• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Penelitian Tahap III

4.3.2. Parameter kimia dan mikrobiologi

Semua bahan pangan yang disimpan akan mengalami perubahan mutu menjadi lebih jelek. Cepat lambatnya perubahan tersebut sangat tergantung dari perlakuan yang diberikan. Pengemasan selama penyimpanan merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat laju perubahan mutu produk.

Analisis terhadap parameter kimia dan mikrobiologi sangat penting untuk dilakukan karena berhubungan dengan kandungan gizi, keamanan pangan dan daya awet ikan asap. Hasil pengujian terhadap parameter kimia dan mikrobiologi ikan tongkol asap yang dikemas selama penyimpanan disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Hasil analisis kimiawi (berdasarkan berat kering) dan mikrobiologi ikan tongkol asap yang dikemas selama penyimpanan

Kode K. Air Nilai Aw TVB TBA Fenol K. Abu Lemak Protein TPC Kapang Sampel (%) (mgN/100g) (mg MDA/100g) (ppm) (%) (%) (%) (koloni/g) (koloni/g)

H0 161,28±2,27 0,995±0,00 15,60±0,56 1,105±0,00 H0 3,05±0,07 2,11±0,11 2,60±0,22 46,89±0,18 4,6 x 103 1 x 10 H2P1 149,85±1,72 0,996±0,00 40,00±9,05 3,315±0,08 H2 2,83±0,52 2,04±0,09 3,31±0,25 45,10±0,18 4,6 x 104 9 x 102 H2P2 128,57±0,44 0,995±0,00 46,80±8,48 3,360±0,00 H4 2,63±0,37 2,39±0,09 3,18±0,08 54,49±0,74 1,1 x 104 32 x 102 H2P3 149,27±2,81 0,997±0,00 54,00±1,69 3,290±3,10 H6 2,00±0,28 2,07±0,32 3,47±0,19 46,48±0,24 4,9 x 104 211 x 102 H4P1 133,45±3,16 0,995±0,00 53,62±1,16 3,810±0,00 2,25±0,05 3,71±0,09 57,02±0,54 1,6 x 105 1 x 105 H4P2 143,49±1,93 0,994±0,00 46,00±0,56 3,540±0,00 2,73±0,61 3,63±0,17 53,83±1,31 1 x 105 1 x 104 H4P3 145,61±3,92 0,994±0,00 41,20±0,56 3,640,010 1,35±0,17 4,15±0,07 54,29±0,05 5 x 105 9 x 105 H6P1 130,91±2,71 0,994±0,00 138,4±0,00 3,895±0,00 3,05±0,68 3,45±0,08 60,53±0,38 8 x 106 1 x 106 H6P2 118,23±2,19 0,992±0,00 130,8±0,56 3,785±0,00 2,89±0,23 3,26±0,14 65,62±0,19 5,5 x 107 3 x 106 H6P3 131,76±1,90 0,993±0,00 131,6±6,22 3,690±0,00 2,47±0,28 3,67±0,02 61,93±0,02 1 x 107 22 x 106

Keterangan : Kode perlakuan lihat Tabel 18.

Kadar Air

Kadar air bahan pangan merupakan jumlah air yang dikandung bahan tersebut dan sangat berpengaruh pada mutu dan keawetan pangan. Analisis kadair air selama penyimpanan bertujuan untuk mengetahui tingkat perubahan kadar air ikan asap.

Gambar 29. Perubahan kadar air ikan tongkol asap yang dikemas selama penyimpanan. 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 0 2 4 6

Lama Penyimpanan (Hari)

K a d a r A ir (% ) LDPE PP HDPE 160 150 140 130 120 110 100 90 10 0

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa semua perlakuan baik kemasan, lama penyimpanan maupun interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air ikan asap (P≤0.05).

Kadar air ikan asap cenderung menurun dengan bertambahnya waktu penyimpanan baik yang dikemas dengan plastik LDPE (P1), PP (P2) maupun HDPE (P3) (Gambar 29). Penurunan tertinggi dialami ikan asap yang dikemas dengan plastik PP yaitu dari 161.28% awal penyimpanan turun menjadi 118.23% pada akhir penyimpanan. Sementara penurunan terendah dialami oleh ikan asap yang dikemas dengan plastik HDPE dari 161.28% diawal penyimpanan turun menjadi 131.76% di akhir penyimpanan.

