KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO
KOTA GUNUNGSITOLI NIAS
SKRIPSI
ELISABETH PURBA 090805019
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO
KOTA GUNUNGSITOLI NIAS
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
ELISABETH PURBA 090805019
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
PERSETUJUAN
Judul : Keragaman Alga Hijau (Chlorophyta) dan Alga Coklat
(Phaeophyta) di Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias
Kategori : Skripsi
Nama : Elisabeth Purba
Nomor Induk Mahasiswa : 090805019
Program Studi : Sarjana (S1) Biologi
Departemen : Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, Januari 2014
Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si
NIP. 19721126 199802 2002 NIP. 19691010 199702 1002
Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
ii
PERNYATAAN
KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO
DESA SISARAHILI GAMO KOTA GUNUNGSITOLI NIAS SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Januari 2014
iii
PENGHARGAAN
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya yang sungguh luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
yang berjudul “KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA
COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO KOTA GUNUNGSITOLI NIAS” yang merupakan syarat mencapai gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu dan perhatiannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ing T. Alexander Barus M.Sc dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan serta saran dalam kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Ucapkan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik, Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku sekretaris, Dr. Sutarman, M.Sc. selaku Dekan FMIPA USU dan seluruh staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA USU serta kepada Ibu Mizarwati, S.Si selaku Ketua Panitia Seminar Departemen Biologi FMIPA USU.
Ucapan terima kasih yang tiada ternilai harganya penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Hendrik Poltak Purba dan Ibunda tercinta Elida Hutajulu yang tak hentinya mendoakan dan memberi dukungan berupa dana, semangat maupun nasihat. Terima kasih atas pengertian dan kasih sayang yang Ayah dan Ibu berikan. Terima kasih juga, penulis ucapkan kepada kakak terkasih Novalina Purba dan kedua adik ku Boy Santo Purba dan Arnold Adath Purba yang menjadi inspirasi dan pelengkap hidup penulis, serta seluruh keluarga besar penulis semoga Tuhan selalu menyertai dan memberkati kita semua. Amin.
Terima kasih penulis ucapakan kepada teman seperjuangan dan senasib Julie M.T.S dan Monaria Lase sejak awal perkuliahan, penelitian, hingga skripsi ini terselesaikan. Terima kasih juga kepada Frisshy, Laura, Venny, Boy, Uba, Sahat, Hans, Reymond, Anderson, Yenny, Jesica, Ledi, Rissa, Astri, Bertua, Febri serta teman-teman 09TOPUs yang telah memberi warna dalam hidup penulis.
Terima kasih kepada B’Frans Grovy Naibaho untuk cinta, semangat dan
pengertiannya. Terimakasih kepada seluruh anggota PKBKB yang telah mendukung penulis di dalam doa serta kepada keluarga kecil ku ‘Rk Chihuyy’ yang penulis banggakan. Terima kasih juga untuk adik-adik junior biologi
stambuk 010 dan 011 terutama adik asuh ku Tities “tetap semangat yah”.
iv
KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO
KOTA GUNUNGSITOLI NIAS
Abstrak
Penelitian di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias telah dilakukan untuk mengetahui keragaman alga hijau dan alga coklat, hubungan faktor fisik dan kimia perairan keragaman alga hijau dan alga coklat pada bulan Juli sampai dengan Nopember 2013. Penelitian ini dilakukan menggunakan metoda transek garis pada 3 lokasi dalam 25 plot (1 x 1 m). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 2 genus alga hijau dan 2 alga coklat yang termasuk ke dalam 4 ordo dan 4 famili. Kerapatan jenis, kerapatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi yaitu Chaetomorpha crassa pada stasiun 3 sebesar 38,88 individu/m2, 74,43 % dan 100% dan terendah yaitu Turbinaria sp. pada stasiun 1 sebesar 0,6 ind/m2, 3,30 % dan 40 %. Indeks keragaman tertinggi pada stasiun 1 (0,99) dan terendah pada stasiun 3 (0,55). Indeks keseragaman (E) tertinggi sebesar 0,79 pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2 yaitu 0,65. Hasil analisis korelasi menunjukkan parameter kimia dan fisik (salinitas, penetrasi cahaya dan intensitas cahaya) memiliki korelasi sangat kuat terhadap indeks keragaman alga hijau dan alga coklat.
v
THE DIVERSITY OF GREEN ALGAE (Chlorophyta) AND BROWN ALGAE (Phaeophyta) AT GAMO SEASHORE SISARAHILI
GAMO VILLAGE GUNUNGSITOLI NIAS
Abstract
An experiment in Gamo Seashore, Sisarahili Gamo Village Gunungsitoli City Nias has been conducted to know green and brown algae diversity, physical and chemical parameters of water in corrrelation with the diversity of green and brown algae. Green and brown algae diversity assessed through “ line transect method” at three locations where twenty five plots (1 x 1 m) are positioned. All plots sampled during low tide. Two genera of both green algae and brown algae classified into four ordos and four families are recorded from the study area. The highest of species density, relative density and attendant frequency observed on Chaetomorpha crassa at the third location with the number 38,88 ind/m2, 74,43 % and 100 %, respectively and the lowest observed on
Turbinaria sp. at the first location with the number 0,6 ind/m2, 3,30 % and 40 %, respectively. For the diversity index, the highest is recorded from the first location (0,99), while the lowest is found on the third location (0,55). The highest of equitability index was 0,79 at the third location and the lowest was 0,65 at the second location. Chemical and physical parameters (salinity, light penetration and light intensity) are evidently correlated with the green and brown algae diversity.
vi DAFTAR ISI Halaman Lembar Persetujuan Lembar Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstract i ii iii iv v
Daftar Isi vi
Daftar Tabel viii
Daftar Gambar ix
Daftar Lampiran x
Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 2
1.3.Tujuan Penelitian 2
1.4. Hipotesis 3
1.5. Manfaat Penelitian 3
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1. Deskripsi Makroalga 4 2.2. Chlorophyceae (Alga Hijau)
2.3. Phaeophyceae (Alga Coklat) 2.4. Ekologi Pesisir Pantai
2.4.1. Pantai Berbatu 2.4.2. Pantai Berpasir 2.4.3. Pantai Berlumpur 2.5. Pencemaran Pesisir
2.6. Faktor Fisik dan Kimia Perairan 2.6.1. Suhu
2.6.2. Salinitas
2.6.3. Intensitas Cahaya 2.6.4. Penetrasi Cahaya 2.6.5. Derajat Keasaman (pH) 2.6.6. Oksigen Terlarut 2.6.7. BOD
2.7. Substrat 2.8. Pencemaran
2.9. Kandungan dan Manfaat Chlorophyta dan Phaeophyta
dalam Kehidupan
5 7 8 9 10 10 10 11 11 12 12 13 14 14 14 15 15 15 Bab 3. Bahan dan Metode
3.1. Waktu dan Tempat 16
3.2. Deskripsi Area 3.2.1. Stasiun 1 3.2.2. Stasiun 2 3.2.3. Stasiun 3
vii
3.3. Metode Penelitian 18
3.4. Prosedur Penelitian 3.4.1. Pengamatan Sampel
3.5. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 3.6. Analisis Data
18 18 18 20
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Parameter Fisik Kimia Perairan 4.1.1. Suhu
4.1.2. pH 4.1.3. Salinitas
4.1.4. Intensitas Cahaya 4.1.5. Penetrasi cahaya 4.1.6. DO (Dissolve Oxygen)
4.1.7. BOD5 (Biological Oxygen Demand)
4.1.8. Kejenuhan Oksigen
4.2. Jenis Chlorophyta dan Phaeophyta yang didapat pada Lokasi 4.3. Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%)
dan Penutupan (cm2)
4.4. Indeks Keragaman (H’) dan Keseragaman (E)
4.5. Indeks Similaritas (IS)
4.6. Kerapatan Relatif (%), Frekuensi Relatif (%), Penutupan Relatif, dan Indeks Nilai Penting (INP)
4.7. Analisis Korelasi Pearson
23 23 24 24 24 25 25 26 27 27 30 32 33 34 35 Bab 5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan 5.2. Saran
37 37
Daftar Pustaka 38
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Halaman
3.1. Alat, Bahan, Satuan dan Metode pengukuran faktor fisik dan kimia
18
4.1. 4.2.
