• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Parameter Fisika-Kimia

Menurut Nybakken (1992), sifat fisik-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor abiotik akan diperoleh gambaran tentang kualitas perairan. Faktor fisika-kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan plankton antara lain:

1. Suhu

Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air, termasuk plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan

kebutuhan organisme akan oksigen. Perubahan suhu dalam perairan akan mempengaruhi kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik.

Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10Ԩ hanya pada

kisaran suhu yang masih ditolerir, akan meningkatkan aktivitas fisiologi (misalnya: respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Suhu ekosistem akuatik secara alamiah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.

Disamping itu pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh faktor antropogen yaitu faktor yang diakibatkan oleh manusia seperti limbah panas yang berasal dari pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya pelindung sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung. Hutapea (1990)

dalam Azwar (2001), menyatakan bahwa perbedaan suhu pada suatu perairan

dipengaruhi faktor yaitu: (1) variasi jumlah panas yang diserap (2) pengaruh konduksi panas (3) pertukaran tempat masa air secara lateral oleh arus (4) pertukaran air secara vertikal.

Soetjipta (1993) dalam Azwar (2001), menyatakan bahwa suhu yang dapat

ditolerir oleh organisme pada suatu perairan berkisar antara 20-30Ԩ. Isnansetyo

& Kurniastuti (1995), menyatakan suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar

antara 25-30Ԩ, sedangkan yang sesuai untuk pertumbuhan zooplankton berkisar

antara 15-30Ԩ.

Suhu di suatu ekosistem air berfluktuasi baik harian maupun tahunan, fluktuasi terutama mengikuti pola suhu antara lingkungan sekitarnya. Selain itu terlihat bahwa suhu air juga dipengaruhi faktor ketinggian dan letak geografis, selanjutnya suhu sungai juga akan berfluktuasi mengikuti aliran air mulai dari hulu sampai kearah hilir.

2. Penetrasi cahaya

Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosisten perairan. Besar

nilai penetrasi cahaya dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya fotosintesis. Penetrasi cahaya sangat mempengaruhi keberadaaan plankton disuatu badan perairan. Sebab penetrasi cahaya sangat menentukan proses fotosintesis.

Menurut Nybakken (1992), kedalaman penetrasi cahaya yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada bekerjanya faktor antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjangnya gelombang cahaya, kecerahan air, pantulan cahaya oleh permukaan air, lintang geografik dan musim. Menurut Barus (2004), kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisme air, intesitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi intesitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton disuatu perairan. Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton) dan juga mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. 3. Arus

Arus air adalah faktor yang mempunyai perananan yang sangat penting baik pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terlarut dalam air. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen. Selain itu dikenal arus laminar. Arus terutama berfungsi sebagai pengangkut energi panas dan substansi yang terdapat di dalam air. Arus juga mempengaruhi penyebaran organisme. Arus vertikal mempengaruhi distribusi plankton

Adanya arus pada ekosistem akuatik membawa plankton khususnya fitoplankton yang menumpuk pada tempat tertentu. Jika tempat baru itu kaya akan nutrisi yang menunjang pertumbuhan fitoplankton dengan faktor abiotik yang mendukung bagi pertumbuhan kehidupan plankton (Basmi, 1992). Pengaruh arus bagi organisme air yang paling penting adalah ancaman bagi organisme tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras.

4. Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas, dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsetrasi sebanyak 21% volum, air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Kosentrasi menurun sejalan dengan meningkatnya suhu

air. Peningkatan suhu menyebabkan konsetrasi oksigen menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah meningkatkan konsetrasi oksigen terlarut (Barus, 2004).

Kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan jumlah garam terlarut dalam air. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan

dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme air (Barus, 2004).

Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l. Sanusi (2004), menyatakan bahwa DO yang berkisar antara 5,45-7,00 mg/l cukup baik bagi proses kehidupan biota perairan. Semakin rendah nilai DO suatu perairan, maka semakin tinggi pencemaran suatu ekosistem. Disamping pengukuran konsetrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak.

5. Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

Nilai BOD5 menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dalam hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari senyawa organik diuraikan sudah mencapai

kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD5 adalah

jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut, dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu.

Pengukuran BOD5 didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologi seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Menurut Brower et al, (1990), nilai konsetrasi BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama

periode 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik dan apabila konsumsi O2 berkisar 10 mg/l-20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat

pencemaraan oleh materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD5

umumnya lebih besar dari 100 mg/l.

