• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoks Media

Dalam dokumen RESUME BUKU SISTEM POLITIK INDONESIA (Halaman 34-39)

Pasca-Pemerintahan Orde Baru telah memberi ruang kebebasan yang cukup besar kepada media massa, mulai dari kebebasan untuk berdiri sampai kebebasan untuk memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi. Isu-isu yang pada masa pemerintahan Orde Baru di anggap tabu untuk diberitakan, saat ini bisa leluasa disebarluaskan, kepada masyarakat. Liputan media massa juga yang telah melahirkan tekanan-tekanan dari publik kepada Pemerintah atau pejabat publik yang dianggap bermasalah.

Kasus perselisihan antara Kepolisian-Kejaksaan-KPK merupakan contohnya. Media massa menceritakan keputusan kepolisian yang menetapkan dua pimpinan KPK, Chandra-Bibit, sebagai sesuatu yang tidak dilandasi oleh pertimbangan hukum yang kuat. Melalui media, Bibit-Chandra melakukan perlawanan dengan argumentasi bahwa apa yang dituduhkan tidak benar. Tekanan publik itu telah membuat Presiden SBY membuat keputusan yan lebih arif, meskipun keputusannya di cap lambat. Presiden membentuk Tim Independen untuk menyelidiki kasus itu.

Dalam situasi semacam itu, media massa telah menjadi bagian dari institusi untuk menjaga keberlangsungan demokrasi pasca-pemerintahan Orde Baru. Manakala ditenggarai terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalam ruang publik, media, dalam kasus itu, telah berfungsi sebagai instrumen San aktor untuk mengontrol.

Berkaitan dengan kepentingan model itu, pertanyaannya adalah apakah ketika media massa menyiarkan berbagai isu yang berkaitan dengan publik itu berarti media massa telah melakukan pemihakan kepada publik ataukah demi keberlangsungan media itu sendiri? Jawaban dari pernyataan ini jelas tidak sederhana. Lebih-lebih kalau berkaitan dengan realitas bahwa banyak hal itu saling terkait satu sama lain.

Adanya kebebasan yang sangat besar kepada media tidak serta-merta menghilangakan ancaman kepada mereka, termasuk para wartawan yang menjadi motor bagi media. Media massa telah memungkinkan ruang publik pasca-pemerintahan Orde Baru ini berlangsung lebih dinamis.

Melalui media, interaksi antara aktor-aktor politik lebih intensif. Realitas demikian merupakan salah satu modal penting bagi bangunan negara Indonesia demokratis di masa depan.

Penutup

Media massa memiliki peran yang cukup penting di dalam proses demokratisasi pasca-pemerintahan Orde Baru. Bahkan, media massa yang sebelumnya menjadi objek kontrol dari Pemerintah, telah memiliki andil yang cukup besar bagi penyebaran gagasan dan gerakan tentang pentingnya mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang otoriter.

Pasca-pemerintahan Orde Baru telah memungkinkan media massa tumbuh dan berkembang tanpa kontrol yang kuat dari Pemerintah. Meskipun demikian, pada akhirnya media massa juga tidak bisa lepas dari hukum pasar. Kecenderungan semacam itu memungkinkan media massa memiliki paradoks di dalam dirinya. Di dari sisi media massa Harus merefleksikan berbagai suara yang terdapat di dalam masyarakat, juga sebagai aktor untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.

BAB 15

AGAMA DAN POLITIK:

KEBANGKITAN POLITISASI AGAMA DAN PARADOKS DEMOKRASI

PENDAHULUAN

Secara politik, kecenderungan adanya sekularis agama pada masa pemerintahan orde baru itu cukuplah kuat. Hal ini terlihat dari adanya pelarangan partai-partai yang secara khusus didasarkan pada agama tertentu (karena semuanya harus berasas pancasila), meskipun masih memperoleh adanya partai tertentu yang memiliki pijakan orientasi spiritual di dalam programnya. Dengan kata lain, agama tidak dianggap sebagai fakta politik melainkan sebagai fakta kultural.

