• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESUME BUKU SISTEM POLITIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RESUME BUKU SISTEM POLITIK INDONESIA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME BUKU SISTEM POLITIK INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik

Dosen Pengampu : Endik Hidayat.,SE,M.IP

Disusun Oleh : Moh.Sunardi

Nim : 17031133

PROGRAM STUDI ADMINITRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA

SURABAYA

(2)

IDENTITAS BUKU

JUDUL BUKU : sistem politik indonesia

PENULIS : prf.dr.kacung marijan

TEBAL BUKU : 364 halaman.

UKURAN BUKU : 15 x 23

PENERBIT : PRENADAMEDIA GRUP

TERBIT : 2010

CETAKAN : keempat, januari 2015

ISBN : 978-602-8730-16-7.

JUMLAH HALAMAN : xxii+ 364 halaman

JUMLAH BAB : 16 bab

DESAIN COVER : cirlcestuff design

JENIS COVER : soft cover

(3)

BAB 1

PENDAHULUAN

transfer kekuasaan dari preseden soeharto kepada wakil presiden b.j .habibi pada 21 mei 1998 telah membawa perubaan-perubahan yang berarti pada sistem politik indonesia.di tingkat makro,perubahan ini terlihat dari adanya transformasi sistem politik indonesia,dari yang sebelumnya bercorak otoriter kearah yang lebih demokratis.paling tidak,pintu menuju proses demokratisasi sejak saat itu menjadi terbuka lebar.secara persial,kecendrungan itu terlihat dari adanya perubahan relasi antara pemerintavpusat dengan pemerintah daerah,dari yang bercorak sentralistis ke corak yan lebih terdesentralisasi,juga perubahan-perubahan kerangka kelembagaan lainya,seperti adanya sistem multi partai ,pelaksanaan pemilu yang relefatif lebih demokratis,adanya pers bebas,dan adanya menjadikan birokrasi dan militer sebagai kekuatan profesional tetapi netral secara politik.

Jika dibndingkan transfer kekuasaan antara presiden soekarno kepada presiden soeharto seusai peristiwa 30 september 965,telah terjafi perubahan besar-besaran (replacement),para penguasa baru mencari format ekonomi politik baru melalui dua agenda utama yaitu stabilisasi ekonomi dan setabilisasi politik,sebagaimana dicatat oleh herbert feith,ddua agenda iti diwujudkan ke dalam pencarian lima bentuk ketertiban,yaitu’political order,sicial order,economic order,legal order,dan security order’(feith 968:94)

Krisis ekonomi yang tiba-tiba melilit kuat pada 1997/1998 menjadikan negara orde baru yang sebelumnya saat kuat berubah menjadikan negara orderbaru yang rentan secara ekonomi dan politik.akibat krisis ini,penguasa meminjam istilah gaetano mosca (1959),yang ada mengalami guncangan hebat dan mengalami keretakan,kosekuensinyayang ada saat itu sangat rentan oleh perpecahan dan tergantinkan oelh kelas penguasa yang lain

Fakta kuatnya fondasi dan stabilitas ekonomi order baru sangat terlihat pada 1970-an dan 1980-an,ketika negara orde baru berupaya membangun infrastruktur dan meluncurkan program-program untuk memenuhi kebutuhan pokok (sjahrir 1983),kususnya dibidang kesehatan dan pendidikan.akan tetapi stabilitasdan fondasi ekonomi yang kuatitu mulai merosot terutama pada paruh kedua tahun 1990-an,yakni ketidak mampuan mempertahankan pertumbuhan ekonomi ditambah dengan penurunan tajam kemampuan daya beli masyarakat dan kekecewaan-kekecewaan lain dari masyarakat kepada negara telah membawa negara kehilangan legistimasi.

Akumulasi proses demokrasi

(4)

intrlektual dan mahasiswa berusaha menyuarakan sesuatu yang lain,yaitu berusaha membuka sistem politik ke arah yang lebih demokrasi (aspinall 20015;nyaman 2006).

Memimjam kerangka analisis sistemnya david easton (1957) proses demokrastisasi yang berkosekuensi pada tumbangnya pemerintahan orde baru itu,merupakan akibat dari ketidakmampuan sistem politik untuk merespon tuntuta-tuntutan (demand)yan berkemban di masyarakat.pemerintah orde baru termasuk lamban di dalam melakukan respon terhadap tuntutan-tuntutan bagi percepatan demokratisasi.berbagai saran agar pemerintah lebih terbuka dalammembangun sistem politik,tidak memperoleh tanggapan yang berarti.saran itu bahkan bukan hanya datang dari kalangan akademisi dan intelek prodemokrasi.sejumlah jendral purnawirawan yang pada awalnyavpernah dekat dengan soeharto seperti jendral suemitro juga memberi saran agar iklim keterbukaan lebih dikembangkan.

Pemerintahan soeharto menjadi ketakutan kalau PDI dipimpin oleh megawati soekarno putri,prolehan suaran PDI dikhawatirkan akan terus beranjak naik dan akan menjadi ancaman serius bagi golkar.karena itu,megawati dianggap sebagai ancaman nyata bagi pemerintahan soeharto.tetapi upayacuntuk menghadang megawati itu justru menjadi bumerang bagi pemerintahan soeharto sendiri.puncaknya adalah ketika terdapat pasukan siluman yang tiba-tiba menyerang kantor DPP PDI pada 27 juli 1996 yang terkenal dengan sebutan kudatuli (kudeta duacpuluh tujuhjuli)

Tidaklah mengherankan,ketika krisis ekonomi menjadi trigel pamungkas bgi pemerintahan orde batu,simpati kuatvkepada megawati terus berlanjut,pada pemilu 1999 pemilu pertama pasca suara PDIP,partai yang dipimpin memperoleh suara yang sangat signifikan dan keluar sebagai pemenang pemilu.disepanjang pemerintahan orde baru ,sudah terfapat kekuatan perlawanan,mulai dari gerakan mahasiswa,LSM,sampai kelompok yng didirikan oleh toko masyarakat seperti ‘petisi 50’dan ‘forum demokrasi’.

Sistem politik yang berubah

Para analisis yanvmenggunakan perspektif kelas(hiariej,2015;robison dan hadiz,2014)didalam memahami jatuhnypemerintahan soeharto berpandangan bahwa keruntuhan penguasa orde baru itu tidak serta merta akan diiringi oleh proses demokratisasi.

Regangan

(5)

BAB 2 PELEMBAGAAN SISTEM POLITIK DEMOKRATUS:PEMBAGIAN DAN PEMISAHAN KEKUASAAN

PENDAHULUAN

Kekuasaan merupakan masalah sentral didalam suatu negara,karena negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan memiliki kekuasaan yan otoriter bakan dalam pandangan max weber ,kekuasaan didalam suatu ngara itu mencangkup penggunaan paksaan yang absah didalam suatu wilayah tertentu,masala kekuasaan itu pula sering dijadikan sebagai titk tolak untuk membuat tipologi tentang rezim suatu negara,tepatnya berkaitan dengan tipologi tentang negara negara yang demokratis (otoriter maupun totaliter).

Dinegara otoriter atau totaliter,kekuasaan itu bersumber dari atas (aristokrat,penguasa).sementea itu di ngara demokratis kekuasaan itu bersumber dari bawah atau rakyat.sementara itu,dinegar negara yang demokratis,kekuasaan itu terbatas dan terdistribusi ke sejumlavkekuatabatau lembaag lembga politik.dengan kata lain adanya penyebaran dan pembagian kekuasaan,serta adanya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan itu.

PROBLEM SENTRALISASI KEKUASAAN

Kecendrungan utama yang membuat indonesia terjebak pada sistem politik yang otoriter sejak akhir 1950-an sampai akhir 1990 an adalah adanya sentralisasi kekuasaan yang menguat pada pribadi,kelompok,atau institusi tertentu (aspinall 3005;jackson 1978;liddle 1985;maclntyre 1991).mengingat sentralisasi kekuasaan itu mesala utama di dalam sistem politik indonesia dimasa lalu,ketika reformasi politik menguat hal ini menjadi perhatian serius.para pelaku reformasi berusaha mengatasi masalah itu melalui desain kelembagaan (institutional design) yan ada di lembaga lembaga politik yang berkaitan dengan kekuasaan ,agar kekuasaan yang ada tidak cenderung mengarah kepada sistem yang otoriter.

Secara sederhana yang dimaksut dengan pemisahan kekuasaan adalah involes the pulling apart of district power and allocating them to distint agent,rather than bundling them together in the hands of a single agent(brennan dan hamlin,2000:212).secara umum hal ini terlihat antara pemisahan lembaga eksekutif,legislatif danyudikatif.sementara itu yang dimaksut dengan perbndingan kekuasaan adalah to take a particular power (or set of power)and spead it across agents so that no one individual is uniquely powerful(brennan hamlin 2000:212),contoh sederhana di dalam pembagian kekuasaan adala adanya sistem bikameral di dalam parlemen yaitu lembaga DPR yang mewakili orang dan adanya lembaga senat mewakili daerah.

(6)

dalam kontrks itulah lalu muncul pandangan bahwa sepanjang diberlakukannya UUD 1945 selalu menghasilkan pemerintahan yan tidak demokratis (indrayana ,2008:125-136;mahfud md,1998:6)

AMENDEMEN UUD1945 DAN MASALAH KEKUASAAN

Mengingat konstitusi merupakan landasan fundamental dalam penyelenggaraan negara,termasuk pengaturan di dalam relasi yang ada dalam lembaga lembaga neagara.secarakonstitusional adanya amendemen memang dimungkinkan,sebagaiman dikemukakan oleh mahfud md (1999:59),hal ini tidak lepas dari faktavbahwa UUD 1945 itu bukan dimaksudkan sebagai konstitusi yanvpermanen,melainkan sesuatu yang sementara.

Berkaitan dengan upaya untu mengontrol kekuasaan agar tidak terulang adanyacpemerintahan yang otoriter sebagaimana sebelumnya,amandemen UUD 1945 berusaha memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan yang ada di lembaga lembaga pemerintahan.diantara kekuasaan presiden yang fibatasi dan di kontrol adalah berkaitan dengan wilayah kekuasaan legislatif dan yudikatif ,dalam pasal 5 uud 1945 sebelum di amandemen dikatakan ,presiden memganvkekuasaancmembentuk undang undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat.

Sedangkan upaya untuk membangun adanya mekanisme checks and balnces,selain dilakukan pengurangan kekuasaan presiden juga diiringi oleh penguatan kekuasaan lembaga perwakilan rakyat.hal ini dilakukan untuk mencegavterulangnya pola executive heavy sebagaimana terjadi sebelumnya.semntea itu untuk memperkuat dan memperbarui lembaga yudikatif,terdapat lembaga baru yaitu komisi yudisial (KY) danmahkamah konstitusi (MK).ky memiliki fungsi untuk menyeleksi calan calon hakim agung sebelum di usulkan dpr.perubahan penting lain setelah adanya amandemen itu adalahberkaitan dengan perubahan fundamental terhadap makna kedaulatan (sovereignty).

PROBLEM KELEMBAGAAN

Upaya untuk memperjelascadanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pasca pemerintahan orde baru memang telah mmbawa hasil yang cukup bermakna,kekuasaan yang sebelumnya tersentralisasi kemudian menjadi terbagi bagi.meskipun demikian,pembagian seperti itu masih menyisahkan permasalahan.misalnya saja,sistem pemerintahan yang terbangun masih menyimpan kekaburan.itulah sebabnya,sebagaiman disinggung di depan,sistem pemerintahan di indonesiackecendrunhn bermodelc’semi presidensial’.

Secara konstitusional indonesia memang tidak menganut sistem semi presidensial.tetapi dalam praktik ppemerintahan 2004-2008 sistem itu tampak.pertama,pemerintahan SBY-Jkdidasarkan pada pemerintahan koalisi atas sejumlah politik,kedua,kekuasaan padi dalam proses pembuatan keputusan keputusan politik cukup besar.

(7)

astrong elemen of zero sum game into democrate politics with rules that tendtoward a winner take all outcome.keempat,gaya politik sistem presidensial,pelaku politik luar bisa memungkinkan memenangkan pemilihan.

Dengan kata lain ,pilihan terhadap sistem presidensial harus di ikuti oleh pilihan pilihan kelembagaan politik lain yang mendukung.disamping itu ,problem kelembagaan juga terjadi pada isu isu lainnya,praktik kebijakan desentralisasi atau otonom daerah misalnya,telah memberi otoritas yang cukup besar kepada daerah.

BAB 3 SISTEM PERWAKILAN POLITIK CHEKS AND BALANCE DAN PROBLEM AKUNTABILITAS

PENDAHULUAN

Sistem perwakilan suda dipakai ketiks kali pertama indonesia merdeka.hanya saja institusi yang menjalankan fungsi perwakilan itu tidak semuanya terkonstruksi secara demokratis.contohnya,baik pada masa pemerintahan soekarno maupun soeharto,terdapat wakilrakyat yang tidak dipilih melalui pemilu.seperti utusan golongan atau ada pejabat pejabat poliyltik yang ditunjuk (appointed).

KONSEP PERWAKILAN

Istilah perwakilan sendiri baru muncul pada masa romawi kuno.meskipun tidak secara langsung bermakna.meskipun tidak secara langsung bermakna politik.fidalam bahasa romawi,’representation’berasal dari kata represaentare’.pada abad pertengahan ,kata perwakilan banyak dipakai oleh gereja.pitkin memberi gambaran ,misalnya saja ,’the pope and cardinals were spoken of as representing the person of christ and the apostles—not as ther agents,but as the their image and embodiment,their mystical re incorporation’.

Sebagaimana dikemukakan oleh hannah pitkin,perwakilan termasuk konsep yangbsering diperdebatkan maknanya didalam ilmu politik,bahkan perdebatan itu terus berlangsung di awal awal abad ke dua puluh saru (andeweg dan thomassen,2005;brenan dan hamlin,2000;mansbridge,2003).menurut pitkin kita tidak harus mmadukan duapandangan seperti itu,dalam pandangan dia,yang lebih penting adalah bagaimana membangun relasi yang baik antara wakil dan terwakin.berangkat dari argumen seperti itu ,pitkin lalu mengelompokkan perwakilan kedalam empat kategori pertama,perwakilan formal(formalitstic representation).kedua,perwakilan deskriptip(descritive representation).ketiga ,perwakilan simbolik (syimbolic representation).

Jeans mansbridge (2003),juga mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori.yang menjadi pijakan berkaitan dengan relasi antara wakil dan terwakil,adapun empat kategori perwakilan itu adalah promissory ,’anticipator’,’gyrosopic’,’dan’suttogacy’..

PENGUATAN LEMBAGA PERWAKILAN

(8)

konstituen atau rakya yang diwakilinya.penguatan ini terlihat dari adanya pengeksplisitan fungsi dpr,yaitu fungsi legislasi,anggaran dan kontrol.

Penguatan itu,sekali lagi ,tidak hanya di DPR,meinkan juga di DPRD.hanya saja ,untuk yang terakhir ini terdapat perbedaan,yaitu apakah DPRD itu bisamenjalankan fungsi sebagai legislatif sebagaiman DPR atau kah DPRD merupakan bagian dari pemerintahan di daerah.pada masa pemerintahan orde baru ,DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah,didalam paal 13 UU no 5 tahun 1974 dikatakan,’pemerintah daerah adalah kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah’.

Setelah terdapat demokratisasi pasca runtuhnya pemerintahan soeharto ,terdapat upaya untuk membangun check and balance didaerah,DPRD diberi otoritas yang lebih besar.kekuasaan besar yang diberikan kepada DPRD itu merefleksikan masuknya perspektif DPRD sebagai kekuatan legistatif di daerah.hanya saja,kekuasaan yanvbesar itu kemudian direvisi,hal ini tidak lepas dari adanya kritik bahwa setelah ada perubahan seperti itu relasi antara eksekutif dengan legislatif lebi cenderung ke model legislatif heavy.

SISTEM GUASI DUA KAMAR

Didalam UUD 1945yang belum diamandemen,intitusi yang menjalankan fungsi perwakilan adalah MPR danDPR/D.MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang memiliki otoritas dalam membuat kebijakan kebijakan paling strategis.karena fungsinya sangat strategis,kenggotaan MPR terdiri dari para anggota DPR dan wakil dari utusan daerah gan golongan golonhan.hanya saja,sebagai representasi dai rakyat,baikDPR maupun MPR,tidak terkontruksi secara demokratis,yaitu para anggotanyaharuslah merupakan pilihan dari rakyat sexara langsung

Agar kontruksi lembaga perwakilan itu lebih demokratiis,konstitusi bru yang sudah di amandemen lalu mengamanatkan agar semua oranh yang duduk di lembaga perwakilan politik itudipilih secara langsumg melalui pemilu.adanya proses seleksi para wakil rakyat yang duduk dilembaga,ditambah dengan adanya konstruksi baru mengenai kedaulatan sebagaiman disebutkan diatas,memiliki implikasi terhadat kontruksi lembaga perwakilan sendiri

Komtruksi bikameral itu beranhkat dari pandangan bahwa lembaga perwakilan yang ada (untuk sementara ini baru terbatas pada apa ynag ada di jakarta saja)itu mencerminkan dua perwakilan.DPR merupakan lembaga yang terkontruksi sebagai wakil dari orang (penduduk).sementara itu,DPD merupakan lembaga yang terkontruksi sebagai wakil dari daerah.

MASALAH PERWAKILAN KELOMPOK MARGINAL SECARA POLITIK

(9)

Di indonesia,kebijakan khusus itu diberikan kepadakelompok perempuan atau yang dikenal sebagai kebijaan kuota.lebijakan semacam ini dileluarkan setela memperoleh desakan dari berbagai kelompok yan menginginkan adanya kesepakan yang lebih besar kepada politisi perwmpuan untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat (siregar 2007).hanya saja ,kebijakan alternatif itu tidak lagi beakna penting pada pemilu 2009.dalam pemilu ini ,penentuan siapa ynag akan yerpili untuk mewakili partai yang memperoleh alokasi kusi di DPR/D tidak lagi didasarkan pada nomor urut,melainkan pada perolehan suara terbanyak.

RELASI WAKIL TERWAKILI DAN AKUNTABILITAS

Secara substansial,perwakilan berarti adanya para wakil yang bertindak sebagaimana kepentingan atau yanvdiinginkan oleh orang orang yanvdiwakilinya.adanya wakil rakyat yang berkarakter semacam ini lah yang diharapkan bisa terjadi setelah pemerintahan orde baru jatuh,hanya saja seperti telah disinggung sebelumnya ,harapan itu belum menjadi lenyataaan karena masih terjadi disconnect antara wakil dan terwakil.

Disampin itu ,secara kelembagaan,para wakil juga didorong untuk mengadakan kunjungan secara rutin ke daerah pemilihannya masing masing,diharapkan ,melalui kegiatan semacam itu para wakil rakyat berusahan memperjuangkan kepentingan dan berupaya menyelesaikan permasalahn di daerah pemilihannya melalui kebijakan kebijakan yang dibuat bersama sama pemerintah .melalui desain semacam itu ,relasi antara para wakil rakyat sebagai agent denga para pemilih sebagai principal ,diharapkan bisa lebih melembaga.

Meskipun demikian,mekanisme kelmbagaan semacam itu teryata tidak membawa perubhan yang cukup berati.ini hal ini terlihat dari realitas bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR priode 2004 2009 itu tidak lebih baik kalau dibamdimgkan dengam priode sebelumnya.masalah akuntabilitas para wakil juga masih menjadi masalah yanvcukup serius ,bulan hanya berkaitan dengan para wakil sendiri,melainkan juga terjadi ketika dikaitkan dengan kontituen.

BAB 4 PARTAI BARU,ELECTORAL THRESJOLD DAN MASA DEPAN SISTEM MULTI PARTAI

PENDAHULUAN

Bab ini dimaksudkan untuk memperbincangkan fenomena munculnya partai-partai ,oenggunaan desain kelembagaan (institusional design) electoral threshold dan masa depan sistem multipartai di indonesia .berangkat dari hasil hasi pemilu yang pernah diselnggarakan secara demokratis (pemilu 1955,1999,2004,dan 2009).

DEMOKRASI,MASYARAKAT MAJEMUK,DAN PARTAI BARU

(10)

Setelah merdeka,lahirnya partai partai politik berikut matinya partai partai politik,juga tidak lepas dari dibukan tidaknya keran demokratis .pada awal kemerdekaan ,partai partai politik tumbuh kuat karena munculnya kebijakan untuk membuka seluas luasnyakeran tumbuhnya organisa organisasi politik.sebaliknya ,matinya partai partai politik juga memiliki keterkaitan dengan ada tidaknya demokratisasi

Di samping didorong oleh iklim demokrasi,munculnya partai partai juga tidak lepas dari karakteristik masyarakat indonesia yang majemuk.meskipun demikian ,realitas masyarakat indonesia yang plural itu memberi kontribusi yang tidak kecil bagi lahirnya partai partai politikdan sistem multipartai.

PELAJARAN DARI PEMILU 1955,1999,2004 DAN 2009

Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang paling demokratis di dalam sejarah politik di indonesia.sebagai konsekuensi dari dianutnya kebijakan multipartai,pemilu 1955 diikuti oleh 172 partai

Sejak pemilu 1999,indonesia sebenarnya sudah memberlakukan desain kelembagaan untuk membangun sistem multi partai sederhana melalui electoral rules yaitu diperkenalkannya electoral threshold .wujud dari threshold itu berupa persentase minimal perolehan suara di dalam angka tertentu.tetapi antara negara satu dengan negara yang lain mengimplementasikan presentase yang tidak sama ,ada yang 0,67 persen atau adapula yang 10 persen.

(11)

Kalau kita serius menggunakan threshold sebagai instrumen untuk membangun sistem kepartaian yang lebih sehat ,mau tidak mau kita harus memikirkan efektifitas penggunanya.untuk itu kita bisa kembali pada pemahaman tentang threshold yang kita pakai.pertama adalah memahami dan mengimplementasikan threshold sebagaiman terjadi di negara negara yang lain yaitu memahaminya sebagai batas minimal perolehan suara suatu partai politik untuk memperoleh kursi di parlemen. Yang kedua adalah memahami dan mengimplementasikan threshold seperti yang terjadi sejak 1999 itu tetapi dengan mekanisme implementasi aturan yang lebih ketat lagi

Adapun besaran threshold nya bisa berangkat dari argumen mekanisme perwakilan yang ada di DPR.idealnya partai yang lolos threshold adala partai partai yang memiliki wakil di setiap komisi di DPR.selin itu mekanisme treshold pada dasarnya lebih cenderung menguntungkan partai partau yang sudavcukup mapan.meskipun demikian agar relasi antar partai tidak cenderung sentrifugal,perlukan benang merah yan menghibungkan ideologi partai yang satu dengan yan lain.

BAB 5 SISTEM PEMILU : MODUFIKASI SISTEM PROPOSIONAL DAN SISTEM LANGSUNG

PENDAHULUAN

Bab ini diarahkan untuk memperbincangkan sitem pemilu yang suda dipakai oleh negara indonesia pasca pemerintahan soeharto .bahasan awalnya diawali dengan perbicaraan mengenai sistem sistem pemilu yang ada.kedua berkaitan dengan modifikasi modifikasi dilakukan guna memperoleh sistem pemilu yanvlebih baik .ketiga berkaitan dengan implikasi dari penerapan sistem pemilu itu terhadap stabilitas pemerintahan yang terbangun .

SISTEM SISTEM PEMILU

Secara sederhana sistem pemilu di bagi kedalam dua kelompok besar,yaitu sistem proporsional dan sistem nonproposional ,yancterakhir ini serinvdisebut sebagai sistem distrik.di indonesia sisrem pluralitas/mayoritas lebih dikinal sebaagi sistem distrik.karena transfer prolehan suara ke dalam prolehan kursi lebih didasarkan pada distrik atau daerah pemilihan.

Rumpun keduan di dalam sistem pemilu adala sistem proporsional .prinsip utama didalam ssitem ini adaalh adanya terjemahan capaian suara dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi dilembaga perwakilan secara proporsional.karena menganut sistem proporsionalitas ,sistem ini menggunakan multi member districk

Rumpun ketiga adalah aap yang disebut sebgai sistem campuran (mixed system).sistem ini pada dasarnya berusaha menggabunhkan apaganvbaik di dalam sistem pluraritas/mayoritas dan di dalam siatem proporsionalitas.ada dua sistem di dalam sistem campuran ini ,pertama adaalh apa yang dimaksud mixed member proporsional (MMP).yanvkedua sistem pararel (PARAREL SYSTEM).

(12)

Sejak pemilu 19 indonesia menganut ssitem proporsional di dalam pemilu.di dalam ssitem ini ,alokasi jumlabkursi dilembaga perwakilan didasarkan pada prolehan suara masing masing peserta pemilu secara proporsional.alokasi dan distribusi kursi didasarkan pada jumla penduduk.tetapi untuk luar jawa tidak sepenuhnya berdasarkan jumlavpenduduk.sistem proporsional juga memiliki kekurangan .diantaranya adalah kurangnya tingkat ketereakilan dan akuntabilitas para wakil kalau di katakan dengan kewilayahan.

Jatuhnya pemerintahan soeharto juga diirinhi oleh harapa untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional k sistem distrik.hanya saja tuntutan demikian tidakbisa dikabulkan karenapara wakil rakyat mengambil keputusan bahwa indonesia tetap menganut sistem pemilu secara proporsional .alasan yan dipakai tidak berbeda dengan alasan mdnjelang pemilu 1955,yaitu bahwa sistem proporsionl dianggao sebagai sistem yan lebih pas untuk indonesia.

Meskipun demikian ,didalam tiga kali pemilu pasca pemerintahan soeharto 1999,2004,3009,terdapat perubahan perubahan variasi didalam sistem pemilu yang dipakai.pada pemilu 1999,provinsi tetap menjadi DP tetapi suda mulai mempertimbangkan kabupaten/kota.alokasi kursi dari partai partai peserta pemilu,fidasarkan oada prolehan suara yang ada di masin masin provinsi tetapi mulai mempertimbangkan prolehan calon dari masing masing kabupaten/kota.

Pada pemilu 2004 DP tidak lagi provinsi melainkan daerah yan lebih kecil lagi,meskipun ada juga DP yan mencangkup satu provinsi yaitu riau ,jambi,bengkulu ,bangka belitu,kepulaauan riau ,yogyakarta ,bali,NTB ,semua provinsi di kalimantan ,sulewesi utara ,sulawesi tenggara,gorontalo,maluku,maluku utara,paoua dan iriran jaya barat..masing masing DP terdapat jatah antara 3 sampai 12 kursi.pada pemilu 2009 besaran untuk DPR diperkecil antara 3 -10 kursi.

SISTEM UNTUK DPD,PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN,DAN KEPALA DAERAH

Selain untuk memilih para angota DPR/D ,pemilu juga dipakai sebagai instrumen untuk memilih pejabat pejabat politik lain,yaitu dewan perwakilan daerah (DPD),dan presiden /wakil presiden.untuk pemilihan anggota DPD,pemilihannya dilakukan secara bersama dengan pemilihan anggota DPR/D.sedangkan untuk pemilihan presiden /wakil presiden dilakukan secara terpisa

Untuk pemilihan calin DPD,calon tidak didasarkan pada partai ,melainkan perorangan,hal ini dimaksutkan untuk menakomodasiangota MPR dari utusan daerah dan golongan yan suda dihapuskan .dengan demikian tokoh tokovdaerah dan tokoh tokoh masyarakatnon partai memiliki kesempatan menjadi anggota DPD tanpa harus berafiliasi dengan partai lain.

Kalau sebslumnya presiden /wakil presidsn dipili oleh MPR.sejak 2004 presiden /wakinl presiden dipilih secara langsung ,pemilihan semacam ini dimaksudkan sebagi upaya untuk memperbaiki kehidupan demokratis,mencegah kebijakan kekuasaan olevpara wakil rakyat di DPR dan untuk menciptakan adanya akuntabilitas yan lebih baik dari pada pemimpin kepada rakyat.

(13)

Diantara implikasi penting dari penggunaan sistem proporsional adaal sulitnyacmenghasilkan adanya partai mayoritas yang bisa mengendalikan pemerintahan.berangkat dari atudi perbandingan di banyak negara.michael gallagher (3005:562) mmbuat kesimpulan bahwa sistem proporsional cenderunvmenghasilkan pemerintahan koalisi (coalition goverment),sedangaln sistem non proporsional cenderung menghasilkan pemerintahan tunggal (single party govermen )

BAB 6 PARTISIPASI PUBLIK ,BUDAYA POLITIK PEMILIH,DAN DEMOKRASI. PNDAHULUAN

Bab ini diarahkan untu memperbincangkan partisipasi politik,budaya pemilih dan demokrasi di indonesia.uraian secara teoritis tentan keterkaitan antara partisipasi politik dan budayacpolitik di dalam demokrasi,mengawali pembahasan.bagian keduan membahas pelembagaan demokrasi dan problem keterwakila di indonesia pasca reformasi .bagian selanjutnya memperbincangkan desain kelembagaan untuk membangun partisipasi politik .seteleha itu ,secarackhusu diperbincangkan partisipasi publik dalam taraf yang minimal yaitu partisipasi melalui pemilu.terkhir adalah perbincangan tenteng keterkaitan antara partisipasi politik dan budaya politik.

PARTISIPASI PUBLIK,BUDAYA POLIYIK DAN DEMOKRASI.

Partisipasi publik pada dasarnya merupakan bagian dari partisipasi pada umumnya.merujuk pada the 1995-1997 world value survey,charles andrian dan james smiteh (2006:67)mengelompokkan tiga bentuk partisipasi.pertama adalah partisipasi yan lebih pasif ,di dalam tipe pertama ini partisipasi dilihat dari keterlibtan politik seseorang yakni sejauh mana oran itu melihat politik sebagai sesuatu yanvoenting ,memiliki minat terhadap politik,dan sering berdiskusi mengenai isu isu politik dengan deman .kedua adalavpartisipanyan lebih aktif.yanvmenjadi perhatian adala sejauh mana oranvitu terlibat di dalam organisasi organisasi atau asosiasi asosiasi sukarela (voluntary associations) seperti kelompok kelompok keagamaan oleh raga ,pecinta lingkungan,organisasi profesi dan organisasi buruh.ketiga adalah partisipasi yan berupa kegiatan kegiatan protes seperti ikut menandatangani petisi ,melakukan boikot dan demonstrasi.

Pentingnya partiaipasi publik dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan kebijaakn publik di dalam direct democracy dan participatory democracy acap kali dikaitkan dengan realitas tentang penurunn pandangan bahwa para wakil di lembaga lembaga perwakilan politik itu sudah tidak cukup mampu menjalankan funsinnya (deficiencies of representative politics)(lupia dan matsusaka,2004,vater 2000).

(14)

elite itu harus accuntable sehingga memungkinkan rakyat melakukan evaluasi tethadap apa yan telah mereka lakukan

DEMOKRASI DI INDONESIA:PROBLEM KETERWAKILAN

Jatuhnya pemerintahan soeharto telah wmbuka ruang yang cukup besar pada ptoses demokratisasi di indonesia, dari sisi prosedural,perubhan kearavmenuju sistem politik yang lebih demokratis memang sudah terjadi .syarat minimal demokrasi sebagaiman dikemukakan olevrobert dahl (1971),seperti adanya partisipaai dan kontestasi ,yan terwujud pada dibukannya keran sistem multi partai dan pemilu yang bebas dan adil telah dipenuhi.

Demokrasi memang tidak berhenti pada adanya pemilu yang bebas,yang oleh hungtinton disebut sebagai defini minimal demokrasi (hungtunton 1991:9)didalam sistem perwakilan ,demokrasi juga menuntut adanya pertanggungjawaban dari para wakil (representiatif)kepadayang diwakili (represented)

RUNG LINGKUP DAN PELEMBAGAAN PARTISIPASI PUBLIK

Selain membuka ruang adanya sistem multipartai dan pemilu yang bebas dan adil,upaya membangun relasi yan lebih baik antara wakil presiden dan terwakil dan partisipan publik dilaksanakan dilakukan melalui deaain kelembagaan lain.diantaranya adalah modifikasi sistem pemilu,pembukaan ruanvrelasi antara eakil dan terwakil melalui jaring aspirasi masyarakat (jaring asmara)dan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang)dan ruang konsultasi serta rapat antara DPR/D dengan publik di gedung DPR/D,kebijjan ekonomi daerah,dan pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung dan pemberian kebebasan untuk berbicara di ruan ruan publik.

Pertama ,masalah modifikasi sistem pemilu,jenis sistem pemilu memiliki kosekuensi yanvtidak sama antara satu dan yanvlain (ferell,2001 ;gallagher dan mitchell,2005 ;reece dan ware ,1992),sistem proporsionl misalnya dipandanvlebih mampu menghasilkan para wakil yang mencerminkan kelompok kelompok yanvada di dalam masyarakat.meskipun demikian desain kelembagaan semacam itu masih belum mampu mangasilkan relasi yan lebih baik antara wakil danterwakil,kendati mengalami perbaikan

PEMILU ,PILPRES,DAN PILKASA SECARA LANGSUNG PROBLEM GOLPUT

(15)

Memang di sebagain besar negara di dunia,termasuk di indonesia ,ikut di pemilu merupakan bagian dari pada apa yang disebut bruce ackerman dan james fishkin (2003:7)sebagi civic privatism.mengikuti pemilu merupakan utusan pribadi ,meskipun hal ini menyangkut urusan kenegaraan (publik),ketiak datanvke bilik bilik suara ,pilihan pilihan yang dibuat juga merupakan bagian dari masalah pribadi

Sikap ignorance iti bisa jadi merupakan refleksi terhadap sikap ignorance yang dilakukan oleh para wakil akibat adanya disconnect elektroral.yang menjafi maslah adalah apakah adanya publik ignorance sebagaiman tercermin di dalam peningkatnya angka golput iti tifak malah membuat masalah disconnect electoral semakin lebar,golputyang terjadi iti pada pemilu belkangan memanvbukan disebbkna oleh aksi sengaja untuk tidak golput dan melawan pemerintah sebagaiman pemilu 1971

PARTISIPASI PUBLIK DAN BUDAYA POLITIK

Masih rendahnya partisipasi publik di dalam proses pembuatan dan pelaksaan kebijakan kebijakan publik di indonesia merupakan bukti betapa desain kelembagaan sja tidak cukup seperangkat kelembagaan sepertu itu adanya uu yang menjamin kebebasan nerpendapat,berkspresi dan bersosialisasi,serta adanya peluanvbagi wakil dan terwakil untuk berinteraksi (engagent)tidak serta merta mendorong adanya partisipasi politik iti

Jauh sebelum jatuhnya pemerintahan orede baru ,wiliam liddle (988) menepatkan budaya politik indonesia didalam kontek tronsformasi dari budaya politik tradisional ke budaya politik moderen.budaya politik tradisonal dipengaruhi olevoelh beragam etnis,agama ,dan budaya budaya lokal lainnya.sementra itu budaya politik moderen dipengaruhi oleh budaya barat

Ketidak puasan terhafap kinerja pemerintahan atau para wakil,itu tidak hanya diwujudkan dalam bentuk menghukum .ketidak puasan iyu juga melahirkan distrust dari para memilij yanh memicu pada suatu keputisan untuk tifak ikut dalam pemilu dan trtlibat dalam partisipan publik lainnya

PENUTUP

Di indonesia proses demokratisasi juga melibatkan desain kelembagaan yanvmemunhkinkan terbangunya lerangka kerja demokrasi seperti itu,tertapi sati dekade proses demokratisasi pasca runtuhnya pemerintahan soeharto trlah menyaksikan betapa upaya untuk mewujufkan kerangka seperti itu tidak lah mudah dilakukan

BAB 7 DESENTRALISASI DAN PEMBANGUNAN SEBUAH PERDEBATAN

PNDAHULUAN

Bab ini mencoba memperbincangkan literatur yan memperdebatkan kebijakan desenyralisasi yang terbahi ke dalam du bagian besar.bagian pertama akan membahas batasan desentralisasi.bagianledua membahas perdebatan mengenai implikasi pada pembangunn

(16)

Sperti dikatakan oleh mark turner (2999:4)desentralisasi merupakan salah satu komsep didalam ilmu sosial yang memiliki banyak makna di sepanjang waktu .memahami desentralisasi denganxdemikian tifak lepas dari berbagai perspektif.sejauh ini paling tidak,terdapat tiga perspektif pertama afala perspektif politik.didalam perspektif ini desentralisasi di tempatkan dalam konteks relasi antara pemerintabpusat dan daerah dan pemguatan demokrasi di daerah.kedua,perspektif adminitrasi uanvlain cenderung untul membahas desentralisasi dalam konteks pembagian kewenangan anyara lembaga lembaga atau agen agen pemerintavpusat.ketiga perspektif ekonomi,didalam perspektif ini desenyralisasi diapahami dalam dua hal .pertama adalah berkaita dengan pembagian sumberdaya keuangan antara pemerintah pusat dan daerah atai yanvdisebut desenttalisasi fiskal.kedua adalah privatisasi pelayanan publik.

Penerapan desentralisasi dari pespektifvpolitik secara kaku itu memunculkan sejumlavpermasalahan.pertama menyimak fakta bahwa desentralisasi itu bukan hanya berkaitan dengan penguatan masyarakat lokal atau kelompok marginal,melainkan juga tlrelasi kelembagaan antaar pemerintah pusat dan daerah.Kedua ,perspektif desentralisasi politik berasumsi bahwa desentralisasi berkaitan dengan demokratisasi daerah.faktanya desentralisasi yltidak tidak sama dengan demokratisasicseperti yang dikatakan oleh croock dan manor (2998:2).ketiga,teransfer kekuasaan tidak culup bagi desentralisasi tanpa melibatkan transfer sumber dayackeuangan (rondineli,2983:olowu,1989)

DESENTRALISASI DAN PEMBANGUNAN :PRO DAN KONTRA

Implikasi desentralisasi terhadap pembangunan ,dalam artian yanvluas.telah menjadi perdebatan didalam literatur yang membahasnya yakni apakabmemiliki nilai positif atau negatif .sebagian besar desentralisasi yang memahami desentralisasi sebagai alternatif dari sentralisasi melihat sisi positif dari kebijakannya (mad dick.1963;rondineli and cheema,1983;smith ,1985;rondinelli mvcullough et al.,1989 ;sellers 2002)

desentralisasi sebagai alternatif dari sentralisasi serin dianggap sebagai kekuatan yang mampu mebawa kebijakan pembangunan lebih dekat dengan masyarakat,selain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi .karena itulah rondinelli dan cheema (1983;14-16) sampai pada kesimpulan bahwa melalui desentralisasi,pemerintah pemerintah daerah akan dapat bekerja lebih efektif dan efisien,termasuk dalam penyediaan barang-barang dan pelayanan publik.

Argumen lain berasal dari orang orang yang berangkat dari teori pilihan teori pilihan publik (theory of publik chice) yang mengatakan bahwa desentralissi merupakan instrumen penting untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat.(tiebout,1956;oates,1972;smith,1985;oates 1999).argumen dasar dari teori pilihan publik bahwa ‘man is an egoistic,rational utility maximizer’ (mueller 1979;1)dipakai untuk enjelaskan bahwa pemerintahan yang terdesentralisasi mampu menyediakan barang barang dan pelayanan publik yang lebih baik dari pada pemerintahan yang terdesentralisasi.

(17)

tidaklah mudah.olowu (1989;202),misalnya,terang terangan menyebut bahwa pelaksanaan kebijakan desentraisasi di sejumlah negara afrika pada 1960 an dan 1970 an telah gagal.tidak hanya itu,di negara negara lain ,termasuk di indonesia ,kebijakan desentralisasi pada tahu tahun itu juga pernah gagal. Sebab sebab dari kesulitan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan desentralisasi itu beraneka ragam.

PENUTUP

Desentralisasi telah menjadi pilihan kebijakan di nbnyak negara yang sedang berkembang.pandangan bahwa desentralisasi merupakan unstrumen untuk mencapai alokasi penyediaan barang barang dan pelayanan publik lebih efisien,menciptakan pemerintahan yang memiliki responsibility dan accountablity,serta mendorong demokratiasi di daerah,telah menjadi pendorong kuat dari banyak negara untuk mengadopsi kebijakan tersebut.

BAB 8 OTONOMI DAERAH DAN MASALAH DEMOKRATISASI DAERAH PENDAHULUAN

Bab ini dibangun berdasarkan argumen bahwa perubahan peran kelembagaan di daerah masih belum mampu membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik di daerah.perubahan iti seharusnya dikaitkan dengan perubahan perubahan kelembagaan politik yang lain sepertu sistem kepartaian dan pemilu.yang tidak kaalh pentingya adalah penguatan lembaga lembaga yanvterdapat di dalam masyarakat (civil society).kekuatan yanvterakhir ini,secara teoritis memiliki peran yancsangat penting dalam mendorong proses demokratisasi di daerah.

PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN DEMOKRATISASI

Di dalam literatur yang membahas mengenai desentralisasi atau otonomi daerah,baik yang menekankan pada desentralisasi adminitrasi maupun poliyik,disebutkan pentingnya lembaga di daerah falam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.agar lembaga di tingkat lokal mampu mrlaksanakan desentralisasi,maka yang sering dilakukan adalah melaksanakan perubahan kelembagaan yang lebih substansial,baik dalam struktur organisasi maupun fungsinya.di jerman dan belanda ,misalnya perubahan struktur dan fungsi lembaga di tingkat lokal terus dilaksanakan di sepanjang 1980 an dan 1990 an .di belanda,pada 1980 an,perubgan di dalam pemerintahan lokal lebih bnyak dipengaruhi oleh gagasan menejemen publik baru (the new publik management,NPM)yang kala itu di populerkan oleh negara negara anglo saxon.sementara itu,di jerman lebih banyak dipengaruhi oleh gagasan yang disebut renewal of politics from below.

(18)

representative with participatory democracy)..yang terakhir adalah memperluas demokrasi partisipatoris (extending participatory democracy).

PENGUATAN LEMBAGA PERWAKIALAN (DPRD)DAN MASALAHNYA

Perubahan yang cukup besar didalam otonomi daerah terjadi berkaitan dengan posisi DPRD,baik di tingkat kabupaten/kota atau di tingkat provinsi.pada masa pemerintahan orde baru atau tepatnya sebelim uu nomer 22 tahun 1999 diberlakukan posisi DPRD dapat dikatan lemah.secara kelembagaan,sebagaimana yan terdapat di dalam UU nomor 5 tahun 1974,kelemahan itu terletak pada posisi yang dimiliki oleh DPRD yakni menjadi bagian dari pemerintah daerah.

Disamping itu,lemahnya DPRD tifak lepas dari corak otonomi daerah yang ada di indonesia sebelum jatuhnya pemerintahan soeharto,yang cenderung terletak pada masalah adminitratif dari pada masalavpolitik (gerritson dan situmorang,1999).didalam corak demikian,daerah hanya sedikit diberi keluasan untu membuat kebijakannya sendiri.daerah lebih banyak di beri kewenangan untuk melaksanakan fungsi yang ditentukan olevpusat.sedangkan perumusan kejikan termasuk berbagai perencanaan,khususnya yang bersifatcstrategis,ditentukan oleh pusat.kosekuensinya,didalam konteksvpolitik,DPRD sulit menjalakan fungsinya.berbagaickeputusan yang dibuat tidak bisacbegitu saja berlaku tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pemerintah pusat .

Paling tidak terdapat tiga ruang yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan rakyat daerah.pertama,kewenangan dan kekuasaan di dalam memilih kepala daerah.kedua,kekuasaancdan kewenangan didalam laporan pertanggung jawaban.ketiga,kekuasaan dan kewenagan di dalam anggaran.

PENTINGNYA KONTROL

Pengiatan lembaga perwakilan rakyat di daerah dimaksutkan sebgai upaya untuk melaksanhan kontrol terhadap jaalnnya pemerintahan didaerahcdan untuk membangun demokratisasi daerah,masalahnya kalau di lembgacyang diharapkan dapat memiliki peran besar sudavterdapat penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan,lalu apa yanvbisa diharapkan lagi?

Sebagai kosekuensi dari dipakainya sistem pemilu proporsional sebenarnya peran kontrol terhadap wakil rakyat itu bisa dilakukan oleh partai politik.tetapi mekanisme demikian tidak berjalan secara baik.diantaracsebabnya adalah karena peraturan tentang hak,recall tidak lagi bisa dipaki pada anggota DPR hasil pemilu 1999.hal iti dihilangkan karena terdapat kekawatiran disalahgunhan oleh partai politik seperti pada masa permerintahan orde baru.hak recal justru diperuntukan bagi para wakil rakyat yang kritis kepada pemerintah .tetapi,didalam perkembangannya,hak recal itu diberlakukan kembali setelah pemilu 2004,setelah partai partai merasakan adanya pembanhkangan yang dilakuakn oleh anggotanya di DPR/D priode 1999-2004.

(19)

untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan olebpartai politik perlibatan konstituen didalam hal recall akan memungkinkan rakyat untuk mengoreksi para wakilnya.misalnya,ketika parackonstituen mengetahui bahwa ada wakilnya yang menyalahgunhan kekuasaan dan kewenangan ,mereka bisacramai rami mengusulkancagar eakilnya ditarik dari lembaga perwakilan rakyat.

PENUTUP

Kebijakan otonomi daerah sebagaimaan terdapat di dalam UU nomer 22 dan nomor 35 tahun 1999 memberi peluang yang lebih baik dalam membngun relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.melalui UU itu,daerah tidak hanya memiliki kewenangan yang lebih besar di bidanvadminitrasi.melainkan juga di bidan politik.daerah juga memungkinkan untuk mengelola ekonominya secara lebih mandiri.melalui kebijakan otonomi daerah seperti ini ketimpangan ekonomi politik antara pusat dan daerah bisa diminimalisir.

BAB 9 PRONLEM KELEMBAGAAN TRANSISI DEMOKRASI DI DAERAH

Ada pun literatur yang memperbincangkan transisi demokrasi di daerah biasnya berkait dengan perbincangan tentang kebijakan desentralisasi (choup,2003;diamond et al.,1999;smith,1998)disini desentralisasi tidak hanya dianggap sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki tersedianya jasa jasa dan baranvbarang publik di daerah agar berlangsung lebih efisien dan efektif.sebagaiman dipahami didalam desentralisasi adminitratif dan fiskal.desentralisasi juga berfungsi sebagai instrumen untul memperbaiki kualitas demokrasi di daerah,terutama sekali untu mendorong munculnya pemerintahan yang acuntable,responsible dan transparent.

MENGAPA DEMOKRASI DI DAERAH

Menurut brian c smith,munculnyacperhtian trrhadap transmisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (1998:85-86).pandangan yanvbercorak fumgsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah,secara otomatis bisa diartikan sebagai adanyavperbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional.berdaskan studi studi yamvpernah dilakukan disejumlah negara di berbagai belahan dunia,smit mengungkapkan empat alasan untuk memperkuat pandangan tersebut.

Pertama,demokrasi pemerintahan di daerah merupaakn suatau ajang pendidikan politik yanvrelevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies).kedua,pemerintah daerah dipandanvsebagai penhonytol bagicperilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kencendrungan anti demokratis di dalam suatu pemerintahan yamg sentralistis.ketiga,demokrasi di daerah dianggap mampu menyuhuhkan kualitas pastisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjafi di yingkat nasional.keempat,kadus kolombia menunjukan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan revormasi di tingkat lokal.

(20)

Transii demokrasi di daerah berati masa pemilihan dari kondisi pemerintahan daerah yang kurang demokratis (otoriter,totaliter)menuju pemerintahan yang lebih demokratis.transisi seperti ini paling tidak bisa melibatkan tiga bentuk proses (gill,2000;68;71).pertama ‘transition throuht transaction’.transisi ini terjadi manakala para elite berinisiatif untuk melakukan demokratisasi.kedua ‘transition throuht extriaction’,yakni manakala rezim itu melemah.karena menyadari kelemahan itu,rezim mencoba menyingkirkan diri sendiri dari kekuasaan.ketiga ‘transition through replacement’.transisi yang terakhir ini terjadi manakala ada oposisi yang mengambil alih kekuasaan dan memimpin proses demokratisasi.

Meskipun demikian ,proses transformasi dari penyelengaraan pemerintahan di daerah yang tersentralisasi dan tidak demokratis menuju penyelengaraan pemerintahan yang terdesentralisasi dan demokratis tentu saja tidak mudah.karena itu selang waktu dari proses ini disebut sebagai masa transisi.istilah ini memiliki makna yang serupa dengan masa ransisi dari pemerintah yang ototriter /totaliter menuju pemerintahan yang demokratis.

PROBLEM KELEMBAGAAN

Untuk mempercepat proses transmisi menuju demokrasi di daerah para penganut pendekatan kelembagaan baru mengusulkan pentingnya seperangkat kelembagaan sebagai penopangnya (azfar et al., 1999;crook dan manor,2000;smith 1998;).diantaranya adalah memperkuat sistem perwakilan ,meningkatkan kemampuan pemerintah daerah ,dan adanya budaya politik serta civil society yang mendukung.

Untuk itulah,salah satu desain kelembagaan untuk mempercepat transisi demokrasi didaerah adalah bagaimana melakukan gerakan empowermen terhadap kelompok kelompok civil society.maksutnya,ketika kelompok kelompok civil siciety itu kuat dan aktif,mereka akan bisa berfungsi sebagai energi yang mampu menggerakkan lokomotif transisi demokrasi di daerah agar lebih berjalan lebih cepat dan tidak set back kearah resentralisasi dan otoriter.

PILKADA SECARA LANGSUNG

Berangkat dari proses pilkada secara langsung yang dimulai sejak 1 juni 2005 kita bisa melihat bahwa harapan itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan.meskipun dikatakan pilkada secara langsung,makna langsung di sini lebih terfokus pada adanya hak ppilih dari rakyat untuk memilih kepala daerah.para calon kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh partai politik.hal ini tidak lepas dari kerangka kelembagaan bahwa proses pencalonan kepada daerah itu menggunakan ‘party system’.artinya yang berhak mengajukan pasangan calon adalah partai plitik ,baik yang memiliki kursi DPR maupun tidak.

(21)

PENUTUP

Desain kelembagaan untuk mempercepat transisi menuju demokrasi di daerah belakangan menjadi perhatian serius dari para ilmuan maupun pembuat kebijakan.dasain kelembagaan itu di kaitkan dengan kebijakan desentralisasi.hanya saja ,implementasi dari desain kelmbagaan itu tidaklah mudah.beragam desain kelembagaan telah dilasanakan tetapi demokratisasi di daerah belum berjalan secara baik.

BAB 10 RELASI ANTARA KEPALA DAERAH DPRD MASYARAKAT. PENDAHULUAN

Adnya kebijaka untuk menyelenggarakan pilkada secara langsung merupakan upaya kelembagaan untuk mempercepat proses demokratisasi di daerah,di samping didasarkan atas realitas empiris tentang adanya perilaku negatif oleh (sebagian anggota)DPRD pada priode 1999-2004.tambahan kekuasaan yang lebih besar pada kenyataanya tidak digunakan untuk memperjuangkan kepentingan konstituen yang dimilikinya ,lebih lebih rakyat daerah pada umumnya,melainkan untuk kepentinan dirinya.hal ini,misalnya terefleksi dari maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD di berbagai daerah.

RELASI KEPALA DAERAH-DPRD -MASYARAKAT PRIODE 1999-2004

Menguatnya posisi DPRD pada priode 1999-2004 tidak lepas dari realitas hostori yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru.pada pemerintahan jendral soeharto,secara kelembagaan maupun empiris,DPRD tidak lebih sebagai penopang banguna sentralisasi di dalam elasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,implikasinya dinamika didalam relasi antara kekuatan kekuatan sosial politik yang ada di daerah juga tidak lepas dari proses proses politik yang tersentralisasi seperti itu.

Didalam literatur yang memperbincangkan format politik indonesia dibawah pemerintahan orde baru memang terdapat perpektif yang tidak sama anatara satu ilmuan dengan yang lainnya.(macintyre,1991;shin,1989).misalnya saja,ada yang melihat format politik orde baru itu sebagai daur ulang dari budaya politik lama.sehingga terdapat penyebutan ‘neo-patrimonial;.tetapi ada juga yang memahaminya dalam konteks pergulatan ekonomi politik modern tetapi terkontrol oleh kekuatan kekuatan politik tertentu seperti militer,sehingga lahir sebutan format politik’represive developmentalist’dan bureaucratic authoritarian’.meskipun demikian ,fenomena dan potret yang dijelaskan pada hakikatnya tidaklah berbeda yaitu adanya sentralisasi kekuasaan ,apakah itu karena dipandang bersumberkan pada uatnya pribadi pemimpin ataukah dipandang karena kuatnya institusi tertentu seperti militer,birokrasi dan institusi intitusi lain.

RELASI KEPALA DAERAH -DPRD-MASYARAKAT PASCA PILKADA SECARA LANGSUNG

(22)

argrntina ,filipina (eaton 2001)dan negara negara lain,revisi UU tentang pemerintah daerah itu telah menandai adanya kecendrungan resentralisasi.tindak kembali lagi seperti pada era pemerintahan orde baru memang.tetapi,didalam UU yang baru itu provinsi sebagai alat dari pemerintah pusat di daerah ,memiliki ototritas yang lebih besar kapada daerah.pemerintah provinsi dan pusat juga memiliki kekuasaan yang lebih besar didalam mengevaluasi dan membatalkan keputusan keputusan daerah yang dipandang bermasalah,termasuk APBD yang dibuat secara tidk rasonal dan diduga memuat KKN.

PENUTUP

Adnya pilkada secra langsung memangmembuka peluang munculnya keran kualitas demokrasi yang lebih baik di daerah.meskipun demikian,berangkat dari fakta bahwa peraturan dan pelaksanan pilkada secara langsung masih diselimuti berbagai masalah termasuk dipakainya model ‘party system’,bayang bayang bahwa demokrasi didaerah akan lebih baik masih menjadi tanda tanya.

BAB 11

REFORMASI BIROKRASI : MENUJU NETRALITAS POLITIK DAN PENINGKATAN KAPASITAS PELAYANAN ?

Tuntutan melakukan reformasi birokrasi memang kurang mengemuka kalau dibandingkan dengan tuntutan mengenai reformasi politik. Hal demikian tidak lepas dari pandangan banyak pelaku gerakan reformasi sendiri bahwa ketika gerbong reformasi politik dilakukan, langkah seperti ini, akan berfungsi sebagai penarik gerbong – gerbong reformasi yang lain, termasuk birokrasi. Misalnya saja, terdapat pandangan sederhana bahwa yang menjadi sumer permasalahan di indonesia adalah kepempimpinan presiden soeharto. Tidaklah mengherankan, ketika gerakan reformasi itu menguat dan mengkristal pada akhir 1997 dan awal 1998. Tuntutan yang paling utama adalah bagaimana presiden soeharto mundur berarti dari kekuasaan secepatnya. Harapannya, setalah presiden soeharto mundur berarti hilangnya sumber pokok permasalahan indonesia itu. Karena itu, pada masa jabatan 2009-2014, pemerintahan SBY – Boediono memberi penekanan tentang pentingnya reformasi birokrasi. Hal ini terlihat dari penambahan kementerian PAN menjadi PAN dan reformasi birokrasi.

(23)

NETRALISASI POLITIK BIROKRASI DAN PERMASALAHANNYA , pandangan bahwa aparat birokrasi itu harus netral secara politik sebenernya sudah bergema kuat ketika orde baru mulai mengendalikan pemerintahan. Para penguasa orde baru berpikiran, agar birokrasi bisa bekerja lebih baik, lembaga ini harus dihindarkan dari pengotak – ngotakan dukungan politik sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Pandangan itu kemudian diwujudkan ke dalam dua kebijakan politik mengenai birokrasi. Pertama adalah kebijakan yang secara khusus ditujukan kepada para pegawai negeri di lingkungan departemen dalam negeri, berupa kepmendagri No. 12 Tahun 1969. Kedua adalah kebijakan yang ditujukan kepada seluruh pegawai negeri, sebagaimana tertuang di dalam PP No. 6 Tahun 1970. Inti dari dua kebijakan ini adalah pelarangan pegawai negeri menjadi anggota dan aktif di dalam partai politik, serta seharusnya memiliki monoloyalitas kepada pemerintah.

Tetapi, konsekuensinya , birokrasi tidak lepas dari kepentingan partai – partai politik ( Gaffar, 2005; Thoha, 1991 dan 2003). Hal demikian memiliki implikasi terhadap kinerja birokrasi yang tidak hanya berjalan secara tidak efisien dan tidak efektif, melainkan sarat dengan kepentingan partai – partai politik ketika birokrasi itu terlibat di dalam proses pembuatan dan implementasi keputusan – keputusan publik. Sebagai bagian dari kontrol itu adalah bahwa semua pegawai negeri diharuskan menjadi anggota golkar. Mimiliki loyalitas tunggal kepada pemerintah juga berarti harus loyal kepada golkar karena golkar merupakan organisasi politik penopang pemerintah. Pilihan pegawai negeri ketika itu, adalah loyal kepada pemerintah dan menjadi bagian dari keluarga besar golkar atau keluar dari jabatan pegawai negeri. Pilihan sulit ini pula yang harus diambil oleh pegawai negeri yang aktif di partai politik selain golkar.

Kontruksi kebijakan seperti itu didasari oleh argumentasi bahwa golkar bukanlah partai politik, melainkan kekaryaan. Dalam sejarahnya, golkar memang terdiri dari organisasi – organisasi kekaryaan yang didirikan oleh militer untuk mengimbangi kekuatan partai politik, khusunya PKI ( Boileau, 1985;Suryadinata, 1989) pada masa –masa krusial di tahun – tahun terakhir pemerintahan soekano. Ketika orde baru berkuasa, gabungan dari organisasi – organisasi kekaryaan itu, atau yang disebut sekretariat bersama golkar dijadikan kendaraan politik untuk memperoleh legitimasi dari rakyat melaluii pemilu. Di dalam kontruksi kebijakan seperti itu pula , birokrasi pada akhirnya dijadikan sebagai alat oleh penguasa untuk menggalang dukungan dan mempertahankan kekuasaan. Sepanjang pemilu – pemilu yang diadakan oleh pemerintahan orde baru, di samping militer birokrasi merupakan salah satu mesin kuat untuk memobilisasi dukungan kepada golkar. Di dalam organisasi golkar sendiri birokrasi memiliki posisi yang khsusus. Hal ini terlihat dari ditempatkannya golkar ke dalam salah satu dari tiga jalur penting di golkar, yaitu jalur B birokrasi, dengan demikian terlibat secara kuat di dalam kepemimpinan golkar.

(24)

birokrasi ( Dilulio , 1994; meier and O’Toole , 2006 ; weingest, 1988). Di dalam teori demikian yang menjadi principal atau master adalah para politisi, baik yang ada di eksketutif maupun di parlemen. Orang – orang seoerti inilah yang membuat dan memutuskan kebijakn – kebijakan. Sedangkah yang menjadi agent adalah birokrasi. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa birokrasi tidak lepas dari masalah – masalah politik. Di dalam praktiknya, karena birokrasi itu juga tidak lepas dari masalah jabatan dan jenjang karier, sedangkan masalah – masalah demikian dioutuskan oleh politisi, maka apa yang ada di dalam birokrasi juga tidak lepas dari kepentingan – kepentingan politik.

UPAYA MENINGKATKAN KAPASITAS PELAYANAN , di samping berkaitan dengan masalah netralisasi, masalah lain yang selalu menjadi perhatian di dalam birokrasi adalah berkaitan dengan pelayanan yang diberikan kepada publik. Memang, pada awalnya birokrasi itu hadir sebagai kreasi dari penguasa untuk memberikan pelayanan kepada penguasa, khususnya di dalam upaya untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaan, tatapi, seiring dengan perkembangan, khususnya ketika demokrasi berkembang, pelayanan birokrasi yang sebelumnya lebih diarahkan kepada penguasa itu kemudian lebih diarahkan kepada publik. Menanggapi kritikan terhadap birokrasi semacam itu, kenneith J. Meier (1979; 5) berpandangan bahwa kritik yang dialamatkan kepada birokrasi itu lebih cenderung sebagai retorika daripada sebagai suatu kesimpulan yang di dukung oleh fakta. Kritik bahwa birokrasi itu adalah tidak efisien, misalnya, dianggap sebagai proposisi yang tidak terbukti. Dalam pandangan dia, ketika konsep efisiensi dianggap sebagai ‘delivering goods and sevices at the least possible cost’. Seharusnya berarti suatu konsep yang dapat dibandingkan.

Sebagai konsekuensi dari pandangan seperti itu,struktur organisasi di dalam birokrasu harus terdesentralisasi , dan pengelolahannya didasarkan pada prinsip – prinsip yang ada di dalam organisasi swasta pemberian ‘hadiah’ dan peningkatan jenjang karier, dengan demikian, didasarkan pada kinerja. Pada awal – awal 1980-an sampai berakhirnya pemerintahan orde baru. Upaya untuk memperbaiki reformasi birokrasi lebih mengarah kepada model ‘deregulated government’ . hal ini terlihat dari pengembangan konsep ‘deregulasi’ dan ‘debirokratisasi’ sebagai antisipasi untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang muncul pada awal 1980-an. Secara kasuistik, kebijakan desentralisasi itu telah mendorpng munculnya inisatif dan kreativitas daerah di dalam memberikan pelayanan publik. Misalnya saja, di sejumlah daerah ditemukan adanya lembaga ‘ one stop service ‘ di dalam memberikab pelayanan perizinan. Kalau sebelumnya perizinan dilakukan oleh instansi yang berbeda – beda , setelah itu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja.

BAB 12

MILITER DSN POLITIK : KEMBALI KE BARAK, MENUJU TENTARA PROFESIONAL ?

(25)

merupakan salah satu instrumen utama untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan, khususnya di dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik.

Jauh sebelumnya pemerintahan orde baru, pengaruh politik militer di dalam proses – proses politik sebenarnya sudah terjadi (Crouch, 1978 ;Said, 1992 ; Sundhaussen , 1982). Hal ini tidak lepas dari eksistonsi militer di indonesia yang dipandang berbeda dengan militer di negara – negara barat, misalnya perbedaan eksistensial itu terlihat dari munculnya konsep ‘ jalan tengah ‘ kolonel A.H. Nasution ( di kemudian hari menjadi jenderal besar , berbintang lima ). Dalam pandangan ini, militer tidak bisa hanya ditempatkan sebagai penjaga keamanan, melainkan harus terlibatkan di dalam pengolalaan negara.

Tetapi, di kemudian hari jatuhnya soeharto pada akhirnya juga membuat surutnya pengaruh politik militer. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa antara soeharto dan TNI merupakan ‘satu paket’ di dalam kekuasaan. Secara pribadi, soeharto merupakan orang penting di militer. Jatuhnya soeharto , dengan demikian, berimplikasi pada merosotnya pengaruh politik militer. Di samping itu, bangunan negara demokrasi memang mensyaratkan militer tidak aktif berpolitik dan berada di dalam ‘supremasi sipil’.

RELASI MILITER DAN POLITIK , relasisipil dan militer di dalam suatu negara pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari karakteristik sistem politiknya. Di negara – negara otoriter atau totaliter, pengaruh militer di dalam kehidupan politik sangat besar.di sini, militer merupakan bagian terpenting dari kekuasaan atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti ditemukan di negara – negara yang dipimpin oleh jutaan militer. Mengingat posisi dan pengaruh iliter di sejumlah negara sebelum penghujung abad ke – 20 cukup besar, gambaran konseptual tentang relasi antara militer sipil di negara – negara itu berbeda dengan apa yang terjadi di eropa barat dan amerika utara .

Militer memiliki ruang yang lebih leluasa untuk masuk ke wilayah politik di negara – negara yang tergolong lemah , dalam kondisi tidak stabil dan terjadi pembusukan politik. Dalam suasana seperti ini, militer memiliki alasan bahwa masuknya mereka ke arena politik adalah ‘to createstability, order , and legitimacy’ . alasan seperti ini pula yang di jadikan dasar untuk memperoleh dukungan dari rakyat. Hanya saja, seperti disebut di depan, sejak awal 1990-an terdapat fenomena yang lain, yaitu transformasi politik secara global. Transformasi ini ditandai oleh perluasan demokrasi, runtuhnya uni soviet dan berakhirnya perang dingin. Bahkan, sebelum itu, fenomena serupa sudah terjadi, yakni pada 1970-an di eropa selatan, dan pada 1980-an di negara – nhegara amerika latin.proses demokratisasi di negara – negara ini berseiring dengan kekurangannya secara dratis intervensi mikiter di panggung politik.

(26)

profesional yang mengerjakan masalah – masalah pertahanan saja.sebagai konsekuensinya, TNI dituntut untuk merevisi konsep ‘ dwifungsi ‘ yang sudah lama dianutnya , karena konsep tersebut selama ini dipandang sebagai pembenar bagi masuknya militer di wilayah non-pertahanan.

Di samping secara riil TNI merupakan kekuatan utama yang mendukung lahirnya pemerintahan orde baru, doktrin ‘dwifungsi’ telah dijadikan sebagai dasar legitimasi bagi TNI untuk memasuki tanah politik. Tidak sekadar menjadi kekuasaan yang berpengaruh, tetapi merupakan kekuatan yang ikut mengendalikan kekuasaan secara langsung. Berkurangnya pengaruh militer itu tidak lepas dari adanya pola pergeseran basis dukungan presiden soeharto. Mulai akhir 1980-an presiden soeharto berupaya untuk memperoleh dukungan dari luar militer. Hal ini terjadi karena presiden soeharto sudah mulai kehilang kepercayaan terhadap militer (Aspinall, 1005; Haramain, 2004; Uhlin, 1997). Kelompok yang potensial untuk ini adalah kekuatan islam. Upaya seperti ini wajar dilakukan karena mayoritas penduduk indonesia beragama islam. Tetapi, upaya ini terlihat agak aneh karena pada awal – awal pemerintahan orde baru, kelompok islam secara politik. Termarginalkan, karena presiden soeharto beserta pendukung orde baru hendak membangun negara indonesia sekuler berdasarkan pancasila.

Upaya itu berbanding lurus dengan perubahan – perubahan kekuatan di dalam golkar. Sebagaimana dikemukakan oleh Leo Suryadinata (1989), golkar merupaka organisasi politik yang dikendalikan oleh para jenderal dan politik yang berbasis ‘abangan’. Sejak pertengahan 1980-an , terdapat perubahan di tubuh organisasi berlambang pohon beringin itu. Para politik yang berbasis santri, semakin memiliki pengaruh di golkar. Disamping itu , argumentasi bahwa reformasi di tubuh TNI itu ‘murni’ dari dalam itu juga cukup lemah karena ada fakta lain, yakni keputusan politik dari kekuatan – kekuatan politik seperti partai – partai atau kelompok – kelompok yang memiliki kursi di lembaga perwakilan (DPR/MPR).

MASALAH PERAN TERITORIAL , salah satu turunan penting dari konsep ‘dwifungsi’ adalah adanya lembaga teritorial, mengingat salah satu peran penting dari lembaga ini adalah untuk melakukan pembinaan sosial politik. Secara kelmebagaan, peran demikan dijalankan oleh komando teritorial (kotor) yang meliputi kodim di tingkat provinsi sampai babinsa di tingkat kabupaten / desa. Dalam pandangan TNI, koter masih dibutuhkan untuk menjalankan fungsi teritorial yang berkaitan dengan masalah – masalah pertahanan. Paling tidak, ada empat fungsi yang bisa dilakukan oleh koter saat ini :

Mengelola satuan – satuan dibawah komandonya Melatih rakyat sebagai komponen pertahanan

Menyiapkan dan melaksanakan kampanye militer untuk mempertahankan daerah dalam menghadapi ancaman dari luar, dan

Membantu pemerintah daerah atas permintaan, khususnya yang berkaitan dengan masalah pertahanan (Asfar, 2003; 45)

(27)

terhadap dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada 22 juli 2001. Masih terlibat dalam politik kengeraan, dalam pandangan salim said (2002). Mengindikasikan bahwa peran politik TNI pasca-pemerintahan soeharto itu jadi tidak berbeda jauh dengan model turki. Di negara itu. Militer memang sudah menarik diri dari gelanggang politik. Tetapi, militer akan ikut cammpur manakala negara sekuler yang didirikan oleh jenderal kemal attaturk itu terancam. TNI, bisa saja akan tetap memiliki pengaruh politik di dalam kebijakan – kebijakan penting.ketika terjadi krisis politik seperti pada 2001, atau ketika konsep NKRI dianggap dalam bahaya, TNI akan mengambil posisi politiknya.

Di samping itu, peran politik TNI pasca – pemerintahan soeharto akan terlihat berkaitan dengan penggunaan hak pilih dan terpilih di dalam pemilu. Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa TNI polri sudah tidak memiliki jatah kursi di DPR/D sejak pemilu 2004. Meskipun secara

kelembagaan TNI tidak memiliki keterkaitan dengan kekuatan – kekuatan politik yang ada, secara tidak langsung TNI bisa saja terseret ke kanvah politik ketika hak pilih itu diberikan saat ini, hal ini tidak lepas dari persaingan antara purnawirawan TNI

BAB 13

RELASI BISNIS DAN POLITIK : PROBLEM PRAGMENTED STATE DAN EMBEDDEDNES AUTONOMY

Bab ini memperbincangkan relasi antara kekuatan bisnis dan politik pasca – pemerintahan soeharto. Seiring dengan proses demokratisasi yang terus menggelinding, apakah relasi antara bisnis dan politik mengalami perubahan? Kalau terdapat perubahan, dalam pola yang bagaimanakah perubahan didalam relasi itu? Apakah relasi itu berpola pluralistis, dimana kekuatan bisnis sama seperti kekuatan – kekuatan lainnya yang memiliki kesempatan untuk memengaruhi di dalam proses politik , ataukah berpola lain?

Secara sederhana, paling tidak , ada dua hal yang menjadi titik tolak perbincangan di dalam studi – studi mengenai relasi antara bisnis dan politik.

1. Berkaitan dengan keterlibatan pemerintah ( negara, politik ) di dalam pasar (bisnis). 2. Berkaitan dengan keterlibatan bisnis (pasar) terhadap kehidupan politik

(pemerintah,negara).

(28)

Di dalam negara yang bercorak patrimonial, kekuasaan lebih berlembaga pada individu – individu tertentu. Ketika negara bercorak patrimonial, kekuasaan yang berpusat pada negara pada dasarnya bermakna bahwa kekuasaan itu lebih terkonsentrasi pada individu tertentu, yaitu yang mengendalikan kekuasaan.

NEGARA PASCA – ORDE BARU . sejarah ekonomi politik indoensia mencatat bahwa negara indonesia memiliki peran yang sangat penting di dalam pengelolaan ekonomi, terutama sekalipada masa pemerintahan orde baru. Peran besar itu tidak hanya terlihat pada peran negara di dalam mengatur jalannya mekanisme pasar, seperti dalam kebijakan fiskal dan moneter (Robbison, 1986; 105), khsusunya kebijakan di dalam menarik investasi modal,, serta kebijakan di dalam menentukan harga barang – barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak (sembako). Peran negara juha terjadi secara langsung, dalam bentuk kepemilikan perusahaan – perusahaan negara (BUMN).

Usaha untuk mengurangi peran negara di bidang ekonomi sudah dimulai awal 1980-an , ketika negara indonesia sudah mencari altenatif lain dari ketergantungan yang besar kepada pendapatan dari sektor migrasi. Dalam membuat kebijakan – kebijakan ekonomi, negara tidak bisa leluasa seperti sebelumnya, hal ini berkaitan dengan realitas bhwa kekuatan politik tidak lagi tersentralisasi dan terkonsentrasi pada kekuatan politik tertentu. Hasil tiga kali pemilu pasca – orde baru, paling tidak memperlihatkan hal itu.

PENGUASA - PENGUSAHA , PENGUSAHA – PENGUASA , kalau dibandingkan dengan negara orde baru, negara indonesia pasca – pemerintahan orde baru memang mengalami kelemahan ketika dikaitkan dengan kekuataan – kekuataan yang ada di luarnya, termasuk kekuatan ekonomi. Panggung politik negara indonesia sendiri semakin terbuka bagi masuknya aktor – aktor politik untuk terlibat di dalamnya. Meskipun demikian, satu fenomena yang menguat adalah, semakin banyaknya politisi yang berlatar belakang pengusaha. Di samping karena adanya proses demokratisasi , yang berarti adanya keterbukaan di dalam proses rekruitmen para elite politik, masuknya politisi yang berlatar belakang pengusaha tidak lepas dari semakin besarmya biaya di dalam berdemokrasi.

MASALAH EMBEDDEDNESS AUTONOMY , negara indonesia memang tidak sekuat sebelumnya, menggunakan pemikiran Richard Doner (1992;399) , suatu negara dikatakan kuat manakala memiliki dua karakteristik.

1. Negara harus memiliki kebebasan dari tekanan (insulated) dari kekuatan – kekuatan yang ada di dalam masyarakat.

2. Negara secara organisasi memiliki kemampuan yang cukup dan berkoordinasi untuk mengimplementasikan kebijakan – kebijakan yang telah dibuat itu.

(29)

Bab 14 Media Massa dan Demokratisasi

Pendahuluan

Di Amerika Serikat, media massa atau pers sering disebut sebagai pilar keempat di dalam suatu pemerintahan (the fourt estate), setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini demikian tidak lepas dari realitas bahwa di Amerika Serikat media massa memiliki pengaruh yang cukup besar di dalam kehidupan politik.

Mengingat posisi dan peran media massa begitu penting, keadaannya sering dikaitkan dengan demokratis tidaknya suatu negara. Manakala di dalam suatu negara media massa mampu menjadi salah satu instrumen bagi adanya kebebasan berekspresi dan berpendapat, hal ini mengindikasikan bahwa negara tersebut bercorak demokratis. Sebaliknya, ketika media massa di negara tersebut tidak bisa menjadi instrumen bagi Kebebasan berekspresi dan berpendapat, apalagi selalu berada di bawah kontrol penguasa, maka hal itu mengindikasikan bahwa negara tersebut tidak demokratis.

Sistem politik yang demokratis, memungkinkan media massa lebih bebas. Sebaliknya, sistem politik yang otoriter cenderung menjadikan media massa terkendali. Meskipun demikian, media massa juga bisa berperan sebagai lembaga yang aktif di dalam mendorong terjadinya proses demokratisasi.

Media Massa dan Demokrasi

(30)

Pertama adalah teori penguatan (reinforcement theory). Teori ini berpendapat bahwa pengaruh media massa itu minimal. Apa yang dilakukan oleh media massa pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi dan penguatan opini yang terjadi di dalam masyarakat.

Kedua adalah teori setting agenda (agenda setting). Di dalam teori ini, media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang kita pikirkan. Tetapi, media massa dianggap dapat dan memilik pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan.

Ketiga, teori priming dan framing. Di dalam pandangan teori priming, media dapat memengaruhi karena lebih fokus pada isu-isu tertentu, bukan yang lain. Sementara itu, di dalam teori framing, media melakukan set up untuk memengaruhi penafsiran pembaca, pemirsa, dan pendengar tentang suatu isu dalam makna tertentu.

Keempat, teori efek langsung (direct effect theory). Media di pandang memilik pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang, termasuk di dalamnya adalah pelaku politik. Di dalam teori ini, media massa tidak hanya sekedar identitas sebagai institusi yan merefleksikan realitas, melainkan institusi yang memiliki pengaruh terhadap realitas itu.

Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik pada kenyataannya berkaitan dengan corak sistem politik suatu negara. Argumentasi semacam ini, misalnya, pernah di kembangkan oleh Siebert, Peterpan, dan Schramm (1963), ketika mereka mengelompokkan pers ke dalam empat sistem. Pengelompokan ini didasarkan pada corak sistem politik yang melingkupinya.

Pertama adalah sistem pers otoriter. Pers semacam ini muncul ketika banyak negara yang masih menganut pemerintahan kerajaan yang bercorak otoriter. Kedua adalah sistem pers liberal. Sistem ini kemunculannya tidak lepas dari pergeseran di dalam kekuasaan di Eropa Barat, dari pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Ketiga adalah sistem pers komunis. Di dalam sistem ini, media massa merupakan alat pemerintahan atau partai komunis yang berkuasa, dan merupakan bagian integral dari negara. Terakhir adalah sistem pers tanggung jawab sosial. Sebagai reaksi terhadap sistem-siatem sebelumnya, khususnya kepada sistem liberal.

Referensi

Dokumen terkait

  Fungsi dan Peran Pengawas Pemilu Di berbagai Negara di dunia sebetulnya pelaksanaan pemilu yang demokratis tidak mengharuskan adanya lembaga yang kita kenal sekarang dengan

dimiliki oleh Presiden mengakibatkan tidak terjadinya check and balances pada lembaga-lembaga negara, dan akhirnya mengakibatkan terpusatnya kekuasaan di tangan satu

(2) Setiap warga negara, tidak dalam pelayanan Pakistan, berhak untuk membentuk atau menjadi anggota partai politik, tunduk pada pembatasan yang wajar yang