BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.7. Parameter Kualitas Air …
Suhu dalam perairan mempunyai sifat yang unik yang berhubungan
dengan panas yang secara bersama-sama mengurangi perubahan suhu sampai
tingkat minimal, sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan
yang terjadi lebih lambat dari pada udara. Suhu dalam perairan mempunyai sifat
yang unik yang berhubungan dengan panas yang secara bersama-sama
mengurangi perubahan suhu sampai tingkat minimal sehingga perbedaan suhu
dalam air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dari pada udara
(Odum, 1981). Suhu memiliki peranan yang penting bagi proses fisika, kimia
dan biologi di suatu perairan. Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan
laju evaporasi, volatilisasi gas dan reaksi-reaksi kimia di perairan. Kenaikan
suhu perairan dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas di dalam air,
15
Suhu sangat mempengaruhi nafsu makan ikan sehingga berpengaruh
terhadap metabolisme pertumbuhan. Kenaikan suhu yang masih dapat diterima
ikan, akan diikuti kenaikan derajat metabolisme dan selanjutnya kebutuhan
oksigen akan naik pula. Hal ini sesuai dengan hukum Van Hoff yang
menyatakan bahwa untuk setiap perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya naik
dua sampai tiga kali lipat setiap kenaikan suhu sebesar 10oC. Namun, kenaikan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan
oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk
melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga
menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba
(Effendi, 2003).
2.7.2. Oksigen terlarut
Oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara
bebas dan hasil fotosíntesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.
Kecepatan difusi oksigen dari udara, dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus,
gelombang dan pasang surut. Kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan
semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas.
Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses
difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis.
Bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena
proses fotosisntesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak
Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis,
stadium dan aktifitasnya (Odum, 1981).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang
terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi, pasir halus serta bahan organik seperti plankton dan
mikroorganisme lainnya. Kekeruhan air (turbidity) berhubungan dengan
penetrasi cahaya matahari kekolam air. Tingkat kekeruhan berpengaruh terhadap
laju fotosíntesis fitoplankton, yang menyebabkan terjadinya fluktuasi oksigen
yang terlarut di air (Effendi, 2003).
Tingkat konsumsi oksigen organisme air sangat bergantung pada suhu,
bobot tubuh, fitoplankton, dan bakteri yang ada di dalam perairan. Akumulasi
buangan padat akan meningkatkan biomasa bakteri heterotrofik, sehingga
meningkatkan kebutuhan oksigen. Kadar oksigen terlarut yang baik untuk
pertumbuhan organisme akuatik adalah lebih dari 3.5 mg/liter, sedangkan
konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 1.5 mg/liter dalam jangka waktu yang
lama dapat bersifat lethal bagi organisme akuatik. (Effendi, 2003).
2.7.3. Fosfat
Fosfats di perairan terdapat dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam
bentuk butiran-butiran kalsium fosfat (CaPO4) dan besi fosfat (FePO4) dan sebagian lagi dalam bentuk fosfat anorganik (orthophosphat). Kandungan fosfat
17
yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0,27-5,51 ppm
(Widjaya, 1994).
Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur utama lain yang
merupakan penyusun biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer.
Diperairan bentuk fosfor berubah-ubah secara terus menerus, akibat
dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang
dilakukan oleh mikroba. Keseimbangan antara bentuk fosfat anorganik pada
berbagai nilai pH. Kadar fosfor pada perairan alami berkisar antara 0.005-0.02
mg/liter (Widjaya, 1994).
Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan
nitrogen dapat menstimulir ledakkan pertumbuhan fitoplankton di perairan.
Fitoplankton yang berlimpah ini dapat dapat membentuk lapisan pada
permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan
cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Pada
saat perairan cukup mengandung fosfor, fitoplankton mengakumulasi fosfor di
dalam sel melebihi kebutuhannya. Fenomena yang demikian dikenal dengan
istilah konsumsi lebih. Kelebihan fosfor yang diserap akan dimanfaatkan pada
saat perairan mengalami defisiensi fosfor, sehingga fitoplankton masih dapat
tumbuh beberapa waktu selama periode kekurangan pasokan fosfor. Selama
defisiensi fosfor fitoplankton juga dapat memanfaatkan fosfor organik dengan
bantuan enzim alkalin fosfat yang berfungsi memecah senyawa organofosfor.