Konstruksi seperti itu mengalami perubahan setelah runtuhnya pemerintahan jendral soeharto itu. Hal ini ditandai oleh kemunculan kembali partai-partai politik yang berbasis agama. Disatu sisi, kencenderungan demikian merupakan cerminan dari menguatnya kebebasan berpolitik di Indonesia.

KEBANGKITAN PARTAI BERBASIS AGAMA

Adanya perubahan perangkat kelembagaan yang mengatur partai politik (UU tentang partai politik), kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat maupun kelompok-kelompok

politik yang sudah melakukan rekonstruksi sendiri-sendiri tentang perlembagaan politik yang diinginkan.

Secara politik, kemanajemukan demikian terkekang kuat sejak 1957 ketika pemerintahan soekarno mulai otoriter dan berlanjut pada masa pemerintahan orde baru. Karena itu, ketika kekangan itu memudar akiba proses demokratisasi, kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat itu lalu memiliki kesempatan yang leluasa untuk mendirikan partai-partai politik. Secara teoretis, menguatnya kembali partai aliran itu menjadi sesuatu yang problematic.

Fenomena menguatnya politisasi agama itu bertabah besar di Negara-negara sedang berkembang, seperti amerika latin. Dimana banyak sejumlah greja katolik yang menganut teologi pembebasan membangun aliansi dengan politisi untuk memengaruhi kebijakan-kebijkaan public yang pro kelompok miskin.

Di Indonesia, munculnya partai politik berbasis agama tidak lepas dari adanya kesempatan yang luas setelah keruntuhan pemerintajan orde baru, adanya sumber daya yang memadai, dan motivasi untuk mempengaruhi proses-proses politik berdasarkan agama-agama tertentu. Meskipun demikian, kemunculannya, tidak bisa semata-mata dipahami sebagai akibat runtuhnya pemerintahan otoriter dan menguatnya proses demokratisasi.

Tetapi, di pihak lain, pemerintahan orde baru mendukung berkembangnya islam yang bercorak kultural. Karena itu, mskipun secara politik umat islam terpinggirkan, secara kultural kekuatan islam dipersilakan berkembang dan mengalami perbaikan. Meskipun secara kuantitatif jumlah umat islam di Indonesia tidak mengalami penambahan, pemahaman keagamaan umat islam pada masa pemerintahan orde baru mengalami perbaikan.

KELOMPOK KEPENTINGAN DAN PENEKANAN BERBASIS AGAMA

Pada masa orde baru, kekuatan-kekuatan isam yang memiliki basis kuat adalah nahdlatul ulama (NU) dan muhammadiyah. Keduanya merupakan organisasi keagamaan berbasis islam terbesar di Indonesia. Di samping dua organisasi ini juga terdapat organisasi keagamaan islam lainnya, dan juga ada organisasi-organisasi keagamaan di luar islam. Tetapi, kekuatan dan pengaruh organisasi-organisasi tersebut juga berada di bawah NU dan Muhammadiyah.

Muhammadiyah didirikan pada 1912 oleh Kiai Achmad Dahlan di Yogyakarta. Secara sosiologis, muhammadiyah berada di wilayah perkotaan. Sementara itu, NU didirikan pada 31 januari 1926 pleh para ulama pengikut mazhab. Secara sosiologis, NU berada di wilayah pedesaan.

Runtuhnya pemerintahan soeharto membuat NU dan Muhammaiyah terlibat di dalam proses pembentukan partai politik, NU secara aktif menfasilitasi pembentukan partai-partai oleh warganya. Secra tidak ;angsung, NU bajkan merestui berdirinya PKB. Sementra itu, tokoh-tokoh Muhammdayiyah terlibat dalam pendirian PAN.