Saat awal produksi kadar air ikan masih tinggi, tetapi setelah dua hari penyimpanan mulai menurun dengan penurunan paling tinggi pada ikan asap dalam kemasan PP. Setelah empat hari penyimpanan penurunan tertinggi terjadi pada ikan asap dalam kemasan LDPE, tetapi pada ikan dalam kemasan PP terjadi sedikit peningkatan. Pada penyimpanan hari keenam terjadi penurunan kadar air paling tinggi pada ikan dalam kemasan plastik PP, sedangkan terendah pada ikan dalam kemasan HDPE.

Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa kadar air tertinggi pada ikan asap yang baru diproduksi (awal penyimpanan) serta kadar air terendah pada ikan asap dalam kemasan plastik PP yang telah disimpan enam hari (H6P2) berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya. Ikan asap yang disimpan dua hari

dalam plastik PP (H2P2) tidak berbeda dengan ikan asap yang disimpan empat hari dalam plastik LDPE (H4P1), enam hari dalam plastik LDPE (H6P1) maupun HDPE (H6P3). Selanjutnya ikan asap penyimpanan empat hari dalam plastik PP (H4P2) tidak berbeda dengan penyimpanan empat hari dalam plastik HDPE (H4P3) serta dua hari dalam plastik LDPE (H2P1) dan HDPE (H2P3).

Penurunan kadar air ikan asap selama penyimpanan diduga berhubungan erat dengan penggunaan kemasan plastik dan kelembaban udara dalam lingkungan kemasan serta tekstur daging ikan saat pengovenan. Fraizer dan Westhoff (1973) dalam Rieuwpassa (1991) menyatakan bahwa selama penyimpanan, penurunan kadar air bahan pangan bervariasi sesuai jenis pangan, suhu dan kelembaban serta komposisi atmosfir udara. Jika belum terjadi keseimbangan antara kelembaban relatif produk dan lingkungannya, maka akan terjadi perpindahan uap air dari produk yang mempunyai tekanan uap air lebih tinggi ke lingkungan yang bertekanan rendah (Syarief et al. 1989).

Kecepatan dan besarnya perpindahan uap air dari ikan asap ke lingkungan tergantung kemasan yang digunakan. Plastik high density poliethylene (HDPE) mempunyai permeabilitas terhadap uap air lebih rendah dari plastik low density poliethylene (LDPE) dan polipropilene (PP) (Syarief et al. 1989) sehingga tidak banyak uap air yang hilang atau keluar dari dalam kemasan. Hal ini mengakibatkan akumulasi uap air dalam kemasan menjadi tinggi dan akan menghambat kecepatan penguapan air dari daging ikan. Keadaan ini menyebabkan kadar air ikan yang dikemas plastik HDPE lebih tinggi dari ikan dalam kemasan yang lain.

Aktivitas Air (Aw)

Nilai Aw merupakan jumlah air bebas di dalam bahan pangan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba dan berlangsungnya reaksi kimia dan biokimia (Syarief dan Halid 1993). Analisis nilai Aw bertujuan untuk mengetahui hubungan keawetan dan keamanan ikan asap yang ditunjukkan dengan pertumbuhan jenis mikroba tertentu (bakteri dan kapang) yang tumbuh.

Gambar 30. Perubahan nilai Aw ikan tongkol asap yang dikemas selama penyimpanan.

0,989 0,99 0,991 0,992 0,993 0,994 0,995 0,996 0,997 0,998 0 2 4 6

Waktu Penyimpanan (hari)

N ila i A w LDPE PP HDPE

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa semua perlakuan baik kemasan, lama penyimpanan maupun interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai Aw ikan asap (P≤0.05).

Gambar 30 memperlihatkan bahwa nilai Aw ikan asap cenderung menurun dengan bertambahnya waktu penyimpanan baik yang dikemas dengan plastik LDPE (P1), PP (P2) maupun HDPE (P3). Penurunan tertinggi dialami ikan asap yang dikemas dengan plastik PP yaitu dari 0.995 awal penyimpanan turun menjadi 0.992 pada akhir penyimpanan, sementara penurunan terendah dialami oleh ikan asap yang dikemas dengan plastik LDPE dari 0.995 diawal penyimpanan turun menjadi 0.994 di akhir penyimpanan.

