• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salinitas menggambarkan tingkat kandungan garam terlarut di dalam air. Salinitas mencerminkan tingkat kandungan garam-garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu (ppt) (Nybakken 1982). Menurut Nontji (1987), natrium klorida (NaCl) adalah jenis garam paling utama di dalam air laut. Selain itu terdapat pula garam-garam magnesium, kalsium, dan sebagainya.

Menurut Nontji (1987), pola sebaran salinitas perairan dipengaruhi oleh pola sirkulasi, evaporasi (penguapan), curah hujan, dan aliran sungai. Salinitas air laut mempunyai hubungan yang erat dengan proses evaporasi. Bila proses evaporasi tinggi, maka salinitas di perairan juga tinggi karena adanya garam-garam yang terkonsentrasi. Salinitas air laut pada umumnya akan turun apabila curah hujan tinggi.

Pada lingkungan pesisir, fluktuasi salinitas merupakan hal yang umum terjadi. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh musim, topografi estuari, pasang surut dan jumlah air tawar yang mengalir ke dalam perairan pesisir. Masukan air tawar dari sungai mempengaruhi distribusi salinitas pada perairan pantai dan muara. Apabila bagian hulu sungai di sekitar pantai mendapatkan banyak bahan organik atau limbah, maka masukan air sungai juga membawa unsur hara. Salinitas juga dapat memperlihatkan pola arus yang bergerak menuju daerah perairan sehingga salinitas dapat mempengaruhi pola penyebaran kandungan unsur hara di laut (Nontji 1987).

Salinitas memiliki pengaruh besar pada kehidupan organisme. Salinitas merupakan salah satu pembatas ekologi air laut, karena beberapa organisme dapat bertahan dengan perubahan salinitas yang besar (euryhaline) tetapi ada juga yang hanya mampu bertahan pada kisaran salinitas yang sempit (stenohaline).

Perairan yang mengalami tingkat curah hujan tinggi atau yang dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki

penguapan yang tinggi, salinitas perairannya juga tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan (dhamadharma.wordpress.com 2010). Tingkat konsentrasi nutrien berbanding terbalik dengan tingkat salinitas. Semakin besar kandungan nutrien yang terdapat dalam suatu perairan, maka semakin rendah salinitasnya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah konsentrasi nutrient dalam suatu perairan, maka semakin tinggi salinitasnya.

2.4.2. Suhu Permukaan

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam perairan yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas dan kehidupan di suatu perairan. Suhu berpengaruh langsung dalam proses fisiologi hewan, khususnya proses metabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak langsung, suhu dapat mempengaruhi keberadaan unsur hara di laut melalui proses upwelling (Novotny dan Olem 1994).

Peningkatan suhu perairan menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut di perairan, yang akhirnya akan mempengaruhi kehidupan organisme perairan sehingga daya larut oksigen di perairan seringkali tidak mampu memenuhi ketersediaan oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk metabolisme dan respirasi.

Perubahan suhu secara tiba-tiba akan menyebabkan kematian organisme akuatik (Moriber 1974). Effendi (2003) mengemukakan bahwa peningkatan suhu akan meningkatkan laju metabolisme, karena setiap kenaikan suhu sebesar 10°C akan menyebabkan kebutuhan oksigen biota laut naik hampir dua kali lipat. Setiap peningkatan konsumsi oksigen akan meningkatkan laju dekomposisi dan mempengaruhi proses regenerasi unsur hara. Suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton terjadi antara selang 25-40°C (Reynols 1990). Faktor suhu merupakan salah satu variabel lingkungan yang secara tidak langsung mempengaruhi kandungan unsur hara di laut.

Suhu air sangat dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari yang jatuh ke permukaan air, yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfir dan sebagian masuk ke perairan dan disimpan dalam bentuk energi (Welch 1952). Menurut Nontji (1987) suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi sinar

matahari. Menurut Effendi (2003), suhu air dipengaruhi oleh musim, posisi geografis (lintang atau latitude), ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air.

2.4.3. Kecerahan

Kecerahan merupakan parameter fisika yang menggambarkan ukuran transparansi dan sifat optik terhadap transmisi cahaya (Effendi 2003). Tingkat kecerahan perairan dapat diamati secara visual dengan bantuan alat Secchi disc (Basmi 1995). Keadaam cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi merupakan faktor utama yang mempengaruhi nilai kecerahan. Semakin besar nilai kekeruhan dan padatan tersuspensi maka nilai kandungan unsur hara relatif akan meningkat (Effendi 2003).

Menurut Wardoyo (1981), kecerahan perairan berhubungan erat dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kepadatan plankton, jasad renik, dan detritus. Pada ekosistem estuari yang menjadi penyebab utama kekeruhan adalah lumpur dan bahan organik, baik dari masukan sungai maupun dari dalam estuari.

2.4.4. pH

Derajat keasaman atau pH merupakan parameter penting dalam pemantauan kualitas perairan. pH merupakan gambaran jumlah atau aktifitas ion hidrogen dalam air. Secara umum, nilai pH menggambarkan seberapa asam atau basa suatau perairan. Nilai pH air sangat menentukan sifat dan laju reaksi biokimiawi dalam air (Widigdo 2001). pH juga memiliki kaitan erat dengan kadar karbondioksida selain dengan alkalinitas. Pada pH < 5, alkalinitas dan kadar karbondioksida bebas semakin rendah. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,0-8,5 (Effendi 2003). Sedangkan menurut Odum (1971), pH perairan yang cocok untuk pertumbuhan organisme air berkisar antara 6-9.

Hal-hal yang dapat mempengaruhi pH dari suatu perairan antara lain buangan industri dan limbah rumah tangga (Boyd 1982). Nilai pH dapat pula dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya, antara lain oleh aktivitas biologis seperti fotosintesis, respirasi, suhu, dan keberadaan ion-ion dalam perairan (Pescod 1973).

Menurut Odum (1971), keberadaan unsur hara di laut dipengaruhi secara tak langsung oleh perubahan nilai pH. Tingkat salinitas mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Salah satunya adalah terjadinya proses denitrifikasi, yaitu proses mikrobiologi dimana ion nitrat dan nitrit diubah menjadi molekul nitrogen (N2) pada kondisi pH tinggi. Produksi akhir dari proses tersebut akan menghasilkan gas inert yang tidak dapat dipakai secara langsung, akibatnya kandungan unsur hara yang dapat dimanfaatkan akan menurun.

Dokumen terkait