4.3.
4.4. 4.5. 4.6.
4.7.
Faktor Fisik Kimia Perairan Tiap Stasiun Penelitian
Klasifikasi Chlorophyta dan Phaeophyta yang didapat pada Lokasi Penelitian
Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%), dan Penutupan (cm2)
Nilai Indeks Keragaman (H’) dan Keseragaman (E)
Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Setiap Stasiun
Nilai Kerapatan Relatif (%), Frekuensi Relatif (%), dan Penutupan Relatif, Indeks Nilai Penting (INP)
Nilai Analisis Korelasi Keragaman Chlorophyta dan
Phaeophyta dengan Faktor Fisik Kimia Perairan
23 27
30
32 33 34
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Halaman
3.1. Stasiun 1 (Daerah aktivitas nelayan) 16
3.2. Stasiun 2 (Daerah pemukiman warga) 17
3.3. Stasiun 3 (Daerah pertanian) 17
4.1. H. Macroloba 28
4.2. C. crassa 28
4.3. Padina sp. 29
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Judul Halaman
1. Peta Lokasi 41
2. Bagan Kerja DO 42
3. Bagan Kerja BOD5 43
4. Tabel Kelarutan O2 44
5. Contoh Perhitungan Chlorophyta dan Phaeophyta 45
6. Foto Kerja di Lapangan 48
iv
KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO
KOTA GUNUNGSITOLI NIAS
Abstrak
Penelitian di Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias telah dilakukan untuk mengetahui keragaman alga hijau dan alga coklat, hubungan faktor fisik dan kimia perairan keragaman alga hijau dan alga coklat pada bulan Juli sampai dengan Nopember 2013. Penelitian ini dilakukan menggunakan metoda transek garis pada 3 lokasi dalam 25 plot (1 x 1 m). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 2 genus alga hijau dan 2 alga coklat yang termasuk ke dalam 4 ordo dan 4 famili. Kerapatan jenis, kerapatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi yaitu Chaetomorpha crassa pada stasiun 3 sebesar 38,88 individu/m2, 74,43 % dan 100% dan terendah yaitu Turbinaria sp. pada stasiun 1 sebesar 0,6 ind/m2, 3,30 % dan 40 %. Indeks keragaman tertinggi pada stasiun 1 (0,99) dan terendah pada stasiun 3 (0,55). Indeks keseragaman (E) tertinggi sebesar 0,79 pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2 yaitu 0,65. Hasil analisis korelasi menunjukkan parameter kimia dan fisik (salinitas, penetrasi cahaya dan intensitas cahaya) memiliki korelasi sangat kuat terhadap indeks keragaman alga hijau dan alga coklat.
v
THE DIVERSITY OF GREEN ALGAE (Chlorophyta) AND BROWN ALGAE (Phaeophyta) AT GAMO SEASHORE SISARAHILI
GAMO VILLAGE GUNUNGSITOLI NIAS
Abstract
An experiment in Gamo Seashore, Sisarahili Gamo Village Gunungsitoli City Nias has been conducted to know green and brown algae diversity, physical and chemical parameters of water in corrrelation with the diversity of green and brown algae. Green and brown algae diversity assessed through “ line transect method” at three locations where twenty five plots (1 x 1 m) are positioned. All plots sampled during low tide. Two genera of both green algae and brown algae classified into four ordos and four families are recorded from the study area. The highest of species density, relative density and attendant frequency observed on Chaetomorpha crassa at the third location with the number 38,88 ind/m2, 74,43 % and 100 %, respectively and the lowest observed on
Turbinaria sp. at the first location with the number 0,6 ind/m2, 3,30 % and 40 %, respectively. For the diversity index, the highest is recorded from the first location (0,99), while the lowest is found on the third location (0,55). The highest of equitability index was 0,79 at the third location and the lowest was 0,65 at the second location. Chemical and physical parameters (salinity, light penetration and light intensity) are evidently correlated with the green and brown algae diversity.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai suatu negara
kepulauan, Indonesia terdiri dari sekitar 17.500 pulau dengan garis pantai sekitar
81.000 km yang memiliki sumberdaya laut sangat besar potensinya dalam
menyediakan sumber pangan, kehidupan, dan mineral, bahkan sebagai kawasan
pariwisata maupun rekreasi (Yudha, 2004). Salah satu dari pulau di Indonesia
yang dikenal dengan kekayaan laut dan keindahan pantainya adalah pulau Nias.
Pulau Nias terletak di sebelah barat pulau Sumatera dengan luas wilayah
sekitar 5.625 km2, merupakan salah satu lokasi yang saat ini sedang mengalami
pemekaran wilayah menjadi 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Nias
Selatan, Nias Barat, dan Nias Utara, serta Kota Gunungsitoli. Pantai Gamo adalah
salah satu pantai yang secara geografis terletak di Desa Sisarahili Kecamatan
Gunungsitoli Nias. Pantai Gamo memiliki kekayaan sumberdaya laut yang sangat
beranekaragam dan berlimpah, diantaranya makroalga (Telaumbanua, 2007).
Alga merupakan tanaman laut yang dikelompokkan dalam 2 kelompok
besar yakni makroalga dan mikroalga. Mikroalga tidak dapat dilihat secara kasat
mata tetapi hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop, sebaliknya makroalga
dapat dilihat langsung dengan mata. Makroalga adalah tumbuhan tingkat rendah
yang tidak berpembuluh dan termasuk dalam kelompok Thallophyta atau dikenal
dengan tumbuhan bertalus. Tidak memiliki akar, batang dan daun sejati, hidupnya
menempel pada substrat dengan menggunakan holdfast, memiliki klorofil untuk
proses fotosintesis dan juga mengandung pigmen lainnya (Yulianto, 1996).
Makroalga yang berukuran besar tergolong dalam tiga kelompok besar,
yaitu Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga coklat) dan Rhodophyta (alga merah). Sebagai produsen primer, kelompok alga ini juga menfiksasi bahan
organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari yang dimanfaatkan
2
Chlorophyceae (alga hijau) memiliki vegetasi terbesar diantara kelas lainnya mengandung klorofil a dan b, serta karotenoid. Pada umumnya,tumbuh secara
bergerombol atau berumpun. Keberadaannya dapat dijumpai di paparan terumbu
karang dan hidup menancap atau menempel pada substrat dasar perairan laut
seperti karang mati, fragment karang, dan pasir. Namun pemanfaatannya saat ini
belum dilakukan secara optimal. Sedangkan kelompok alga coklat memiliki
bentuk yang bervariasi dan sebagian besar jenis-jenisnya berwarna coklat atau
pirang karena mengandung klorofil a, karotin, xantofil, dan fikosantin. Warna
tersebut tidak berubah walaupun alga ini mati atau kekeringan.