Saat awal produksi nilai Aw ikan asap masih tinggi yaitu sekitar 0.995, tetapi setelah dua hari penyimpanan nilai Aw ikan asap dalam kemasan LDPE dan HDPE agak meningkat sedangkan ikan asap dalam kemasan PP mulai menurun. Walaupun kadar air tidak secara langsung menentukan perubahan Aw, tetapi keadaan ini sejalan dengan penurunan kadar air ikan asap, dimana pada hari kedua penyimpanan, kadar air ikan asap yang dikemas plastik LDPE dan HDPE hanya sedikit mengalami penurunan, sedangkan dalam kemasan plastik PP kadar airnya menurun cukup tinggi.

Setelah empat hari penyimpanan penurunan tertinggi terjadi pada ikan asap dalam kemasan plastik HDPE, sedangkan terendah terdapat pada ikan asap dalam kemasan PP. Pada penyimpanan hari keenam terjadi penurunan Aw paling tinggi

pada ikan asap dalam plastik PP, sedangkan terendah pada ikan asap dalam kemasan LDPE. Keadaan ini diduga akibat produk mulai kehilangan air bebas setelah dua hari penyimpanan karena perbedaan kelembaban lingkungan dan produk.

Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa nilai Aw tertinggi pada ikan asap yang disimpan selama dua hari baik dalam kemasan LDPE (H2P1), PP (H2P2) maupun HDPE (H2P3) tidak berbeda dengan ikan asap yang baru diproduksi dan belum disimpan (H0) tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya. Sedangkan ikan asap dengan Aw terendah yang dikemas dengan plastik PP dan telah disimpan enam hari (H6P2) tidak berbeda dengan ikan asap dalam kemasan HDPE yang disimpan enam hari (H6P3) tetapi berbeda dengan semua perlakuan lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa ternyata nilai Aw ikan asap yang baru diproduksi perubahannya tidak berbeda dengan Aw ikan asap yang telah disimpan dua hari. Demikian juga bila ikan asap disimpan enam hari Awnya tidak akan berbeda jika dikemas dengan plastik PP maupun HDPE.

Ikan asap yang dihasilkan dalam penelitian ini mempunyai Aw yang cukup tinggi yaitu masih diatas 0.99. Keadaan ini diduga berhubungan dengan proses pengovenan, penggunaan kemasan serta kecepatan penguapan air dari daging ikan. Proses pengovenan dengan suhu yang agak tinggi (sampai 80ºC) memungkinkan kandungan air ikan berkurang tetapi bagian permukaan ikan menjadi agak kering. Hal ini berpengaruh terhadap penguapan air selama penyimpanan ikan asap. Walaupun selama penyimpanan penurunan kadar air tidak secara langsung mempengaruhi penurunan nilai Aw, tetapi kecepatan penguapan air dari dalam daging ke permukaan ikan agak lambat akibat kulit ikan yang agak kering, sehingga menyebabkan kandungan air bebas dalam daging ikan yang belum sempat menguap menjadi tinggi sehingga nilai Aw juga tinggi. Menurut Syarief dan Halid (1993) penurunan nilai Aw karena pengeringan disebabkan oleh upaya proses kesetimbangan Aw bahan pangan dengan RH ruangan.

Nilai Aw yang tinggi ini memungkinkan tumbuhnya bakteri dan kapang lebih cepat sehinga daya awet produk menjadi agak singkat. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya daya awet ikan asap yakni sudah ditolak pada hari

keempat karena tumbuhnya jamur dan kegiatan bakteri. Menurut Buckle et al. (1987) bahan pangan dengan aktivitas air antara 0.95 - 0.99 umumnya ditumbuhi oleh semua jenis mikroorganisme, tetapi dengan Aw yang tinggi maka bakteri lebih cepat tumbuh dari kapang dan khamir.

