• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Toleransi Dasar Lalat Buah terhadap Temperatur Tinggi Perbandingan antar Stadia

Analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan stadia berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat mortalitas lalat buah (Lampiran 1 dan 2). Hal ini menunjukkan bahwa stadia telur dan larva lalat buah mempunyai toleransi yang berbeda terhadap temperatur tinggi. Loganathan et al. (2011) menyebutkan bahwa ketahanan serangga terhadap panas ditentukan oleh spesies, posisi di inang, kombinasi suhu dan waktu paparan, serta stadia perkembangan serangga.

Tabel 6 Mortalitas B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44oC

Spesies Stadia

hidupa

Mortalitas terkoreksi (%) pada lama perendaman (menit)b 0 5 10 15 20 B. papayae Telur 0 a 1.25 b 13.00 a 12.50 b 21.78 c L-1 0 a 44.21 a 50.41 a 50.41 a 75.20 ab L-2 0 a 12.97 b 31.73 a 26.18 ab 61.66 b L-3 0 a 19.44 b 42.04 a 46.30 a 100.00 a B. carambolae Telur 0 a 18.14 a 20.64 b 13.92 b 27.90 b L-1 0 a 44.08 a 73.78 a 92.31 a 89.74 a L-2 0 a 10.09 a 28.87 b 29.15 b 75.32 a L-3 0 a 30.92 a 47.72 ab 84.31 a 96.39 a

a L-1=larva instar pertama, L-2=larva instar kedua, L-3=larva instar ketiga.

bUntuk tiap spesies, angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey. α = 0.05).

Hasil pengujian perendaman air panas memperlihatkan bahwa stadia yang paling toleran terhadap panas adalah telur. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat mortalitas telur yang lebih rendah dibandingkan dengan stadia lain, baik pada B.

papayae maupun B. carambolae. Mortalitas tertinggi telur dicapai pada

perendaman 20 menit. Selama perendaman tersebut, mortalitas telur B. carambolae adalah 27.9%, sedangkan B. papayae 21.78% (Tabel 6). Hasil ini sejalan dengan pernyataan Armstrong et al. (2009) bahwa stadia telur merupakan stadia yang toleran terhadap panas pada beberapa spesies dalam genus Bactrocera, seperti: B. cucurbitae, B. dorsalis, B. latifrons, B. melanotus, B. passiflorae, B. tryoni, B. xanthodes, dan B. facialis.

Gambar 9 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur dan berbagai instar larva

B. papayae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44oC.

Gambar 10 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur dan berbagai instar larva

B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur

44oC.

Lama perendaman juga berpengaruh nyata dalam menentukan tingkat toleransi antar stadia. Pada perendaman 5 sampai 15 menit, toleransi stadia telur dan larva masih belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun setelah perendaman 20 menit terlihat stadia hidup yang paling toleran adalah telur.

y = 0,010x2+ 0,879x - 0,712 R² = 0,913 y = -0,128x2+ 5,705x + 6,292 R² = 0,868 y = 0,059x2+ 1,547x + 2,161 R² = 0,881 y = 0,143x2+ 1,669x + 3,354 R² = 0,942 0 20 40 60 80 100 0 5 10 15 20 Mo rta li ta s ter k o rek si ( % )

Lama perendaman (menit)

B. papayae

Telur L-1 L-2 L-3 y = -0,050x2+ 2,034x + 3,296 R² = 0,673 y = -0,298x2+ 10,52x - 0,484 R² = 0,998 y = 0,153x2+ 0,328x + 2,410 R² = 0,922 y = -0,051x2+ 5,945x + 0,078 R² = 0,984 0 20 40 60 80 100 0 5 10 15 20 Mo rta li ta s ter k o rek si ( % )

Lama perendaman (menit)

B. carambolae

Telur L-1 L-2 L-3

Grafik tingkat mortalitas stadia larva dan telur B. carambolae dan B. papayae setelah perlakuan temperatur tinggi disajikan pada Gambar 9 dan 10. Pada semua stadia B. papayae yang diamati terlihat bahwa mortalitas semua stadia tidak mencapai 100% untuk perlakuan selama 5, 10, dan 15 menit. Mortalitas 100% baru tercapai pada perendaman air panas selama 20 menit. B.

carambolae menunjukkan mortalitas tertinggi hingga mencapai 96.39% untuk

larva instar ketiga pada perendaman selama 20 menit.

