruh kecamatan dan melaporkannya ke panitia irigasi tingkat kabupaten yang terdiri dari bupati sebagai ketua, kepala divisi dari Perum Jasa Tirta II, Dinas Pertanian dan Dinas Pengairan. Kemudian laporan dari masing-masing kabupaten akan dikirimkan ke tingkat propinsi untuk disahkan oleh Gubernur Jawa Barat serta direktur utama Perum Jasa Tirta II.

(21)

Keterlambatan memulai musim tanam menyebabkan pemberian air yang sia-sia. Selain itu, keterlambatan memulai musim tanam menyebabkan terjadinya penambahan golongan yang tidak sesuai dengan ketetapan semula sehingga banyaknya golongan yang seharusnya 4 menjadi 7 atau 8 golongan. Terlepas dari permasalahan keterlambatan musim tanam, kegiatan pergiliran pembagian air irigasi ini bertujuan untuk mengurangi beban puncak penggunaan air irigasi bila kegiatan musim tanam dilakukan serentak di seluruh lahan pertanian. Akan tetapi karena adanya permasalahan tersebut, penerapan golongan pemberian air menjadi tidak efektif.

Ada beberapa kelemahan dari perencanaan irigasi golongan yang saat ini sedang dijalankan. Kelemahan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah kurangnya penggunaan metode ilmiah dalam perencanaan golongan. Sedangkan jenis yang kedua adalah pada bidang administrasi perencanaan. Kedua jenis kelemahan dibahas pada alinea berikut.

Kurangnya penggunaan metode ilmiah saat rapat panitia irigasi untuk penentuan golongan pemberian air adalah tidak adanya proses optimisasi. Oleh sebab itu tidak diketahui apakah hasil penggolongan dapat menghasilkan keuntungan yang maksimum untuk wilayah tersebut.

Kelemahan di bidang administrasi antara lain disebabkan karena hirarki pelaporan yang berjenjang dan dilakukan secara manual di setiap tingkat membutuhkan waktu yang cukup lama pada saat evaluasi laporan. Belum lagi bila terdapat kesalahan yang disebabkan oleh informasi dari petani yang tidak tepat atau kesalahan yang disebabkan oleh manusia (human-error).

(22)

Kelemahan administrasi yang terakhir adalah adanya ketidakseragaman dalam format laporan rekapitulasi rencana musim tanam. Hal ini dapat menyulitkan dalam pembacaan dan pengambilan keputusan di kepanitian irigasi.

Dalam pengoperasiannya, selain memperbaiki administrasi perencanaan musim tanam, Perum Jasa Tirta II bersama anggota panitia irigasi lainnya harus lebih efisien dengan mengefektifkan penggunaan infrastruktur irigasi yang ada, memberikan pelayanan yang terbaik untuk petani, dan meminimisasi kehilangan air. Adanya pembagian golongan dan perbedaan kegiatan produksi, menuntut adanya penjadwalan pemberian irigasi yang terpadu dan optimal dengan memperhitungkan ketersediaan air, kendala kapasitas jaringan irigasi, efisiensi operasi dan kepuasan pelanggan.

Agar lebih efisien dalam pengoperasian sistem irigasi dibutuhkan optimisasi penjadwalan pemberian air melalui saluran irigasi primer, sekunder maupun tersier untuk membantu panitia irigasi dalam menyeimbangkan tuntutan-tuntutan di atas. Dengan cara ini diharapkan dapat dihasilkan suatu pola pemberian air irigasi yang efisien dan merata berdasarkan kendala di daerah tersebut.

Kebutuhan air dan letak dari tiap-tiap golongan di daerah irigasi berpengaruh terhadap penentuan penjadwalan pemberian air melalui saluran irigasi karena penjadwalan yang tepat dengan mempertimbangkan adanya ketersediaan dan kebutuhan air, efisiensi irigasi akan dapat ditingkatkan. Akan tetapi untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air, selain pemberian air irigasi yang tepat waktu, juga terdapat adanya pergeseran waktu pemberian air irigasi baik yang dipercepat maupun diperlambat

Parameter-parameter yang diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan dalam proses optimisasi pemberian air irigasi dikategorikan menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah parameter yang tidak mempunyai acuan lokasi (non-spatial) dan bagian kedua adalah yang mempunyai acuan lokasi (spatial). Sebagai contoh parameter non-spatial adalah jumlah ketersediaan air, jumlah ketersediaan faktor produksi seperti jumlah buruh, jumlah benih, jumlah alat mesin pertanian dan lain-lain. Data-data tersebut tidak menunjuk pada suatu lokasi tertentu, akan tetapi hanya bersifat kuantitatif. Sedangkan contoh parameter spatial

(23)

irigasi. Data lokasi unit irigasi harus secara jelas menyebutkan posisi unit tersebut berdasarkan pada acuan lokasi tertentu, yang dalam hal ini dapat berupa peta dengan acuannya masing-masing.

Dalam penyusunan rencana irigasi, setiap tahun panitia irigasi selalu dihadapkan pada permasalahan yang kompleks karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan tersebut adalah mencatat data kesiapan petani untuk memulai musim tanam, menghitung kebutuhan air irigasi, menghitung ketersediaan air irigasi, menentukan golongan pemberian air irigasi, dan menyalurkan air irigasi untuk ke seluruh lahan pertanian. Dari daftar pekerjaan tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengoptimumkan penentuan golongan pemberian air irigasi menggunakan proses simulasi. Selain itu penelitian ini juga memperlihatkan perbandingan keuntungan antara hasil simulasi dan hasil penentuan golongan yang ditetapkan oleh panitia irigasi. Dengan optimisasi penentuan golongan, diharapkan keuntungan dari hasil pertanian setempat meningkat sehingga dapat mendukung program pangan nasional dan program revitalisasi pertanian.

Ketersediaan air yang terbatas dapat mengakibatkan penurunan produksi pertanian. Walaupun kekurangan ini dapat dipenuhi dengan memanfaatkan air tanah maupun air permukaan namun pada daerah-daerah yang berdekatan dengan kota-kota besar kerapkali air belum mencukupi kebutuhan (Kasryno et al. 1997).

Prinsip penjadwalan irigasi adalah menyeimbangkan ketersediaan dan kebutuhan air dengan memperhitungkan waktu pemberian air, besarnya debit yang diminta dan kapasitas saluran irigasi. Akan tetapi proses penjadwalan irigasi yang berlaku saat ini tidak selalu efektif dikarenakan banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi tingkat kebutuhan air seperti kondisi cuaca/iklim yang makin sulit diramal dengan tepat, misalnya mundurnya musim hujan, dan musim kemarau yang semakin panjang sehingga terjadi bencana kekeringan. Pengaturan pemberian air irigasi di lapangan kebanyakan dilakukan hanya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dari manajemen pengelola daerah irigasi.

