AULIA NUSANTARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Disinfestasi Telur dan Larva Lalat Buah pada Buah Mangga Gedong Gincu (Mangifera indica) dengan Teknik Perlakuan Uap Panas” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2012
Aulia Nusantara
i
ABSTRACT
AULIA NUSANTARA. Fruitfly Eggs and Larvae Disinfestation in Gedong Gincu Mango (Mangifera indica) by Vapor Heat Treatment Technique. Under direction of IDHAM SAKTI HARAHAP and I WAYAN WINASA.
The presence of fruitfly belongs to genus Bactrocera is the main problem of Indonesia’s program to export fresh mango. Subsequently, vapor heat treatment as one among suitable quarantine treatment methods had been developed to disinfest fruitfly in mango. This research was conducted with certain objectives such as: to observe thermotolerance of fruitfly against high temperature, to evaluate effect of treatment to the gedong gincu mango quality, and to determine the most effective level of vapor heat treatment that can be used to disinfest B. carambolae at laboratory scale. According to hot water dipping test, egg was the most tolerant stage, either on B. carambolae or B. papayae. In addition, eggs and larvae of B. papayae were more tolerant than those of B. carambolae at 46oC. While, increased temperatur comparison test show that mortality rate of B. carambolae larvae reach 100% after 20 minutes at 44ºC to 48ºC. On the other hand, all larvae were killed after 5 minutes treatment at 48ºC. There were no significant differences between treated and untreated gedong gincu mango in term of firmness, weight loss, peel color, sugar content and taste until 5 days after treatment at 45oC to 49oC. In laboratory scale, mortality of B. carambolae reach 100% at 46.5oC vapor heat on various holding time. This result show that vapor heat treatment at 46.5oC effectively killed eggs and larvae of B. carambolae. However, reducing the temperature might be effective if exposure time is prolonged. In the future, it is recommended to conduct large scale test for vapor heat treatment at 46.5o
Keywords : fruitfly, gedong gincu mango, vapor heat treatment
ii
RINGKASAN
AULIA NUSANTARA. Disinfestasi Telur dan Larva Lalat Buah pada Buah Mangga Gedong Gincu (Mangifera indica) dengan Teknik Perlakuan Uap Panas. Dibimbing oleh IDHAM SAKTI HARAHAP dan I WAYAN WINASA.
Indonesia merupakan salah satu produsen utama mangga di dunia. Namun demikian, keberadaan lalat buah menjadi salah satu kendala dalam pemasaran buah mangga ke mancanegara. Sejauh ini mangga lokal belum mampu menembus pasar negara-negara dengan peraturan karantina tumbuhan yang ketat. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan teknik disinfestasi lalat buah yang memadai untuk memenuhi persyaratan negara tujuan. Salah satu metode yang dapat dikembangkan adalah perlakuan uap panas.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui tingkat toleransi stadia hidup telur dan larva lalat buah terhadap temperatur tinggi, (2) mengetahui tingkat toleransi B. carambolae dan B. papayae terhadap temperatur tinggi, 3) mengkaji pengaruh panas terhadap kualitas buah mangga varietas gedong gincu, dan 4) menentukan temperatur dan waktu optimum untuk disinfestasi telur dan larva B. carambolae pada buah mangga varietas gedong gincu dengan teknik perlakuan uap panas pada skala laboratorium.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Karawang, Jawa Barat, dari Bulan Mei sampai Nopember 2011. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap pengujian. Tahap pertama adalah pengujian perendaman air panas terhadap lalat buah. Pengujian perbandingan antar stadia menggunakan telur dan larva (tiga instar berbeda) masing-masing spesies pada temperatur 44ºC selama 0 menit (kontrol), 5, 10, 15, dan 20 menit. Pengujian perbandingan antar spesies menggunakan telur dan larva B. carambolae dan B. papayae pada temperatur 46oC hingga 20 menit dengan interval per 2 menit. Perbandingan temperatur bertingkat menggunakan temperatur 44 – 48oC terhadap stadia larva
B. carambolae selama 0 menit (kontrol), 5, 10, 15, dan 20 menit.
Tahap kedua adalah pengujian toleransi buah mangga gedong gincu terhadap temperatur tinggi, Pengujian dilakukan dengan teknik perendaman air panas pada temperatur 45ºC, 47ºC, dan 49ºC. Pengamatan dilakukan 1 dan 5 hari setelah perlakuan dengan parameter meliputi kondisi kekerasan, bobot, perubahan warna kulit, kandungan gula, dan rasa.
Tahap ketiga adalah pengujian perlakuan uap panas terhadap buah mangga gedong gincu yang diinokulasi lalat buah secara artifisial. Pengujian disinfestasi dilakukan 2 kali, yaitu: (1) pada temperatur 46.5ºC selama 0 – 10 menit dan (2) pada temperatur 45.5oC sampai 46.5o
Hasil pengujian perendaman air panas memperlihatkan bahwa stadia yang paling toleran terhadap panas adalah telur. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat mortalitas telur yang lebih rendah dibandingkan dengan stadia lain, baik pada B. papayae maupun B. carambolae. Hasil pengujian antar spesies memperlihatkan bahwa B. papayae lebih toleran terhadap panas dibandingkan dengan B.
carambolae. Hasil pengujian temperatur bertingkat menunjukkan bahwa
mortalitas larva B. carambolae mencapai 100% setelah perendaman selama 20 menit pada temperatur 44 - 48
C. Selanjutnya buah mangga uji disimpan di inkubator pada temperatur 27ºC. Pengamatan dilakukan 48 jam setelah perlakuan terhadap mortalitas larva dan telur.
o
iii
Secara umum, hasil pengujian memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bobot buah yang diberi perlakuan perendaman air panas dan kontrol, baik dari aspek tingkat kekerasan, kandungan gula, susut berat, perubahan warna kulit buah, dan rasa. Perbedaan nyata hanya ditunjukkan oleh nilai kromatik a antara warna kulit buah mangga kontrol dan perlakuan 49oC pada 5 hari setelah perlakuan. Terdapat kecenderungan bahwa nilai kromatik a dan b semakin besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi pemudaran warna hijau pada kulit buah disebabkan oleh terdegradasinya klorofil. Mortalitas B. carambolae mencapai 100% pada semua variasi waktu pada perlakuan uap panas 46.5oC di skala laboratorium. Hal ini ditunjukkan pada stadia larva maupun telur. Jumlah serangga yang bertahan hidup mengalami penurunan seiring peningkatan temperatur perlakuandari 45.5oC sampai 46.5oC. Hasil tersebut menunjukkan adanya kemungkinan temperatur di bawah 46.5oC yang dapat digunakan untuk mengendalikan B. carambolae. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian pada temperatur di bawah 46.5oC selama waktu tertentu terhadap tingkat mortalitas B. carambolae pada buah mangga gedong gincu. Selain itu, perlu dilakukan pengujian dalam skala luas untuk mengetahui keefektifan temperatur 46.5oC dalam mengendalikan B.carambolae pada buah mangga gedong gincu.
iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
v
DISINFESTASI TELUR DAN LARVA LALAT BUAH
PADA BUAH MANGGA GEDONG GINCU (Mangifera indica)
DENGAN TEKNIK PERLAKUAN UAP PANAS
AULIA NUSANTARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vi
vii
Judul : Disinfestasi Telur dan Larva Lalat Buah pada Buah Mangga Gedong Gincu (Mangifera indica) dengan Teknik Perlakuan Uap Panas
Nama Mahasiswa : Aulia Nusantara
NIM : A352100134
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
viii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Disinfestasi Telur dan Larva Lalat Buah pada Buah Mangga Gedong Gincu (Mangifera indica) dengan Teknik Perlakuan Uap Panas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Hermawan, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Laboratorium VHT BBPOPT Jatisari yang telah membantu selama pengumpulan data, serta teman-teman S2 kelas karantina atas dukungan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga kecil penulis: Helmy, Rayhan, dan Raisa, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2012
ix
RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Mangga ... 5
Karakteristik Mangga Gedong Gincu ... 6
Hama Tanaman Mangga ... 7
Lalat Buah Sebagai Hama ... 9
Perlakuan Karantina Tumbuhan ... 15
Perlakuan Uap Panas ... 17
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 21
Bahan dan Alat ... 21
Metode Penelitian ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Toleransi Dasar Lalat Buah terhadap Temperatur Tinggi ... 33
Ketahanan Mangga Gedong Gincu terhadap Temperatur Tinggi ... 39
Uji Disinfestasi Lalat Buah dengan Uap Panas ... 42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 47
Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 49
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi gizi beberapa jenis mangga per 100 gram ... 6
2 Kehilangan hasil tanaman akibat serangan lalat buah pada beberapa negara Asia Pasifik ... 12
3 Perlakuan uap panas untuk memenuhi aturan karantina tumbuhan ... 19
4 Komposisi pakan buatan lalat buah stadia larva untuk 1000 gram ... 21
5 Perbedaan morfologi imago B. papayae dan B. carambolae ... 22
6 Mortalitas B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44oC ... 33
7 Mortalitas terkoreksi larva B. papayae dan B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 46oC ... 36
8 Mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44 - 48OC ... 39
9 Perbandingan bobot buah, kandungan gula, tingkat kekerasan, dan perubahan warna buah mangga gedong gincu terhadap perlakuan panas ... 41
10 Tingkat mortalitas telur dan larva B. carambolae terhadap perlakuan uap panas 46.5oC ... 44
xii
3 Diagram alir proses perlakuan perendaman air panas panas terhadap
telur dan larva lalat buah ... 25
4 Pelaksanaan perlakuan perendaman air panas terhadap telur dan larva lalat buah ... 26
5 Diagram alir proses pengujian toleransi buah mangga dengan
perendaman air panas ... 28
6 Pelaksanaan uji toleransi jaringan buah mangga dengan perendaman
air panas ... 29
7 Pelaksanaan perlakuan uap panas terhadap telur dan larva
B. carambolae pada mangga gedong gincu ... 30
8 Diagram alir proses perlakuan uap panas terhadap telur dan larva
B. carambolae pada mangga gedong gincu ... 31
9 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur dan berbagai instar larva
B. papayae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44oC ... 34
10 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur dan berbagai instar larva
B. carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 44oC .... 34
11 Grafik perbandingan tingkat mortalitas telur B. papayae dan
B.carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 46oC ... 37
12 Grafik perbandingan tingkat mortalitas larva B. papayae dan
B.carambolae terhadap perendaman air panas pada temperatur 46oC ... 37
13 Grafik mortalitas larva B. carambolae terhadap perendaman air
panas pada temperatur 44 - 48OC ... 39
14 Fasilitas perlakuan uap panas skala laboratorium Sanshu model
EHK 1000D ... 42
15 Perbandingan kenaikan antara temperatur chamber VHT dan buah
mangga gedong gincu selama perlakuan uap panas ... 43
16 (a) Larva yang mati akibat perlakuan uap panas; (b) Larva hidup
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Analisis ragam tingkat mortalitas B. papayae pada stadia dan lama
perendaman yang berbeda ... 56
2 Analisis ragam tingkat mortalitas B. carambolae pada stadia dan lama perendaman yang berbeda ... 56
3 Analisis ragam tingkat mortalitas telur lalat buah pada spesies dan
lama perendaman yang berbeda ... 56
4 Analisis ragam tingkat mortalitas larva lalat buah pada spesies dan
lama perendaman yang berbeda ... 56
5 Analisis ragam tingkat mortalitas B. carambolae pada temperatur dan
lama perendaman yang berbeda ... 57
6 Hasil uji khi-kuadrat ... 57
7 Analisis ragam tingkat mortalitas B. carambolae pada temperatur
uap panas yang berbeda ... 58
8 Periode hidup lalat buah di dalam buah mangga gedong gincu ... 58
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai sumberdaya alam melimpah yang berpotensi
menembus pasar internasional, salah satunya buah mangga (Mangifera indica).
Mangga merupakan komoditas hortikultura penting di Indonesia dengan tingkat
produksi mencapai 2 juta ton per tahun (BPS 2011). Jumlah tersebut
menempatkan Indonesia sebagai produsen mangga terbesar ke-5 di dunia.
Namun demikian, ekspor mangga Indonesia tidak termasuk dalam sepuluh besar
dunia (FAOSTAT 2007). Ditjen PPHP Kementerian Pertanian (2009) melaporkan
bahwa ekspor tahunan mangga Indonesia hanya dalam kisaran 941 – 1198 ton
pada tahun 2004 – 2008. Negara tujuan ekspor terutama negara-negara Timur
Tengah, Hongkong, Singapura, dan Malaysia.
Mangga gedong gincu merupakan kultivar potensial untuk menembus
pasar internasional. Kultivar ini mempunyai karakteristik yang menarik bagi
konsumen. Daging buah berwarna merah kekuningan dan aroma harum
menyengat. Penampilan fisik mangga gedong gincu dapat bersaing dengan
mangga Tommy Atkin asal Meksiko dan mangga Alphonso asal India yang
mendominasi pasar dunia (Rebin dan Karsinah 2010).
Saat ini mangga lokal belum mampu memenuhi permintaan pasar luar
negeri karena produktivitas rendah dan kualitas kurang baik (Ratule dan
Harnowo 2009). Mangga lokal banyak memenuhi pasar domestik, sedangkan
penetrasi ke pasar modern ataupun internasional masih terbatas. Hal ini
disebabkan beberapa faktor, diantaranya: kualitas buah yang rendah, strategi
pemasaran yang kurang optimal, dan fasilitas rantai pendingin yang kurang
memadai. Karakteristik fisik kurang menarik ikut mempengaruhi kurang
optimalnya akselerasi ekspor mangga. Selain itu, hambatan teknis karantina juga
menjadi permasalahan dalam upaya ekspor ke negara-negara tertentu.
Keberadaan lalat buah menjadi kendala dalam pemasaran buah mangga
ke negara lain. Menurut survei ACIAR tahun 2004 - 2009, didapatkan 63 spesies
lalat buah dari seluruh wilayah Indonesia, dimana 18 spesies diantaranya
termasuk dalam kelompok Bactrocera dorsalis complex (ACIAR 2009). Menurut
Siwi et al. (2006), di Indonesia bagian barat, terdapat 90 jenis lalat buah yang
termasuk jenis lokal (indigenous) tetapi hanya 8 diantaranya termasuk hama
umbrosa, B. tau, B. cucurbitae, dan Dacus longicornis. Amerika Serikat,
Australia, dan Jepang mewaspadai lalat buah kelompok B. dorsalis complex
yang menyebar melalui buah mangga impor.
Beberapa negara memberlakukan aturan ketat mengenai pemasukan
buah segar dari negara lain. Salah satunya adalah negara Jepang yang
melarang importasi buah segar dari daerah yang terinfestasi lalat buah
berbahaya. Larangan importasi dapat dicabut apabila: (1) Lalat buah target telah
dieradikasi dari negara atau daerah yang terinfestasi, (2) Ketidakberadaan lalat
buah pada negara atau daerah tersebut telah dikonfirmasi oleh pihak Jepang, (3)
Daerah atau negara tersebut telah ditetapkan sebagai daerah bebas lalat buah
target atau pest free area, dan (4) Negara pengekspor telah mengembangkan
metode untuk disinfestasi lalat buah target (JFTA 1996).
Pengembangan teknologi disinfestasi lalat buah merupakan pilihan
terbaik untuk dapat mengekspor buah mangga segar. Salah satu metode yang
dapat digunakan adalah perlakuan uap panas atau vapor heat treatment (VHT).
Perlakuan uap panas merupakan metode pemanasan buah dengan
menggunakan uap air pada temperatur 40 – 50oC. Teknik perlakuan uap panas
bertujuan untuk membunuh serangga pada fase telur dan larva. Teknik ini
umumnya digunakan sebagai perlakuan karantina sebelum dilakukan pengiriman
ke negara tujuan (Lurie 1998).
Saat ini fasilitas komersial perlakuan uap panas telah beroperasi di
Jepang, Thailand, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat (Monck dan Pearce
2007; Hansen et al. 1992). Filipina telah mengekspor mangga Manila Super ke
Jepang dengan memberi perlakuan uap panas 46oC selama 10 menit. Australia
mengekspor mangga Kensington dengan perlakuan uap panas 47o
Beberapa negara lain yang mempersyaratkan perlakuan uap panas untuk
buah impor adalah Amerika Serikat dan Australia. Mangga asal Filipina yang
masuk ke dua negara tersebut harus diberi perlakuan uap panas 46
C selama 15
menit. Jenis mangga lain yang telah masuk ke pasar Jepang melalui
pengembangan teknik perlakuan uap panas adalah mangga Irwin (Taiwan),
Nang Klarngwan (Thailand), serta Keitt dan Haden dari Kepulauan Hawaii,
Amerika Serikat (Dyck dan Ito 2010).
o
C selama 10
menit untuk mencegah penyebaran B cucurbitae, B. philippinensis, dan B.
sebelum masuk Amerika Serikat diantaranya jeruk, pepaya, dan leci (APHIS
2011).
Di Indonesia, penelitian perlakuan uap panas terhadap lalat buah belum
banyak dilakukan. Hasbullah et al. (2009) menyatakan bahwa perlakuan uap
panas 46.5o
1. Mengetahui tingkat toleransi stadia hidup telur dan larva lalat buah terhadap
temperatur tinggi
C selama 10-30 menit efektif membunuh telur B. dorsalis complex.