Perairan Pantai Gamo menjadi tempat terkonsentrasinya aktivitas
masyarakat setempat, karena dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman, pertanian,
dan kegiatan nelayan. Hal ini mengakibatkan faktor fisik kimia perairan
mengalami penurunan kualitas dan habitat Chlorophyta (alga hijau) dan
Phaeophyta (alga coklat) mengalami kerusakan karena aktivitas seperti mencari ikan dan memanfaatkan perairan tersebut sebagai tempat pemberhentian
kapal-kapal nelayan, aktivitas warga setempat yang membuang limbah domestik
langsung ke badan air serta limbah pertanian dan sisa penggunaan pestisida.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) di perairan pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias.
1.1. Permasalahan
Perairan Pantai Gamo merupakan perairan yang cukup luas dan
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas seperti aktivitas nelayan,
pemukiman penduduk, dan juga daerah pertanian. Berbagai aktivitas tersebut
memberi pengaruh buruk terhadap faktor fisik kimia dan keragaman Chlorophyta
(alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) di perairan tersebut, sehingga perlu
dilakukan penelitian mengenai keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan
3
1.2. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) di Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli.
b. Mengetahui kerapatan relatif, frekuensi relatif, penutupan relatif, dan indeks
nilai penting tertinggi pada stasiun penelitian.
c. Mengetahui hubungan keragaman Chlorophyta dan Phaeophyta dengan
kondisi fisik kimia perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota
Gunungsitoli.
1.3. Hipotesis
a. Terdapat perbedaan keragaman Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) pada tiga stasiun pengamatan di Perairan Pantai Gamo.
b. Terdapat hubungan antara keragaman alga hijau dan alga coklat dengan faktor
fisik kimia di Perairan Pantai Gamo.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Sebagai sumber informasi mengenai keragaman Chlorophyta dan Phaeophyta
yang dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya.
b. Sebagai informasi bagi berbagai pihak yang membutuhkan data mengenai
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Makroalga
Alga (tumbuhan ganggang) merupakan tumbuhan thallus yang hidup di air, baik
air tawar maupun air laut, setidak-tidaknya selalu menempati habitat yang lembab
atau basah. Alga yang hidup di air ada yang bergerak aktif, ada yang tidak.
Jenis-jenis yang hidup di air, terutama yang tubuhnya ber sel tunggal dan dapat
bergerak aktif merupakan penyusun plankton, tepatnya fitoplankton. Walaupun tubuh ganggang menunjukkan keanekaragaman yang sangat besar, tetapi semua
selnya selalu jelas mempunyai inti dan plastida, dan dalam plastidnya terdapat
zat-zat warna derivat klorofil, yaitu klorofil-a atau klorofil-b atau kedua-duanya selain derivat klorofil terdapat pula zat warna lain inilah yang justru kadang-kadang
lebih menonjol dan menyebabkan kelompok ganggang tertentu diberi nama
menurut warna tersebut. Zat warna tersebut berupa fikosianin (berwarna biru),
fikosantin (berwarna pirang), fikoeritrin (berwarna merah). Di samping itu juga dapat ditemukan zat-zat warna santofil, dan karoten (Tjitrosoepomo, 2005).
Perkembangbiakan makroalga dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara
vegetatif dengan thallus dan secara generatif dengan thallus diploid yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara
setek, yaitu potongan thallus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru.
Sementara perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik
alamiah maupun budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zigot yang
selanjutnya berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang
mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis
menjadi gametofit (Anggadiredja et al., 2009).
Pada thallophyta spora benar-benar merupakan alat reproduksi, yaitu sebagai calon-calon individu baru. Sifat gamet yang beranekaragam, demikian
pula gametangiumnya, menyebabkan perbedaan-perbedaan pula dalam terjadinya
peleburan sel-sel kelamin itu. Istilah-istilah yang bertalian dengan cara
5
anisogami, gametangiogami, dan oogami, mencerminkan adanya perbedaan-perbedaan tersebut (Tjitrosoepomo, 2005).
Alga dimasukkan ke dalam divisi Thallophyta (tumbuhan berthallus) karena mempunyai kerangka tubuh (morfologi) yang tidak berdaun, berbatang, dan
berakar, semuanya terdiri dari thallus (batang) saja. Sampai kini Thallophyta
memiliki 7 fila yaitu Euglenophyta, Chlorophyta, Chrysophyta, Pyrrophyta,
Phaeophyta, Rhodophyta, dan Cryptophyta. Untuk menentukan divisi dan mencirikan kemungkinan hubungan filogenetik di antara kelas secara khas dipakai
komposisi plastida pigmen, persediaan karbohidrat, dan komposisi dinding sel
(Aslan, 1991).
Makroalga yang berukuran besar tergolong dalam tiga kelompok besar,
yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae
(alga merah). Sebagai produsen primer, kelompok alga ini juga menfiksasi bahan
organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari yang dimanfaatkan
langsung oleh herbivor (Asriyana dan Yuliana, 2012).
2.2. Chlorophyceae (Alga Hijau)
Kelompok ini merupakan kelompok dengan vegetasi terbesar dibanding kelompok
lainnya. Chlorophyceae disebut juga alga hijau yang tergolong ke dalam divisi
Chlorophyta. Sel-selnya memiliki kloroplas yang berwarna hijau yang jelas seperti pada tumbuhan tingkat tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan b,
karotenoid. Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil asimilasi berupa tepung dan
lemak. Perkembangbiakan terjadi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual
dengan membentuk zoospora, sedangkan secara seksual dengan anisogami.
Chlorophyceae terdiri atas sel-sel kecil yang merupakan koloni berbentuk benang bercabang-cabang atau tidak, dan menyerupai kormus tumbuhan tingkat tinggi
(Tjitrosoepomo, 1994).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009), alga hijau atau kelas
Chlorophyceae terdapat berlimpah di perairan hangat (trofik) dan tercatat sedikitnya 12 genus alga hijau yang banyak diantaranya sering dijumpai di
6
a. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut yang terdiri dari 15 jenis dan lima varietas.
b. Ulva mempunyai thallus berbentuk lembaran tipis seperti sla, oleh karenanya dinamakan sla laut. Ada tiga jenis yang tercatat, satu diantaranya, U. reticulata. Alga ini biasanya melekat dengan menggunakan alat pelekat berbentuk cakram
pada batu atau pada substrat lain.
c. Valonia (V. ventricosa) mempunyai thallus yang membentuk gelembung berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang atau karang
mati.
d. Dictyosphaera (D. caversona) dan jenis-jenis dari marga ini di Nusa Tenggara Barat dinamakan bulung dan dimanfatkan sebagai sayuran.
e. Halimeda terdiri dari 18 jenis. Marga ini berkapur dan menjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut. H. tuna terdiri dari rantai bercabang dari potongan tipis berbentuk kipas. Alga ini terdapat di bawah air surut, pada
pantai berbatu dan paparan terumbu, tetapi potongan-potongannya dapat
tersapu ke bagian atas pantai setelah terjadi badai.
f. Chaetomorpha mempunyai thallus atau daunnya berbentuk benang yang mengumpal. Jenis yang diketahui adalah C. crassa yang sering terjadi gulma bagi budidaya laut.
g. Codium hidup menempel pada batu atau batu karang, tercatat ada enam jenis. h. Dari marga Udotea tercatat dua jenis dan banyak terdapat di perairan
Sulawesi, seperti di Kepulauan Spermonde dan Selat Makasar. Alga ini
tumbuh di pasir dan terumbu karang.
i. Tydemania (T. expeditionis) tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan di daerah tubir pada kedalaman 5 – 30 m di perairan jernih.
j. Burnetella (B. nitida) menempel pada karang mati dan pecahan karang di paparan terumbu.
k. Burgenesia (B. forbisii) mempunyai thallus membentuk kantung silindris berisi cairan warna hijau tua atau hijau kekuning-kuningan, menempel di batu
karang atau pada tumbuh-tumbuhan lain.