(24)

1. Membangun model perencanaan sistem irigasi golongan untuk optimisasi penyaluran air irigasi di wilayah Pengamat Irigasi Cikarang, Divisi I, Perum Jasa Tirta II.

2. Membangun model sistem irigasi rotasi sebagai alternatif sistem irigasi golongan yang dapat digunakan pada saat kebutuhan air irigasi lebih besar daripada ketersediaannya.

3. Membangun sistem pendukung keputusan dengan aplikasi model perencanaan sistem irigasi golongan dan sistem irigasi rotasi.

Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini akan dihasilkan suatu model optimisasi pemberian air bagi daerah irigasi dengan jenis tanaman padi dan palawija, dan model untuk memprediksi kebutuhan air irigasi saat pelaksanaan musim tanam. Model-model tersebut akan berguna bagi:

1. Panitia irigasi dalam menetapkan golongan pemberian air yang optimum berdasarkan kondisi jaringan irigasi yang ada pada daerah irigasi tersebut. Dengan optimisasi golongan ini efisiensi pemberian air yang berkenaan dengan keterlambatan musim tanam dapat ditingkatkan, sehingga pemberian air menjadi efektif.

2. Panitia irigasi dalam mengantisipasi musim kemarau panjang, karena dengan pola tanam yang lebih baik, ketersediaan air yang terbatas dapat dijadwalkan pemberiannya berdasarkan luas lahan maksimum yang dapat ditanami. Dengan pola pemberian air secara rotasi, penggunaan air akan sesuai dengan kebutuhan air tanaman dan ketersediaannya sehingga pemborosan air yang tidak perlu akan dapat dihindari dan menghemat biaya produksi.

3. Panitia irigasi pada saat pelaksanaan irigasi dimana juru harus mengevaluasi kondisi tanaman untuk memprediksi kebutuhan air tanaman. Dengan memperhitungkan faktor lainnya yang mempengaruhi kebutuhan air seperti cuaca dan suhu maka model ini akan dapat memprediksi kebutuhan air secara lebih akurat.

(25)

Pendekatan Sistem

Analisis sistem merupakan kajian mengenai sistem, organisasi dan prosedur dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah. Kajian tersebut akan menghasilkan suatu abstraksi dan model atau representasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat keputusan, mengelola pekerjaan, mengadakan pemeliharaan dan perubahan terhadap struktur serta operasional sistem tersebut.

Menurut Manetsch dan Park (1976), sistem adalah himpunan dari elemen-elemen atau komponen-komponen yang saling terhubung satu dengan lainnya dan saling bekerjasama untuk mencapai satu atau beberapa tujuan.

Model adalah penggambaran sederhana atau abstraksi semua hal-hal penting dari suatu sistem yang sesungguhnya. Model menyimbolkan suatu obyek atau kegiatan dan digunakan untuk memudahkan telaah terhadap suatu sistem. Dalam kegiatan analisis sistem, model memegang peranan penting karena analis sistem akan menggunakan model untuk mendapatkan gambaran mengenai cara kerja sistem dan bila perlu dapat menghasilkan model baru untuk menggantikan model yang lama. Selain itu, model juga berperan dalam proses simulasi.

Simulasi sistem atau simulasi merupakan bagian kegiatan dalam analisis sistem. Definisi simulasi adalah kegiatan atau aktivitas dengan menggunakan model. Proses simulasi berjalan pada lingkungan yang dikendalikan oleh skenario tertentu. Tujuan simulasi adalah memperkirakan pengaruh atau akibat yang terjadi karena adanya proses pengambilan keputusan.

Menurut Eriyatno (1998), simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya.

Proses simulasi dalam analisis sistem secara garis besar meliputi tiga kegiatan yaitu :

(26)

( b). melakukan eksperimentasi dengan cara memberi masukan sesuai dengan skenario yang diinginkan

( c). melakukan pemecahan masalah dengan menggunakan model dan data yang sesungguhnya

Dengan melakukan penelitian berdasarkan pendekatan sistem, persoalan yang kompleks akan dapat dipecahkan secara lebih komprehensif, karena adanya fenomena sistem yang bersifat holistik. Fenomena tersebut terdapat di dalam model yang mewakili keberadaan suatu sistem.

McLeod (1995) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan sistem adalah :

( a). memudahkan pengertian, hal ini dikarenakan penggambaran model yang sederhana sehingga spesifikasi elemen dan hubungan antar elemen dalam sistem menjadi mudah untuk dicerna. Apabila model sederhana tersebut telah dimengerti, langkah berikutnya adalah meningkatkan kompleksitas model sehingga akan lebih akurat dalam merepresentasikan sistem yang sesungguhnya.

( b) dapat memfasilitasi komunikasi antar stakeholder, misalkan saat kegiatan analisis sistem. Dalam hal ini analis sistem perlu untuk berkomunikasi dengan pengguna sistem atau dengan pembuat program. Contoh lain, seorang manajer harus mengkomunikasikan modelnya dengan anggota tim lain dalam proses analisis sistem.

( c) dapat digunakan untuk menduga/meramal situasi yang mungkin akan terjadi di masa depan, tetapi peramalan tersebut belum tentu 100% akurat. Tidak ada model yang sempurna dikarenakan adanya asumsi-asumsi yang harus dibuat mengenai masukan dari model. Untuk itu pengguna model harus menggunakan pemahaman dan intuisinya untuk mengevaluasi keluaran dari model.

(27)

dapat dipenuhi, maka keluaran dari simulasi menjadi menyimpang dan tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi.

Di dalam analisis sistem, model yang digunakan adalah model matematis. Model tersebut menggunakan formula atau persamaan matematika, sehingga keluaran yang didapat bersifat kuantitatif. Keuntungan dari model matematis adalah sifat presisinya yang dapat menjelaskan hubungan antar elemen baik untuk persamaan berdimensi tunggal maupun lebih. Sebelum digunakan, model matematis harus diuji terlebih dahulu agar benar-benar mewakili spesifikasi dan tingkahlaku dari sistem yang sebenarnya.