Sejauh ini informasi mengenai keefektifan uap panas untuk mendisinfestasi B.
carambolae belum tersedia. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk
mendapatkan data awal dalam penentuan kondisi perlakuan uap panas terhadap
B. carambolae untuk memenuhi persyaratan negara tujuan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
2. Mengetahui tingkat toleransi B. carambolae dan B. papayae terhadap
temperatur tinggi
3. Mengkaji pengaruh perendaman air panas terhadap kualitas buah mangga
varietas gedong gincu
4. Menentukan temperatur dan waktu optimum untuk disinfestasi stadia telur
dan larva lalat buah B. carambolae pada buah mangga varietas gedong
II. TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Mangga
Secara taksonomis, mangga termasuk dalam Famili Anarcadiaceae, Ordo
Sapindales, Genus Mangifera, dan Spesies Mangifera indica. Famili
Anarcadiaceae (mangga-manggaan) terdiri dari sekitar 500 spesies, sedangkan
genus Mangifera meliputi 62 spesies (Pracaya, 2011). Arifin (2009) menyatakan
bahwa tanaman mangga berkerabat dekat dengan pakel (M. foetida), kweni (M.
odorata), dan kemang (M. caesia).
Menurut Pracaya (2011), tanaman mangga berasal dari negara India dan
menyebar ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke-4 dan ke-5 Sebelum Masehi.
Penanaman mangga dimulai di Filipina dan Indonesia (sekitar Maluku) pada
tahun 1600-an. Bangsa Portugis menyebarkan tanaman mangga ke Barat pada
abad ke-18 dan Afrika pada abad ke-19. Keberadaan mangga di Meksiko
dilaporkan pada tahun 1779. kemudian mulai ditanam di Florida, Amerika Serikat
(1833), Queensland, Australia (1870), dan Italia bagian selatan (1905).
Tanaman mangga tumbuh tegak, bercabang banyak, dan bertajuk
rindang serta hijau sepanjang tahun. Tinggi tanaman dapat mencapai 10-40
meter dan berumur lebih dari seratus tahun. Buah mangga tergolong buah
berdaging dengan bentuk beragam sesuai dengan varietas. Warna buah hijau,
kuning, merah atau campuran. Ujung buah melancip ataupun membengkok.
Daging buah tebal atau tipis, berserat atau tidak, serta berair ataupun tidak
(Pracaya 2011).
Setiap varietas mangga mempunyai karakteristik yang berbeda.
Contohnya perbandingan buah mangga gedong gincu dan arumanis. Bobot buah
mangga arumanis biasanya lebih besar dibandingkan mangga gedong gincu.
Namun demikian, aroma mangga gedong gincu lebih harum menyengat
dibandingkan dengan mangga arumanis. Pangkal buah mangga gedong gincu
berwarna merah keunguan pada saat matang, sedangkan mangga arumanis
berwarna hijau kekuningan. Perbedaan lain yang terlihat adalah bentuk buah.
Mangga gedong gincu berbentuk bulat. Mangga arumanis berbentuk jorong
dengan pucuk meruncing.
Karakteristik fisikokimia dan kandungan nutrisi buah mangga berbeda
untuk masing-masing varietas. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kandungan
Tabel 1 Komposisi gizi beberapa jenis mangga per 100 gram
Kandungan Jenis mangga
Gedong Indramayu Arumanis
Energi (kal) 44 72 46
Broto (2003) menyatakan bahwa mangga gedong gincu ditetapkan
sebagai varietas resmi dengan nama mangga gedong berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 28/Kpts/TP.240/1/1995. Tinggi tanaman
berkisar antara 9 – 15 meter. Tajuk tanaman berbentuk piramida tumpul.
Tanaman mangga gedong bercabang banyak dengan ciri khas permukaan daun
sempit. Pucuk daun datar dan dasar daun lancip. Tanaman berbuah banyak
dengan produksi rata-rata 100 – 150 kg per pohon. Mangga gedong gincu
banyak ditanam di Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. Luasan lahan terbesar
di Kabupaten Cirebon yaitu 2430 ha, diikuti Kabupaten Majalengka 2228 ha dan
Kabupaten Indramayu 1759 ha.
Cara budidaya tanaman mangga gedong gincu sama dengan gedong
biasa, kecuali waktu pemanenan. Mangga gedong dipanen saat buah mencapai
tingkat kematangan 60%, sedangkan mangga gedong gincu dipanen saat buah
mencapai kematangan 70%. Pada tingkat kematangan tersebut pangkal buah
sudah berwarna kemerahan sehingga dikenal sebagai gedong gincu. Umumnya
selisih waktu pemanenan mangga gedong gincu dan gedong biasa adalah 10-15
hari (Supriatna 2005). Menurut Ditjen Hortikultura (2005), indeks kematangan
70% tercapai 95-100 hari sesudah bunga mekar. Selanjutnya warna pangkal
buah akan menjadi merah sesuai dengan tingkat kematangan. Pada kematangan
100% bagian ujung dan tengah buah berwarna kuning kemerahan dan pangkal
Mangga varietas gedong gincu mempunyai karakteristik yang menarik
bagi konsumen. Menurut Pracaya (2007), buah mangga gedong gincu memiliki
warna daging merah kekuningan. Bentuk buah gedong agak bulat dengan
pangkal agak datar. Tangkai buah kuat dan terletak di tengah buah. Bobot buah
200 – 300 gram. Ukuran buah 8 cm x 7 cm x 6 cm. Permukaan kulit buah halus
dan kadangkala berbintik putih kehijauan. Daging buah tebal, berserat halus,
manis, berair, dan beraroma keras. Karakteristik aroma harum menyengat
menjadi keunggulan mangga gedong gincu dibandingkan dengan mangga lokal
lain di Indonesia. Konsumen luar negeri juga tertarik dengan warna kulit buah
mangga yang berwarna merah menyala saat matang.
Gambar 1 Buah mangga gedong gincu pada, (a) indeks kematangan awal (70%), (b) indeks kematangan 80-85%.
Hama Tanaman Mangga
Beragam organisme pengganggu golongan hama dilaporkan menyerang
tanaman mangga di lapangan. Tandon et al. (1976 dalam Kumar 2009)
menyatakan terdapat 492 spesies serangga yang menyerang tanaman mangga.
Hama utama mangga di lapangan meliputi Sternochetus mangiferae, Noorda
albizonalis, dan beberapa spesies lalat buah (Panhwar 2005). Menurut
Kalshoven (1981), terdapat 13 genus serangga yang menyerang tanaman
mangga di Indonesia, diantaranya: Rastrococcus, Sternochetus, Noorda,
Philotroctis, Rhytidodera, dan Orthaga.
Sternochetus mangiferae merupakan hama penting mangga yang
termasuk dalam Famili Curculionidae. Serangga ini termasuk dalam organisme
pengganggu tumbuhan karantina untuk pemasukan mangga dari Hawaii ke
Amerika Serikat daratan (Follett dan Gabbard 2000). Stadia dewasa berukuran
tubuh 10 mm, berwarna hitam abu-abu, dan mempunyai ciri moncong (snout)
yang jelas. Telur diletakkan serangga betina di permukaan buah. Induk
memanfaatkan sap yang keluar dari jaringan buah sebagai perekat telur di
permukaan buah. Setelah menetas, larva masuk ke biji buah dan melakukan
aktivitas makan hingga masa pupasi. Serangga dewasa yang muncul memakan
lapisan biji buah. Pengendalian dilakukan dengan aplikasi insektisida sebelum
pembungaan ataupun memusnahkan buah bergejala yang jatuh ke tanah (Chin
et al. 2010).
Philotroctis eutraphera merupakan hama penggerek buah mangga,
terutama buah muda. Larva berwarna kemerahan dan berkembang menjadi biru
gelap saat menjelang pupasi. Pupa dalam kokon dapat dijumpai di tanah.
Ngengat berumur 6 – 7 hari dan betina menghasilkan telur sebanyak 125 – 450
telur di permukaan dan tangkai buah (Kalshoven 1981).
Autocharis albizonalis atau Noorda albizonalis yang merupakan hama
utama mangga di India. Serangga melewati lima tahap instar larva selama 11-13
hari. Tingkat keparahan tertinggi diakibatkan oleh serangan oleh larva instar
kedua atau ketiga. Kerusakan akibat serangan N. albizonalis dilaporkan
mencapai 10 – 52% di Benggal Barat, India (Sahoo dan Jha2009). Di Indonesia,
N. albizonalis menyerang berbagai stadia perkembangan buah mangga
(Kalshoven 1981).
Wereng daun merupakan hama penting yang menyerang daun tanaman
mangga. Serangga dewasa dan nimfa memakan jaringan tanaman dengan cara
menghisap sap tanaman. Daun terserang menunjukkan gejala distorsi dan
mengeriting. Salah satu spesies wereng daun pada pertanaman mangga di
Australia adalah Idioscopus nitidulus (Chin et al. 2010), sedangkan di Indonesia
banyak dijumpai I. niveoparsus dan I. clypealis (Kalshoven 1981).
