• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG USULAN PENGGUNAAN

A. Pembelajaran

2. Paradigma-Paradigma Pembelajaran

Menurut Miftahul Huda (2012:36) seorang guru yang hendak mengajar harus membawa lebih dari satu teori pengajaran agar ia mampu memperoleh perspektif yang jelas tentang keberagaman aspek dalam proses pembelajaran. Pendapat Miftahul jelas untuk mengusahakan kesuksesan dalam pembelajaran siswa. Kesuksesan itu terlihat jika terdapat perubahan antara pra-pembelajaran dengan paska-pembelajaran. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang diharapkan dalam perencanaan pembelajaran.

Beberapa paradigma teoretis tentang pembelajaran dan pengajaran berusaha untuk mejelaskan fenomena pembelajaran selengkap mungkin. Namun dalam realitas pembelajaran yang terjadi, selalu berbeda dengan apa yang terdapat dalam paradigma-paradigma yang ada. Berikut ini beberapa paradigm teoretis yang umumnya mendasari praktik pengajaran selama ini.

a. Pembelajaran sebagai Rekonstruksi Pengalaman

Bogner merangkum pemikiran Dewey tentang pembelajaran dan memandang pembelajaran sebagai rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman

13 yang membuat pengalaman itu lebih bermakna dari sebelumnya (Miftahul Huda, 2012:37).

Pembelajaran melibatkan kemampuan pembelajar untuk membentuk hubungan-hubungan antara berbagai gagasan, makna dan peristiwa. Dengan demikian pembelajaran pada hakikatnya adalah proses membangun relasi antara lingkungannya (pengalaman) dan pikiran serta tindakannya. Dengan kata lain “pembelajaran dihasilkan melalui refleksi terhadap pengalaman”

b. Pembelajaran sebagai Perkembangan Kognitif

Piaget berfokus bagaimana perkembangan bahasa berpengaruh terhadap proses berfikir. Teorinya menegaskan bagaimana perkembangan kognitif bergantung pada usia. Prinsip dasarnya adalah anak-anak mengonstruksi cara berfikirnya sendiri. Ada kemiripan perspektif antara Dewey dan Piaget dimana pengetahuan yang ada sekarang terbentuk dari pengetahuan sebelumnya. Perbedaannya adalah bagi Piaget pengetahuan sebelumnya dibentuk sendiri oleh seorang anak dan bukan terbentuk dari pengalaman.

Bagi Piaget seorang anak akan mencari keseimbangan antara pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan pengetahuan yang ia temukan dalam pengalamannya. Yang pertama muncul ketika seseorang mendapati kenyataan yang sesuai dengan pengetahuannya atau konsep berfikirnya (asimilasi). Yang kedua muncul ketika seorang anak menyadari bahwa apa yang menjadi realitas tidak sesuai dengan apa yang menjadi pikirannya, sehingga ia mengubah cara berfikirnya (akomodasi). Dengan demikian pembelajaran terjadi ketika seseorang mampu menyesuaikan atau mengembangkan pola pikirnya sesuai dengan perkembangan lingkungan.

c. Pembelajaran sebagai Konstruksi Sosiokultural

Paradigma ini didasarkan pada pembelajaran sebagai konstruksi pengetahuan di antara individu dan masyarakat. Manusia sebagai bagian dari lingkungan sosial, mendapatkan pengetahuan dari kehidupan sosial itu sendiri. Vygotsky melihat level-level berfikir tingkat tinggi seperti memori, perhatian, pembuatan keputusan, dan pembentukan konsep (Miftahul Huda, 2012:45).

Bagi Vygotsky setiap orang adalah bagian dari lingkungan sosial sejak ia dilahirkan. Dengan demikian hidupnya secara keseluruhan sangat bergantung pada kondisi sekitarnya seperti lingkungan rumah, keluarga, masyarakat dan sekolah. Meskipun Vygotsky sepaham dengan Piaget yang mengatakan bahwa bahasa merupakan sarana yang sangat penting untuk memecahkan masalah, ia menegaskan bahwa terdapat 3 aspek dalam kompetensi anak yaitu:

“Zona Aktual”, merujuk pada apa yang dapat dilakukan seorang anak secara mandiri.

“zona potensial”, yang merujuk pada apa yang dilakukan seorang anak untuk mengatur dirinya sendiri dengan bantuan orang lain.

“zona perkembangan dekat”, zona ini ada di antara dua zona sebelumnya yaitu tentang bagaimana seorang anak menyelesaikan masalah dengan pengetahuan yang dimilikinya dan juga memanfaatkan pertolongan orang lain yang lebih mampu.