Permasalahan dalam pemberian air irigasi merupakan suatu sistem yang sangat kompleks karena banyaknya faktor yang terkait, sehingga penggunaan model untuk memecahkan permasalahan akan sangat membantu. Dalam hubungannya dengan perencanaan pemberian air irigasi menggunakan pendekatan sistem, kedudukan model adalah sebagai referensi yang sangat prinsipil untuk menetapkan keputusan penggolongan setiap unit irigasi.

Kebutuhan Air Tanaman

Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman selama masa pertumbuhannya disebut dengan kebutuhan air tanaman. Air tersebut dipergunakan untuk evapotranspirasi, perkolasi, dan penyiapan lahan. Khusus untuk tanaman padi, diperlukan pula sejumlah air untuk pergantian lapisan air atau penggenangan .

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi merupakan gabungan kehilangan air yang terjadi dari tanah (evaporasi) dan dari tumbuhan (transpirasi). Faktor iklim yang mempengaruhi kebutuhan air akan tanaman adalah (Tabel 1):

- lama penyinaran oleh matahari - kecepatan angin

- kelembaban udara relatif - suhu

(28)

Kebutuhan air tanaman Faktor Iklim

Tinggi Rendah

Suhu Panas Dingin

Kelembaban relatif Rendah (kering) Tinggi (basah) Kecepatan angin Berangin Sedikit berangin Lama penyinaran Terang (tidak berawan) Gelap (berawan) Sumber: Brouwer dan Heibloem (1986)

Nilai kebutuhan air oleh tanaman yang tinggi akan ditemukan pada daerah yang suhunya tinggi, kelembaban udaranya rendah, berangin dan kondisi langit tidak berawan. Untuk nilai kebutuhan air oleh tanaman yang rendah akan ditemukan pada daerah bersuhu rendah, kelembaban relatifnya tinggi, sedikit berangin dan kondisi langitnya berawan.

Pengaruh iklim terhadap tanaman dinyatakan dengan evapotranspirasi acuan (ETo) dan diekspresikan dalam milimeter per satuan waktu misalnya mm hari-1, mm bulan-1 atau mm musim-1. Allen et al. (1998) menyatakan rumput hipotetis sebagai evapotranspirasi acuan bukan tanaman rumput hidup. Kesulitan dalam menetapkan

ETo dengan menggunakan tanaman rumput hidup dikarenakan bervariasinya jenis rumput dan morfologinya sehingga mengakibatkan perbedaan dalam penghitungan

ETo. Definisi untuk permukaan acuan tersebut adalah : tanaman rumput hipotetis dengan asumsi tinggi 0,12 m, mempunyai resistansi permukaan yang tetap sebesar 70 dtk m-1 dan albedo sebesar 0,23. Permukaan acuan ini mendekati gambaran sebidang rumput dengan ketinggian yang sama, tumbuh subur, menutupi permukaan tanah secara penuh dengan ketersediaan air yang cukup. Adanya kebutuhan akan permukaan rumput yang ekstensif dan seragam berdasarkan asumsi bahwa uap air bergerak ke atas dalam satu dime nsi. Metode Penman-Monteith dari FAO dipilih untuk menentukan ETo dari permukaan acuan dan berlaku untuk seluruh daerah dan iklim di bumi. Formulanya adalah sebagai berikut:

) 34 , 0 1 ( ) ( ) 273 /( 900 ) ( 408 , 0 2 2 u ? e e u T G R ?

ETo n s a

+ + − + + − = γ γ /1/ dimana:

(29)

Rn = net radiasi pada permukaan tanaman (MJ m-2 hari-1) G = kepadatan flux panas tanah (MJ m-2 hari-1)

T = suhu udara pada ketinggian 2 meter (oC)

u2 = kecepatan angin pada ketinggian 2 m(m dtk-1)

es = tekanan uap jenuh (kPa) ea = tekanan uap aktual (kPa)

(es-ea) = defisit tekanan uap jenuh (kPa)

? = gradien dari kurva tekanan uap (kPa oC-1)

? = konstanta psikrometrik (kPa oC-1)

Untuk menjamin keakuratan perhitungan ETo, pengukuran data cuaca harus dilakukan pada ketinggian 2 meter (atau dikonversikan ke ketinggian tersebut) di atas permukaan rumput yang ekstensif, menutupi permukaan tanah dan tidak kekurangan air. Sebagai catatan pada saat ini tidak ada persamaan yang dapat menghitung evapotranspirasi secara tepat dalam setiap kondisi iklim sehubunga n dengan banyaknya asumsi dalam formulasi rumus dan kesalahan dari pengukuran data. Ada kemungkinan juga bahwa alat pengukuran akan menunjukan rumus FAO Penman-Monteith juga menghasilkan deviasi dari nilai sesungguhnya. Akan tetapi FAO telah menyetujui definisi permukaan acuan hipotetis dari persamaan FAO Penman-Monteith sebagai definisi untuk ETo dari permukaan rumput saat akan menghitung koefisien tanaman.

Koefisien Tanaman (Kc)

Koefisien tanaman merupakan besaran yang menyatakan hubungan antara evapotranspirasi dari permukaan rumput hipotetis sebagai evapotranspirasi acuan dengan evapotranspirasi tanaman yang dibudidayakan (Brouwer & Heibloem 1986). Laporan Brouwer dan Heibloem tersebut menyatakan, melalui pendekatan koefisien tanaman, perbedaan permukaan tanaman dan resistansi aerodinamis relatif terhadap permukaan acuan hipotetis diperhitungkan dalam nilai Kc. Untuk itu faktor

(30)

Doorenbos dan Pruitt (1977) menyatakan, kebutuhan air tanaman atau evapotranspirasi tanaman (ETc) dirumuskan sebagai perkalian antara evapotranspirasi acuan (ETo) dengan koefisien tanaman (Kc) yang besarnya tergantung dari jenis dan umur tanaman, atau:

KcETo

ETc= /2/

dimana:

ETc = evapotranspirasi tanaman (mm hari-1)

ETo = evapotranspirasi acuan (mm hari-1)

Kc = koefisien tanaman

Koefisien tanaman, Kc, secara umum tergantung kepada: • Jenis tanaman

Tanaman yang telah matang dengan daunnya yang lebar akan mampu melakukan transpirasi lebih besar daripada rumput acuan sehingga koefisiennya, Kc, akan lebih besar daripada 1. Sedangkan tanaman yang lebih sedikit menggunakan air akan mempunyai Kc kurang daripada 1.

• Periode pertumbuhan tanaman

Beberapa tanaman tertentu akan menggunakan air lebih banyak pada saat tanaman tersebut telah mencapai usia matang dibandingkan saat awal penanaman.

