HASIL DAN PEMBAHASAN
PARAMETER KUALITAS AIR SUHU
(0C) DO (mg/l) PH AMONIAK (mg/l) P1 1 28-30 5,8-6,8 6,7-7,3 0- 0,006 2 28-30 5,9-7,0 6,7-7,3 0- 0,006 3 28-30 5,6-6,7 6,7-7,3 0- 0,006 P2 1 28-30 5,3-6,6 6,7-7,3 0- 0,006 2 28-30 5,5-6,5 6,7-7,3 0- 0,006 3 28-30 5,7-6,5 6,7-7,3 0- 0,006 P3 1 28-30 4,7-6,7 6,7-7,3 0- 0,006 2 28-30 4,7-6,8 6,7-7,3 0- 0,006 3 28-30 4,8-6,8 6,7-7,3 0- 0,006 Pembahasan
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu (Effendie, 2002). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh bahwa padat tebar ikan maskoki P1, P2 dan P3 yang dipelihara selama 40 hari memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian, tetapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan maskoki. Dengan demikian, adanya peningkatan padat tebar hingga perlakuan P3 telah menurunkan laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian ikan maskoki. Hal ini terjadi karena perlakuan pada padat tebar tertinggi telah melampaui daya dukung perairan. Menurut Solehudin (2006) daya dukung (carrying capacity) merupakan kemampuan suatu perairan untuk dapat mendukung kehidupan biota dalam perairan tersebut tanpa menambah atau mengurangi biomassanya.
Laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian tertinggi terdapat pada perlakuan P1 yaitu berturut-turut 2,7597 % dan 0,8714 %. Sedangkan laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian terendah terdapat pada perlakuan P3 yaitu berturut-turut 1,5877 % dan 0,4370 %. Berdasarkan uji lanjut BNJ (Beda Nyata Jujur) atau uji Tuckey pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P3. Pertambahan bobot ikan maskoki diiringi dengan pertambahan panjang ikan tersebut atau laju pertumbuhan bobot harian berbanding lurus dengan laju pertumbuhan panjang harian ikan maskoki.
Penurunan laju pertumbuhan bobot harian dan pertumbuhan panjang terjadi akibat terganggunya proses fisiologis ikan akibat ruang gerak yang tidak mendukung terhadap pertumbuhan ikan maskoki. Berdasarkan pengamatan selama pemeliharaan, ikan maskoki adalah ikan yang terus bergerak aktif di dalam wadah pemeliharaan. Diduga ruang gerak yang terbatas mengakibatkan ikan menjadi lebih mudah stres sehingga energi yang dihasilkan dari proses
metabolisme yang digunakan untuk pertumbuhan digunakan untuk
mempertahankan diri dari stres. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Cholik, dkk (1990) dalam Nurlaela, dkk (2010) yang menyatakan bahwa padat penebaran akan mempengaruhi kompetisi ruang gerak dan kondisi lingkungan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang menciri pada produksi.
Jumlah pakan yang diberikan pada setiap perlakuan adalah sama atau homogen yaitu 5 % dari bobot tubuh ikan maskoki setiap harinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Liviawaty dan Afrianto (1990) yang menyatakan
bahwa jumlah pakan yang umum diberikan bagi ikan maskoki adalah 3 - 5% dari bobot tubuh. Pertumbuhan akan semakin cepat jika makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan ikan, sedangkan jika pakan diberikan secara berlebihan ke dalam wadah pemeliharaan akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Kandungan gizi dalam pakan juga akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan buatan yang biasanya digunakan oleh pembudidaya bagi pakan ikan hias. Pakan yang diberikan adalah pakan dari jenis dan merk dagang yang sama pada setiap perlakuan.
Pada tingkat kelangsungan hidup, hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan padat tebar ikan maskoki hingga kepadatan 3 ekor/liter tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan maskoki. Tingkat kelangsungan hidup ikan maskoki selama masa pemeliharaan berkisar antara 87,5 % - 100 %. Hal ini diduga akibat kualitas air media pemeliharaan masih sesuai atau masih dalam kategori yang layak untuk menunjang pemeliharaan ikan maskoki. Pada penelitian sebelumnya oleh Wicaksono (2005) yang menggunakan ikan yang berasal dari famili yang sama (Cyprinidae) dengan ikan maskoki yaitu ikan nillem (Osteochilus hasselti), perlakuan padat penebaran juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup ikan uji.
Selama pemeliharaan juga terjadi kematian pada beberapa ekor ikan pada hampir seluruh perlakuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2. Hal ini lebih banyak terjadi pada hari pertama hingga hari kesepuluh pemeliharaan. Hal tersebut diduga karena adanya stres akibat pemindahan ikan dari wadah pemeliharaan adaptasi (bak semen) kedalam wadah akuarium. Sedangkan menurut
Effendie (1997) dalam Alnanda (2013) menyatakan bahwa survival rate atau derajat kelangsungan hidup dipengaruhi oleh faktor biotik yaitu persaingan, parasit, umur, predator, kepadatan dan penanganan manusia, sedangkan faktor abiotik adalah sifat fisika dan kimia dalam perairan. Kepadatan yang tinggi akan mengakibatkan menurunnya kualitas air terutama kandungan oksigen terlarut dan konsentrasi amoniak. Penurunan kualitas air bisa menyebabkan stres pada ikan, bahkan apabila penurunan mutu air telah melampaui batas toleransi maka akan berakibat pada kematian.