Total Volatile Bases (TVB)

Total volatile bases atau disebut juga basa-basa yang mudah menguap merupakan salah satu parameter untuk menentukan tingkat kemunduran ikan olahan yang ditandai dengan bau busuk dari produk. Analisis terhadap TVB ditujukan untuk mengetahui jumlah senyawa-senyawa volatil yang mudah menguap hasil degradasi protein oleh bakteri pembusuk. Senyawa-senyawa volatil tersebut antara lain amoniak, amine (Buckle et al. 1987), skatol, merkaptan, putresin dan asam sulfida (Winarno et al. 1980). Basa-basa ini terbentuk dalam otot jaringan ikan dengan kadar yang berbeda-beda antar jenis ikan bahkan dalam satu jenis ikan yang sama. Keadaan dan jumlah kadar TVB tergantung pada mutu kesegaran ikan, makin mundur mutu ikan, kadar TVB akan meningkat jumlahnya.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8c) menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan serta interaksi antara pengemasan dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai TVB ikan tongkol asap (P≤0.05), sedangkan perlakuan pengemasan tidak berpengaruh (P>0.05).

Selama penyimpanan nilai TVB ikan asap cenderung meningkat baik yang dikemas dengan plastik LDPE (P1), PP (P2) maupun HDPE (P3) (Gambar 31). Rata-rata nilai TVB berkisar antara 15.6 sampai 138.4 mgN/100g dengan peningkatan paling tinggi terjadi di hari ke dua dan hari keenam penyimpanan pada semua kemasan.

Saat awal produksi nilai TVB ikan asap masih rendah yaitu sekitar 15.6 mgN/100g tetapi setelah dua hari penyimpanan nilai TVB meningkat tajam, dengan peningkatan tertinggi pada ikan dalam kemasan HDPE dan terendah pada kemasan LDPE. Setelah empat hari penyimpanan nilai TVB agak mendatar, hal ini menunjukkan tidak banyak terjadi perombakan senyawa-senyawa bernitrogen oleh bakteri. Pada penyimpanan hari keenam nilai TVB meningkat lagi secara

Gambar 31. Perubahan nilai TVB ikan tongkol asap yang dikemas selama penyimpanan.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 2 4 6

Waktu Penyimpanan (hari)

N ila i T VB ( m g N /1 0 0 g ) LDPE PP HDPE

tajam dengan peningkatan tertinggi pada ikan dalam kemasan PP dan terendah dalam kemasan HDPE.

Peningkatan nilai TVB pada semua ikan asap dalam kemasan diduga akibat kerja mikroba yang menguraikan protein dan senyawa yang mengandung nitrogen selama ikan disimpan. Menurut Yunizal et al. (1998) kenaikan kadar TVB terutama disebabkan oleh aksi bakteri. Hal ini sesuai dengan hasil analisa total bakteri dimana selama penyimpanan juga mengalami peningkatan. Bakteri yang lebih dominan adalah bakteri proteolitik yang akan menguraikan protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti amoniak dan amine. James (1978) menyatakan bahwa peningkatan nilai TVB juga akibat denaturasi protein yang menghasilkan amoniak, hidrogen sulfida, gugus-gugus amina dan karboksilat.

Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 8c) menunjukkan bahwa nilai TVB pada ikan asap yang disimpan selama enam hari baik dalam kemasan LDPE (H6P1), PP (H6P2) maupun HDPE (H6P3) saling tidak berbeda tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya. Untuk ikan asap dalam ketiga kemasan LDPE, PP dan HDPE yang disimpan dua hari tidak berbeda dengan yang disimpan empat hari tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya, sedangkan ikan asap dengan TVB terendah yang baru diproduksi dan belum disimpan (H0) berbeda dengan semua perlakuan.

Gambar 32. Perubahan nilai TBA ikan tongkol asap yang dikemas selama penyimpanan.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 0 2 4 6

Waktu Penyimpanan (hari)

N ila i T B A ( m g m a lo n a ld e h id /1 0 0 g ) LDPE PP HDPE

Ikan asap yang disimpan sampai hari ke enam mempunyai nilai TVB sudah cukup tinggi melebihi batas minimal yang ditetapkan yaitu dibawah 100 mgN%. Menurut Connel (1980) kandungan TVB ikan olahan yang masih dapat diterima konsumen berkisar antara 100 - 200 mgN%. Dengan demikian ikan tongkol asap dalam penelitian ini masih dapat diterima hanya sampai empat hari penyimpanan.