Kutu putih yang menyerang daun mangga adalah Rastrococcus spinosus.
Salah satu ciri khas R. Spinosus adalah rambut berlilin panjang di seluruh
tubuhnya. Betina berbentuk pipih, oval, lebar, dan dilapisi lapisan lilin tebal. Kutu
putih ini telah dilaporkan di Jawa, Malaysia, Filpina, dan Taiwan. Selain mangga,
spesies ini banyak ditemukan di permukaan bawah daun pada jeruk dan kopi.
Kutu putih mendapatkan makanan dengan menghisap sap jaringan tanaman
(Kalshoven 1981).
Orthaga euadrusalis merupakan hama yang memakan daun tanaman
mangga. Salah satu ciri khas serangannya adalah keberadaan jaring yang
menutup daun dan ranting. Larva berwarna ungu dengan garis lateral hitam.
Larva O. euadrusalis mengakibatkan kerusakan serius pada daun dan tunas
Salah satu hama penggerek batang mangga adalah Rhytidodera
simulans. Menurut Kalshoven (1981), serangga ini telah menyebar luas di Asia
Tenggara kecuali daerah Nusa Tenggara. Gejala serangan berupa lubang
menyerupai terowongan pada cabang yang terserang. Apabila cabang telah
terbuka dan terbelah menjadi terowongan yang lebih besar maka umumnya akan
ditempati semut. R. simulans juga diketahui menyerang M. odorata, M. foetida,
dan Elaeocarpus grandifloris. Selain hama-hama di atas, hama penting lain yang
menjadi musuh petani mangga di seluruh dunia adalah lalat buah (Subbab2.4).
Lalat Buah sebagai Hama
Biologi dan Morfologi
Lalat buah termasuk ke dalam Filum Arthropoda, Klas Insekta, Ordo
Diptera, Subordo Brachycera, dan Famili Tephritidae. Lalat buah mengalami
metamorfosis sempurna dengan melalui stadia telur, larva, pupa, dan imago.
Telur diletakkan secara berkelompok dan dalam waktu 2 hari akan menetas.
Menurut Vijaysegaran dan Drew (2006), satu ekor betina B. dorsalis dapat
menghasilkan 1200 – 1500 butir telur. Larva lalat buah mengalami tiga tahap
perkembangan instar. Larva bernafas dengan spirakel yang terdapat di bagian
anterior dan posterior. Khusus larva instar pertama, anterior spirakel belum
menunjukkan perkembangan. Lama stadia larva adalah 6 – 9 hari. Setelah itu
larva akan berkembang menjadi pupa berbentuk oval dan berwarna cokelat.
Pupa umumnya berukuran sekitar 5 mm dan berlangsung sekitar 10 hari. Setelah
itu stadia dewasa mudah dikenali karena mempunyai sayap dengan pola unik
dan bervariasi.
Stadia hidup lalat buah yang berpotensi terbawa dalam lalu lintas buah
mangga adalah telur dan larva. Telur lalat buah umumnya berwarna putih atau
krem kekuningan. Warna telur semakin gelap seiring umur telur semakin tua.
Ukuran dan bentuk telur bemacam-macam sesuai jenis spesies. Ceratitis
capitata dan B. tryoni mempunyai telur memanjang dan menyempit secara
bertahap, sedangkan Urophora solsitialis mempunyai telur dengan ujung
membulat dan meruncing pada ujung lainnya (White dan Elson-Harris 1994).
Tubuh larva terdiri dari bagian kepala, thoraks, dan abdomen. Thoraks
meliputi 3 segmen, yaitu prothoraks, mesothoraks, dan metathoraks, sedangkan
abdomen terdiri dari 8 segmen. Batas antara kepala dan thoraks tidak tampak
pengerasan adalah cephalopharyngeal skeleton dimana terdapat mulut kait
berwarna hitam atau cokelat (JFTA 1996). Keberadaan larva di dalam buah
merupakan penyebab utama penolakan buah ekspor di negara tujuan (Frias et
al. 2006).
Bentuk dan ukuran larva bervariasi sesuai dengan spesies dan nutrisi
dalam makanannya. Sebagian larva cenderung berbentuk silindris dan membulat
ataupun menyerupai bentuk terpotong pada kedua ujung tubuh. Larva berwarna
krem keputihan, namun dapat juga berwarna lebih gelap sesuai dengan jenis
makanannya (White dan Elson-Harris 1994).
Gambar 2 Perkembangan hidup lalat buah: (a) telur, (b) larva, (c) pupa, (d) imago
Larva instar pertama berukuran sangat kecil. Cephalopharyngeal skeleton
masih kurang tersklerotisasi. Mulut kait berwarna kuning atau lebih gelap. Mulut
kait mempunyai 1 atau lebih preapical teeth berukuran besar. Anterior spirakel
tampak seperti pori yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron. Pada
posterior spirakel hanya terdapat 2 spiracular slit (JFTA 1996; White dan
Elson-Harris 1994).
Larva instar kedua mempunyai karakteristik hampir sama dengan larva
instar ketiga namun berukuran lebih kecil. Larva berwarna krem keputihan atau
sesuai makanan dalam saluran pencernaanya. Cephalopharyngeal skeleton
menyerupai instar ketiga namun terdapat 1 atau lebih preapical teeth. Anterior
dan posterior spirakel telah berkembang dengan baik. Posterior spirakel terdiri
a
b
dari 3 buah spiracular slit dan dikelilingi oleh rimae yang tersklerotisasi. Terdapat
4 rumpun spiracular hair namun jumlah rambut lebih sedikit dibanding larva instar
ketiga (JFTA 1996).
Larva instar ketiga merupakan instar dengan periode hidup paling lama di
dalam inang. Pada instar tersebut, larva mempunyai sepasang anterior spirakel
pada bagian prothoraks dan sepasang posterior spirakel di caudal segment.
Posterior spirakel dikelilingi oleh banyak spiracular tubules. Pada sisi ventral
caudal segment terdapat anus. Larva instar ketiga mempunyai kemampuan
melenting. Umumnya hal ini dilakukan saat larva akan mengalami pupasi (JFTA
1996).
Dampak Serangan
Lalat buah merupakan masalah utama petani buah di dunia. Dampak
serangannya dirasakan dalam pemeliharaan tanaman di lapang maupun dalam
upaya ekspor ke negara lain. Kerusakan buah dimulai saat lalat buah betina
meletakkan telur di dalam jaringan inang. Larva menyebabkan kerusakan buah
secara cepat. Selain itu, kulit buah yang luka dapat menjadi tempat masuk
bakteri pembusuk. Pada aspek perdagangan, keberadaan lalat buah
menimbulkan kesulitan suatu negara untuk memasarkan produk buah segar ke
negara lain (Drew 2001).
Serangan lalat buah menimbulkan kehilangan hasil yang bervariasi. Lalat
buah dilaporkan menimbulkan kerusakan mangga hingga kisaran 10 – 50% di
Benin (Vayssieres et al. 2005). Dhillon et al. (2005) menyatakan kerusakan B.
cucurbitae pada tanaman cucurbit mencapai 100% dan pare sebesar 95%. B.
dorsalis merupakan hamapenting pada tanaman mangga ‘Namdokmai Si Thong’
di Thailand (Varith et al. 2006) dan mengakibatkan kerusakan serius pada jambu
(Psidium guajava) dan jambu stroberi (Psidium cattleianum) di Hawaii (Vargas et
al. 2007). Beberapa informasi kehilangan hasil tanaman akibat serangan lalat
buah di kawasan Asia Pasifik dapat dilihat pada Tabel 2.
Pencegahan penyebaran lalat buah melalui lalulintas perdagangan
komoditas pertanian telah dilakukan oleh banyak negara. Hal ini dilakukan
karena lalat buah mampu hidup dan berkembang dengan cepat di daerah baru di
luar sebaran asalnya (Armstrong et al. 2009). Bahkan Siwi et al. (2006)
menyatakan bahwa lalat buah eksotik yang telah masuk ke daerah baru dan
lokal. Salah satu contoh adalah kasus masuknya 8 spesies baru lalat buah di
California yang mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 910 juta dollar AS.
Biaya pengendalian akibat masuknya lalat buah eksotik sangat tinggi.
Drew (2001) menyatakan program eradikasi B. papayae di North Queensland
menelan biaya sebesar 35 juta dollar AS. Eradikasi B. dorsalis dengan male
annihilation method di Kepulauan Okinawa, Miyako, dan Yaeyama Jepang juga
dilaporkan sangat tinggi, yaitu mencapai 2.575 milyar Yen (OPPPC 2006). Biaya
tinggi juga diperlukan untuk pengembangan teknik serangga mandul. Teknik ini
telah berhasil dikembangkan untuk pengendalian B. dorsalis di Ogasawara Island
dan Kume Island (Jepang), serta C. capitata di Hawaii, California, Meksiko,
Nikaragua, Kostarika, Peru, Italia, Spanyol, dan Tunisia (White dan Elson-Harris
1992).