Pada parameter DO, pH, dan amoniak terjadi penurunan disetiap perlakuan padat penebaran atau dapat dilihat pada lampiran 6. Berdasarkan pengukuran kualitas air media pemeliharaan, nilai DO selama pemeliharaan berkisar antara 4,7 - 7,0 mg/l,nilai pH berkisar antara 6,7 - 7,3 dan nilai amoniak berkisar 0-0,006 mg/l. Nilai DO 7,0 mg/l hanya terdapat pada awal pemeliharaan kemudian terus turun hingga diakhir pemeliharaan. Nilai DO terendah yaitu 4,7 mg/l terdapat pada perlakuan P3 dan terjadi pada minggu terakhir pengamatan. Demikian halnya terhadap nilai pH, nilai tertinggi 7,3 hanya terdapat pada awal
penelitian kemudian turun hingga 6,7. Hasil pengukuran nilai pH pada setiap
perlakuan adalah sama. Hal ini disebabkan akuarium sebagai wadah pemeliharaan terhubung antara satu dengan yang lain yang mengakibatkan memungkinkan air sebagai media pemeliharaan dari setiap perlakuan tercampur satu dengan lainnya.
Pada parameter amoniak terjadi peningkatan nilai. Nilai terendah hanya terdapat pada awal penelitian kemudian terus meningkat hingga 0,006 mg/l pada akhir pemeliharaan. Hasil pengukuran parameter amoniak juga menunjukkan kadar amoniak dari setiap perlakuan selama pemeliharaan adalah sama.
Sedangkan hasil pengukuran suhu selama pemeliharaan pada kisaran 28 - 30OC. Pada parameter suhu mengalami fluktuasi yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan dan cuaca. Namun tidak ada perubahan suhu secara drastis selama pemeliharaan. Hal tersebut disebabkan pemeliharaan dilakukan dalam ruangan tertutup atau pada lingkungan yang terkontrol. Hasil pengukuran suhu juga juga menunjukkan nilai suhu setiap perlakuan adalah sama. Suhu juga merupakan satu diantara parameter yang mentukan keberhasilan budidaya ikan maskoki, hal ini disebakan karena ikan merupakan hewan berdarah dingin. Yang dimaksud dengan hewan berdarah dingin adalah hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan meningkatnya proses metabolisme ikan maskoki yang meningkatkan intensitas pembuangan kotoran sehingga kandungan oksigen menurun.
Perubahan kualitas air ini masih dalam lingkungan terkontrol dan masih dapat menunjang pemeliharaan ikan maskoki sesuai dengan kualitas air budidaya yang baik bagi ikan hias termasuk ikan maskoki menurut Lesmana (2007) yang menyatakan bahwa kualitas air yang baik bagi pemeliharaan ikan hias adalah suhu berkisar 23 - 30 oC, nilai DO berkisar antara 5,0 - 6,0 mg/liter, pH berkisar antara 6,5 - 8,0 mg/l dan kadar amoniak berkisar antara 0,00 – 0,15 mg/l. Adanya sistem filterasi membantu menjaga kualitas air dengan baik dan adanya pergerakan air dari wadah pemeliharaan ke wadah filterasi kemudian dialirkan lagi ke wadah pemeliharaan diduga telah menyuplai oksigen.
Kotoran dari ikan maskoki akan diuraikan oleh bakteri nitrosomonas menjadi nitrit, dimana prosesnya membutuhkan oksigen sehingga dapat menurunkan kadar okisigen terlarut (DO) di dalam air media pemeliharaan. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Liviawaty dan Afrianto (1990) yang menyatakan pencemaran air dari hasil eksresi (proses pengeluaran zat yang tidak digunakan oleh tubuh) dapat menurunkan kualitas air. Hal serupa juga dikatakan oleh Sitanggang dan Iskandar (2003) yang menyatakan bahwa menurunnya kandungan oksigen di dalam air bisa disebabkan meningkatnya amoniak yang terdekomposisi menjadi nitrit. Adanya bakteri nitrosomonas di dalam air mengubah amoniak menjadi nitrit (NO2). Selain disebabkan oleh amoniak penurunan kadar oksigen juga disebabkan oleh proses repirasi dari ikan maskoki tersebut. Perlakuan padat tebar yang berbeda juga mengakibatkan kebutuhan oksigen di setiap wadah pemeliharaan berbeda-beda pula. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Irliyandi (2008) yang menyatakan pada kepadatan tinggi kandungan oksigen akan berkurang karena meningkatnya proses respirasi dan oksidasi bahan organik. Padat penebaran yang tinggi mengakibatkan tingkat respirasi yang tinggi dan menghasilkan CO2.
Kualitas air media budidaya dipengaruhi oleh kandungan amoniak di dalamnya. Penurunan kualitas air hingga berada dibawah batas layak bagi budidaya ikan maskoki, akan menyebabkan ikan maskoki stres yang kemudian dapat menggangu laju pertumbuhan ikan maskoki. Penurunan kualitas air juga dapat diakibatkan karena jumlah pakan yang diberikan berlebih kedalam wadah budidaya sehingga mengakibatkan pakan tersisa dan tidak termakan oleh ikan. Pakan yang tersisa akan terakumulasi yang dapat menjadi racun atau toksik bagi ikan budidaya karena adanya proses penguraian bahan organik dimana proses tersebut dilakukan bakteri aerob yang akan menggunakan oksigen terlarut dalam air untuk membantu proses dekomposisi. Perlu dilakukannya pergantian air media
pemeliharaan secara menyeluruh agar dapat mengurangi zat-zat yang bersifat racun bagi pemeliharaan. Menurut Sumpeno (2005) meningkatnya konsentrasi amoniak selain disebabkan oleh semakin tingginya padat penebaran, juga dipengaruhi oleh waktu (masa) pemeliharaan sampai dengan periode tertentu. Sedangkan menurut Barus (2004) keseimbangan ammonium dan amoniak di dalam air dipengaruhi oleh nilai pH air. Semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi amoniak yang bersifat toksik bagi perairan.