• Iklim

Iklim mempengaruhi lama pertumbuhan total dan periode pertumbuhan. Pada iklim subtropis (dingin), beberapa tanaman tertentu akan tumbuh lebih lambat dibandingkan kalau ditanam di daerah tropis. Oleh karena itu, untuk menentukan

Kc, perlu mengetahui lama waktu musim tanam dan lama waktu setiap tahap pertumbuhan dari tanaman. Penentuan nilai Kc untuk setiap tahap pertumbuhan meliputi :

a. penentuan lama pertumbuhan total untuk setiap tanaman b. penentuan tahap pertumbuhan untuk setiap tanaman

(31)

Penelitian ini menggunakan nilai Kc dalam penentuan evapotranspirasi untuk tanaman padi dan palawija dikarenakan kedua jenis tanaman tersebut banyak dibudidayakan di daerah irigasi Jatiluhur. Tabel 2 menyajikan nilai Kc untuk tanaman padi sedangkan Tabel 3 menyajikan nilai Kc untuk tanaman palawija.

Tabel 2. Nilai Kc untuk tanaman padi

No Tingkat Umur Tanaman Kc

Rendeng Gadu

1 Tanam/Tandur (0 – 15 hari)

Tanam/Tandur (0 – 15 hari)

1,02

2 Pertumbuhan I (16 – 30 hari)

Pertumbuhan I (16 – 30 hari)

1,02

3 Pertumbuhan II (31 – 60 hari)

Pertumbuhan I (31 – 45 hari)

1,02

4 Pembungaan I (61 – 75 hari)

Pembungaan I (46 – 60 hari)

1,32

5 Pembungaan II (76 – 90 hari)

Pembungaan II (61 – 75 hari)

1,40

6 Pematangan I (91 – 105 hari)

Pematangan I (76 – 90 hari)

1,35

7 Pematangan II (105 – 120 hari)

Pematangan II (91 – 105 hari)

1,24

[image:31.612.121.510.197.412.2]

Sumber : PJT II (2001)

Tabel 3. Nilai Kc untuk tanaman palawija Tanaman Pertumbuhan

Bibit Pertumbuhan vegetatif Pertumbuhan vegetatif Pematangan

Kacang hijau 0,35 0,70 1,10 0,90

Kubis/wortel 0,45 0,75 1,05 0,90

Mentimun 0,45 0,70 0,90 0,75

Tomat 0,45 0,75 1,15 0,80

Melon 0,45 0,75 1,00 0,75

Bawang 0,50 0,70 1,00 1,00

Kacang tanah 0,45 0,75 1,05 0,70

Kentang 0,45 0,75 1,15 0,85

Kacang kedelai 0,35 0,75 1,10 0,60

Tembakau 0,35 0,75 1,10 0,90

Sumber: Brouwer dan Heibloem (1986)

(32)

Perum Jasa Tirta II (2001) menetapkan nilai koefisien tanaman palawija yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Koefisien tanaman palawija

Tingkat Umur Tanaman Koefisien Tanaman Pertumbuhan bibit (0 – 15 hari) 0,40

Pertumbuhan vegetatif I (16 – 45 hari) 0,55 Pertumbuhan vegetatif II (31 – 60 hari) 0,70

Pematangan (61 – 75 hari) 0,30

Sumber : PJT II (2001)

Air Untuk Penyiapan Lahan

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan yang tanahnya bertekstur berat tanpa retak-retak adalah setebal 200 mm termasuk untuk penjenuhan dan pengolahan tanah. Di awal proses transplantasi tidak ada lapisan air yang tersisa di sawah. Setelah proses transplantasi berakhir, akan ada penambahan lapisan air di sawah sebesar 50 mm, sehingga total akan setebal 250 mm. Setelah berjalan 2 bulan atau lebih, ketebalan air yang diperlukan untuk penyiapan adalah 300 mm termasuk 50 mm untuk penggenangan setelah transplantasi (DPU 1986).

Metode van de Goor dan Ziljstra dalam DPU (1986) dipakai untuk perhitungan kebutuhan irigasi pada saat penyiapan lahan. Perhitungan berdasarkan laju air konstan dalam l.dtk-1 selama waktu penyiapan lahan dan dirumuskan sebagai berikut:

) 1 /( − =Mek ek

IR /3/

dimana:

IR = kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm hari-1)

M = kebutuhan air untuk mengganti / mengkompensasi kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan (mm hari-1)

(33)

k = MT/S

T = jangka waktu penyiapan lahan (hari)

S = kebutuhan air, untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50 mm, yakni 200 mm + 50 mm = 250 mm

Sedangkan untuk tanaman palawija, kebutuhan air untuk penyiapan lahannya bervariasi mulai dari 50 mm hingga 100 mm. Bila penyiapan lahan untuk palawija dilakukan segera setelah panen padi, pemberian air pada saat awal adalah setebal 50 mm (DPU 1986).

Perkolasi

Adanya pergerakan vertikal air yang berasal dari sawah ke sistem air tanah menyebabkan kehilangan air bagi tanaman. Hal ini disebut dengan perkolasi. Sedangkan kehilangan air yang disebabkan oleh adanya lubang-lubang hewan pengerat atau retakan-retakan alami disebut dengan seepage atau rembesan (PLPDH 1991).

Sifat tanah yang berbeda menyebabkan laju perkolasi berbeda antara satu tempat dengan lainnya. Laju perkolasi dapat mencapai 1 sampai 3 mm/hari untuk tanah lempung berat dengan karakteristik pengolahan yang baik. Makin ringan tanahnya, makin tinggi laju perkolasinya (DPU 1986).

Besarnya kehilangan air akibat proses perkolasi dan rembesan yang tergantung pada tekstur tanah dan kemiringan lahan disajikan pada Tabel 5. Kelas kemiringan 1 adalah untuk kelas fisiografik 1 dan 2 pada Tabel 6. Kelas kemiringan 2 adalah untuk kelas fisiografik 3, 4, dan 5.

Berdasarkan SK Direksi Perum Jasa Tirta II No:1/401/KPTS/2001, nilai perkolasi per periode (mm/hari) untuk musim tanam padi rendeng adalah 3,5; 3,0; 3,0; 3,0; 2,5; 2,0; 1,5; 1,5, dan untuk musim tanam padi gadu adalah 3,5; 3,0; 3,0; 2,5; 2,0; 1,5; 1,5.