Thiobarbituric Acid (TBA)

Asam thiobarbituric merupakan salah satu parameter untuk menentukan derajat ketengikan produk olahan yang ditandai dengan bau tengik dari produk. Analisis terhadap TBA ditujukan untuk mengetahui jumlah malonaldehide yang terbentuk selama penyimpanan ikan asap. Menurut Apriantono et al. (1989) malonaldehide merupakan hasil oksidasi lipid.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8d) menunjukkan bahwa semua perlakuan baik kemasan plastik, lama penyimpanan maupun interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai TBA ikan tongkol asap (P≤0.05).

Gambar 32 memperlihatkan bahwa nilai TBA ikan asap cenderung meningkat dengan bertambahnya waktu penyimpanan baik yang dikemas dengan plastik LDPE (P1), PP (P2) maupun HDPE (P3). Peningkatan tertinggi terdapat pada ikan asap dalam kemasan PP yang disimpan enam hari yaitu dari 1.1 mg malonaldehide/100g awal penyimpanan naik menjadi 3.89 mg malonaldehide/100g pada akhir penyimpanan, sementara peningkatan terendah dialami oleh ikan asap dalam kemasan HDPE dari 1.1 mg malonaldehide/100g diawal penyimpanan menjadi 3.69 mg malonaldehide/100g di akhir penyimpanan.

Menurut IARC (1985) yang dikutip Rieuwpassa (1991), pembentukan malonaldehide dalam bahan pangan tergantung banyak faktor diantaranya adalah banyaknya kandungan asam lemak tak jenuh. Lemak dapat mengalami kerusakan oleh enzim lipase yang dihasilkan mikroba menjadi asam lemak bebas, selanjutnya mengalami oksidasi menjadi peroksida, keton dan aldehid. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Beltran dan Moral (1991) bahwa berkurangnya jumlah asam lemak bebas dalam daging ikan dapat terjadi karena oksidasi yang ditandai dengan kenaikan bilangan peroksida dan indeks TBA.

Saat awal produksi nilai TBA ikan asap masih rendah yaitu sekitar 1.1 mg malonaldehide/100g tetapi setelah dua hari penyimpanan nilai TBA meningkat tajam, dengan peningkatan tertinggi pada ikan asap dalam kemasan PP dan LDPE serta terendah pada kemasan HDPE. Kenaikan nilai TBA yang tinggi ini diduga karena jumlah oksigen awal dalam kemasan masih tinggi sehingga memungkin terjadi oksidasi lebih tinggi. Setelah penyimpanan empat dan enam hari, nilai TBA masih terus naik dengan peningkatan tertinggi masih pada ikan dalam kemasan PP. Kenaikan ini berlangsung secara lambat, hal ini terlihat dengan semakin datarnya grafik pada hari keempat dan keenam penyimpanan. Peningkatan yang agak berkurang ini diduga terkait dengan kandungan oksigen dan jenis kemasan yang digunakan. Pada hari keempat dan keenam jumlah oksigen terus berkurang, hal ini karena pengaruh plastik yang dapat menghambat laju masuknya oksigen kedalam kemasan menyebabkan proses oksidasi berkurang sehingga pembentukan malonaldehid semakin rendah. Selain itu kandungan fenol pada ikan asap sebagai antioksidan diduga kuat juga mempunyai pengaruh terhadap penurunan reaksi oksidasi selama akhir penyimpanan.

Sampai dengan hari terakhir penyimpanan, nilai TBA tertinggi masih terdapat pada ikan dalam plastik PP sedangkan terendah pada ikan dalam kemasan HDPE. Hal ini dapat terjadi karena kemasan PP dan LDPE mempunyai permeabilitas oksigen yang lebih tinggi dari plastik HDPE, sehingga lebih banyak terjadi oksidasi karena jumlah oksigen yang masuk dalam kemasan lebih banyak. Walaupun kandungan lemak pada ikan asap dalam kemasan HDPE lebih tinggi selama penyimpanan, namun oksidasi tertinggi terjadi pada ikan dalam kemasan PP dan HDPE. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat berperan

sebagai barrier terhadap oksigen. Menurut Syarief et al. (1989) permeabilitas plastik HPDE cukup rendah, lebih rendah dari plastik LDPE dan PP sehingga sangat baik dalam menghambat oksidasi produk.

Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 8d) menunjukkan bahwa nilai TBA pada ikan asap dalam kemasan LDPE yang disimpan selama empat (H4P1) dan enam hari (H6P1) tidak berbeda tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan untuk nilai TBA terendah pada ikan asap yang baru diproduksi (belum disimpan) berbeda dengan semua perlakuan.

Berpedoman pada batas toleransi nilai TBA ikan asap yang dianggap masih layak untuk dikonsumsi yaitu 3-4 mg malonaldehide/100g (Dawson dan Vlieg, 1978), maka ikan tongkol asap hasil penelitian ini (selama penyimpanan enam hari) dapat dikatakan masih baik karena nilai rata-rata TBA masih dibawah batas toleransi tersebut.

Fenol

Fenol merupakan salah satu parameter untuk menentukan daya awet serta sifat organoleptik ikan asap. Analisis terhadap kadar fenol ditujukan untuk mengetahui perubahan kandungan fenol dalam daging ikan asap selama penyimpanan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8e) menunjukkan bahwa hanya perlakuan lama penyimpanan yang berpengaruh nyata terhadap perubahan kandungan fenol ikan asap (P≤0.05), sedangkan jenis plastik dan interaksi keduanya tidak berpengaruh (P>0.05).

Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 8e) menunjukkan terdapat perbedaan antar perlakuan terhadap penurunan kadar fenol ikan asap. Ikan asap yang baru diproduksi (H0) tidak berbeda dengan penyimpanan dua hari (H2), sedangkan ikan asap yang disimpan dua hari tidak berbeda dengan ikan asap penyimpanan empat hari (H4). Tetapi pada ikan asap yang telah disimpan enam hari (H6) berbeda dengan semua perlakuan lainnya.

Gambar 33 memperlihatkan bahwa kadar fenol ikan asap cenderung menurun dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Saat awal produksi (H0) kadar fenol ikan asap masih tinggi yaitu 3.05 ppm, tetapi setelah empat hari (H4)

Gambar 33. Perubahan kadar fenol ikan tongkol asap selama penyimpanan. 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 0 2 4 6

Lama Penyimpanan (Hari)

K a d a r F e no l ( ppm)

penyimpanan kadar fenol cenderung menurun lambat secara linier menjadi 2.63 ppm. Setelah enam hari penyimpanan (H6), kadar fenol makin menurun secara tajam menjadi 2 ppm.

Penurunan kadar fenol dengan semakin lamanya penyimpanan diduga berhubungan dengan penurunan kadar air ikan asap dan tingkat penetrasi ke dalam daging ikan serta kegiatan mikroba. Dengan berkurangnya kadar air selama penyimpanan, aroma asap semakin hilang dari ikan. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa-senyawa pembentuk aroma dari fenol dengan titik didih rendah seperti guaiakol, metil guaiakol dan etil guaiakol cenderung berkurang bersama uap air menguap. Kandungan fenol yang tinggi pada permukaan kulit dibanding daging bagian dalam juga merupakan faktor yang turut membantu berkurangnya fenol dari ikan asap. Selain itu dengan meningkatnya jumlah mikroba (bakteri dan jamur) selama penyimpanan, merupakan indikasi bahwa senyawa antibakteri dan antioksidan dari fenol mulai menurun. Menurut Darmadji (2002) fenol terdiri dari rantai pendek, sedang dan panjang dengan titik didih yang berbeda-beda. Pada fenol dengan rantai pendek akan cepat menguap dibandingkan dengan senyawa fenol dengan rantai sedang maupun panjang.

Jumlah Bakteri (TPC)

Kandungan bakteri dalam daging ikan merupakan salah satu parameter mikrobiologis dalam menentukan layak tidaknya suatu produk dikonsumsi. Analisis terhadap jumlah bakteri ditujukan untuk mengetahui jumlah total bakteri dalam suatu produk dan mengetahui tingkat pertumbuhannya selama penyimpanan.