6. Chemical Oxygen Demand (COD)

Nilai COD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg/l O2. Untuk produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme, oleh karena itu disamping mengukur nilai BOD perlu dilakukan pengukuran terhadap COD. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang

mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar/tidak bisa diuraikan secara biologis.

7. Derajat Keasaman ( pH)

Organisme air dapat hidup dalam perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dengan basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat pada 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi nilai pH perairan tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang sengat tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsetrasi amoniak yang bersifat sangat toksik bagi organisme

Derajat keasaman perairan air tawar berkisar antara 5-10 (Laporan Pelaksanaan Kursus Analisa Limbah Industri Angkatan II Staf Akademik PTN Indonesia Bagian Timur 7-17 Juli 1994). Setiap organisme mempunyai nilai pH yang optimum bagi kehidupannya. Perkembangan alga Cyanophiceae akan sangat jarang dalam perairan apabila nilai pH di bawah 5 (Shubert, 1984).

8. Salinitas

Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (0

Berdasarkan Venice System to Classification of water According to Salinity, air diklassifikasikan berdasarkan nilai salinitasnya sebagai berikut :

Tabel 2.2. Klafikasi Air Berdasarkan Nilai Salinitasnya (Schlieper 1958)

No. Jenis Air Salinitas (0/00)

1 Limnin (Air Tawar) < 0,5 0/00 2 Mixohalin (Payau) 0,5 – 30 0/00 3 Enhalin (Air Laut) 30 – 40 0/00

4 Hyperhalin > 40 0/00

Dalam keseluruhan biosfer terbentuk batas yang jelas antara habitat perairan tawar dengan habitat perairan laut yang di batasi air payau (estuaria). Hanya 1% dari keseluruhan organisme air yang dapat hidup pada kedua habitat yang berbeda tersebut. Sisanya sebagian akan hidup pada habitat air tawar saja dan sebagian lagi hidup hanya habitat air laut saja.

Secara alami kandungan garam terlarut dalam air dapat meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi dari hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat.

9. Nitrat dan Nitrit

Mikroorganisme akan mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat. Penguraian ini dikenal sebagai proses nitrifikasi. Proses oksidasi ammonium menjadi nitrit dilakukan oleh jenis bakteri Nitrosomonas. Selanjutnya nitrit oleh aktivitas bakteri Nitrobacter akan dirombak menjadi nitrat, yang merupakan produk akhir dari proses penguraian senyawa protein dan diketahui sebagai senyawa yang kurang berbahaya jika dibandingkan ammonium/amoniak atau nitrit. Nitrat adalah merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kadar nitrat yang optimal untuk pertumbuhan

fitoplankton adalah 3,9 mg/l-15,5 mg/l (Basmi, 1992). Sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

10. Ammonium dan Amoniak

Limbah domestik dari hasil peruraian bahan organik seperti lemak dan protein dapat menimbulkan masalah dalam perairan yaitu zat amoniak (NH3) dan ammonium (NH4+). Dari hasil penelitian diketahui bahwa kesetimbangan antara

ammonium dan amoniak di dalam air dapat dipengaruhi oleh nilai pH air (Baur, 1987; Borneff, 1982 dalam Barus, 2004). Semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dengan amoniak semakin bergeser ke arah amoniak, artinya kenaikan pH akan meningkatkan konsetrasi amoniak yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air.

11. Fosfor

Fosfor bersama dengan nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air, seperti di ketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi yang utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi alga secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air. Kadar fosfor yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l (Wardhana, 1994).

Biomassa dari vegetasi ini setelah mati akan mengalami proses pembusukan/dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara aerob, artinya proses tersebut membutuhkan ketersediaan oksigen terlarut didalam air. Akibat proses dekomposisi tersebut kandungan oksigen terlarut akan semakin sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus berlangsung dapat menimbulakan

kondisi anaerob karena kandungan oksigen terlarut sudah sangat sedikit. Dalam kondisi tidak tersedia oksigen terlarut proses penguraian akan berjalan secara anaerob yang menghasilkan berbagai jenis senyawa yang bersifat toksik dan menimbulkan bau busuk seperti amoniak (Barus, 2004).

BAB III

Dokumen terkait