Tabel 5. Hubungan tekstur, kemiringan dan perkolasi

Tekstur Kelas Tekstur Kelas Kemiringan (%) Kehilangan (mm hari-1)

(34)

2 2,5 – 3,0

Medium 2 1

2

3,0 4,0

Coarse 1 5,0

Sumber : PLPDH (1991)

Tabel 6. Kelas fisiografik lahan Kelas fisiografik Penjelasan

1 Datar

2 Berombak

3 Berombak – bergelombang

4 Bergelombang / bergelombang berbukit 5 Berbukit / berbukit pegunungan

Sumber : PLPDH (1991)

Pemenuhan Kebutuhan Air Tanaman

Pemenuhan kebutuhan air tanaman secara umum berasal dari berbagai sumber. Air hujan merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Dengan jumlah air hujan yang sesuai dengan jumlah kebutuhan air tanaman, tidak diperlukan tambahan air dari sumber lainnya. Akan tetapi, apabila jumlah air hujan tidak dapat memenuhi kebutuhan air tanaman, diperlukan sumber air lainnya seperti dari sungai atau dari dalam tanah (Brouwer & Heibloem 1986). Air yang berasal dari sumber selain air hujan memerlukan saluran irigasi baik tertutup atau terbuka agar dapat disalurkan menuju lahan tempat tanaman dibudidayakan.

Sistem Irigasi

(35)

(drainase). Keseluruhan komponen tersebut berfungsi untuk menyalurkan air dari sumbernya ke lahan budidaya tanaman yang dilayani oleh saluran irigasi.

Irigasi Permukaan

Irigasi permukaan adalah pemberian air terhadap permukaan sawah dan ladang dengan menggunakan arus air permukaan bebas dan gaya gravitasi bumi. Ada 2 macam irigasi permukaan yaitu irigasi alur dan irigasi basin. Irigasi permukaan yang terjadi pada lahan persawahan terdiri dari 4 tahapan seperti tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahap perjalanan air menurut durasi pada irigasi permukaan

(36)

Irigasi Basin

Irigasi basin merupakan salah satu bentuk irigasi permukaan (Brouwer & Heibloem 1986). Basin merupakan bidang tanah yang datar dan dibatasi oleh gundukan tanah panjang disebut dengan tanggul. Fungsi dari tanggul ini untuk mencegah air mengalir ke ladang di sekitarnya. Irigasi basin umumnya digunakan untuk menanam padi pada tanah datar atau pada teras-teras di lereng perbukitan. Secara umum, metode irigasi basin cocok untuk tanaman yang tidak terpengaruh oleh adanya genangan air untuk jangka waktu yang lama. Penggenangan air pada irigasi basin dimaksudkan untuk :

• mencukupi kebutuhan air oleh tanaman padi

• menjenuhkan tanah sehingga tanaman pengganggu tidak dapat hidup.

Tidak banyak tanaman ataupun tanah yang cocok untuk irigasi basin. Brouwer et al. (1990) menyatakan metode irigasi tersebut umumnya cocok untuk tanah dengan kecepatan infiltrasi sedang sampai dengan lambat dan tanaman berakar dalam dengan jarak tanam yang dekat. Apabila terlampau banyak air pada permukaan, sistem drainase harus efektif. Untuk pembentukan sawah, tinggi permukaan tanah harus seragam sehingga pemakaian air efisien. Selain itu tanggul harus dipelihara dengan baik untuk menghindari kebocoran dan hama.

Padi merupakan tanaman yang cocok dengan metode irigasi basin. Selain padi, tanaman lain yang cocok misalnya pisang dan tembakau.

Tanah datar merupakan topografi yang cocok untuk menggunakan irigasi basin. Tetapi dimungkinkan juga irigasi tersebut dilakukan pada topografi yang miring seperti lereng bukit dengan membuat terasering.

Tanah yang cocok untuk irigasi basin tergantung pada tanamannya. Padi sangat cocok ditanam di tanah liat karena jenis tanah ini permeabilitasnya rendah sehingga nilai perkolasinya juga rendah. Padi juga dapat ditanam di tanah berpasir akan tetapi nilai perkolasinya tinggi kecuali jika muka air tanahnya cukup tinggi. Kondisi ini dapat terjadi pada tanah yang terletak di dasar suatu lembah. Tanah berpasir tidak direkomendasikan untuk mendapat irigasi basin berhubung tingginya tingkat infiltrasi air sehingga kehilangan akibat perkolasi menjadi tinggi.

(37)

dari kanal (saluran tersier) ke petak sawah melalui siphon, spile atau inlet di pematang sawah. Siphon merupakan pipa penyalur air melewati pematang sawah, sedangkan spile adalah pipa penyalur air yang ditanam di bawah pematang sawah. Metoda ini dapat digunakan untuk kebanyakan tanaman dan cocok untuk hampir semua jenis tanah.

Metoda kaskade dipergunakan pada tanah yang terletak pada lereng bukit sehingga diperlukan penggunaan teras-teras sawah. Pemberian air dilakukan pada teras yang tertinggi untuk kemudian dialirkan menuju teras di bawahnya dan seterusnya. Metoda ini baik untuk tanaman padi yang ditanam pada tanah liat dimana tingkat perkolasi dan rembesannya rendah. Akan tetapi untuk tanaman lain yang ditanam pada tanah berpasir, kehilangan air aki bat perkolasi menjadi tinggi pada saat air mengalir dari teras yang lebih tinggi ke teras yang lebih rendah.

Dengan menggunakan metoda kaskade, air dialirkan secara terus-menerus (continuous) ke teras-teras dengan debit rendah. Kebutuhan air dalam metode kaskade dimonitor berdasarkan air buangan pada drainasenya. Bila tidak terdapat air drainase maka ada kemungkinan air dibutuhkan pada teras-teras sawah tersebut. Bila terdapat air drainase, maka ada kemungkinan untuk mengurangi jumlah pemberian air.

Irigasi Alur

Irigasi alur merupakan bentuk lain dari irigasi permukaan. Alur merupakan kanal kecil yang mengalirkan air secara gravitasi diantara barisan tanaman. Air akan masuk ke dalam tanah secara vertikal dan horizontal pada saat air mengalir melalui alur tersebut. Tanaman ditanam pada bagian puncak diantara kanal. Metode ini cocok untuk hortikultura dan tanaman yang tidak perlu digenangi oleh air selama pertumbuhannya.

(38)

Pemberian air irigasi dilakukan dari saluran tersier ke dalam alur melewati

inlet dari pematang atau dengan menggunakan siphon atau spiles.