Pemahaman mengenai stadia paling toleran terhadap temperatur tinggi perlu diketahui untuk membuat rancangan pengendalian serangga. Stadia serangga paling toleran digunakan dalam pengujian perlakuan karantina dalam skala luas untuk mendapatkan keamanan karantina terhadap suatu komoditas. Hulasare et al. (2010) menyatakan bahwa stadia paling toleran terhadap panas bervariasi untuk spesies yang berbeda. Bahkan, Davison (1969 dalam Mahroof

et al. 2003) menyebutkan bahwa tingkat kerentanan serangga dapat berbeda

dalam satu stadia hidup yang sama. Stadia paling tahan untuk Plodia

interpunctella dan Tribolium confusum adalah larva akhir, sedangkan telur

merupakan stadia paling toleran Lasioderma serricorne. Pada beberapa penelitian, telur dan larva instar pertama merupakan stadia paling toleran terhadap temperatur tinggi. Hal ini dapat dijumpai pada B. latifrons (Jang et al.

1999), sedangkan B. tryoni dan C. capitata lebih tahan pada stadia telur (Heather

et al. 1997). Sebaliknya, stadia paling toleran terhadap panas Anastrepha ludens

(mexican fruitfly) adalah larva instar ketiga dan telur (Shellie dan Mangan 2002). Gangguan yang terjadi dalam tubuh serangga akibat perlakuan panas dapat bervariasi dalam stadia hidup berbeda. Denlinger dan Yocum (1998) mengemukakan bahwa kematian serangga akibat perlakuan panas terjadi karena denaturasi protein, terganggunya keseimbangan ion di hemolimf, pH, dan aktivitas enzim dalam tubuh. Kemungkinan lainnya adalah kerusakan di lapisan kutikula sehingga tubuh serangga mudah kehilangan air (Hulasare et al. 2010). Moss dan Jang (1991 dalam Jang et al. 1999) menunjukkan adanya pengaruh kekurangan oksigen terhadap mortalitas telur dan larva lalat buah pada perendaman air panas. Dalam uji perendaman air panas, telur diduga secara efisien mampu memanfaatkan oksigen yang tereduksi pada air yang dipanaskan. Hal ini disebabkan tingkat respirasi telur lebih rendah dibandingkan larva sebagaimana dijumpai pada beberapa serangga gudang (Emekci et al. 2001).

Pada perendaman 20 menit terdapat kecenderungan larva instar ketiga menjadi stadia paling rentan. Hasil pengujian di atas memberikan hasil yang sama dengan yang dilakukan oleh Jang et al. (1999) yang menyatakan bahwa larva instar ketiga merupakan stadia paling rentan pada B. latifrons, B. cucurbitae, B. dorsalis, dan C. capitata.

Perbandingan antar Spesies

Analisis ragam B. papayae dan B. carambolae menunjukkan bahwa perbedaan spesies berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat mortalitas lalat buah (Lampiran 3 dan 4). Hal ini sesuai dengan JAFTA (1996) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat toleransi serangga terhadap temperatur tinggi pada spesies dan stadia hidup yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan spesies lalat buah paling toleran memegang peranan penting dalam pengembangan perlakuan karantina (Armstrong et al. 2009).