Bagi dua kelompok ini, ajaran islam tidak mewajibkan berdirinya Negara islam, tetapi lebih pada implementasi syariah islam. Sementra yang lain beranggapan tentang pentingnya Negara islam. Sama dengan munculnya partai-partai yang berbasis agama, kemunculan

kelompok-kelompok islam garis keras itu tidak lepas dari upaya untuk memanfaatkan iklim keterbukaan yang menguat pasca runtuhnya pemerintahan orde baru.

Memang, sampai sejauh ini, kelompok-kelompok garis keras itu masih tergolong minoritas di Indonesia, karena pendukungnya relative kecil. Sebagian besar umat islam idonesia masih cenderung berafilasi dengan kelompok-kelompok islam yang bercorak modert seperti NU dan Muhammadiyah. Tetapi, menginggat kelompok-kelompok itu cukup vocal di dalam menyuarakan aspirasi dan aksinya, sperti melalui aksi demokrasi dan pengrusakan terhadap tempat-tempat maksiat, suara dari kelompoik-kelompok demikian terdengar lantang.

PARADOKS DEMOKRASI

Munculnya kembali kekuatan politik berbasis agama, atau menguatnya pengaruh agam di dalam proses-proses politik, memang bukan khas yang terjadi di Indonesia. Dinegara-negara yang sebelumnya sangat sekulatisasinya seperti amerika serikat dan Negara-negara eropa barat, kecenderungan adanya interaksi yang lebih besar antara agama dan Negara juga terjadi.

Secara procedural, partai-partai berbasis agama yang mencoba ikut dalam perebutan kekuasaan melalui pemilu memang tergolong kelompok keyakinan bahwa pemilu merupakan lembaga yang sah di dalam memperebutkan dan memepertahankan kekuasaan. Di dalam agenda politik, partai ini memiliki keinginan untuk membangun pemerintahan yang bersih, yang lebih baik, termasukuntuk membasmi praktik korupsi. Tetapi di dalam agenda yang tersembunyi, partai ini berusaha membangun islam puritan dan penerapan syariah.

Di dalam gerakan-gerakan keagamaan berusaha mempengaruhi dan berkuasa dalam pemilu secara demokratis. Memang, selama ini, masalah kompatibel tidaknya islam dengan demokrasi telah menjadi pedebatan di kalangan akademis. Tetapi, fakta bahwa banyak Negara yang berkomunitas islam itu terkategori sebagai renzim yang tidak demokratis tidak bisa dikatakan sebagai indikasi bahwa penduduknya tidak mendukung adanya renzim alternative yang demokratis.

Relasi yang terjadi di Negara-negara berpenduduk muslim pada decade-dekade belakangan ini membuat kesimpulan semacam itu perlu dibuktikan secra empiris pada waktu-waktu mendatang. Pertama, tidaksedikit Negara-negara itu memiliki pemerintahan yang bercorak otoriter. Kedua, ketika proses demokratisasi sedang berlangsung, salah satu kekuatan penting yang (hendak) mengubah pemerintahan otoriter itu adalah kelompok yang memperjuangkan syariah islam.

PENUTUP

Di Indonesia, munculnya politik aliran itu tidak saja terefleksi dari munculnya partai-partai politik yang didasarkan atas agama tertentu. Pasca-pemerintahan Soeharto juga mencatat semakin menguatnya kelompok-kelompok kepentingan atau penekanan di dalam memperjuangkan nilai-nilai islam. Kemunculan partai dan kelompok kepentingan berbasis agama yang terseiring dengan proses demokratisasi itu merupakan permasalahan tersendiri bagi perkembangan demokrasi ke depan.

BAB 16 PENUTUP : ARAH SISTEM POLITIK INDONESIA,MAU KEMANA?

Melalaui perspektif komparatif-komparatif historis dapat diketahui bahawa proses demokratisasi di berbagai negara belahan dunia tidak semuanya selalu berjalan linier.tidak semua negara itu serta merta bisa bergerak secara mulus mencapai kondisi sebagaimana di negara negara yang kehidupan demokrasinya sudah mapan.hal ini serupa dialami oleh indonesia yang mengalami proses demokratisasi secara kuat swiring dengan kejatuhan pemerintahan orde baru 2 mei 1998.secara prosedural,cukup mudah bagi indonesia untuk memylai dan menjalnkan proses demokrasi.perangkat kembagaan bagi demokrasi yang memungkinkan tersedianya hak hak politik dan hak sipil,misalnya relatif mudah diciptakan dalam kurun waktu yang singkat.demikian perangkat kelembagaan yang memungkinkan check and balance.melalui indikator adanya kebebasan membentuk partai politik dan pemilu yang bebas dan adil kita kita bisa secara mudah mengatakan bahwa indonesia telah menjadi salah satu negara demokratis terbesar

MASALAH KONSOLIDASI DEMOKRASI

Sebagaimana dikemukakan oleh andreas schedler (2001:66),konsepkonsolidasi demokrasi itu pada awalnya dipahami secara sederhana (thin) manakala terdapat suatu negara yang menghadapi tantangan stabilisasi rezim.konsep demikian misalnya terlihat dari pandangan o donnel (1996:37) yang memahami suatu rezim demokrasi terkonsolidasi demokrasi seperti ini melahirkan tiga makna.pertama,konsep demikian ‘negatif’karena lebih cenderung menghindari kembalinya rezim otoriter dari pada mencapai tahapan demokrasi yang paling atas.kedua,konsep demikian ‘beriorentasi ke luar’(forward looking( karena lebih cenderung mengharapkan stabilitas rezim di masa mendatang danvukan merujuk pada rekam jejak stabilitas demokrasi di masa lampau.terakhir,konsep seperti ini cenderung mengadopsi perspektif ahli ‘eksternal’yang menekankan penilain para ahli tentang kelangsungan hifup rezim rezim demokrasi dari pada perspektif partisipan ‘internal’yang menekankan subjektivitas hrapan harapan para elite politik warga negara.

Demokrasi dikatakan terkonsolidasi apabila terdapat regularitas adanya rutinitas dan kesinambungan ,didalam mekanisme berdemokrasi.misalnya,adanya pemilu yang jujur dan adil secara priodik,yang berati adanya mekanisme yang memungkinkan adanya pergantian pemimpin atau pertanggungjawaban secara politik.selain itu semuapihak baik elite maupun masa menikmati mekanisme semacam kelompok kelompok tertentu saja.kalaupun ada yang menguntungkan dan dirugikan,hal itu tidak lepas dari adanya keterbatasan sumber sumber yang diperebutkan.tetapi,semua dilakukan secara adil dan

terbuka,termasuk adanya keterbukaan untuk mengontrol kebijkan kebijakan yang dipandang menghasilkan ketimpangan ketimpangan semacam itu.

MENUJU PEMATANGAN SISTEM DEMOKRASI.

Ditingkat kelembagaan,penataan lembaga lembaga politik yang memungkinkan adanya bangunan sistem politik yang demokratis,perlu dilakukan secara lebih siatematis adanyabangunan sistem politik yang mampu menghasilkan para wakil yang responsif dan accountable,perlu dilerkuat dan dilaksanakan secara konsisten.tidak hanya itu,desain sistem pemilu tertentu juga diperlukan untuk untuk menghasilkan sistem kepartaian yang memungkinkan terwujutnya pemerintahan yang stabil.melalui pembangunan seperti ini ,partisipan politik masyarakat juga dimungkinkan terjadi.demikian ,terdapat keterkaitan antara para elite dengan anggota masyarakat yang memilihnya.artinya para elite itu merupakan refleksi dari apa

yang terjadi di dalam masyarakat,maupun merumuskan ,membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan bersama sebagaimana diinginkan oleh masyarakat.

Dalam dokumen RESUME BUKU SISTEM POLITIK INDONESIA (Halaman 34-39)

Dokumen terkait