Irigasi Teknis, Semi Teknis dan Non-Teknis (Sederhana)

Jenis irigasi dibagi menjadi 3 yaitu irigasi teknis, semi teknis dan non-teknis. Irigasi teknis merupakan irigasi yang telah mempunyai alat pembagi (pengatur) air atau box bagi, alat pengukur debit air dan konstruksi saluran permanen. Irigasi semi teknis adalah irigasi yang hanya mempunyai alat pembagi air saja dan konstruksi saluran semi permanen, sedangkan irigasi non teknis adalah irigasi yang tidak mempunyai alat pengukur debit air maupun alat pengatur (pembagi) air dengan konstruksi saluran semi permanen (PPPTP 1993).

Saluran

Saluran air yang langsung mendapat air dari waduk disebut dengan saluran primer. Saluran primer menyalurkan air dari bangunan penyuplai ke saluran sekunder. Saluran primer dan sekunder merupakan kanal-kanal ke seluruh sistem irigasi. Struktur kanal ini diperlukan untuk pengaturan (pembagian) dan pengukuran debit air. Bentuk kanal bermacam-macam antara lain trapezoidal, segi empat, segi tiga maupun bentukan alam. Bentuk yang paling umum adalah trapezoidal. Sistem distribusi membagi air dari saluran sekunder ke sistem pemberian air (saluran tersier). Saluran tersier akan menyalurkan air ke masing-masing petak sawah atau ladang. Sistem drainase akan membuang kelebihan air (dari hujan dan atau irigasi) dari sawah atau ladang.

Sistem Drainase

(39)

ke selokan yang lebih besar sampai ke pembuangan air (sungai, rawa). Untuk menjamin agar air drainase dapat mengalir maka struktur drainase dibuat secara menurun.

Apabila tempat pembuangan bukan berupa sungai ataupun rawa, maka harus dibuat suatu bak penampungan pada tempat yang lebih rendah. Sedangkan selokan yang digunakan untuk mengalirkan air dalamnya dibuat ± 20 cm atau sampai pada lapisan keras dan bentuknya dibuat seperti huruf V. Hal ini mudah dikerjakan dan mudah dalam pemeliharaannya. Hanya karena permukaan yang sering ditumbuhi rumput-rumputan maka biaya pemeliharaan bisa menjadi mahal. Bila tidak dibersihkan akan menyebabkan endapan yang menghambat aliran air (Suhardi 1983).

Curah Hujan

Tanaman membutuhkan air untuk tumbuh dan berproduksi. Tanaman tertentu membutuhkan air dengan jumlah lebih banyak untuk pertumbuhannya dibandingkan dengan tanaman lainnya. Sumber utama air untuk pertumbuhan tanaman adalah hujan. Saat musim kemarau, diperlukan penambahan air irigasi untuk menjamin produksi yang baik. Bila curah hujan mencukupi kebutuhan tanaman akan air, irigasi tidak diperlukan. Salah satu permasalahan petani adalah bagaimana mengetahui berapa banyak air yang dibutuhkan oleh tanamannya. Inilah yang disebut kebutuhan air irigasi. Terlalu banyak air yang diberikan berarti dapat terjadi pemborosan air, kenaikan muka air tanah dan daerah perakaran menjadi jenuh (saturated). Apabila terlampau sedikit air yang diberikan akan berakibat tanaman menjadi layu dan produksi tanaman berkurang.

Selain hujan, tanaman juga membutuhan faktor-faktor iklim seperti sinar matahari, suhu, angin, dan kelembaban sebagai syarat pertumbuhannya. Tanaman membutuhkan air lebih banyak saat kelembaban udara rendah dan saat udara berangin. Pengaruh iklim ter hadap kebutuhan air tanaman ditunjukkan pada Tabel 7.

(40)

Faktor Iklim Tinggi Rendah Sinar Matahari Cerah (tidak berawan) Berawan

Suhu Panas Dingin

Kelembaban Kering (rendah) Lembab (Tinggi)

Angin Banyak angin Sedikit angin

Sumber: Brouwer dan Heibloem (1986)

Bila dilakukan pengamatan pada musim kemarau, kadang-kadang terlihat tanaman ada yang kering dan layu. Keringnya tanaman disebabkan oleh suhu yang tinggi, sedangkan tanaman yang layu disebabkan oleh kekurangan air. Sebaliknya pada musim hujan, sering terdapat tanaman yang kerdil dan berbuah sedikit atau tidak berbuah sama sekali. Hal ini disebabkan zat humus tidak dapat diserap karena larut oleh air hujan. Kadang-kadang tanaman bisa tumbang yang disebabkan oleh angin dan curah hujan yang terlampau besar (Suhardi 1983).

Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi dipergunakan untuk memperkirakan besarnya curah hujan yang akan terjadi berdasarkan frekuensi terjadinya hujan pada waktu sebelumnya. Data yang dibutuhkan adalah frekuensi dan besarnya kejadian hujan di daerah tersebut minimal selama 10 tahun.

Dalam analisis frekuensi dikenal istilah probabilitas terandalkan (exceedence probability) dan masa ulang (return period atau recurrence interval). Pengertian masing-masing istilah dijelaskan sebagai berikut (Critchley et al. 1991):

• Probabilitas terandalkan (Exceedence Probability)

Probabilitas terjadinya suatu event yang sama atau lebih besar (kualitas atau kuantitas) dalam suatu periode waktu tertentu. Denga n menggunakan probabilitas terandalkan ini, besarnya kemungkinan frekuensi kejadian hujan atau event lainnya dengan jumlah yang sama atau lebih besar dalam periode tertentu dapat diketahui.

(41)

Frekuensi suatu kejadian juga dapat diekspresikan dengan istilah masa ulang, return period atau recurrence interval yang didefinisikan sebagai lama waktu rata-rata antara dua kejadian dengan magnitude yang sama atau lebih besar. Rumus masa ulang adalah

Masa Ulang = 1 / Probabilitas terandalkan /4/ Contoh : bila probabilitas terandalkan suatu debit air irigasi dengan

magnitude 20 m3 dtk-1 adalah sebesar 80%, maka lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali mendapatkan debit air irigasi sebesar 20 m3/dtk-1 adalah 1 / 0,8 = 1,25 tahun

Untuk mendapatkan besaran probabilitas terandalkan dibutuhkan data kejadian dalam waktu tertentu misalnya data hujan untuk bulan Maret dan dalam rentang waktu jumlah tahun tertentu. Sifat data tersebut juga harus disesuaikan dengan rencana disain sistem yang diinginkan.