Tabel 2 Kehilangan hasil tanaman akibat serangan lalat buah pada beberapa negara Asia Pasifik
Negara Tanaman Kehilangan Hasil Lalat Buah Penyebab
Malaysia Belimbing 100% B. carambolae
Thailand Mangga 65% B. dorsalis
Cantaloupe 94% B. cucurbitae
Vietnam Persik 65% B. pyrifoliae
Lalat buah mampu berkembang di daerah baru dan menghasilkan
kerusakan. Beberapa kasus diantaranya adalah B. philippinensis yang menyebar
ke Palau (Vueti dan Leblanc 2002), B. tryoni ke Papua New Guinea (Purea et al.
1997), B. carambolae ke Suriname (Sauers-Mullers 2005), dan B. cucurbitae ke
beberapa negara kepulauan di Samudera Hindia (Vayssieres et al. 2008). Lalat
buah Anastrepha juga mulai menginvasi daerah Amerika Utara dari Amerika
Selatan. Salah satunya A. suspensa yang menyebar ke Florida, Amerika Serikat
(Weems et al. 2001). De Meyer et al. (2009) melaporkan bahwa beberapa
negara Afrika di kawasan tropis telah terintroduksi B. invadens yang awalnya
hanya ditemukan di Kenya.
Peningkatan lalulintas perdagangan membuka peluang penyebaran lalat
lalat buah Anastrepha dari kawasan Amerika Selatan dan Bactrocera dari
kawasan Asia. Pada tahun 1999 – 2009 beberapa spesies lalat buah eksotik
ditemukan di Florida dan California, diantaranya B. correcta, B. dorsalis, B.
latifrons, B. oleae, dan B. zonata. Jepang juga waspada terhadap penyebaran
lalat buah melalui komoditas pertanian impor. Iwaizumi (2004 dalam Ebina dan
Ohto 2006) melaporkan bahwa otoritas karantina Jepang berhasil mengintersepsi
beberapa spesies lalat buah pada komoditas pertanian impor, meliputi B.
dorsalis, B. carambolae, B. papayae, B. occipitalis, dan B. philippinensis.
Bactrocera dorsalis complex
Bactrocera merupakan genus lalat buah dari daerah sekitar khatulistiwa.
Sebagian besar lalat buah berasosiasi dengan buah-buahan tropis. Menurut
Hardy (1977 dalam Siwi et al. 2006), terdapat 160 genus dalam Tephritidae dan
180 spesies Bactrocera di kawasan Asia. Dari jumlah tersebut terdapat beberapa
spesies yang mempunyai kemiripan morfologis yang dikenal dengan Bactrocera
dorsalis complex.
Spesies dalam kelompok B. dorsalis complex dibedakan berdasarkan
karakteristik tertentu, seperti panjang aculeus dan pola warna di bagian thoraks.
Menurut Drew (2004), hasil survei di kawasan Asia Tenggara, Papua New
Guinea, Australia, dan Pasifik Selatan berhasil mendeskripsikan 80 spesies
dalam B. dorsalis complex. Namun demikian, Drew dan Hancock (1994)
menyatakan bahwa hanya sebagian kecil spesies dalam B. dorsalis complex
yang merugikan secara ekonomi. Beberapa spesies penting dalam B. dorsalis
complex, meliputi: B. carambolae, B. caryae, B. dorsalis, B. kandiensis, B.
occipitalis, B. papayae, B. philippinensis, dan B. pyrifoliae.
Sebagian besar spesies B. dorsalis complex mempunyai daerah sebaran
yang terbatas. Namun demikian, B. dorsalis, B. carambolae, B. papayae, dan B.
philippinensis dikenal sebagai jenis lalat buah yang mampu menyebar dan
menjadi masalah di tempat yang baru. B. dorsalis ditemukan di Hawaii pada
tahun 1946 dan menjadi hama penting pada berbagai buah. B. carambolae
masuk ke Suriname pada tahun 1975, sedangkan B. philippinensis telah
menyebar hingga Palau di Pasifik. Oleh karena itu, upaya eradikasi telah
dilakukan untuk mengendalikan lalat buah pendatang dari area lain. Beberapa
eradikasi yang berhasil adalah B. dorsalis di Okinawa, Guam, dan Kepulauan
Bactrocera carambolae.Spesies ini merupakan salah satu spesies lalat
buah yang berpotensi sebagai hama potensial tanaman buah dan hortikultura di
Indonesia (Soesilohadi et al. 2003). Spesies lalat buah ini menyerang berbagai
macam buah-buahan di daerah tropis dan temperate hangat, terutama pepaya
(Carica papaya), mangga (Mangifera indica), dan belimbing (Averrhoa
carambola). Tanaman inang lainnya meliputi: kluwih (Artocarpus altilis), jambu air
(Syzgium jambos dan S. aqueum), jambu bol (S. malaccense), cabai (Capsicum
annuum), jambu biji (Psidium guajava), tomat (Lycopersicon esculentum),
nangka (Artocarpus heterophyllus), Terminalia setappa, Solanum ferox, dan
Lepisanthes fruticosa (Siwi et al. 2006).
B. carambolae termasuk dalam kelompok B. dorsalis complex dan
sebelumnya sempat disebut Bactrocera sp. near B. dorsalis. Ciri morfologis
sayap adalah pita hitam pada garis costa dan garis anal (anal streak). Pola sayap
bagian ujung berbentuk seperti pancing. Skutum berwarna hitam dengan pita
kuning di kedua sisi lateral (lateral post sutural vittae). Postpronotal berwarna
kuning atau oranye. Pada lalat betina terdapat spot berwarna hitam pada femur
tungkai depan, sedangkan abdomen berwarna coklat oranye dengan pola-pola
yang jelas (Siwi et al. 2006).
Lalat buah betina meletakkan telur di bawah kulit buah. Kemudian larva
yang muncul dari telur melakukan aktivitas makan dari dalam buah. Lubang yang
dibuat oleh larva dalam jaringan daging buah juga merangsang masuknya
cendawan dan bakteri patogen tanaman. Buah yang diserang B. carambolae
menunjukkan gejala perubahan warna kulit di sekitar tanda sengatan. Selain itu,
buah juga dapat mengalami pembusukan secara cepat. Larva hidup dalam buah
sampai instar akhir, kemudian melenting ke tanah untuk pupasi (Siwi et al. 2006).
Bactrocera papayae. Spesies ini dikenal juga sebagai B. conformis. B.
papayae merupakan spesies yang berkembang luas di kawasan Asia Tenggara,
terutama: Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia (Siwi et al. 2006). B.
papayae merupakan polifag yang menyerang banyak jenis buah dan sayuran.
Inang utama meliputi beberapa tanaman buah tropis, seperti: pisang (Musa x
parasidiaca), mangga (Mangifera indica), pepaya (Carica papaya), dan rambutan
(Nephelium lappaceum). B. papayae diketahui telah menyerang mangga
‘Kensington’ di Australia (Jacobi dan Giles1997).
Toraks B. papayae mempunyai ciri berwarna hitam dominan pada skutum
skutum ditandai dengan pita berwarna kuning di sisi lateral (lateral postsutural
vittae). Sayap B.papayae dicirikan dengan pita hitam pada garis costa dan garis
anal, serta sel bc tampak jelas. Sedangkan abdomen terbagi dalam ruas-ruas
yang jelas dimana terdapat pekten pada tergit ketiga. Selain itu, tergit ketiga juga
dicirikan dengan garis melintang. Lalat betina dewasa tidak mempunyai spot
hitam femur tungkai depan sebagaimana dijumpai pada B. carambolae dewasa
(Siwi et al. 2006).
Perlakuan Karantina Tumbuhan
Aturan karantina diperlukan untuk pencegahan penyebaran suatu
organisme pengganggu tumbuhan. Salah satunya dengan perlakuan terhadap
komoditas yang akan dikirim (Jang dan Moffit 1994). Perlakuan karantina
bertujuan untuk membunuh, membuang, ataupun mencegah perkembangbiakan
organisme tertentu yang tidak dikehendaki pada komoditas pertanian. Perlakuan
yang dikembangkan diharapkan mampu mengakibatkan mortalitas yang tinggi
pada serangga target. Umumnya yang dipersyaratkan adalah probit 9 atau
mortalitas mencapai 99.9968% (Mangan dan Hallmann 1998).
Perlakuan karantina tumbuhan terdiri dari perlakuan kimiawi dan fisik.