7
2.3. Phaeophyceae (Alga Coklat)
Phaeophyceae adalah ganggang yang berwarna coklat/pirang. Dalam kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan xanthofil tetapi yang terutama
adalah fikosantin yang menutupi warna lainnya dan menyebabkan ganggang itu
kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan
cadangan tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 % dari berat
keringnya terdiri atas laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan
lebih dekat dengan selulosa daripada zat tepung. Selain laminarin, juga
ditemukan manit, minyak dan zat-zat lainnya. Dinding selnya sebelah dalam
terdiri atas selulosa, yang sebelah luar dari pektin dan di bawah pektin terdapat
algin. Sel-selnya hanya mempunyai satu inti. Perkembangbiakannya dapat berupa
zoospora dan gamet. Kebanyakan phaeophyceae hidup dalam air laut dan hanya beberapa jenis saja yang dapat hidup di air tawar. Di laut dan samudera di daerah
iklim sedang dan dingin, thallusnya dapat mencapai ukuran yang amat besar dan
sangat berbeda-beda bentuknya (Tjitrosoepomo, 1994).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009), alga coklat berukuran besar,
alga ini sangat berkembang di perairan yang sangat dingin karena alga ini adalah
khas tumbuh-tumbuhan pantai berbatu. Terdapat beberapa kelompok alga coklat
ini yang hidupnya bersifat epifit yakni menempel pada makroalga lainnya.
Terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan di Indonesia. Berikut
ini adalah marga-marga alga coklat adalah:
a. Cystoseira sp. hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama
dengan komunitas Sargassum dan Turbinaria. Alga ini mempunyai dua atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini mencapai lebih
dari 0,5 cm lebarnya. Kantung udaranya terdapat di sepanjang thallus.
b. Dictyopteris sp. hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu jarang dijumpai. Jenis alga ini banyak ditemukan di Selatan Jawa, Selat Sunda
dan Bali.
c. Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu dan karang mati di daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai thallus bercabang
8
d. Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya berbentuk cakram kecil. Alga ini hidup bercampur dengan Sargassum dan
Turbinaria dan hidup di rataan terumbu.
e. Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu dan tersebar agak luas di perairan Indonesia.
f. Padina (P. australis), tumbuh menempel pada batu di daerah rataan terumbu, baik di tempat terbuka, di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya
yang melekat pada batu atau pada pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya
terbagi menjadi cuping-cuping pipih 5 – 8 cm lebarnya. Tangkai yang pipih dan pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan ujung meruncing dari
selusin daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih.
g. Sargassum terdapat teramat melimpah mulai dari air surut pada pasang-surut bulan setengah ke bawah. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkahan
karang dan dapat terlepas dari substratnya selama ombak besar dan
menghanyut ke permukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai. Warnanya
bermacam-macam dari coklat muda sampai coklat tua. Alat pelekatnnya terdiri
dari cakram pipih. Di perairan Indonesia tercatat tujuh jenis, yakni:
S. polycystum, S. plagiophyllum, S. duplicatum, S. crassifolium, S. binderi, S. echinocarpum, dan S. cinereum.
h. Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni T. conoides, T. decurrens,
dan T. ornate. Alga ini mempunyai cabang-cabang silindris dengan diameter 2 – 3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1 - 1,5 cm panjangnya.
Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.
2.4. Ekologi Pesisir Pantai
Kawasan pesisir pantai merupakan tempat peralihan antara daratan dan laut,
kawasan pesisir pantai ini ditandai oleh kelandaian (gradient) perubahan ekologi yang tajam. Menurut Pariwono (1996 ), dalam Fachrul (2007), Kawasan ini juga berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) bagi banyak hewan bermigrasi (ikan, udang, ataupun burung) untuk tempat mencari makan, berkembangbiak, dan
membesarkan anaknya. Wilayah pesisir mencakup berbagai jenis habitat dan
9
dan mengedarkan nutrien, menyaring bahan pencemar dari daratan dan
melindungi pantai dari erosi dan badai. Selain itu, wilayah pesisir menjadi daya
tarik bagi manusia untuk menghuninya dan menggunakannya sebagai area
rekreasi dan pariwisata (Tahir, 2012).
Wilayah pesisir yang dimaksud di Indonesia adalah daerah pertemuan
antara darat dan laut yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang
dan angin laut. Sebagai ekosistem yang unik wilayah pesisir merupakan wilayah
yang mempunyai daya dukung yang tinggi, sehingga wilayah ini menjadi tempat
terkonsentrasinya berbagai kegiatan manusia. Akibat aktivitas manusia yang
tinggi dan akibat posisi geografisnya, maka wilayah pesisir rentan terhadap
kerusakan lingkungan. Kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh besar pada
wilayah lainya (Fachrul, 2007).
Ekosistem pesisir menyediakan pilihan yang sangat beragam terhadap
barang (komoditas) dan jasa, menjadi lokasi pelabuhan niaga, penghasil ikan,
kerang-kerangan, krustase dan makroalga. Wilayah pesisir didefenisikan
mencakup area pasang surut, berada tepat di atas atau pada paparan benua
(continental shelf) hingga kedalaman 200 meter, yang selalu mendapat aliran air laut dan merupakan daerah setelah daratan ke arah laut (Tahir, 2012).
Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil
dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang
sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal (Nybakken, 1992). Dalam wilayah
pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya. Kisaran tentang
geografis intertidal seperti yang dikemukakan oleh Nybakken (1992) adalah:
pantai berbatu, pantai berpasir dan pantai berlumpur.
2.4.1.Pantai berbatu
Zona pesisir yang tersusun dari bahan keras, mengandung keragaman flora
dan fauna serta organisma monoseluler lainnya. Zona ini bersifat khas dan
kekhasannya tergantung pada geografis. Tumbuhan vertikal dan zona intertidal
saling berkaitan bentuk dan sifatnya. Fenomena pesisir dan proses terjadinya zona
ini dapat menjadi refleksi toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan
10
Selain itu terdapat faktor biologis yang dominan diantaranya persaingan dan
pemangsa.
2.4.2.Pantai berpasir
Zona ini bukan zona habitat tetapi tidak terpisahkan dari keseluruhan zona
pesisir. Pantai pasir intertidal terdapat di seluruh zona pesisir seluruh dunia.