Sebagai contoh : panitia irigasi akan menetapkan jadwal irigasi di daerah irigasi Jatiluhur. Untuk itu panitia irigasi harus memperhitungkan ketersediaan air untuk tanaman dalam jumlah minimum dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan data mengenai ketersediaan air dalam jumlah yang minimum pada waktu tertentu. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah ketersediaan air pada jangka waktu tertentu. Data kemudian diolah dengan menggunakan analisis frekuensi untuk mengetahui probabilitas kejadiannya. Metoda yang dipakai antara lain adalah metoda distribusi normal, distribusi log normal, distribusi Gumbell dan distribusi Log Pearson Type III.

Tahapan Analisis Frekuensi

(42)

Langkah berikutnya adalah mengurutkan data curah hujan mulai dari curah hujan yang terbesar sampai dengan curah hujan terkecil. Kemudian dilakukan penghitungan probabilitas (P dalam %) kejadian dari tiap data dengan rumus (Critchley et al. 1991)

25 , 0 375 , 0 + − = N m P /5/ dimana:

P = probabilitas dari data dengan urutan m

m = urutan data

N = total data yang diamati

Menurut Reining dalam Brouwer et al. (1992), persamaan untuk menghitung

P di atas direkomendasikan untuk N = 10 sampai 100. Selain itu, beberapa rumus lain untuk menghitung P juga dapat digunakan antara lain :

Rumus Weibull :

1 + =

N m

P /6/

Rumus Gringorten :

12 , 0 44 , 0 + − = N m

P /7/

Plot Distribusi

Langkah berikutnya adalah menggambarkan data pengamatan yang telah diurutkan terhadap probabilitasnya. Proses penggambaran (plotting) menggunakan distribusi tertentu berdasarkan jenis kejadiannya. Bentuk distribusi yang umum digunakan adalah distribusi normal, log-normal, Log Pearson Type III dan Gumbell.

Distribusi Normal

(43)

Pada bidang hidrologi, volume debit bulanan dan tahunan limpasan banyak mengikuti sebaran normal ini (Critchley et al. 1991).

[image:43.612.133.507.213.423.2]

Deviasi yang berada pada bagian pusat kurva merupakan ciri khas dari distribusi normal dan merupakan pendekatan dari banyak kejadian eksperimental. Lebar distribusi normal tergantung pada standar deviasi (s). Gambar 2 menyajikan plot distribusi normal dengan berbagai standar deviasi (Law & Kelton 1991).

Gambar 2. Plot distribusi normal dengan berbagai macam variasi s Distribusi log-normal

Data yang ditemukan pada bidang meteorologi biasanya bersifat non-normal, karena data tersebut lebih banyak mempunyai nilai ekstrem dibandingkan distribusi normal. Akan tetapi distribusi yang mempunyai normal pada parameter logaritmanya akan lebih sesuai dengan hasil pengamatan. Keuntungan lain dari distribusi log-normal adalah selalu bersifat positif, sehingga berguna untuk mewakili kuantitas yang tidak mempunyai nilai negatif. Aplikasi dari distribusi ini antara lain adalah jumlah hujan, distribusi partikel aerosol. Bentuk umum dari distribusi adalah:

(44)
[image:44.612.122.488.149.401.2]

skala linier (Law & Kelton 1991). Bentuk plot berbeda dibandingkan pada kertas grafik logaritma karena perbedaan standar deviasi dan normalisasi.

Gambar 3. Plot distribusi log-normal dengan beberapa nilai standar deviasi

Distribusi Log-Pearson Type III

Prosedur yang dipakai pada distribusi ini adalah merubah data-data menjadi logaritma, kemudian proses penghitungannya adalah (Linsley & Kohler 1982):

Rata-rata :

N X

X log

log = ∑ /8/

Standar deviasi :

(

(

)

)

(

1

)

log

log 2

log

− − ∑

=

n

X X

X

σ /9/

Koefisien Skew :

(

)

3

log 3

) )( 2 )( 1

(n n X

X X n G

σ − −

− ∑

(45)

Nilai X untuk tingkat probabilitas sembarang dihitung sebagai berikut :

X K X

X log log

log = + σ /11/

dimana :

K = koefisien dari tabel distribusi log-Pearson type III

Penggunaan distribusi tipe ini dikarenakan distribusi data-data hidrologi sesuai dengan distribusi skew, dimana apabila nilai skew sama dengan 0 maka akan sesuai dengan distribusi log-normal dan distribusi frekuensi kumulatifnya akan diplot sebagai garis lurus.

Distribusi Gumbel

Distribusi Gumbel menggunakan nilai ekstrem dalam memperkirakan terjadinya suatu event. Hal ini dikarenakan untuk setiap tahun terdapat data dengan n=365 dan event tahunan tersebut merupakan event yang mempunyai nilai maksimum dari data. Rumus yang digunakan adalah (Linsley & Kohler 1982):

x

0,45)s (0,7797y

X

X= + − /12/

dimana : X = rata-rata

x

s = standar deviasi

(46)
[image:46.612.134.505.197.440.2]

Apabila menggunakan distribusi normal, dibutuhkan kertas grafik distribusi normal. Kemudian dibuat garis kurva yang dapat menjangkau sedekat mungkin titik-titik plotting pada kertas grafik tersebut. Kurva tersebut dapat berupa garis lurus. Plot titik-titik pengamatan yang telah diurutkan berdasarkan probabilitasnya disajikan pada Gambar 4 (Critchley et al. 1991):

Gambar 4 Plot kurva data pengamatan

Dari Gambar 4 dimungkinkan untuk mendapatkan probabilitas terandalkan dari nilai curah hujan tertentu. Kebalikannya, dimungkinkan pula untuk mendapatkan nilai curah hujan berdasarkan nilai probabilitas tertentu. Dari Gambar 4, curah hujan tahunan dengan probabilitas terandalkan 70% adalah sekitar 350 mm. Untuk probabilitas terandalkan 50%, curah hujan tahunan yang mungkin terjadi adalah sekitar 485 mm.

Masa ulang atau return period (T dalam tahun) dapat diketahui setelah probabilitas terandalkan (P) didapat dengan menggunakan rumus :

P

T =100 /13/

(47)

T67% = 100 / 67 = 1,5 tahun

Jadi untuk curah hujan rata-rata sebesar 371 mm atau lebih besar dapat terjadi pada setiap 2 tahun.

Sedangkan T33% = 100 / 33 = 3 tahun yang berarti curah hujan rata-rata sebesar 531 mm atau lebih besar dapat terjadi setiap 3 tahun.

