• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6. Kelompok Umur

4.7.3. Parameter pertumbuhan

Parameter pertumbuhan diduga menggunakan metode plot Ford-Walford. Ford-Walford merupakan metode paling sederhana untuk menduga parameter

pertumbuhan dengan interval pengambilan contoh yang sama (King 1995) serta memerlukan data panjang rata-rata ikan setiap kelompok ukuran panjang (Sparre & Venema 1999). Pertumbuhan ikan kurisi jantan menggunakan persamaan Von Bartalanffy dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,21 dan panjang asimtotik sebesar 322,95 mm. Koefisien pertumbuhan (K) untuk ikan kurisi betina sebesar 0,31 dan panjang asimtotik sebesar 319,84 mm (Tabel 11).

Tabel 11. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten

Contoh ikan Parameter pertumbuhan K (tahun) L(mm) t₀ (tahun)

Jantan 0,21 322,95 -2,54

Betina 0,31 319,84 -1,70

Persamaan Von Bartalanffy yang terbentuk untuk ikan kurisi jantan adalah dan Lt = 322,95 [1 - e-0,21(t + 2,54)] (Gambar 16) dan persamaan untuk ikan kurisi

betina adalah Lt = 319,84 [1 - e-0,31 (t + 1,70)](Gambar 17). Metode untuk pendugaan

umur ikan di daerah tropis dapat melalui analisis frekuensi panjang. Umur bertambah sehingga panjang ikan semakin bertambah. Ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan rendah maka umurnya semakin tinggi karena lama untuk mencapai nilai asimtotiknya (Spare dan Venema 1999).

Gambar 17. Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten

Faktor penyebab kecepatan pertumbuhan ikan adalah kesediaan makanan di perairan. Parameter pertumbuhan sangat penting dalam pendugaan stok karena dapat menentukan panjang asimtotik suatu ikan. Panjang maksimum ikan kurisi yang tertangkap di PPN Karangantu, Teluk Banten adalah 248 mm untuk ikan kurisi jantan dan 230 mm untuk ikan kurisi betina, sedangkan nilai panjang asimtotik (infinitif) sebesar 322,95 mm untuk ikan kurisi jantan dan 319,84 mm untuk ikan kurisi betina. Semakin jauhnya ukuran panjang maksimum ikan dari panjang infinitifnya (asimtotik) dapat menjadi indikasi bahwa ikan tersebut sudah mengalami overfishing akibat tekanan penangkapan yang tinggi. Pada Gambar 16 dan 17 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan ikan kurisi tidak sama setiap rentang kehidupannya. Ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan ikan berumur tua.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa tempat memiliki nilai K dan L∞yang berbeda-beda. Nilai K yang besar maka L∞akan semakin kecil dan memiliki umur yang relatif pendek karena semakin besar nilai koefisien pertumbuhan (K) maka ikan semakin cepat untuk mencapai panjang infinitifnya sehingga umurnya relatif lebih pendek. Perbedaan nilai K dan L∞ ikan kurisi dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Faktor keterwakilan data ikan kurisi contoh yang diambil dan waktu pengambilan contoh juga dapat menyebabkan perbedaan tersebut.

4.8. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan kurisi dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang (Gambar 18). Laju mortalitas alami diduga menggunakan rumus empiris Pauly (Sparre & Venema 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan Teluk Banten 29,50C (Nuraini 2004).

Gambar 18. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi menduga Z)

Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi dapat dilihat dalam Tabel 12. Laju mortalitas total ikan kurisi betina sebesar 1,0436 per tahun dengan laju mortalitas alami 0,3285 per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar 0,7151 per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar 0,6852 atau 68,52% per tahun. Sedangkan laju mortalitas total ikan kurisi jantan sebesar 2,4211 per tahun dengan laju mortalitas alami 0,4295 dan laju mortalitas penangkapan sebesar 1,9916 per tahun, sehingga diperoleh laju eksploitasi sebesar 0,8226 atau 82,26% per tahun.