Individu yang belajar seringkali dianggap sebagai orang yang membutuhkan tuntunan dari mereka yang lebih berkompeten, dalam hal ini guru. Dengan demikian jika melihat bagaimana Vygotsky memandang pembelajaran maka, tugas-tugas yang diberikan guru seharusnya difokuskan kepada tugas-tugas

15 yang dapat dikerjakan oleh siswa sendiri, bersama temannya dan tanpa bantuan guru.

d. Pembelajaran sebagai Perkembangan Ekologis

Tokoh di belakang paradigma ini adalah Bronfenbrenner (1979) yang sangat menekankan seting sosial di mana pembelajaran itu seharusnya terjadi (Miftahul Huda, 2012:47). Pembelajaran terjadi ketika perkembangan seseorang dipengaruhi oleh relasi sosial yang muncul dalam dan di antara seting yang berbeda di mana ia berpartisipasi di dalamnya.

Dengan demikian paradigma ini seperti permainan peran yang banyak dimainkan dalam drama. Dalam pembelajaran ini guru mendesain lingkungan belajar sedemikian rupa untuk menempatkan siswa dalam berbagai aktivitas seperti menjadi pemimpin, seniman, ilmuan atau kolaborator.

e. Pembelajaran sebagai Kolaborasi Individu-Individu

Bagi Wenger interaksi dengan orang lain dapat membantu individu menjalani proses pembelajaran yang lebih positif dibandingkan jika ia melakukannya sendiri (Miftahul Huda, 2012:49). Komponen dari jenis pembelajaran semancam ini adalah interaksi verbal yang harus terjadi di dalam sebuah kelompok. Selain itu siswa juga harus merasa menjadi bagian dari kelompok itu yang terlihat dengan kekompakan dan cara kelompok itu menyelesaikan masalah.

Sejalan dengan hal ini Miftahul Huda (2015) melihat ide cooperative learning sebagai model belajar yang lebih efektif. Terbukti menjadi cara belajar yang lebih baik dari pada cara sebelumnya yaitu competitive learning.

f. Pembelajaran sebagai Representasi Gaya Belajar Individu

Dalam kenyataan pembelajaran, terdapat siswa-siswa dalam satu kelas memiliki prestasi yang baik. Namun di tempat lain tidak demikian. Selain itu seorang yang menguasai satu disiplin ilmu sering kali tidak menguasai disiplin ilmu lainnya. Dari observasi kenyataan semacam inilah para pendidik dan teoritikus berpendapat bahwa setiap individu memiliki cara belajarnya sendiri-sendiri yang dipengaruhi juga oleh kemampuan perspektif, pemrosesan kognitif, manajemen informasi dan keragaman sensoriknya (Miftahul Huda, 2012:53).

Dunn dan Dunn memiliki sebuah teori belajar yang melihat bagaimana cara belajar seseorang dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Teorinya didasarkan pada teori lateralisasi otak (brain lateralization theory). Dalam diri seseorang bisa jadi bahwa belahan orak bekerja lebih dominan dibanding dengan belahan tubuh yang lain. Dengan teori ini dijelaskan bahwa seseorang dapat belajar di manapun karena lingkungan instruksional, sumber daya, dan pendekatan yang berbeda-beda akan berpengaruh pada kekuatan gaya belajar.

Model belajar Dunn dan Dunn dimulai dari lingkungan belajar yang mencakup dekorasi kelas, suara, lampu, temperatur ruangan dan sebagainya. Selanjutnya ada pula faktor emosional yang mencakup elemen motivasi, tanggungjawab ketekunan dan struktur. Kemudian ada faktor sosiologis yang terlihat dalam dinamika kelas seperti bekerja sendiri, bekerja berpasang-pasangan dan bekerja berkelompok. Faktor yang keempat adalah faktor psikologis dengan elemen preferensi perseptual (seperti audiotoris, visual, taktil atau modalitas kinestetik), asupan makan, target waktu dan mobilitas. Faktor terakhir adalah

17 faktor fisiologis yang mencakup elemen analitis (matematika dan sains) dan global (seni) (Miftahul Huda, 2012:55).

Elemen-elemen di atas merupakan elemen-elemen yang jika dipadukan dapat mempengaruhi siswa alam proses pembelajaran. Model ini didasarkan pada ilmu neuropsikologis dan kognitif.

g. Pembelajaran sebagai Perkembangan Self-efficacy

Self-efficacy adalah perasaan efektifitas diri seseorang dan bagaimana ia berpengaruh terhadap pembelajaran. Teori ini dikemukakan oleh Bandura yang membahas berbagai faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan seseorang saat merasakan bahwa dirinya berada dalam kondisi yang baik (Miftahul Huda, 2012:58).

Dokumen terkait