Tabel 7 Mortalitas terkoreksi larva B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 46o

Lama

perendaman (menit)

C

Telur (%) Larva (%)

B. carambolae B. papayae B. carambolae B. papayae

0 0 0 0 0 2 11.86 4.66 3.66 10.33 4 17.88 11.93 16.03 2.57 6 35.59 14.20 37.00 13.03 8 39.08 19.66 37.91 10.33 10 45.01 27.95 60.53 1.25 12 54.19 34.89 76.65 14.28 14 60.20 36.59 91.21 12.96 16 70.59 46.02 98.72 10.26 18 65.99 46.59 100.00 33.36 20 100.00 67.39 100.00 63.88 Rerata 45.5 a 28.2 b 56.5 a 15.7 b

Berdasarkan perendaman yang dilakukan terhadap telur dan larva B. papayae dan B. carambolae pada air dengan temperatur 46oC didapatkan hasil seperti pada Tabel 7. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa B. papayae lebih toleran terhadap panas dibandingkan dengan B. carambolae. Pada perendaman selama 18 dan 20 menit mortalitas larva B. carambolae mencapai 100%, sedangkan mortalitas tertinggi B. papayae hanya mencapai 63.88%. Pengujian toleransi terhadap panas diantara beberapa spesies lalat buah telah dilakukan, seperti misalnya B. dorsalis lebih toleran daripada B. cucurbitae (JFTA 1996),

serta B. latifrons lebih toleran dibandingkan B. dorsalis, B. cucurbitae, dan C. capitata (Jang et al. 1999).

Gambar 11 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur B. papayae dan B.

carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur

46o

Gambar 12 Grafik perbandingan tingkat mortalitas larva B. papayae dan B.

carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur

46 C.

o

Perbedaan tingkat toleransi antar spesies diduga dipengaruhi oleh perubahan fisiologis pada serangga. Neven (2000) menyebutkan beberapa faktor fisiokimia yang menentukan mortalitas serangga adalah perubahan metabolisme,

C. y = 4,268x + 2,808 R² = 0,952 y = 3,031x - 2,143 R² = 0,965 0 20 40 60 80 100 0 5 10 15 20 Mo rta li ta s ( % )

Waktu perendaman (menit)

Telur B. carambolae Telur B. papayae y = 5,820x - 1,69 R² = 0,959 y = 1,992x - 4,270 R² = 0,519 0 20 40 60 80 100 0 5 10 15 20 Mo rta li ta s ( % )

Waktu perendaman (menit)

Larva B. carambolae

penurunan respirasi, gangguan syaraf, sistem endokrin, dan produksi heat shock protein. Roti Roti (1982 dalam Denlinger dan Yocum 1998) menyatakan bahwa kematian serangga ditandai dengan adanya kerusakan membran plasma yang selanjutnya diikuti terjadinya denaturasi protein. Hal ini mengakibatkan gangguan enzimatis pada DNA. Sel dapat mati apabila DNA mengalami kerusakan yang semakin parah.

Neven (2000) menyatakan bahwa temperatur tinggi dapat menyebabkan gangguan sistem endokrin sehingga berpengaruh terhadap perkembangan dan reproduksi serangga. Hal ini dapat dijumpai pada codling moth yang tingkat fertilitasnya menurun pada paparan temperatur yang makin meningkat. Beberapa contoh lain disebutkan oleh Denlinger dan Yocum (1998) bahwa faktor temperatur menentukan terjadinya abnormalitas, cacat, dan tertundanya perkembangan serangga pada spesies yang berbeda. Beberapa diantaranya adalah telur C. capitata tidak menetas setelah diberi perlakuan panas 46oC selama 63 menit atau larva A. fraterculus gagal mengalami pupasi setelah perlakuan 46.1o

Hasil pengujian menunjukkan bahwa mortalitas larva B. carambolae

mencapai 100% setelah perendaman selama 20 menit pada temperatur 44 - 48

C selama 76 menit.

Heat shock protein atau HSP merupakan polipeptida yang disintesis oleh semua organisme sebagai respon terhadap temperatur tinggi. Sintesis protein ini meningkat seiring dengan peningkatan temperatur hingga mencapai titik tertentu. Menurut Thomas dan Shellie (2000), titik temperatur yang memacu respon produksi HSP bervariasi diantara spesies serangga. Respon HSP diduga sebagai faktor penting yang mengakibatkan semut gurun, C. bicolor, lebih toleran terhadap temperatur tinggi.