Tabel 12. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten

Parameter Nilai (per tahun)

Betina Jantan Mortalitas total (Z) 1,0436 2,4211 Mortalitas alami (M) 0,3285 0,4295 Mortalitas penangkapan (F) 0,7151 1,9916 Eksploitasi (E) 0,6852 0,8226

Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami yaitu adanya predasi. Menurunnya laju mortalitas alami disebabkan oleh berkurangnya jumlah ikan yang tumbuh hingga usia tua dan mengalami kematian secara alami akibat telah tertangkap lebih dahulu oleh aktifitas penangkapan yang tinggi. Laju mortalitas penangkapan ini lebih besar dibandingkan laju mortalitas alaminya. Hal ini menunjukkan faktor kematian ikan kurisi lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Hal ini dapat dilihat dari data TKG ikan yang tertangkap yaitu dominan TKG 2 dan TKG 3.

Berdasarkan hasil analisis laju eksploitasi ikan kurisi betina 68,52% dan ikan kurisi jantan 82,26%. Laju eksploitasi di Teluk Banten cukup tinggi disebabkan permintaan terhadap ikan kurisi yang tinggi pula, sehingga terjadi penangkapan ikan secara terus menerus, serta penggunaan alat tangkap jaring dogol yang sangat tidak selektif. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre dan Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan. Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) laju eksploitasi optimum adalah sebesar 0,5 atau 50%, sedangkan laju eksploitasi ikan kurisi betina dan jantan di Teluk Banten masing-masing mencapai 68,52% dan 82,26%, maka laju eksploitasi ikan kurisi telah melewati batas optimum yang disebabkan adanya tekanan penangkapan terhadap ikan kurisi di Teluk Banten.

4.9. Model Produksi Surplus

Analisis CPUE (catch per unit of effort) menunjukkan hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (E) yang dilakukan pada waktu tertentu. Berikut merupakan grafik hasil tangkapan ikan kurisi per unit upaya.

Gambar 19. Grafik hasil tangkapan ikan kurisi per satuan upaya

Tabel 13. Data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan kurisi dengan alat tangkap jaring dogol di perairan Teluk Banten

Tahun Hasil tangkapan (ton) Upaya penangkapan (trip) CPUE

2000 125,05 1182 0,1058 2001 141,50 1233 0,1148 2002 92,35 1852 0,0499 2003 16,02 2683 0,0060 2004 24,19 2358 0,0103 2005 116,09 2161 0,0537 2006 108,60 666 0,1631 2007 161,11 1050 0,1534 2008 114,72 1902 0,0603 2009 83,41 2463 0,0339 2010 141,47 3280 0,0431

Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2011)

Berdasarkan Gambar 19 dan Tabel 13, nilai CPUE terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar0,1631 ton per trip dan CPUE terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 0,0060 ton per trip. Semakin meningkatnya upaya penangkapan yang

produksi dapat menjadi indikasi bahwa sudah terjadinya gejala tangkap lebih, dapat dilihat pula bahwa nilai CPUE pada 5 tahun terakhir cenderung menurun.

Model yang digunakan untuk menganalisis model produksi surplus ini adalah model Schaefer, ditulis dengan persamaan :

y = -0,00006x + 0,19 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 77,6%.

Gambar 20. Trend hasil tangkapan per unit upaya dengan model Schaefer  

Hasil analisis model produksi surplus dengan menggunakan model Schaefer didapakan nilai a sebesar 0,185 dan b sebesar -0,00006 sehingga diperoleh nilai fMSY

atau upaya tangkapan optimum sebesar 1541,67 trip/tahun dan MSY atau hasil tangkapan optimum sebanyak 142,60 ton/tahun, sedangkan untuk nilai TAC atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebanyak 114,08 ton/tahun. Data hasil tangkapan ikan kurisi di PPN Karangantu pada tahun 2010 menunjukkan hasil tangkapan sebanyak 141,47 ton. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2010 terjadi tangkap lebih, selain itu juga upaya tangkapan pada tahun 2010 sebanyak 3280 trip/tahun jauh melebihi upaya tangkapan optimumnya sebesar 1541,67 trip/tahun. Grafik di atas (Gambar 20) juga memperlihatkan nilai CPUE semakin menurun seiring peningkatan effort (upaya) yang menunjukkan bahwa sudah terjadinya gejala tangkap lebih terhadap ikan kurisi di Teluk Banten.

4.10. Ketidakpastian Hasil Tangkapan

Berdasarkan data sekunder periode 2006-2010, produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu Teluk Banten mengalami fluktuasi (Gambar 21). Hal ini sangat dipengaruhi oleh upaya penangkapan nelayan di PPN Karangantu. Penangkapan ikan kurisi tidak hanya dipengaruhi dari faktor manusia tetapi juga dipengaruhi faktor alam seperti kondisi cuaca, musim, dan arus.

Gambar 21. Grafik produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten periode2006-2010

Pendugaan analisis ketidakpastian dengan analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan kurisi dapat dilihat dari standar deviasi yang diperoleh dari pengelolaan yang berkala (times series data). Simulasi ini diharapkan dapat terlihat peramalan (forecasting) yang terjadi mengenai pergerakan hasil tangkapan ikan kurisi. Pendugaan tersebut merupakan resiko secara kuantitatif terhadap hal-hal yang dapat terjadi namun tidak diinginkan. Hasil analisis Monte-Carlo pada produksi ikan kurisi (Gambar 22) memperlihatkan grafik yang menyerupai kurva sebaran normal. Penyebaran ini menyatakan adanya ketidakpastian dalam penangkapan ikan kurisi. Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa puncak penangkapannya sangat berfluktuasi dan tidak menentu, hal tersebut menggambarkan bahwa penangkapan ikan kuisi di Teluk Banten mengandung

Cry stal Ball Student Edition Not f or Commercial Use

Frequency Chart .000 .007 .014 .021 .028 0 7 14 21 28 -6328.51 1484.83 9298.17 17111.51 24924.85 1,000 Trials 6 Outliers Forecast: Produksi

Gambar 22. Diagram frekuensi produksi ikan kurisi periode 2000-2010 yang didaratkan di PPN Karangantu, Teluk Banten

Ketidakpastian dalam penangkapan dapat terlihat dari hasil perhitungan secara statistik yang didasarkan kepada nilai rata-rata dan galat baku (Tabel 14). Perhitungan statistik dengan 1000 percobaan simulasi diperoleh galat baku sebesar 182,12. Rata-rata produksi per tahun diperoleh sebanyak 8500,44 kg dengan fluktuasi produksi ikan kurisi per tahun sebesar 5759,27 kg. Galat baku yang didapatkan lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya namun memiliki nilai cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ketidakpastian tangkapan terhadap nilai kurisi pada PPN Karangantu cukup terjadi kemungkinannnya. Keruncingan sebesar 2,81 dan nilai kurtosis yang tinggi menunjukkan grafik sebaran normal semakin landai berarti volume produksi yang dihasilkan semakin bervariasi. Nilai kemiringan sebesar 0,08 hampir mendekati nol menggambarkan gafik tersebut grafik sebaran normal. Nilai kurtosis menggambarkan keruncingan atau kerataan suatu distribusi data dibandingkan dengan distribusi normal. Pada distribusi normal, nilai kurtosis sama dengan nol. Berdasarkan hasil analisis didapatkan angka 2,81 artinya bahwa grafik sebaran normal di atas menunjukkan distribusi yang relatif merata.

Tabel 14. Nilai statistik produksiikan kurisiperiode 2000-2010 di PPN Karangantu, Teluk Banten Statistik deskriptif Percobaan 1000 Rata-rata 8500,44 Nilai tengah 8471,47 Mode --- Simpangan baku 5759,27 Ragam 33169247,69 Kemiringan 0,08 Kurtosis 2,81 Koefisien keragaman 0,68

Rata-rata standar kesalahan 182,12

Apabila grafik membentuk sebaran normal, maka dapat dikatakan bahwa terjadi ketidakpastian terhadap produksi ikan kurisi. Hasil yang menyatakan sebaran normal pada produksi ikan kurisi menunjukan fluktuasi produksi ikan tersebut. Semakin kecil nilai standar deviasi terhadap rata-rata maka tingkat keseragaman data (nilai) semakin tinggi. Nilai deviasi produksi tinggi maka dapat dikatakan keadaan produksi ikan kurisi memiliki faktor ketidakpastian yang tinggi.

Ketika kegiatan penangkapan terganggu maka produksi dalam penangkapan ikan juga terganggu. Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut (Surya 2004).

Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim penangkapan, cuaca, daerah penangkapan, berubah dari alat tangkap yang digunakan dan jumlah armada penangkap ikan, perilaku nelayan serta teknologi atau sarana lain yang mendukung keberhasilan kegiatan penangkapan. Faktor tersebut membuat volume produksi sumberdaya perikanan yang ditangkap dapat berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat diramalkan. Banyaknya ketidakpastian dalam kegiatan perikanan dapat menimbulkan resiko bagi kelangsungan kegiatan perikanan.

Dokumen terkait