2.4.3.Pantai berlumpur
Pantai berlumpur terbatas pada zona pesisir yang terlindung dari aktivitas
gelombang laut. Pantai berlumpur adalah habitat bagi makrofauna yang secara
dominan terdiri dari mollusca dan crustacea diantaranya adalah udang. Daerah ini
sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti pohon bakau (mangrove). Guguran
daun dan ranting sebagai bahan organik mempersubur perairan pantai sehingga
banyak dihuni hewan antara lain jenis ikan dan udang. Habitat ini rentan terhadap
pencemaran yang di lakukan oleh aktivitas manusia di daratan yang membuang
limbah ke sungai diteruskan ke pantai dan secara signifikan mencemari perairan
laut pada kawasan pesisir.
2.5. Pencemaran Pesisir
Perairan pesisir adalah zona daratan yang paling akhir dan zona lautan paling awal
(transisi). Seperti sebuah keranjang sampah, setiap limbah yang diangkut oleh
sungai dari daratan dimuntahkan di kawasan ini. Pencemaran pesisir mempunyai
dampak negatif bagi kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan (amanities)
ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1993). Estetika dan kualitas biotik
pasti menurun dan terancam sebagai akibat pencemaran dan aktivitas (ekploitasi)
yang tidak terkontrol. Kerugian besar sesungguhnya mengancam kehidupan
manusia jika kelestarian dan keseimbangan dalam keseluruhan zona diabaikan.
Bentuk dampak dari pencemaran adalah berupa sedimentasi, eutrofikasi, anoxia
(kekurangan oksigen), masalah kesehatan umum, kontaminasi elemen berbahaya
dalam rantai makanan, keberadaan spesies asing, dan kerusakan fisik habitat
11
Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri, et al.,(2004), sebagian besar (± 80%) pencemaran darat oleh aktivitas manusia berpengaruh besar terhadap pencemaran
di pesisir dan lautan. Limbah dan pencemaran oleh aktivitas penduduk dan limbah
rumah tangga yang terdistribusi secara sembarangan ternyata mengandung
mikroorganisme, diantaranya bakteri, virus, fungi dan protozoa yang bersifat
patogen. Mikroorganisme patogen ini menyebar dengan cepat dapat bertahan pada
perubahan faktor kimia dan fisik yang ekstrim.
Menurut Eisherth (1990), mengelompokkan empat kategori limbah yang
dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu: (1) pencemaran limbah industri, (2)
limbah sampah domestik (swage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik, (3) pencemaran sedimentasi (sedimentation pollution) akibat erosi di daerah hulu sungai, (4) pencemaran oleh aktivitas pertanian yakni oleh
penggunaan pestisida.
2.6. Faktor Fisik dan Kimia Perairan
Pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut baik secara tersendiri maupun
berkombinasi terhadap vegetasi tumbuhan alga makro akan tercermin dari kondisi
keanekaragaman dan kelimpahan jenis, produktivitas dan reproduksitivitas
pertumbuhannya. Faktor-faktor pencahayaan (kecerahan) , suhu, substrat (kondisi
dasar perairan), arus (gerakan air), salinitas dan pencemaran merupakan faktor
penting dalam penentuan diversitas dan kualitas pertumbuhan alga makro
(Atmadja, 1999).
Pada suatu perairan hidup bermacam-macam organisme, dari yang
berukuran kecil sampai besar. Kehidupan organisme air sangat tergantung pada
faktor fisik dan kimia air. Faktor fisik dan kimia air yang sangat berpengaruh
terhadap organisme air berbeda dengan faktor iklim dan faktor fisik-kimia tanah.
Perubahan faktor fisik-kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air.
Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di
12
2.6.1. Suhu
Menurut Nybakken (1988), suhu adalah ukuran energi gerakan molekul.
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Tetapi ada juga organisme yang mampu
mentolerir suhu sedikit di atas dan sedikit di bawah batas-batas tersebut, misalnya
ganggang hijau-biru. Menurut Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (2004) menyatakan bahwa suhu perairan dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti
pembuangan limbah panas yang berasal dari mesin suatu pabrik yang
menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air langsung terkena
cahaya matahari secara langsung. Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya (2009)
mengatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan alga berkisar 20 - 300 C.
Semakin naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air
menjadi berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air akan mengalami
kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).
2.6.2. Salinitas
Salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai
variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 o/oo, dengan rata-rata 35 o/oo.
Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi.
Salinitas lautan di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi,
sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena
evaporasi lebih rendah (Nybakken, 1988). Halimeda macroloba adalah salah satu jenis alga yang bersifat stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas
yang tinggi. Salinitas yang baik terhadap kehidupan makroalga berkisar antara
28-35 ppt (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).
Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di lautan. Makroalga
yang mempunyai toleransi yang besar terhadap salinitas (eurihalin) akan tersebar
lebih luas dibandingkan dengan alga makro yang mempunyai toleransi yang kecil
13
2.6.3. Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat
optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian
lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya
kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan
yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004).
Mutu dan kuantitas cahaya dapat berpengaruh terhadap produksi spora dan
pertumbuhannya. Spora gelidium dapat dirangsang oleh cahaya hijau, sedangkan cahaya biru menghambat pembentukan zoospora, misalnya pada protosiphon. Pembentukan zoospora dan pembelahan sel dapat terangsang oleh cahaya merah
berintensitas tinggi. Intensitas cahaya tinggi misalnya merangsang persporaan
Eucheuma. Kebutuhan cahaya pada alga merah agak rendah dibanding alga
coklat. Persporaan Gracilaria verrucosa misalnya berkembang biak pada
intensitas cahaya 400 lux, sedangkan Ectocarpus tumbuh cepat pada intensitas cahaya antara 6500-7500 lux (Aslan, 1991).
2.6.4. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya yang terbentuk akan berbeda pada sistem ekosistem air berbeda.
Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu
titik pada lapisan air, cahaya matahari mencapai nilai minimum menyebabkan
proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan (Barus, 2004).
Penetrasi cahaya matahari yang terbatas akan membatasi kemampuan makro
alga dalam melakukan fotosintesis. Kecerahan mempengaruhi tingkat
produktifitas perairan, semakin rendah tingkat kecerahan semakin kecil proses
fotosintesis yang terjadi pada organisme produsen. Kehadiran dan kelimpahan
alga akan berkurang pada tempat-tempat yang lebih dalam dibandingkan dengan
daerah yang lebih dangkal. Kehadiran dan kelimpahan alga makro di daerah
terumbu karang, tampaknya berkurang pada tempat-tempat yang lebih banyak
cahaya menembus dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan
akan bertambah baik dan berlimpahnya alga yang tumbuh di tempat tersebut
14
2.6.5. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat dan melepaskan sejumlah ion hydrogen akan menunjukkan apakah larutan bersifat asam atau basa (Wibisono, 2005).
Derajat keasaman perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan makroalga. Nilai pH sangat menentukan molekul karbon yang dapat
digunakan makro alga untuk fotosintesis. pH yang baik untuk pertumbuhan alga
hijau dan alga coklat berkisar antara 6 hingga 9. Beberapa jenis alga toleran
terhadap kondisi pH yang demikian (Bold et al., 1985).
2.6.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem
akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar
organisme (Suin, 2002).
Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Dibandingkan
dengan kadar oksigen di udara yang sangat mempunyai konsentrasi sebanyak 21%
volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja. Sumber
utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui
kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Nilai
oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman
yang dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktivitas fotosintesis dari tumbuhan
yang menghasilkan oksigen (Barus, 2004).
2.6.7. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)
Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme
hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air.
Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa
oksigen terlarut dalam air, maka dapat dikatakan bahwa kandungan bahan
buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi (Kristanto, 2002 ).
Bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari
bahan-bahan organik seperti limbah rumah tangga yang dapat diuraikan secara
15
dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman
mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya
(Agusnar, 2007).
2.7. Substrat
Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar,
dipandang baik untuk kehidupan alga makro. Kondisi dasar perairan yang
demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Jenis substrat dapat
dijadikan sebagai indikator gerakan air laut. Dasar perairan yang terdiri dari
karang yang keras menunjukkan dasar itu dipengaruhi oleh gerakan air yang besar
sebaliknya bila substratnya lumpur menunjukkan gerakan air yang kurang
(Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).
2.8. Pencemaran
Pencemaran wilayah pesisir mempunyai dampak negatif bagi kehidupan
biota, sumber daya dan kenyamanan ekosistem laut serta kesehatan manusia
(Nontji, 1993). Perairan yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga , industri,
maupun limbah kapal laut dapat menghambat pertumbuhan makro alga
(Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).
2.9. Kandungan Dan Manfaat Alga Hijau dan Alga Coklat Dalam Kehidupan Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan dan obat. Sebagai bahan makanan, alga
ini dapat dikonsumsi dalam bentuk lalapan (dimakan mentah), dibuat acar dengan
bumbu cuka. Sebagai sumber gizi alga hijau dan alga coklat memiliki kandungan
karbohidrat (gula atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu,
makroalga mengandung vitamin-vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, dan
C; betakaroten, serta mineral, seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi,
dan yodium. Beberapa diantaranya mengandung lebih banyak vitamin dan mineral
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2013 di Perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli Nias.
3.2. Deskripsi Area
Lokasi penelitian berada di perairan Pantai Gamo Desa Sisarahili Gamo
Kota Gunungsitoli yang memiliki garis pantai ± 2 km. Pada perairan ini terdapat
beberapa aktivitas masyarakat yakni aktivitas nelayan, pemukiman penduduk dan
pertanian. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 titik stasiun, yaitu:
3.2.1. Stasiun 1
Stasiun ini merupakan daerah aktivitas nelayan. Secara Geografis terletak
[image:30.595.114.519.473.673.2]pada 01o20’18,1” N dan 097o35’15,9” E dan memiliki substrat pasir, batu, dan karang (gambar 3.1.).
17
3.2.2. Stasiun 2
Stasiun ini merupakan daerah pemukiman penduduk. Secara Geografis
[image:31.595.115.518.169.361.2]terletak pada 01o20’16,75” N dan 097o35’20,6” E dan memiliki substrat berbatu (gambar 3.2.).
Gambar 3.2. Stasiun 2 (Daerah pemukiman warga)
3.2.3. Stasiun 3
Stasiun ini merupakan daerah pertanian. Secara geografis terletak pada
01o20’16,76” N dan 097o35’25,50” E dan memiliki substrat pasir dan karang
(gambar 3.3.).
[image:31.595.113.518.497.696.2]18
3.3. Metode Penelitian
Penentuan stasiun didasarkan atas jenis aktivitas yang terdapat pada perairan
pantai tersebut, stasiun 1 merupakan daerah aktivitas nelayan, stasiun 2
merupakan daerah pemukiman penduduk, dan stasiun 3 merupakan daerah
pertanian. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode transek garis yang dibuat
tegak lurus garis pantai sepanjang 50 m (sampai kedalaman 1 m). Pada Lokasi
penelitian ditentukan 3 stasiun dengan tiap stasiun terdiri dari 5 garis transek,
dengan jarak antar transek 30 m. Pada tiap transek dibuat plot ukuran 1 m x 1 m
(metode kuadrat) sebanyak 5 buah, dengan jarak antar plot 10 m (jumlah plot pada
tiap stasiun adalah 25 plot) sehingga total seluruh plot pada 3 stasiun tersebut
adalah 75 plot.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1.Pengamatan JenisAlga Hijau dan Alga Coklat
Pengambilan sampel alga hijau dan alga coklat dilakukan saat surut.
Diamati jenis alga hijau dan alga coklat yang terdapat pada setiap plot dan
diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Chapman (1973), Direktorat
Jendaral Perikanan Budidaya (2009), dan media ipteknet.com selanjutnya diambil
juga sampel alga hijau dan alga coklat yang mewakili setiap jenis dan diawetkan
menggunakan alkohol 70 % untuk herbarium.
3.5. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan
Faktor fisik dan kimia perairan diukur menggunakan alat dan bahan seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 3.1. Alat, Bahan, Satuan dan Metode pengukuran faktor fisik dan kimia
No. Parameter Alat dan bahan Satuan Metode Kerja
1. Suhu Termometer Hg oC Diambil air dan diukur dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam air selama ± 10 menit kemudian dibaca skalanya.
2. Salinitas Refraktometer o/
oo Diambil setetes air sampel lalu diteteskan pada refraktometer dan dibaca skalanya.
3. Intensitas cahaya
[image:32.595.123.512.595.753.2]19
kemudian dibaca angka yang tertera pada alat tersebut.
4. Penetrasi cahaya
Keping sechi m keping sechii dimasukkan ke dalam air sampai terlihat samar, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air.
5. Derajat keasaman
pH meter - dimasukkan pH meter ke dalam air yang diambil sampai terlihat skala angka yang konstan pada alat dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
6. Oksigen terlarut Botol winkler, erlenmeyer, pipet tetes, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125N, amilum,
mg/L Air diambil dan dimasukkan ke dalam botol Winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut dan dititrasi dengan metoda winkler.
7. BOD5 Botol winkler, erlenmeyer, pipet tetes, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125 N, amilum
mg/L Air yang diambil dan dimasukkan ke dalam botol putih dalam kondisi tidak ada gelembung udara. Diinkubasi selama 5 hari pada suhu 200C. Dihitung nilai BOD dengan cara sama seperti pada pengukuran Oksigen (DO). Kadar BOD5 dihitung dengan mengurangkan DO awal dengan DO akhir.
8. Kejenuhan Oksigen
Botol winkler, erlenmeyer, pipet tetes, MnSO4, KOH KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125 N, amilum
% Diukur dengan metode winkler dan melihat tabel kejenuhan oksigen yang dihitung dengan melihat konsentrasi oksigen yang diukur. Menggunakan rumus:
Kejenuhan = ₂ [ ]₂ [ ] x 100% Keterangan:
O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/L)
[image:33.595.128.508.95.600.2]20
3.6. Analisis data
Data yang didapat dari lapangan dianalisa menggunakan rumus menurut
Fachrul, 2007 sebagai berikut:
a. Kerapatan jenis (ind/m2) (K) = � � dengan:
K = Kerapatan jenis ke-i ni = Jumlah individu jenis ke-i
A = Luas areal total pengambilan sampel
b. Kerapatan relatif jenis (%) (KR) = �
∑ ― X 100 %
dengan:
KR = Kerapatan relatif ni = nilai kerapatan ke-i
∑n = total kerapatan seluruh jenis
c. Frekuensi Kehadiran (%) (FK) = ��
∑ X 100 %
dengan:
FK = Frekuensi kehadiran
Pi = Jumlah plot ditemukan jenis ke-i ∑ P = Jumlah total plot
FK : < 25% : sangat jarang
25% - < 50% : jarang 50% - < 75% : banyak
> 75% : sangat banyak
d. Frekuensi Relatif (%) (FR) = ��
∑ � X 100 % dengan:
FR = Frekuensi Relatif Fi = Frekuensi jenis ke-i
∑ F = Total frekuensi seluruh jenis
e. Indeks Keragaman Shannon-Wiener
S
H’ = - ∑ ( pi ln pi) ) dengan pi = ni/N i=1
21
dengan:
H’ = Indeks keragamanjenis
ni = Jumlah individu untuk jenis yang diamati pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu
S = Jumlah jenis
Jika nilai H’< 1, keragaman jenis sedikit atau rendah, jika 1< H’< 3, keragaman jenis sedang dan bila H’ > 3 maka keragaman jenis tinggi.