Teknik perlakuan kimiawi yang umum digunakan adalah fumigasi. Pada tahun
1980-an etilen dibromida (EDB) merupakan fumigan paling populer, namun
kemudian ditinggalkan karena bersifat karsinogenik (Mangan dan Hallmann
1998). Metil bromida menjadi fumigan paling populer berikutnya karena daya
kerja cepat dan berspektrum luas (Fields dan White 2002). Fumigan ini juga
efektif untuk nematoda dan patogen tumbuhan. Namun sesuai Protokol Montreal
tahun 1997, metil bromida dilarang digunakan karena menyebabkan kerusakan
ozon. Loaharanu (1999) menyatakan bahwa negara-negara maju telah
menghentikan penggunaan metil bromida sejak 2005, sedangkan negara
berkembang dijadualkan tahun 2015. Penggunaan metil bromida untuk
selanjutnya hanya diperbolehkan untuk keperluan karantina dan tindakan darurat
tertentu.
Alternatif pengganti metil bromida mulai dikembangkan sebagai tindakan
karantina, baik kimiawi maupun fisik. Menurut Fields dan White (2002), bahan
aktif sebagai pengganti metil bromida adalah fosfin. Fosfin merupakan fumigan
yang dapat digunakan untuk komoditas yang tidak direkomendasikan difumigasi
biji-bijian yang mengandung lemak dan protein tinggi. Barantan (2007)
menyatakan bahwa fosfin relatif tidak menimbulkan residu pada komoditas.
Bahan kimia lain yang sudah dikembangkan adalah sulfuryl fluoride untuk
pengendalian hama kayu (Yu et al. 2010) dan carbonyl sulfide (Fields dan White
2002). Perlakuan non-kimiawi yang dikembangkan sebagai perlakuan karantina
meliputi vacuum-steam-vacuum (Fuester et al. 2004), irradiasi (Mitcham 1999),
atmosfer terkendali (Hallmann 1994), radio frequency (Tang et al. 2000),
perlakuan dingin (Gould dan Hennesey 1997; Wilink et al. 2006) dan perlakuan
panas (Shellie dan Mangan 2000; Shellie dan Mangan 1994; Neven 2000; Neven
1998).
Perlakuan temperatur dingin merupakan teknik populer sebelum digeser
fumigasi. Perlakuan digunakan terhadap buah yang toleran terhadap temperatur
kurang dari 2oC, seperti belimbing, jeruk, leci, manggis, apel, dan pir. Awalnya
perlakuan ini digunakan untuk disinfestasi C. capitata pada apel pada tahun
1907. Selanjutnya perlakuan dingin telah banyak dikaji untuk beberapa telur
serangga gudang, seperti Ephestia cautella, Sitotroga cerealella, Tribolium
confusum, Plodia interpunctella, dan Oryzaephilus surinamensis. Perlakuan juga
digunakan untuk membunuh stadia telur dan larva Grapholita molesta dan Cydia
pomonella. Dalam pengendalian lalat buah, perlakuan dingin 1.1oC selama 20,
12 atau 18 hari digunakan untuk Anastrepha ludens, C. capitata, dan B. tryoni
(Armstrong 1994).
Perlakuan karantina dengan temperatur tinggi telah dikembangkan pada
banyak komoditas. Awalnya panas digunakan untuk mengendalikan serangga
gudang. Mahroof (2007) menyatakan bahwa panas untuk mengendalikan hama
pertamakali dilakukan oleh Duhamel du Monceau dan Tillet pada tahun 1762 di
Perancis bagian barat. Pada masa itu temperatur 69oC selama 3 hari digunakan
untuk mengendalikan Sitotroga cerealella pada komoditas biji-bijian. Pada tahun
1835 perlakuan panas digunakan untuk Sitophilus oryzae pada gandum di
Amerika Serikat (Fields dan White 2002). Perlakuan panas sebagai tindakan
karantina dilakukan pertamakali tahun 1929 untuk mencegah penyebaran C.
capitata dari Florida. Selanjutnya tahun 1930-an digunakan untuk mendisinfestasi
lalat buah yang menyerang jeruk, alpukat, mangga, dan jambu. Saat ini metode
perlakuan panas untuk persyaratan karantina tumbuhan negara tujuan meliputi
hot water treatment, force-air treatment atau hot air treatment, dan vapor heat
Metode hot water treatment (HWT) merupakan metode paling tua
diantara semua metode perlakuan panas. Prinsipnya mencelupkan komoditas ke
dalam air panas pada temperatur dan waktu tertentu. HWT merupakan salah
satu persyaratan perlakuan untuk buah-buahan yang masuk ke Amerika Serikat,
seperti buah mangga, leci, longan, dan jeruk lemon (APHIS 2011). Metode ini
terutama digunakan untuk mencegah penyebaran C. capitata dan Anastrepha
spp. dari Amerika Tengah, Karibia, dan Amerika Selatan (Sharp 1988). Selain
untuk pengendalian hama, metode HWT juga dapat digunakan untuk
mengendalikan penyakit pascapanen. Perendaman mangga pada air temperatur
53oC selama 3 menit dilaporkan mampu mengendalikan penyakit antraknose
(Klein dan Lurie 1992). Namun demikian metode HWT tidak cocok untuk
buah-buah tertentu karena dapat merusak buah-buah. Drake et al. (2005) menyebutkan
bahwa metode air panas 48 – 55oC hingga 14 menit tidak cocok digunakan untuk
buah ceri varietas Bing dan Sweetheart.
Perlakuan udara panas merupakan alternatif lain perlakuan karantina.
Prinsipnya pemanasan komoditas dengan udara pada temperatur 40-50oC
selama waktu tertentu untuk mengendalikan lalat buah. Perlakuan udara panas
dapat digunakan untuk mangga, anggur, jeruk, belimbing, dan pepaya. APHIS
(2011) mensyaratkan perlakuan ini terhadap jeruk impor asal Meksiko, Hawaii,
dan daerah Amerika Serikat yang tidak bebas lalat buah tertentu. Perlakuan jeruk
dari Meksiko untuk mendisinfestasi Anastrepha spp. adalah udara panas 44oC
selama 100 menit dengan waktu kondisioning 90 menit. Sedangkan jeruk asal
Hawaii dengan lalat buah target C. capitata, B. dorsalis, dan B. cucurbitae harus
diberi perlakuan 47.2oC selama 5 menit dengan waktu kondisioning 4 jam.
Perlakuan udara panas juga mampu menekan penyakit pada buah. Shellie dan
Skaria (1998) melaporkan bahwa perlakuan udara panas pada 46o
Perlakuan uap panas atau Vapor Heat Treatment (VHT) merupakan
metode disinfestasi OPT dengan uap basah pada temperatur 43 – 50 C selama 300
menit dapat menghambat pertumbuhan Penicillium digitatum.
Perlakuan Uap Panas
o
C.
Armstrong (1994) menyebutkan bahwa panas ditransfer dari udara ke buah
dengan kondensasi uap air pada permukaan buah. Pada VHT, peningkatan
temperatur secara perlahan lebih diharapkan untuk mencegah kerusakan
menggunakan udara yang dipanaskan untuk menaikkan temperatur buah yang
dapat mematikan serangga target. Perbedaan keduanya terletak pada tingkat
kelembaban yang digunakan dimana perlakuan uap panas lebih tinggi
dibandingkan perlakuan udara panas (APHIS 2011).
Fasilitas perlakuan uap panas dirancang untuk dapat mempertahankan
temperatur dan kelembaban tertentu dalam chamber. Temperatur dan
kelembaban dikendalikan dengan kendali elektrik temperatur dan kelembaban.
Mesin perlakuan uap panas dilengkapi pencatat rekaman
temperatur/kelembaban selama perlakuan berlangsung dengan sensor yang
dapat diatur posisinya dalam chamber perlakuan. Saat ini perlakuan uap panas
banyak diaplikasikan terhadap buah dengan OPT serangga sebagai target.
Kelembaban yang tinggi dapat mencegah evaporasi berlebihan pada buah. Uap
yang terdistribusi sempurna melalui sirkulasi udara memungkinkan kondisi uap
panas yang terkendali dalam chamber perlakuan (JFTA 1996).
Penelitian mengenai perlakuan uap panas dilakukan sejak tahun 1910-an
untuk membunuh telur dan larva lalat buah. Selanjutnya perlakuan uap panas
digunakan pertamakali pada tahun 1929 dalam dunia karantina tumbuhan. Pada
masa itu perlakuan dilakukan terhadap buah yang dikirim dari Florida ke daerah
lain di Amerika Serikat untuk mencegah penyebaran C. capitata. Pada awalnya
standar perlakuan uap panas yang berlaku adalah temperatur 43.3-46oC selama
delapan jam. Namun keterbatasan kemampuan peralatan masa itu
menyebabkan kesulitan untuk mengendalikan temperatur secara akurat selama
perlakuan sehingga terjadi kerusakan pada buah. Beberapa hama yang diuji
dengan perlakuan uap panas adalah lalat buah Anastrepha, thrips, pink
bollworm, dan cigarette beetle (JFTA 1996).