Berdasarkan hasil analisa terhadap kandungan bakteri ikan tongkol segar, rata-rata jumlah bakteri adalah 2.1 x 104 koloni per gram, sedangkan hasil analisis jumlah bakteri ikan tongkol asap dalam kemasan plastik LDPE, PP maupun HDPE (Tabel 19) berkisar antara 4.6 x 103 awal penyimpanan sampai 5.5 x 107 koloni per gram di akhir penyimpanan.

Setelah mengalami proses pengasapan dan pengovenan, jumlah bakteri ikan asap makin berkurang, hal ini disebabkan karena pengaruh berbagai faktor seperti penggunaan garam dan asap selama proses perendaman ikan serta proses pengeringan dan pemanasan yang berlangsung selama pengovenan. Menurut Winarno dan Jenie (1983) berbagai mikroba pembusuk khususnya yang proteolitik sangat peka terhadap garam bahkan yang rendah sekalipun (<6%). Mikroba penting seperti C. Botulinum dapat dihambat dengan kadar garam antara 10-12%. Garam dapat menyebabkan berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga kadar air dan dan aktifitas air menjadi rendah (Hadiwiyoto, 1993). Selama pengasapan, senyawa-senyawa antibakteri dan antioksidan dari asap seperti fenol dan asam dapat membunuh bakteri, sedangkan pemanasan selama pengovenan secara langsung juga dapat membunuh sebagian bakteri.

Gambar 34 memperlihatkan jumlah bakteri ikan asap mengalami peningkatan selama penyimpanan. Saat awal produksi (H0) jumlah bakteri pada ikan asap masih rendah yaitu sekitar 4.6 x 103 tetapi setelah dua hari penyimpanan jumlah bakteri meningkat dengan cepat pada ikan asap dalam kemasan LDPE (H2P1) dan HDPE (H2P3), tetapi agak lambat pada kemasan PP (H2P2).

Setelah empat hari penyimpanan, terlihat ada perbedaan jumlah bakteri pada ikan asap dalam ketiga kemasan, dimana pada ikan asap dalam kemasan HDPE (H4P3) jumlah bakteri meningkat dengan cepat, pada kemasan LDPE (H4P1) meningkat agak lambat, dan pada kemasan PP (H4P2) jumlah bakteri meningkat

Gambar 34. Perubahan jumlah bakteri ikan tongkol asap yang dikemas selama penyimpanan.

1 10 100 1000 10000 100000 H0 H2 H4 H6 Lama Penyimpanan Ju m la h Ba kt er i ( x1 0 3 ) (K olo ni/ gr am ) P1 P2 P3 LDPE PP HDPE 0 2 4 6 (hari)

agak cepat tetapi tetapi masih dibawah jumlah bakteri pada ikan dalam kemasan LDPE dan HDPE. Pada penyimpanan hari keenam terjadi peningkatan jumlah bakteri yang sangat tinggi pada ikan dalam ketiga kemasan.

Selama penyimpanan dua hari pertumbuhan bakteri pada ikan asap dalam kemasan PP masih dalam tahap adaptasi (lag phase), sementara pada ikan asap dalam kemasan LDPE dan HDPE bakteri mulai memasuki tahap tumbuh (accelerate phase) karena keadaan lingkungan dan makanan sudah optimum. Keadaan ini sesuai hasil analisis nilai Aw, dimana pada dua hari penyimpanan nilai Aw pada ikan asap dalam kemasan HDPE dan LDPE naik sangat tinggi, sedangkan pada ikan dalam kemasan PP nilai Aw agak mendatar.

Setelah dua hari penyimpanan atau memasuki hari ke empat, bakteri pada ikan dalam kemasan LDPE dan HDPE masih tetap dalam tahap tumbuh, sedangkan jumlah bakteri pada ikan asap dalam kemasan PP baru mulai memasuki tahap tumbuh (accelerate phase). Hal ini karena sudah cukup tersedia makanan dan lingkungan hidup yang sesuai, dimana suhu ruang tempat penyimpanan dan Aw yang tinggi (0.99) merupakan suasan yang baik sekali bagi bakteri untuk berkembang lebih cepat.

Tetapi setelah memasuki hari ke enam penyimpanan, bakteri pada ikan dalam semua kemasan mulai memasuki tahap tumbuh ganas (log phase), hal ini

Dokumen terkait