f. Indeks Keseragaman (E) (E) =
max '
H H
dimana :
H’ = indeks keragamanShannon – Wienner
H max = ln S (S = banyaknya spesies)
Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1. Semakin kecil nilai E,
semakin kecil pula keseragaman populasinya artinya penyebaran individu tiap
jenis sama. Bila mendekati 0, ada satu spesies yang mendominasi. Nilai E
mendekati 1 sebaran individu tiap jenis merata.
g. Indeks Similaritas (IS) (%)
IS = X100%
b a
2c
dimana:
IS = Indeks Similaritas
a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b
c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Bila IS = > 75 % sangat mirip 50 - < 75% mirip 25 - < 50% tidak mirip ≤ 25 % sangat tidak mirip
h. Penutupan Jenis (ind/cm2)
(P) = Luas total penutupan ke-i
22
dengan: P = Penutupan
i. Penutupan Relatif Jenis (%)
(PR) = Penutupan jenis ke-i ×100 %
Penutupan Seluruh jenis
j. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting menggambarkan peran suatu jenis terhadap komunitas
jenis lain, semakin tinggi nilai Indeks nilai penting suatu jenis maka semakin
tinggi peranan jenis tersebut. Rumus yang digunakan untuk menghitung INP
adalah:
INP = KR+ FR + PR
dengan:
INP = Indeks Nilai Penting KR = Kerapatan Relatif FR = Frekuensi Relatif PR = Penutupan Relatif
k. Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara keragaman
alga hijau dan alga coklat dengan faktor fisik kimia perairan di Pantai Gamo Desa
Sisarahili Gamo Kota Gunungsitoli. Analisis korelasi dihitung menggunakan
Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.16.00.
Menurut Sugiyono (2005), tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi
dinyatakan sebagai berikut:
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Parameter Fisik Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai faktor fisik kimia
[image:37.595.111.506.254.388.2]perairan pada setiap stasiun seperti pada Tabel 4.1. berikut:
Tabel 4.1. Faktor Fisik-Kimia Perairan tiap Stasiun Penelitian
No. Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1. Suhu ◦C 29 30 29
2. pH 7,9 7,6 8
3. Salinitas o/oo 37 33 29
4. Intensitas Cahaya Candella 492 x 200.000 395 x 200.000 360 x 200.000
5. Penetrasi cahaya m 1,12 0,83 0,61
6. Kejenuhan Oksigen % 81,152 79,681 82,461
7. DO mg/l 6,2 6 6,3
8. BOD5 mg/l 1,2 1 1,3
Keterangan:
a. Stasiun 1 : aktivitas nelayan (01o20’18,1” N dan 097o35’15,9” E) b. Stasiun 2 : Pemukiman penduduk (01o20’16,75” N dan 097o35’20,6” E) c. Stasiun 3 : pertanian (01o20’16,76” N dan 097o35’25,50” E)
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa faktor fisik kimia setiap stasiun dapat
mempengaruhi suatu perairan. Berdasarkan data tersebut juga terlihat jumlah
setiap faktor fisik kimia cukup bervariasi. Faktor fisik dan kimia sangat
dibutuhkan dalam suatu ekosistem dan akan mempengaruhi kehidupan alga hijau
dan alga coklat.
4.1.1. Suhu
Hasil pengukuran menunjukan bahwa suhu air berkisar antara 29-30 oC. Kisaran
suhu pada ketiga stasiun penelitian ini tidak jauh berbeda, suhu tertinggi terdapat
pada stasiun 2 sebesar 30oC dan pada stasiun 1 dan 2 adalah sebesar 29 oC.
Perbedaan suhu pada lokasi penelitian ini disebabkan perbedaan intensitas cahaya
yang masuk ke air. Menurut Welch dalam Basmi (1999), tingginya suhu air berkaitan dengan besarnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan,
karena intensitas cahaya yang masuk menentukan derajat panas. Semakin banyak
sinar matahari yang masuk maka suhu semakin tinggi dan bertambahnya
24
4.1.2. pH
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 3 diperoleh nilai pH
yang tertinggi sebesar 8,0 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 2
sebesar 7,6. Tingginya pH pada stasiun 3 ini disebabkan banyaknya alga yang
melakukan fotosintesis pada stasiun ini sehingga diduga bahwa laju fotosintesis
pada stasiun ini juga tinggi dimana proses fotosintesis bergantung pada
ketersediaan karbondioksida pada perairan dan juga cahaya matahari yang masuk.
Menurut Barus (2004), pada proses fotosintesis, karbondioksida bersamaan
dengan air dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil akan menghasilkan bahan
organik dan oksigen sehingga pada perairan yang memiliki laju fotosintesis yang
tinggi akan dibutuhkan sejumlah karbondioksida yang banyak. Peningkatan laju
fotosintesis ini akan mengakibatkan pH air juga meningkat, karena nilai pH pada
suatu perairan akan berfluktuasi sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi.
Menurut Nana dan Putra (2011), nilai pH yang tinggi terjadi di perairan
dengan kandungan alga yang tinggi juga dimana proses fotosintesis
membutuhkan banyak CO2. Oleh sebab itu, pH pada stasiun 2 rendah disebabkan
rendahnya proses fotosintesis yang terjadi karena alga yang melakukan
fotosintesis pada stasiun ini hanya sedikit dibandingkan dengan stasiun 3.
4.1.3. Salinitas
Nilai salinitas yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara
29-370/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 1 sebesar 37 0/00, sedangkan
nilai salinitas terendah diperoleh pada stasiun 3 sebesar 29 0/00. Tingginya salinitas
pada stasiun 1 ini dikarenakan stasiun ini berada jauh dari muara sungai dan
sedikitnya sungai yang bermuara pada perairan ini. Rendahnya salinitas pada
stasiun 3 ini disebabkan stasiun ini berada dekat dengan muara sungai. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nontji (1993), salinitas akan menurun
(rendah) di perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh
aliran sungai.
25
Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas
cahaya yang tertinggi terdapat pada stasiun 1 (aktivitas nelayan) yaitu 492 Candela
dan yang terendah di temukan pada stasiun 3 sebesar 360 Candella. Tingginya
intensitas cahaya pada stasiun 1 ini dikarenakan lokasi ini merupakan daerah
aktifitas nelayan sehingga lebih terbuka dan cahaya yang masuk ke badan air tidak
terhalang sedangkan stasiun 3 memiliki nilai intensitas cahaya yang rendah
dikarenakan stasiun ini terdapat pepohonan yang menyebabkan cahaya terhalang
masuk ke air.
Menurut Barus (2004), vegetasi yang ada di sepanjang aliran air juga dapat
mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena
tumbuh-tumbuhan tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya
matahari.
