• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Fisik Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai faktor fisik kimia perairan pada setiap stasiun seperti pada Tabel 4.1. berikut:

Tabel 4.1. Faktor Fisik-Kimia Perairan tiap Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1. Suhu ◦C 29 30 29

2. pH 7,9 7,6 8

3. Salinitas o/oo 37 33 29

4. Intensitas Cahaya Candella 492 x 200.000 395 x 200.000 360 x 200.000

5. Penetrasi cahaya m 1,12 0,83 0,61

6. Kejenuhan Oksigen % 81,152 79,681 82,461

7. DO mg/l 6,2 6 6,3

8. BOD5 mg/l 1,2 1 1,3

Keterangan:

a. Stasiun 1 : aktivitas nelayan (01o20’18,1” N dan 097o35’15,9” E) b. Stasiun 2 : Pemukiman penduduk (01o20’16,75” N dan 097o35’20,6” E) c. Stasiun 3 : pertanian (01o20’16,76” N dan 097o35’25,50” E)

Tabel 4.1. menunjukkan bahwa faktor fisik kimia setiap stasiun dapat mempengaruhi suatu perairan. Berdasarkan data tersebut juga terlihat jumlah setiap faktor fisik kimia cukup bervariasi. Faktor fisik dan kimia sangat dibutuhkan dalam suatu ekosistem dan akan mempengaruhi kehidupan alga hijau dan alga coklat.

4.1.1. Suhu

Hasil pengukuran menunjukan bahwa suhu air berkisar antara 29-30 oC. Kisaran

suhu pada ketiga stasiun penelitian ini tidak jauh berbeda, suhu tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 30oC dan pada stasiun 1 dan 2 adalah sebesar 29 oC.

Perbedaan suhu pada lokasi penelitian ini disebabkan perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke air. Menurut Welch dalam Basmi (1999), tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan, karena intensitas cahaya yang masuk menentukan derajat panas. Semakin banyak sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi dan bertambahnya kedalaman akan mengakibatkan suhu menurun.

24

4.1.2. pH

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 3 diperoleh nilai pH yang tertinggi sebesar 8,0 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 7,6. Tingginya pH pada stasiun 3 ini disebabkan banyaknya alga yang melakukan fotosintesis pada stasiun ini sehingga diduga bahwa laju fotosintesis pada stasiun ini juga tinggi dimana proses fotosintesis bergantung pada ketersediaan karbondioksida pada perairan dan juga cahaya matahari yang masuk. Menurut Barus (2004), pada proses fotosintesis, karbondioksida bersamaan dengan air dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil akan menghasilkan bahan organik dan oksigen sehingga pada perairan yang memiliki laju fotosintesis yang tinggi akan dibutuhkan sejumlah karbondioksida yang banyak. Peningkatan laju fotosintesis ini akan mengakibatkan pH air juga meningkat, karena nilai pH pada suatu perairan akan berfluktuasi sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi. Menurut Nana dan Putra (2011), nilai pH yang tinggi terjadi di perairan dengan kandungan alga yang tinggi juga dimana proses fotosintesis

membutuhkan banyak CO2. Oleh sebab itu, pH pada stasiun 2 rendah disebabkan

rendahnya proses fotosintesis yang terjadi karena alga yang melakukan fotosintesis pada stasiun ini hanya sedikit dibandingkan dengan stasiun 3.

4.1.3. Salinitas

Nilai salinitas yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara 29-370/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 37 0/00, sedangkan

nilai salinitas terendah diperoleh pada stasiun 3 sebesar 29 0/00. Tingginya salinitas

pada stasiun 1 ini dikarenakan stasiun ini berada jauh dari muara sungai dan sedikitnya sungai yang bermuara pada perairan ini. Rendahnya salinitas pada stasiun 3 ini disebabkan stasiun ini berada dekat dengan muara sungai. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nontji (1993), salinitas akan menurun (rendah) di perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh aliran sungai.

25

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terdapat pada stasiun 1 (aktivitas nelayan) yaitu 492 Candela dan yang terendah di temukan pada stasiun 3 sebesar 360 Candella. Tingginya intensitas cahaya pada stasiun 1 ini dikarenakan lokasi ini merupakan daerah aktifitas nelayan sehingga lebih terbuka dan cahaya yang masuk ke badan air tidak terhalang sedangkan stasiun 3 memiliki nilai intensitas cahaya yang rendah dikarenakan stasiun ini terdapat pepohonan yang menyebabkan cahaya terhalang masuk ke air.

Menurut Barus (2004), vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuh- tumbuhan tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari.

4.1.5. Penetrasi Cahaya

Nilai Penetrasi cahaya yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 0,61-1,12 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 (daerah aktivitas nelayan) sebesar 1,12 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,61 m. Rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun 3 ini dikarenakan stasiun ini terlihat lebih keruh dibanding stasiun 1 yang terlihat lebih jernih sehingga cahaya tidak terhalang masuk ke dalam air. Menurut Agusnar (2007), padatan tersuspensi menyebabkan tingkat kejernihan menurun sehingga akan mengurangi penetrasi cahaya kedalam air kemudian Menurut Sutika (1989), kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan–bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.

Menurut Atmadja (1999), semakin jernih suatu perairan maka semakin lebih banyak cahaya yang menembus perairan dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan berlimpahnya tanaman fotosintetik yang tumbuh pada perairan tersebut.

26

Berdasarkan hasil pengukuran DO yang dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut antara 6,0-6,3 mg/l pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada stasiun 3 sebesar 6,3 mg/l. Nilai oksigen yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 6 mg/l. Hal ini disebabkan oleh suhu yang tidak terlalu tinggi pada stasiun 3 sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991), suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida.

Menurut Asmara (2005), Jika nilai pH di laut bersifat asam berarti kandungan oksigen terlarut rendah. Hal ini akan mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Limbah dari kegiatan domestik dan pertanian yang umumnya mengandung bahan organik bila memasuki perairan dapat mempengaruhi nilai kelarutan oksigen dalam air tersebut. Kelebihan nitrogen dan fosfor dalam air yang berasal dari limbah rumah tangga menyebabkan suatu keadaan yang tidak seimbang di lapisan permukaan laut, konsentrasi gas oksigen sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh suhu makin tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen.

4.1.7. BOD5(Biological Oxygen Demand)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai BOD yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 1,3 mg/l, dan yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 1 mg/l. Hal ini disebabkan karena stasiun 3 ini merupakan daerah pertanian sehingga oksigen yang terlarut dalam air banyak digunakan untuk menguraikan senyawa organik yang berasal dari pertanian tersebut maka jumlah oksigen yang terlarut dalam air akan mengalami penurunan, dimana nilai BOD sangat dipengaruhi oleh nilai DO.

27

Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan- bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar (2007), bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya.

4.1.8. Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 3 sebesar 82,461% dan terendah pada stasiun 2 sebesar 79,681%. Tingginya nilai kejenuhan oksigen pada stasiun 3 ini dipengaruhi oleh tingginya nilai DO pada stasiun tersebut sedangkan pada stasiun 2 nilai kejenuhan oksigennya rendah yang dikarenakan oleh suhu yang tinggi pada stasiun tersebut. Menurut Barus (2004), Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu perairan, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/L, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan oksigen dalam suatu perairan yang diukur. Kualitas dari suatu perairan dapat dikatakan cukup bersih dan terbebas dari senyawa organik disebabkan karena pada perairan tersebut tidak terjadi defisit oksigen.

4.2. Jenis Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta(alga coklat) yang didapat

Dokumen terkait