Perbedaan toleransi antar spesies serangga mungkin juga dipengaruhi oleh perbedaan struktur kutikula pada beberapa spesies serangga. Neven (2000) menyatakan bahwa kutikula sensitif terhadap perubahan temperatur. Lapisan lilin pada kutikula memegang peranan penting dalam melindungi serangga dari kondisi lingkungan dan mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh. Perlakuan temperatur tinggi diketahui dapat mengubah struktur lilin sehingga mengakibatkan desikasi pada serangga.

Perbandingan Temperatur Bertingkat

o

C. Pada 5 menit perendaman, semua larva mati pada temperatur 48oC. Secara statistik, temperatur 45oC, 46oC, 47oC, dan 48oC menghasilkan mortalitas

yang tidak berbeda nyata. Hal tersebut membuktikan bahwa temperatur ≥ 4 5oC merupakan temperatur kritis yang dapat menyebabkan kematian larva B.

carambolae dalam masa pemaparan panas yang singkat. Apabila dijadikan

model maka hal ini sejalan dengan JFTA (1996) yang menyatakan bahwa perlakuan uap panas banyak diaplikasikan pada temperatur 46 – 47oC terhadap lalat buah.

Tabel 8 Mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44 - 48OC

Lama

perendaman (menit)

Mortalitas terkoreksi (%) pada perendaman temperatur (oC)a 44 45 46 47 48 0 0 a 0 a 0 a 0 a 0 a 5 13.18 b 81.07 a 91.90 a 98.04 a 100.00 a 10 31.65 b 90.24 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 15 78.13 b 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 20 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a a

Gambar 13 Grafik mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44 - 48

Untuk tiap lama perendaman, angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey. α = 0.05).

O

Perbedaan kultivar mangga mempengaruhi tingkat toleransinya terhadap perlakuan panas. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan

C.

anatomi buah, seperti misalnya ketebalan dan komposisi kulit buah (Jacobi et al. 2001). Mangga gedong gincu mengalami penyusutan bobot selama penyimpanan setelah perlakuan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa penyusutan terjadi pada semua perlakuan dan kontrol. Tidak terdapat perbedaan nyata antara buah yang diberi perlakuan dan kontrol. Susut bobot mungkin lebih dipengaruhi oleh pertambahan tingkat kematangan buah. Gowda dan Huddar (2001 dalam Jha et al. 2010) menyebutkan bahwa susut bobot merupakan salah satu parameter fisik yang terjadi pada buah yang semakin matang. Penurunan bobot dapat disebabkan oleh terurainya glukosa menjadi CO2 dan air selama proses respirasi. Susut bobot juga berhubungan dengan tingkat kekerasan buah. Pada tingkat kekerasan yang semakin menurun maka ikatan antarsel makin lemah dan jaraknya merenggang sehingga air bebas dalam buah mudah menguap.

Tingkat kekerasan buah mangga gedong gincu yang diberi perlakuan dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Tabel 9). Hasil tersebut didapatkan setelah 5 hari penyimpanan pada temperatur 13oC. Klein dan Lurie (1990) melaporkan bahwa apel yang diberi perlakuan panas 38oC selama 4 hari memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal sebaliknya dilaporkan oleh Jacobi dan Giles (1997) yang menyatakan mangga varietas kensington yang diberi perlakuan panas lebih lunak dari kontrol. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh panas yang dapat menghambat atau memacu aktifitas enzim dalam mendegradasi dinding sel.