Keberadaan enzim alkalin fosfat akan meningkat jika terjadi defisiensi fosfor di
Fosfor berperan dalam transfer energi di dalam sel, misalnya yang
terdapat pada ATP (Adenosine Triphospate) dan ADP (Adenosine Diphosphate).
Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk
fosfor yang paling sederhana di perairan. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor
yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan
polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu
sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfat. Setelah masuk kedalam
tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan
menjadi organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri bersifat tidak larut dan
mengendap didasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi
tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang
bersifat larut dan melepaskan fosfat keperairan, sehingga meningkatkan
keberadaan fosfat diperairan (Effendi, 2003).
2.7.4. Amonia
Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan
nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan air, yang berasal dari
dekomposisi bahan organik dan anorganik oleh mikroba (Rachmiwati, 2008).
Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH¬3dan NH4+). Amonia bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan amonium dapat terionisasi. Di perairan
alami, pada suhu dan tekanan normal amonia berada dalam bentuk gas dan
membentuk kesetimbangan dengan gas amonium. Ikan tidak dapat bertoleransi
19
proses pengikatan oksigen di dalam darah. Kadar amonia di perairan alami
biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (Effendi, 2003).
2.7.5. Nitrat
Keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan
organik. Nitrogen anorganik salah satunya ilalah nitrat atau ion nitrat (NO3-)
sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan
mengendap dalam air. Effendi (2003) menyatakan bahwa bentuk-bentuk
nitrogen tersebut ngalami transformasi (ada yang melibatkan mikrobiologi dan
ada yang tidak) sebagai bagian dari siklus nitrogen.
Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat
dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan
berkurang secara nyata pada pH<7. Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat langsung digunakan dalam proses biologis.
Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2-), dinitrogen oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen).
2.7.6. pH
pH adalah banyaknya ion hidrogen yang terkandung di dalam air. Tinggi
rendahnya pH air sangat ditentukan oleh konsentrasi H+ yang terdapat dalam perairan. Setiap organisme mempunyai pH optimum untuk kehidupannya. Nilai
susunan spesies dari ikan. Kisaran pH yang ideal untuk kehidupan ikan adalah
antara 6,5 - 8,5 (Jubaedah, 2006).
Beberapa mikroorganisme yang bersifat heterotrofik juga mampu
pengoksidasi amonia atau nitrogen organik menjadi nitrit atau nitrat.
Mikroorganisme yang termasuk dalam golongan tersebut diatas antara lain
adalah bakteri (Alcaligenes, Arthrobacter spp., dan Actinomycetes). Bakteri
Arthrobacter mampu menghasilkan nitrat dalam media yang mengandung
amonia sebagai sumber nitrogen (Alexander, 1977).
Bakteri autotrofik menggunakan CO2 sebagai sumber karbon, sedangkan bakteri heterotrofik menggunakan senyawa organik, seperti asetat, piruvat, dan
oksaloasetat sebagai sumber karbon. pH merupakan salah satu faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi
amonia (Esoy et al., 1998). pH optimum untuk pertumbuhan bakteri
pengoksidasi amonia yang bersifat autotrofik berkisar dari 7,5 sampai 8,5
(Ratledge, 1994), sedangkan bakteri yang bersifat heterotrofik lebih toleran pada
lingkungan asam, dan tumbuh lebih cepat dengan hasil yang lebih tinggi pada
kondisi dengan konsentrasi kadar oksigen rendah (Zhao et al., 1999).
pH adalah cerminan dari derajat keasaman yang diukur dari jumlah ion
hidrogen. Air murni terdiri dari ion H+ dah ion OH- dalam jumlah berimbang hingga pH air murni biasa 7 atau netral. Air yang bersifat alkalis umumnya
dengan pH lebih dari 7 karena banyak mengandung garam yang bersifat alkalis.
pH air yang banyak mengandung CO2 biasanya lebih rendah dari 7 dan bersifat asam (Ahmad, 1991).
21 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2011.
Penelitian ini bertempat di Laboratorium Sistem Budidaya Loka Riset
Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, Subang,
Jawa Barat.