4.1.5. Penetrasi Cahaya
Nilai Penetrasi cahaya yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian
berkisar 0,61-1,12 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 (daerah
aktivitas nelayan) sebesar 1,12 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah terdapat
pada stasiun 3 sebesar 0,61 m. Rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun 3 ini
dikarenakan stasiun ini terlihat lebih keruh dibanding stasiun 1 yang terlihat lebih
jernih sehingga cahaya tidak terhalang masuk ke dalam air. Menurut Agusnar
(2007), padatan tersuspensi menyebabkan tingkat kejernihan menurun sehingga
akan mengurangi penetrasi cahaya kedalam air kemudian Menurut Sutika (1989),
kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna
perairan, kandungan bahan–bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus.
Menurut Atmadja (1999), semakin jernih suatu perairan maka semakin
lebih banyak cahaya yang menembus perairan dan memperlancar proses
fotosintesis yang mengakibatkan berlimpahnya tanaman fotosintetik yang tumbuh
pada perairan tersebut.
26
Berdasarkan hasil pengukuran DO yang dilakukan diperoleh nilai oksigen
terlarut antara 6,0-6,3 mg/l pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut
yang tertinggi pada stasiun 3 sebesar 6,3 mg/l. Nilai oksigen yang terendah
terdapat pada stasiun 2 sebesar 6 mg/l. Hal ini disebabkan oleh suhu yang tidak
terlalu tinggi pada stasiun 3 sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian
secara aerob hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991),
suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka
oksigen di dalam air akan menurun. Oksigen terlarut bergantung kepada suhu,
kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada
kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik
yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika
tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan menguraikan bahan
organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida.
Menurut Asmara (2005), Jika nilai pH di laut bersifat asam berarti
kandungan oksigen terlarut rendah. Hal ini akan mempengaruhi kegiatan
mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Limbah dari kegiatan
domestik dan pertanian yang umumnya mengandung bahan organik bila
memasuki perairan dapat mempengaruhi nilai kelarutan oksigen dalam air
tersebut. Kelebihan nitrogen dan fosfor dalam air yang berasal dari limbah rumah
tangga menyebabkan suatu keadaan yang tidak seimbang di lapisan permukaan
laut, konsentrasi gas oksigen sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh suhu
makin tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen.
4.1.7. BOD5(Biological Oxygen Demand)
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai BOD yang tertinggi terdapat
pada stasiun 3 sebesar 1,3 mg/l, dan yang terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar
1 mg/l. Hal ini disebabkan karena stasiun 3 ini merupakan daerah pertanian
sehingga oksigen yang terlarut dalam air banyak digunakan untuk menguraikan
senyawa organik yang berasal dari pertanian tersebut maka jumlah oksigen yang
terlarut dalam air akan mengalami penurunan, dimana nilai BOD sangat
27
Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang
dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi
bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan
dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan
bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar
(2007), bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari
bahan-bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam
ini berasal dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia,
tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan
sebagainya.
4.1.8. Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 3
sebesar 82,461% dan terendah pada stasiun 2 sebesar 79,681%. Tingginya nilai
kejenuhan oksigen pada stasiun 3 ini dipengaruhi oleh tingginya nilai DO pada
stasiun tersebut sedangkan pada stasiun 2 nilai kejenuhan oksigennya rendah yang
dikarenakan oleh suhu yang tinggi pada stasiun tersebut. Menurut Barus (2004),
Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu perairan, maka disamping
mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/L, diperlukan pengukuran temperatur
dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan
terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan
berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur
sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan
oksigen dalam suatu perairan yang diukur. Kualitas dari suatu perairan dapat
dikatakan cukup bersih dan terbebas dari senyawa organik disebabkan karena
pada perairan tersebut tidak terjadi defisit oksigen.
4.2. Jenis Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta(alga coklat) yang didapat pada Lokasi Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun penelitian
ditemukan 2 jenis alga hijau dan 2 jenis alga coklat, yang termasuk ke dalam 2
28
Tabel 4.2. Klasifikasi Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) yang ditemukan pada Setiap Stasiun
Kelas Ordo Famili Genus Jenis
Chlorophyceae Caulerpales Cladophorales
Udoteaceae Cladophoraceae
Halimeda Chaetomorpha
1. H. Macroloba
2. C. crassa
Phaeophyceae Dictyotales Fucales
Dictyotaceae Sargassaceae
Padina Turbinaria
3. Padina sp. 4. Turbinaria sp. Keterangan:
Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan Stasiun 2 : Daerah Pemukiman masyarakat Stasiun 3 : Daerah Pertanian
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa Chlorophyta dan Phaeophyta yang ditemukan adalah dari kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae masing-masing sebanyak 2 ordo, 2 famili, 2 genus, dan 2 jenis yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. H. Macroloba
Jenis ini memiliki thallus seperti segmen bentuk silinder, percabangan thallus
dichotomus yakni bercabang dua terus-menerus, berwarna hijau. Hidupnya
menempel pada substrat batu, dan karang seperti terlihat pada Gambar 4.1. berikut
Gambar 4.1. H. Macroloba (Pengamatan langsung)
b. C. crassa
Jenis ini memiliki thallus silindris menyerupai rambut dan tidak bercabang,
membentuk gumpalan seperti benang kusut, berwarna hijau, membentuk koloni,
sebagian besar tumbuh menempel pada makroalga lain (epifit) namun ada juga
yang ditemukan tumbuh pada substrat seperti kayu, batu, maupun karang seperti
[image:42.595.111.511.114.191.2] [image:42.595.183.442.389.572.2]29
Gambar 4.2. C. crassa (Pengamatan langsung )
c. Padina sp.
Jenis ini memiliki thallus berbentuk seperti kipas, berwarna coklat
kekuning-kuningan dan kadang memutih karena mengandung kapur. Tumbuh menempel
pada batu di daerah rataan terumbu seperti terlihat pada Gambar 4.3. berikut:
Gambar 4.3. Padina sp. (Pengamatan langsung)
d. Turbinaria sp.
Jenis ini memiliki thallus berupa lembaran dimana helaian thallus berbentuk bulat
yang pinggirnya bergerigi, kasar, dan terdapat berkas percabangan. Berwarna
coklat, dan hidup menempel pada batu-batuan dan karang seperti terlihat pada
[image:43.595.183.440.397.598.2]30
Gambar 4.4. Turbinaria sp. (Pengamatan langsung )
4.3. Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%), dan Penutupan (m2)
Nilai Kerapatan (K), Frekuensi Kehadiran (FK), dan Penutupan (P) Chlorophyta
(alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Nilai Kerapatan (Ind/m2), Frekuensi Kehadiran (%), dan Penutupan (m2)
Keterangan:
Stasiun 1 : Daerah Aktivitas nelayan Stasiun 2 : Daerah Pemukiman masyarakat Stasiun 3 : Daerah Pertanian
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai kerapatan, frekuensi kehadiran dan penutupan
tertinggi adalah pada stasiun 3 dari spesies Chaetomorpha crassa dengan nilai K adalah 38,88 individu/cm2, FK adalah 100 %, dan P adalah 0,0620 m2 dan
terendah dari ketiga stasiun penelitian terdapat pada stasiun 2 dari jenis
Turbinaria sp. dengan nilai K sebesar 0,6 individu/m2, FK adalah 20 %, dan P
adalah 0,0008 m2. Hal ini disebabkan C. crassa tidak mudah mengalami
No Taksa
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
K FK P K