Berdasarkan hasil pengujian kandungan gula, buah kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Kandungan gula mangga tanpa perlakuan adalah 17.64%, sedangkan kandungan gula buah mangga yang diberi perlakuan panas 45oC, 47oC, dan 49oC masing-masing 17.36%, 17.38%, dan 17.86%. Jacobi et al. (2001) menyatakan bahwa perlakuan panas secara umum tidak memberikan pengaruh yang nyata dalam perubahan kandungan gula pada mangga. Hal ini telah dibuktikan oleh Jacobi dan Giles (1997) terhadap mangga Kensington yang diberi perlakuan uap panas 47o

Warna juga biasa digunakan konsumen untuk menilai buah yang akan dikonsumsi. Pada Tabel 9, Lab color space (CIELAB) menunjukkan bahwa nilai C selama 15 menit. Namun demikian, selama proses pematangan terjadi peningkatan kandungan gula. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan pati oleh enzim amilase dalam buah menjadi gula yang digunakan sebagai energi dalam respirasi. Warna kulit buah merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam menilai kualitas buah.

warna kulit mangga antar perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata. Perbedaan nyata hanya ditunjukkan oleh nilai a antara kontrol dan perlakuan 49o

Parameter pengamatan

C pada 5 hari setelah perlakuan. Terdapat kecenderungan bahwa nilai a dan b semakin besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa warna kulit buah cenderung berubah menjadi warna kuning dan merah. Menurut Rathore et al. (2007), pemudaran warna hijau pada kulit buah disebabkan oleh terdegradasinya klorofil dan adanya pembentukan karotenoid. Pigmen karoten merupakan pigmen yang penampakannya tertutup oleh klorofil. Apabila klorofil mengalami degradasi selama pematangan maka pigmen karoten nampak dan kulit buah berwarna kuning.

Tabel 9 Perbandingan bobot buah, kandungan gula, tingkat kekerasan, dan perubahan warna buah mangga gedong gincu terhadap perlakuan panas Kontrol a 45 oC 47 oC 49 oC Bobot buah (g) Sebelum 201.96 a 203.08 a 206.04 a 213.90 a

1 hari setelah perlakuan 200.66 a 200.68 a 203.90 a 211.64 a 5 hari setelah perlakuan 197.76 a 197.58 a 200.86 a 208.16 a Tingkat kekerasan (kg) 0.30 a 0.27 a 0.26 a 0.31 a

Kandungan gula (%) 17.64 a 17.36 a 17.38 a 17.86 a

Warna (L)

Sebelum 59.72 a 57.88 a 57.3 a 59.06 a

1 hari setelah perlakuan 57.94 a 59.02 a 58.92 a 58.82 a 5 hari setelah perlakuan 55.86 a 59.3 a 59.36 a 58.28 a Warna (a)

Sebelum 23.83 a 22.67 a 23.3 a 20.58 a

1 hari setelah perlakuan 27.45 a 23.52 a 24.65 a 21.69 a 5 hari setelah perlakuan 31.51 a 27.19 ab 26.53 ab 23.97 b Warna (b)

Sebelum 42.27 a 45,11 a 44.14 a 43.35 a

1 hari setelah perlakuan 49.72 a 52,14 a 49.97 a 48.02 a 5 hari setelah perlakuan 54.06 a 54.24 a 56.59 a 51.03 a

aUntuk tiap parameter pengamatan, angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji Tukey. α = 0.05).

Berdasarkan uji khi-kuadrat pada tingkat kepercayaan 95% diketahui bahwa panelis tidak dapat membedakan secara nyata antara buah mangga gedong gincu perlakuan dan kontrol. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 6. Hasil pengujian ini sejalan dengan hasil percobaan Jacobi dan Giles (1997) yang menyatakan bahwa perlakuan panas 47oC selama 15 menit tidak mempengaruhi rasa buah mangga Kensington.

Uji Disinfestasi Lalat Buah dengan Uap Panas

Perlakuan uap panas dilakukan di mesin perlakuan uap panas skala laboratorium (Sanshu EHK-1000D). Pada mesin tersebut uap air dialirkan dan disirkulasikan oleh kipas yang ada di dalam chamber sehingga memungkinkan temperatur semua buah meningkat secara seragam. Mesin membutuhkan waktu 30 menit untuk menaikkan temperatur dari 30oC ke 60o

Gambar 14 Fasilitas perlakuan uap panas skala laboratorium Sanshu model EHK 1000D.