Untuk penggunaan metode distribusi lainnya seperti log-normal, Gumbell dan Log-Pearson Type III, juga melalui tahapan yang sama dengan satu perbedaan yaitu masing-masing menggunakan kertas grafik sesuai dengan metode yang dipakai.

Curah Hujan Efektif

Curah hujan efektif merupakan bagian dari besarnya curah hujan yang terjadi dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air tanaman. Namun dengan bervariasinya besar curah hujan sepanjang tahun, apalagi dengan datangnya El Nino yang menyebabkan kekeringan, maka dibutuhkan adanya pengairan yang efektif dari jaringan irigasi. Dengan adanya curah hujan, maka sebagian dari keperluan air tanaman baik untuk pengolahan tanah, pengganti genangan, perkolasi dan untuk kebutuhan konsumtif tanaman diharapkan dapat tercukupi. Akan tetapi tidak semua curah hujan akan dapat dimanfaatkan, karena sebagian akan mengalir menjadi air limpasan permukaan, maka hanya curah hujan efektif saja yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya.

(48)

tergantung pada curah hujan, topografi, sistem penanaman dan fase pertumbuhan (Oldeman & Syarifudin, 1977).

Nilai curah hujan andalan (CHA) 80% dihitung menggunakan analisis frekuensi dan plotting position Gringorten. Nilai curah hujan andalan 80% selanjutnya digunakan untuk perhitungan curah hujan efektif (RE) dengan menggunakan formula hujan efektif sebagai berikut (Brouwer, et al. 1989):

RE = (0,8CHA – 25) jika CHA > 75 (mm hari-1) /14/

RE = (0,6CHA – 10) jika CHA≤ 75 (mm hari-1) /15/

Tabel 8 me nyajikan nilai hujan efektif (RE) berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Jasa Tirta II No : 1/401/KPTS/2001 untuk wilayah pengamat Cikarang yang masuk dalam divisi Barat.

Tabel 8. Hujan efektif (RE)

Periode RE (mm hari-1) Periode RE (mm hari-1)

Okt1 1,30 Apr1 2,90

Okt2 2,01 Apr2 2,50

Nop1 2,25 Mei1 2,10

Nop2 2,60 Mei2 1,80

Des1 2,76 Jun1 1,50

Des2 3,00 Jun2 1,36

Jan1 3,20 Jul1 1,28

Jan2 3,35 Jul2 1,28

Peb1 3,45 Agt1 1,30

Peb2 3,50 Agt2 1,40

Mar1 3,45 Sep1 1,50

Mar2 3,20 Sep2 1,65

Sumber : PJT II (2001)

(49)

rendeng, dan dimulainya musim tanam gadu. Sedangkan curah hujan minimum terjadi pada periode Jul 1 dan Jul2 sebesar 1,28 mm hari-1.

Efisiensi Irigasi

Untuk menyatakan besarnya prosentase air irigasi yang dapat digunakan secara efisien dan besarnya prosentase kehilangan air dipergunakan istilah efisiensi irigasi. Efisiensi irigasi (E dalam %) merupakan bagian dari air yang dipompa atau disalurkan melalui inlet saluran air (kanal) yang dapat dipergunakan secara efektif oleh tanaman. Efisiensi irigasi dibagi menjadi dua yaitu :

- efisiensi penyaluran (Ec) yang menyatakan efisiensi penyaluran air di saluran air, dan

- efisiensi pemberian air (Ea) yang menyatakan efisiensi pemberian air di sawah/ladang

Efisiensi penyaluran (Ec) umumnya tergantung kepada panjang saluran air, jenis tanah atau permeabilitas dari pinggiran kanal dan kondisi dari kanal tersebut. Pada daerah irigasi yang luas akan lebih banyak kehilangan air dibandingkan daerah irigasi yang lebih kecil, dikarenakan sistem saluran air yang lebih panjang. Untuk kanal dengan tanah berpasir kenilangan air akan lebih banyak dibandingkan dengan tanah liat. Bila tepian kanal dilapisi semen cor, plastik atau batuan, kehilangan air tidak akan terlampau banyak. Jika pemeliharaan kanal tidak secara baik, pinggiran kanal pecah dan banyak lubang hewan, akan terjadi banyak kehilangan air.

Tabel 9 menggambarkan nilai indikasi dari efisiensi penyaluran dengan mempertimbangkan panjang kanal dan jenis tanah dimana saluran air tersebut dibuat. Tingkat pemeliharaan tidak diperhitungkan dalam tabel ini akan tetapi

pemeliharaan yang buruk akan menurunkan nilai efisiensi sebesar ±50%.

Tabel 9. Nilai indikasi efisiensi penyaluran dengan tingkat pemeliharaan baik Tipe Tanah

Panjang saluran Pasir Loam Liat

Kanal dilapisi semen, plastik atau bebatuan

(50)

Sumbe

Gambar

Tabel 3. Nilai Kc untuk  tanaman palawija
Gambar 2.  Plot distribusi normal dengan berbagai macam variasi s
Gambar 3. Plot distribusi log-normal dengan beberapa nilai standar deviasi
Gambar 4  Plot kurva data pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Multazam Wisata Agung Cabang Pekanbaru dalam meningkatkan jumlah jamaah haji dan umrah adalah sesuai dengan prinsip-prinsip dalam etika Ekonomi Islam seperti

Sejak berdiri tahun 1980, dengan dukungan penuh dari mitra usaha baik perusahaan swasta, BUMN dan pemerintahan membuat Scomptec dapat tumbuh dan berkembang

Sejauh ini, sekalipun komposisi asam-asam lemak dari CBE telah cenderung sama, akan tetapi para peneliti masih belum mampu menghasilkan lemak cokelat ekivalen dengan

Penelitian dilakukan pada 31 responden yang bekerja sebagai pembimbing praktikum (dosen dan Pranata Laboratorium) di PSIK UR Pengolahan data menunjukkan hasil

Ketua Majelis setelah menerima berkas perkara tersebut, bersamasama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara. Ketua kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam

Setelah berubahnya pendekatan ideologi ke pendekatan ekonomi dalam hubungan dan politik internasional ditambah dengan kemajuan di bidang teknologi, komputer, dan

Kalimat motivasi merupakan salah satu cara pemimpin untuk memberikan dorongan kepada karyawan agar bekerja sesuai dengan target yang diinginkan.. Motivasi dalam bentuk

Sedangkan Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan untuk 5 tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala