• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter Fisik, Kimia Air dan Substrat terhadap Perkembangan Kepiting Bakau

Dalam dokumen KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Halaman 30-38)

Kepiting bakau di hutan mangrove menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pertumbuhan dan penyebaran hidupnya. Untuk dapat mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau perlu diketahui pertumbuhan kepiting bakau dari parameter fisik kimia air dan substrat dimana organisme itu berada, antara salinitas, suhu (suhu air), derajat keasaman (pH), kandungan oksigen terlarut (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), dan kandungan bahan organik (Kasry, 1996).

2.7.1 Salinitas

Salinitas acapkali disebut kadar garam atau kegaraman yang maksudnya ialah jumlah berat semua garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (permil, garam per mil) (Nontji, 2005). Menurut Hill (1976), salinitas

berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat moulting.

Queensland Departement of Primary Industries (1989), melaporkan walaupun kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau, belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perairan yang bersanilitas rendah. Kasry (1996), mengatakan sebaliknya kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 150/00– 290/00 walaupun belum diketahui pengaruh salinitas terhadap pertumbuhannya.

Queesland Departement of Primary Industries (1989) menyebutkan perubahan salinitas mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme kepiting bakau (Scylla spp) dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas. (Anwar et al. 1984) menyatakan, kepiting bakau akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. (Soim, 1999) kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-300/00 atau digolongkan ke dalam air payau.

2.7.2 Derajat Keasaman (pH)

Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral (Odum, 1998). Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan

terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam Sirait (1997) kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu daerah yang bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. Soim (1999) mengatakan pH yang sesuai untuk kepiting berkisar antara 7,2-7,8, sedangkan menurut Kasry (1996), pH yang baik untuk kepiting adalah 7,0-8,0.

2.7.3 Kandungan Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO)

Silih bergantinya masuknya air laut dan air tawar ke dalam perairan estuaria, bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya dan pencampurannya oleh angin, biasanya menyebabkan persediaan oksigen cukup di dalam perairan tersebut (Nybakken, 1992). Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali, dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oleh sebab itu kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh suhu. Kelarutan maksimum oksigen dalam air terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar 14,6 mg/liter O2 (Barus, 2001). Menurut Kordi (1997), kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter.

2.7.4 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

mencapai kurang lebih 70% (Wardhana, 2001). Karena kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang ada dalam perairan tersebut, maka nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik, apabila konsumsi oksigen selama periode lima hari berkisar sampai 5 mg/liter O2. Apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10-20 mg/liter O2 menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik tinggi (Bower, et al. 1990).

2.7.5 Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik di perairan. Pengukuran COD dilakukan karena dalam bahan sering ditemukan bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara biologis dan hanya dapat diuraikan secara kimiawi. Kadar COD yang tinggi dapat mempengaruhi berkurangnya mikroorganisme perairan (Bower, 1990).

2.7.6 Nitrit (NO2 – N)

Stickney (1979) berpendapat bahwa nitrit merupakan bentuk nitrogen yang tidak disukai setelah amoniak dalam sistem budidaya perairan. Perairan yang tercemar biasanya mengandung nitrit hingga 2 mg/l, selain itu kadar nitrit antara 0,5 – 5 mg/l membahayakan kehidupan organisme.

2.7.7 Nitrat (NO3 – N)

Nitrat adalah zat nutrisi yang merupakan produk akhir dari penguraian mikroorganisme. Mikroorganisme mengoksidasi amonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat, penguraian ini dikenal sebagai nitrifikasi (Borneff, 1982)

2.7.8 Fosfat

Fosfat merupakan nutrient yang paling penting dalam menentukan produktivitas perairan. Keberadaan fosfat di perairan dengan segera dapat diserap oleh bakteri, fitoplankton dan makrofita (Stickney, 1979).

2.7.9 Suhu

Menurut Nontji (2005), suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan. Data suhu dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisik di dalam laut serta kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan. Menurut Hill et al. (1989) dan Queensland Department of Primary Industries (1989), suhu mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20oC dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan berhenti. Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu untuk dewasa menjadi singkat. Menurut Hill

et al. (1989) bahwa di Perairan Estuaria St. Lucia Afrika Selatan, kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 24oC-28oC, di perairan hutan mangrove ujung Alang, Cilacap kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 26,5oC-35oC (Hutasoit, 1991).

2.7.10 Kecerahan

Selama periode pasang surut maupun pada periode pasang naik menunjukkan bahwa adanya perbedaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu, di mana pada waktu pasang surut pengaruh daratan lebih dominan sehingga tingkat kecerahannya lebih rendah sedangkan pada waktu pasang naik laut memiliki kecerahan lebih tinggi berpengaruh terhadap kondisi perairan, juga dipengaruhi oleh adanya limbah yang menutupi permukaan perairan sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya (Nontji, 2005).

2.7.11 Pasang Surut

Pasang surut terjadi karena interaksi antara gaya tarik (gravitasi) matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi dan sistem bulan. Akibat gaya-gaya ini, air samudera tertarik ke atas, naik turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu tertentu disebut pasang surut. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal (Nybakken, 1992).

2.7.12 Padatan Terlarut Total atau Total Dissolved Solid (TDS)

Nilai Padatan Terlarut Total mencerminkan banyaknya zat-zat padat yang terlarut dalam suatu contoh air, semakin tinggi jumlah zat padat yang terlarut dalam air maka sifat transparansi air akan berkurang sehingga menurunkan produktivitas air (Levinton,1982). Semakin tinggi zat-zat padat terlarut dalam air akan mengakibatkan kekeruhan. Kekeruhan dapat terjadi karena organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan ekstrak senyawa-senyawa organik, serta tumbuh-tumbuhan (Barus, 1996).

2.7.13 Kadar Minyak dan Lemak

Menurut Miller (1995) tinggi-rendahnya kadar minyak di perairan dipengaruhi oleh arus air laut dan banyaknya pencemaran yang terjadi di sekitar pantai dari hutan mangrove. Bila diperhatikan kadar minyak yang ditemukan baik pada periode pasang surut maupun pada periode pasang naik berfluktuasi.

2.7.14 Kandungan Bahan Organik

Substrat di sekitar hutan mangrove didominasi oleh lumpur. Hal ini kemungkinan ada hubungan dengan sifat kepiting, di mana pada substrat ini kepiting lebih mudah membenamkan diri. Di samping substrat lumpur kemungkinan lebih banyak mengandung sumber makanan, seperti jenis-jenis organisme sesil (Gunarto,

Menurut Anwar et al. (1984) hutan mangrove merupakan ekosistem produktivitas yang cukup tinggi. Noor et al. (1992) menyatakan kebanyakan produktivitas mangrove masuk ke dalam sistem energi sebagai bahan pelapukan atau bahan organik yang mati. Substrat mangrove memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sekitar 62% di samping itu juga menghasilkan detritus yang banyak.

Dalam dokumen KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Halaman 30-38)

Dokumen terkait