Pada tahun 1960-an teknologi perlakuan uap panas makin berkembang,
terutama oleh negara Jepang. VHT juga merupakan salah satu metode
perlakuan yang dipersyaratkan bagi ekspor buah ke beberapa negara. Salah
satunya persyaratan pepaya varietas Solo (Hawaii) ke Jepang. Jenis perlakuan
perlakuan uap panas mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan
metode konvensional lain, diantaranya kerusakan akibat panas pada komoditas
pertanian lebih rendah daripada metode perendaman air panas serta periode
pemaparan panas dapat lebih singkat daripadaperlakuan panas kering. Selain
itu, aplikasi perlakuan uap panas juga dapat mencegah adanya residu bahan
Tabel 3 Perlakuan uap panas untuk memenuhi aturan karantina tumbuhan
Komoditas (asal) Negara tujuan Jenis perlakuan
Mangga (Filipina) Australia, Amerika Serikat
Temperatur 46oC selama 10 menit untuk target B. cucurbitae, B. philippinensis, dan B. occipitalis Mangga ‘Kensington’
(Australia)
Jepang Temperatur 47oC selama 15 menit untuk target B. tryoni
Pepaya ‘Solo’ untuk target B. cucurbitae.
Amerika Serikat Temperatur 46o
Jeruk (Meksiko)
C selama 20 menit untuk target C. capitata dan
Anastrepha fraterculus.
Amerika Serikat Temperatur 43.3oC selama 6 jam untuk target Anastrepha spp.
Sumber: JFTA (1996) dan APHIS (2011)
Saat ini fasilitas komersial perlakuan uap panas telah beroperasi di
Jepang, Thailand, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat (Monck dan Pearce
2007; Hansen et al. 1992). Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain
menerapkan aturan perlakuan untuk komoditas buah-buahan yang berasal dari
kawasan yang tidak bebas B. dorsalis, B. cucurbitae, dan C. capitata. Salah satu
metode yang dipersyaratkan adalah perlakuan uap panas. Sedangkan Australia
mengharuskan penerapan perlakuan uap panas 46oC selama 10 menit untuk
mendisinfestasi B. cucurbitae, B. occipitalis, dan B. philippinensis. Beberapa
contoh perlakuan uap panas sebagai aturan karantina tumbuhan dapat dilihat
pada Tabel 3.
Perlakuan uap panas dengan kelembaban lebih dari 90% digunakan oleh
APHIS-USDA untuk mendisinfestasi mexican fruitfly pada buah clementine,
anggur, jeruk, dan mangga. Uap panas juga dilaporkan efektif untuk
mendisinfestasi mealybug pada Pisum sativum (Follett et al. 2004) dan thrips
pada bunga potong (Hansen et al. 1992).
Perlakuan uap panas dimulai dengan periode pemanasan dimana lama
waktu yang dibutuhkan tergantung dari jenis komoditas yang diberi perlakuan.
Waktu perlakuan berdasarkan temperatur internal dari komoditas telah mencapai
temperatur yang diinginkan untuk membunuh serangga target. Selanjutnya
perlakuan uap panas biasanya diikuti pendinginan dengan air atau udara (Lurie
III. BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai
Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Karawang,
Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan Mei 2011 sampai
Nopember 2011.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah buah mangga varietas
gedong gincu, lalat buah B. papayae dan B. carambolae, dan pakan buatan.
Buah mangga pada tingkat kematangan awal diperoleh dari petani mangga di
Cirebon, Jawa Barat. Lalat buah stadia larva dan telur didapatkan dari
pembiakan massal yang dilakukan di Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai
Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Karawang,
Jawa Barat. Pakan buatan dengan komposisi bahan seperti pada Tabel 4
digunakan dalam pemeliharaan larva lalat buah.
Tabel 4 Komposisi pakan buatan lalat buah stadia larva untuk 1000 gram*
Bahan-bahan Jumlah
Dedak gandum 175 g
Gula 50 g
HCl 3.5% 20 ml
Sodium benzoat 0.75 g
Crude dry yeast 35 g
Tisu 25 g
Air 650 ml
*Sumber: JFTA (1996).
Peralatan yang digunakan terdiri atas: water bath Advantec, biotron
chamber Sanshu model STH-19P, mesin perlakuan uap panas merek Sanshu
model EHK-1000D, inkubator Sanyo MIR-254, kipas angin, timbangan analitik,
Metode Penelitian
Pengujian Pendahuluan
Identifikasi spesies lalat buah. Identifikasi dilakukan secara morfologis
terhadap spesimen pada stadia imago. Lalat buah yang diamati terdiri dari
beberapa spesies yang menjadi perhatian Jepang untuk dicegah introduksinya
ke negara tujuan. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan alat bantu
mikroskop stereo untuk mengamati karakteristik sayap, toraks, dan abdomen.
Identifikasi lalat buah yang termasuk dalam B. dorsalis complex, yaitu B.
papayae dan B. carambolae, dilakukan dengan pengukuran panjang aedeagus
lalat buah jantan dan panjang aculeus lalat buah betina. Pengukuran dilakukan di
bawah mikroskop kompon yang terintegrasi dengan program komputer.
Pembedaan antara B. papayae dan B. carambolae dilakukan dengan
pengamatan femur depan dan spot pada abdomen (Tabel 5).
Tabel 5 Perbedaan morfologi B. papayae dan B. carambolae*
Bagian tubuh yang
diamati B. papayae B. carambolae
Abdomen Ujung bercak pada terga III – IV berbentuk
runcing
Ujung bercak pada terga III – IV berbentuk
tumpul
Femur depan Tidak ada spot hitam Ada spot hitam
Panjang aculeus
Pemeliharaan dan perbanyakan lalat buah. Pemeliharaan secara
berkesinambungan diperlukan untuk menyediakan lalat buah dalam jumlah yang
memadai untuk pengujian perlakuan uap panas. Dua spesies lalat buah uji
dipelihara dalam biotron dengan temperatur 28 *Sumber: Drew dan Hancock (1994).
0
C dan kelembaban relatif 65 -
70%. Tempat peletakan telur dibuat dari gelas plastik yang telah dilubangi dan
diisi jus mangga. Pakan buatan untuk pemeliharaan stadia larva dilakukan dari
bahan-bahan sebagaimana tercantum dalam tabel 1. Semua bahan dicampur
dan dihaluskan dengan blender. Selanjutnya pakan buatan ditempatkan di
pakan. Telur lalat buah diinokulasikan ke permukaan pakan secara merata. Telur
diinkubasi selama 1 – 2 hari di biotron sampai proses penetasan. Lima hari
setelah inokulasi telur, kontainer berisi pakan buatan dan larva dipindahkan ke
sangkar khusus untuk pupasi. Sangkar khusus tersebut diberi pasir yang sudah
diayak. Stadia larva berumur 5 -7 hari pada kondisi pakan buatan. Larva instar
ketiga siap melenting ke pasir pada umur 5 sampai 7 hari setelah penetasan.
Pupa akan berumur sekitar 10 hari dan selanjutnya dipindahkan ke wadah
tersendiri. Pemindahan pupa diawali dengan pengayakan pasir yang telah
tercampur stadia pupa lalat buah. Pupa ditempatkan di sangkar untuk stadia
imago. Setelah bermetamorfosis menjadi lalat buah imago, nutrisi lalat buah
dipenuhi dengan pemberian pakan buatan gula dan autoliese yeast
(perbandingan 1:4). Stadia lalat buah yang berpotensi terbawa oleh buah segar
adalah telur dan larva. Oleh karena itu periode hidup lalat buah di dalam buah
mangga dan pakan buatan mutlak diketahui untuk persiapan pengujian.
Uji perkembangan lalat buah pada pakan buatan dan mangga.
Pengujian pendahuluan dibutuhkan untuk mengetahui periode hidup telur dan
larva lalat buah pada buah mangga dan pakan buatan. Informasi tersebut
berguna untuk keakuratan stadia uji yang dibutuhkan dalam perlakuan uap
panas. Peneluran dilakukan ± 1 jam, kemudian diinokulasikan ke pakan
buatan/mangga sebanyak 1 ml per 1 liter pakan. Pengamatan dilakukan setiap
hari sampai hari ke-9 setelah inokulasi telur ke pakan buatan. Sebanyak 300
larva diambil dari pakan dan dibunuh dengan air panas. Selanjutnya diidentifikasi
instar perkembangan setiap larva. Prosedur yang sama dilakukan terhadap lalat
buah di buah mangga, namun setiap mangga hanya diinokulasi 100 telur secara
artifisial. Selanjutnya diidentifikasi instar perkembangan setiap larva pada buah
mangga.
Uji Perendaman Air Panas
Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap pengujian. Tahap pertama
adalah pengujian perendaman air panas yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat toleransi spesies dan stadia hidup lalat buah terhadap panas serta
memberikan gambaran temperatur tinggi yang mampu membunuh lalat buah.
Pengujian perbandingan antar stadia menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) Faktorial dengan 3 ulangan. Stadia lalat buah yang diuji adalah telur dan
larva (tiga instar berbeda) masing-masing spesies. Temperatur yang digunakan
(kontrol), 5, 10, 15, dan 20 menit. Pengujian perbandingan antar spesies
menggunakan RAL Faktorial dengan 2 ulangan. Temperatur yang digunakan
adalah 46oC terhadap telur dan larva B. carambolae dan B. papayae. Waktu
perendaman hingga 20 menit dengan interval per 2 menit. Perbandingan
temperatur bertingkat menggunakan RAL Faktorial dengan 3 ulangan.
Perendaman dilakukan pada air dengan temperatur 44 – 48oC terhadap stadia
larva B. carambolae. Waktu perendaman yang digunakan adalah 0 menit
(kontrol), 5, 10, 15, dan 20 menit.
Tempat peletakan telur ditempatkan pada sangkar lalat buah selama ± 1
jam untuk mendapatkan sejumlah telur yang dibutuhkan. Selanjutnya telur
diinokulasikan ke pakan buatan. Inokulasi telur untuk mendapatkan larva sesuai
instar yang diinginkan dilakukan bedasarkan hasil uji perkembangan lalat buah di
pakan buatan. Peneluran untuk mendapatkan larva instar pertama dilakukan 2
hari sebelum perlakuan, larva instar kedua dilakukan 4 hari sebelumnya, dan
larva instar ketiga dilakukan 5 hari sebelumnya. Sedangkan stadia telur disiapkan
sehari sebelumnya.
Dua puluh individu larva/telur ditempatkan di tabung gelas beralas kain
kasa. Tabung gelas direndam dalam air pada water bath dengan temperatur
konstan 44ºC. Selanjutnya tabung gelas dipindahkan dari water bath sesuai
dengan lama perlakuan yang diinginkan dan didinginkan dengan air pada
temperatur ± 27ºC. Serangga uji kemudian diberi pakan dan ditempatkan di
biotron dengan temperatur 28o
Mortalitas terkoreksi (%) = x 100% 100 – mortalitas (kontrol)
Pada Gambar 3 disajikan skema prosedur perlakuan perendaman air
panas. Prosedur yang sama juga digunakan untuk perbandingan antar spesies
dan perbandingan temperatur bertingkat. Larva yang digunakan adalah instar
tiga karena mempunyai periode hidup paling panjang di buah mangga
dibandingkan instar lain.
C dan RH 65 – 70%. Pengamatan dilakukan dua
hari setelah perlakuan perendaman untuk memastikan bahwa serangga telah
benar-benar mati dan bukan hanya pingsan. Mortalitas terkoreksi digunakan
untuk mengeliminasi faktor di luar perlakuan yang mungkin mengakibatkan
kematian serangga uji. Mortalitas terkoreksi diperoleh melalui rumus Abbott:
Catatan: *) = tidak dilakukan untuk uji telur
Gambar 3 Skema prosedur perlakuan perendaman air panas terhadap telur dan larva lalat buah
Peneluran lalat buah
Pemindahan telur/larva ke tabung
Perendaman di air panas 44ºC selama 5, 10, 15, dan 20 menit
Pemindahan telur/larva ke pakan buatan dan simpan di temperatur 27ºC
Pengamatan
Pemindahan telur ke pakan buatan*) dan simpan di temperatur 27ºC
- 2 hari
Pendinginan di air temperatur ruang
Gambar 4 Pelaksanaan perlakuan perendaman air panas terhadap telur dan larva lalat buah
Uji Toleransi Jaringan Buah Mangga
Pengujian toleransi buah mangga gedong gincu terhadap temperatur
tinggi dilakukan dengan teknik perendaman air panas. Aveno et al. (2006)
menyatakan bahwa perendaman air panas pada temperatur di atas 55ºC
terhadap buah mangga akan mengakibatkan gejala scalding dan diskolorasi
buah. Pada temperatur 42-49ºC, mangga varietas tertentu yang direndam dalam
air panas akan menunjukkan luka atau kerusakan di dalam maupun permukaan
buah (Jacobi et al 2001). Temperatur yang digunakan dalam pengujian adalah
45ºC, 47ºC, dan 49ºC. Temperatur yang digunakan adalah temperatur pusat
buah mangga yang diukur dengan sensor. Perendaman air panas dilakukan
pada water bath yang dilengkapi dengan termometer merkuri bersertifikasi untuk
validitas temperatur.
Buah mangga dibawa dari kebun dengan karton plastik yang dilapisi
dengan kertas koran. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
kerusakan mekanis selama penanganan dan pengangkutan. Setelah di
laboratorium, mangga dicuci dengan air bersih untuk membebaskan buah dari
partikel tanah atau kotoran lain yang mungkin menempel di permukaan buah.
Setelah dikeringkan dengan kertas tisu, buah disortasi berdasarkan bobot buah.
bobot buah yang relatif seragam untuk pengujian. Hasil penimbangan ditulis
pada buah mangga dengan spidol hitam
Buah mangga direndam dalam air di water bath pada temperatur 49ºC.
Buah mangga kontrol direndam di air temperatur ruang (±27ºC). Buah
dipindahkan setelah mencapai temperatur perlakuan. Kemudian buah
didinginkan dengan penganginan untuk mengembalikan temperatur buah
seperti semula. Selanjutnya buah dilapisi kertas koran dan dimasukkan ke dalam
karton. Setelah itu, buah disimpan pada temperatur 13ºC di ruang pendingin.
Pengamatan dilakukan 1 hari setelah perlakuan untuk parameter bobot buah dan
warna kulit buah. Sedangkan pengamatan 5 hari setelah perlakuan meliputi
kondisi kekerasan, bobot, perubahan warna kulit, kandungan gula, dan rasa.
Warna kulit buah. Buah diamati untuk memastikan apakah terjadi
perubahan penampilan fisik yang mengarah ke penurunan kualitas buah dan nilai
jual pemasaran. Penurunan kualitas dapat berupa pembusukan dan diskolorasi
kulit buah. Perubahan warna pada buah mangga, sebelum dan sesudah
perlakuan diukur dengan alat color reader (Konica Minolta CR-13). Pengukuran
dilakukan pada bagian pangkal dan ujung buah. Nilai pengukuran menggunakan
sistem L*a*b dimana nilai L menunjukkan tingkat kecerahan. Nilai a menunjukkan
warna kromatik campuran merah hijau yang nilainya bergerak dari positif untuk
warna merah sampai negatif untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna
kromatik campuran biru kuning yang nilainya bergerak dari positif untuk warna
kuning sampai negatif untuk warna biru. Pengukuran warna kulit buah setelah
perlakuan dilakukan 1 hari dan 5 hari setelah perlakuan.
Bobot. Bobot sebelum dan sesudah perlakuan perlu diketahui untuk
mengetahui kemungkinan adanya penurunan bobot buah. Setelah perlakuan,
setiap buah ditimbang dengan timbangan analitik dan dibandingkan dengan hasil
penimbangan sebelumnya. Penimbangan bobot buah setelah perlakuan
dilakukan 1 hari dan 5 hari setelah perlakuan.
Kandungan gula. Pada beberapa buah, perlakuan panas dapat
mempengaruhi kandungan gula, seperti apel dan muskmelon (Lurie 1998). Jus
diambil dari bagian yang sama untuk setiap buah. Kandungan gula pada buah
diukur dengan digital refractometer (Atago PAL-1) dengan meneteskan jus pada
prisma refraktometer. Nilai kandungan gula ditentukan dengan melihat angka
dilakukan 5 hari setelah perlakuan. Hasil perhitungan kemudian dibandingkan
dengan kandungan gula buah mangga kontrol.
Gambar 5 Diagram alir proses pengujian toleransi buah mangga dengan perendaman air panas
Tingkat kekerasan. Pengukuran tingkat kekerasan buah dilakukan
dengan hardness meter. Pengukuran dilakukan pada sisi yang sama dari setiap
buah. Terlebih dahulu buah mangga dibelah dan data diambil dari sisi dalam
buah mangga. Nilai pengukuran tingkat kekerasan dilakukan 5 hari setelah
- 1 hari
Buah mangga var. gedong gincu
Pencucian, sortasi
Perendaman air panas 45ºC, 47ºC, 49ºC, dan kontrol (27ºC)
Penyimpanan Pengamatan: bobot, warna
Penyimpanan Penyimpanan
Pengamatan: bobot, warna
Pengamatan: bobot, warna, kekerasan, kandungan gula, dan rasa