Mesin perlakuan dilangkapi dengan sensor temperatur digunakan untuk mengukur kondisi temperatur chamber perlakuan dan pusat buah mangga. Temperatur dan kelembaban relatif udara di dalam chamber perlakuan dideteksi oleh sensor dry-bulb dan wet-bulb. Temperatur pusat buah mangga diukur dengan sensor khusus untuk buah. Sensor ditempatkan secara longitudinal dalam buah sehingga ujung sensor sedapat mungkin berada di tengah buah mangga gedong gincu. Semua sensor dikalibrasi sebelum digunakan dalam pengujian.

Informasi waktu yang diperlukan buah mangga gedong gincu mencapai temperatur target sangat penting. Oleh karena itu, digunakan probe sensor untuk mendeteksi temperatur pusat buah mangga selama perlakuan. Bagian tengah buah atau permukaan biji buah merupakan bagian buah yang memerlukan waktu paling lama untuk mencapai temperatur target. Temperatur buah yang ingin dicapai dalam pengujian adalah 45.5

C pada kondisi chamber

tanpa muatan.

o

C, 46oC, dan 46.5oC dengan temperatur

chamber 47.5o

Perubahan temperatur udara di chamber dan buah mangga gedong gincu selama perlakuan uap panas ditunjukkan pada Gambar 15. Udara dalam

chamber mencapai temperatur target 47.5oC setelah 30 menit. Lama waktu yang diperlukan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan kualitas mesin. Pada menit ke-12 sampai 27, temperatur chamber akan melampaui target hingga 48.5oC sebelum akhirnya stabil di 47.5oC. Kelembaban relatif (RH) mencapai lebih dari 95% selama kurang lebih 40 menit. Selanjutnya RH dipertahankan tetap di atas 95% selama periode perlakuan.

Temperatur buah lebih lambat naik dan mencapai 45.5oC pada menit ke-87, 46oC pada menit ke-102, dan 46.5oC pada menit ke-129. Peningkatan temperatur di permukaan biji buah mangga relatif lambat saat memasuki kisaran 46oC – 47oC. Peningkatan temperatur antara 0.1 – 0.2o

Gambar 15 Perbandingan kenaikan antara temperatur chamber VHT dan buah mangga gedong gincu selama perlakuan uap panas.

Setelah perlakuan, dilakukan pendinginan dengan udara yang dialirkan kipas angin. Penurunan temperatur buah memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai temperatur ruang yang konstan. Pendinginan dengan air memerlukan waktu yang lebih singkat namun berisiko. Hal ini dikarenakan serangga mungkin belum terbunuh di dalam buah selama perlakuan sehingga pendinginan dalam jangka waktu lebih panjang justru diperlukan (JFTA 1996).

C dalam periode 10 menit.

Mortalitas B. carambolae mencapai 100% pada semua variasi waktu pada perlakuan uap panas 46.5oC. Hal ini ditunjukkan pada stadia larva maupun telur (Tabel 10). Hasil tersebut menunjukkan adanya kemungkinan temperatur di

0 10 20 30 40 50 0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 Te m pe ra tur ( oC) Waktu (menit) Chamber VHT Buah

bawah 46.5oC yang dapat digunakan untuk mengendalikan B. carambolae. Jacobi et al. (1993;1996) telah membuktikan keefektifan perlakuan uap panas 45oC selama 30 menit terhadap B. tryoni pada leci dan B. cucumis pada zucchini. Tabel 10 Tingkat mortalitas telur dan larva B. carambolae terhadap perlakuan

uap panas 46.5o Perlakuan C Mortalitas terkoreksi (%) a b Telur Larva 46.5oC (10 menit) 100 a 100 a 46.5oC (5 menit) 100 a 100 a 46.5oC (0 menit) 100 a 100 a Kontrol 0 b 0 b

aWaktu (dalam menit) adalah waktu tunggu setelah dicapainya temperatur 46.5oC. bAngka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey. α = 0.05).%.

Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah serangga yang bertahan hidup mengalami penurunan seiring peningkatan temperatur perlakuan. Pada temperatur 46.5oC tidak ditemukan serangga hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengujian pada Tabel 10 dimana serangga secara keseluruhan mati pada temperatur 46.5oC. Hasil pengujian juga sejalan dengan yang dilakukan terhadap

B. dorsalis pada buah mangga Nang Klarngwan dari Thailand dimana perlakuan

uap panas yang efektif dilakukan pada temperatur 46.5oC selama 10 – 30 menit (JFTA 1996). Hasbullah et al. (2009) juga menyatakan bahwa perlakuan uap panas 46.5oC selama 10-30 menit efektif membunuh telur B. dorsalis. Hasil ini menunjukkan bahwa lalat buah kelompok B. dorsalis complex memberikan respon hampir sama terhadap perlakuan uap panas.

Tabel 11 Tingkat mortalitas telur dan larva B. carambolae terhadap perlakuan uap panas 45.5oC - 46.5o Perlakuan C Mortalitas terkoreksi (%)a Telur Larva 46.5oC 100 a 100 a 46oC 99.47 a 99.42 a 45.5oC 88.01 b 96.53 a Kontrol 0 c 0 b a

Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey. α = 0.05).%.

Beberapa faktor turut mempengaruhi perbedaan tingkat mortalitas serangga terhadap perlakuan uap panas. Salah satunya faktor posisi serangga di buah (Corcoran et al. 1993). Posisi telur yang berada di dekat kulit buah seharusnya terpapar panas lebih tinggi dibandingkan larva yang berada di bagian buah yang lebih dalam. Namun hasil pengujian menunjukkan bahwa mortalitas telur dan larva tidak berbeda pada perlakuan uap panas 46.5o

Gambar 16 (a) Larva yang mati akibat perlakuan uap panas; (b) Larva hidup pada kontrol.

Dalam pengujian skala luas, kondisi perlakuan yang digunakan untuk memenuhi keamanan karantina adalah temperatur kritis yang mampu membunuh 100% serangga target. Oleh karena itu, temperatur yang direkomendasikan untuk pengujian skala luas adalah 46.5

C. Bahkan mortalitas larva lebih tinggi dibandingkan dengan telur. Hal tersebut membuktikan penyebaran panas berlangsung secara cepat di seluruh bagian buah mangga gedong gincu sehingga faktor ekstrinsik tersebut dapat diabaikan.

o

C. Hal ini dikarenakan mortalitas 100% serangga pada perlakuan 46.5o

Perlakuan karantina umumnya dikembangkan untuk mendisinfestasi suatu OPTK tertentu pada suatu komoditas tertentu secara spesifik. Perlakuan juga harus merupakan kondisi yang seimbang dalam membunuh serangga dan C mungkin diakibatkan oleh muatan chamber

yang tidak penuh sehingga aliran uap panas lebih mudah menjangkau seluruh buah. Pada skala komersial, buah mangga dalam jumlah besar di chamber akan menghasilkan area yang lebih padat sehingga aliran uap lebih terhambat (Mangan dan Ingle 1992 dalam Heather et al. 1997). Pada kondisi tersebut diperlukan temperatur lebih tinggi atau waktu perlakuan yang lebih lama untuk mampu membunuh semua serangga. Pada pengujian skala luas digunakan serangga uji sebanyak minimal 93,162 serangga uji untuk mampu memenuhi Probit 9 atau 99.9968% mortalitas (Follet dan Neven 2006).

b

a

meminimalkan penurunan kualitas buah akibat perlakuan (Lurie 1998). Perlakuan karantina sangat penting, terutama terhadap serangga yang berkembang dalam jaringan buah (internal feeder), termasuk lalat buah. Hal ini disebabkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam pemeriksaan terhadap komoditas yang terinfestasi (Follett 2004). Oleh karena itu, perlakuan uap panas dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengembangkan teknik disinfestasi lalat buah, sekaligus sebagai pendukung akselerasi ekspor buah lokal ke pasar internasional.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait