• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) yang Didaratkan di PPN Karangantu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) yang Didaratkan di PPN Karangantu"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

 

(

Nemipterus furcosus

, Valenciennes 1830)

DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN

DI PPN KARANGANTU

ARMANSYAH DWI GUMILAR

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

 

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

(3)

 

Armansyah Dwi Gumilar. C24070044. Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) yang Didaratkan di PPN Karangantu. Dibawah bimbingan Achmad Fachrudin dan Mennofatria Boer

lkan kurisi (Nemipterus furcosus) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan ikan ini tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya di perairan Teluk Banten. Ikan kurisi merupakan salah satu ikan tangkapan yang dominan yang didaratkan di PPN Karangantu. Akibat ancaman penangkapan yang dilakukan secara terus menerus, dikhawatirkan populasinya akan semakin menurun, maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji mengenai stok ikan kurisi melalui aspek biologi seperti nisbah kelamin, TKG (Tingkat Kematangan Gonad), hubungan panjang bobot, pola pertumbuhan, faktor kondisi, laju mortalitas dan eksploitasi, model produksi surplus, dan analisis ketidakpastian.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011-Mei 2011. Lokasi pengambilan contoh ikan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu yang mewakili perairan Teluk Banten. Ikan contoh diambil dengan selang waktu dua minggu sekali. Jumlah total ikan yang diambil selama penelitian ini adalah 679 ekor. Data yang dikumpulkan adalah panjang total dan bobot basah serta TKG melalui pembedahan ikan. Metode yang digunakan antara lain metode regresi linier (analisis hubungan panjang bobot, faktor kondisi, serta mortalitas dan laju eksploitasi), metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) untuk identifikasi kelompok ukuran, metode Ford Walford untuk analisis parameter pertumbuhan, metode visual (analisis TKG dan nisbah kelamin), model Schaefer untuk analisis model produksi surplus, dan metode Monte-Carlo yang terdapat dalam program Crystalball.

(4)

 

sumberdaya ikan kurisi secara berkelanjutan. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah armada untuk menangkap ikan kurisi, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan kurisi untuk mengurangi upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggantian ke alat tangkap yang selektif.

(5)

 

(

Nemipterus furcosus

, Valenciennes 1830)

DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN

DI PPN KARANGANTU

ARMANSYAH DWI GUMILAR C2070044

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

 

Judul : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu

Nama Mahasiswa : Armansyah Dwi Gumilar

Nomor Pokok : C24070044

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer, DEA NIP. 19640327 198903 1 003 NIP. 19570928 198103 1 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(7)

 

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat,

karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw. dan

segenap keluarganya, shahabatnya dan para pengikutnya.

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Illahi yang telah

memberikan nikmat dan kekuatan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PPN Karangntu pada Februari 2011-Mei 2011. Hal ini

merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penyusunan

skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis sangat

mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2012

(8)

 

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi serta

Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam pelaksanaan penelitian

dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil masing-masing

selaku dosen penguji dan ketua komisi pendidikan program S1, atas saran,

nasehat dan perbaikan yang diberikan.

3. Para staf Tata Usaha MSP serta staf Lab. Model dan Simulasi (MOSI) yang

telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Pegawai dan nelayan di PPN Karangantu atas dukungan dan

bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian.

5. Rekan-rekan seperjuanganku (Tim Karangantu); Endah Tri S, Nuralim

Pasisingi dan Danuta Diskibiony atas dukungan, semangat, perjuangan, suka

duka, dan kerjasamanya.

6. Sahabat-sahabatku khususnya Reza Zulmi yang ikut membantu Tim

Karangantu di lapangan serta selalu memberi kritik, saran, motivasi dan

dorongan kepada penulis. Serta rekan-rekan MSP 44 yang tidak bisa

disebutkan satu persatu atas perjuangan, suka duka, kekompakan dan

kerjasamanya selama ini.

7. Keluarga tercinta, Papah, Mamah, Kakak, Adik-adikku atas doa, kasih sayang,

motivasi dan dukungannya.

8.

Kekasih tersayang Yuli Handayani yang selalu memberi dukungan, semangat,

(9)

 

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 17 Desember 1989

dari pasangan Bapak Sutarman dan Ibu Sugiarsih. Penulis

merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan

formal yang telah ditempuh yaitu TK Rizky (1993-1995),

SDN Panaragan 1 Bogor (1995-2001) Penulis melanjutkan

pendidikan formal di SLTPN 6 Bogor (2001-2004), kemudian

melanjutkan ke SMAN 2 Bogor (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi

masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis sangat menyukai olahraga, terutama bulutangkis, futsal dan voli.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti Unit Kegiatan

Mahasiswa (UKM) Badminton IPB sebagai anggota dan organisasi kemahasiswaan

Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER)

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program

studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

(10)

x

2.9 Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 15

2.10 Pengelolaan Perikanan ... 18

3. METODE PENELITIAN ... 20

3.4.6 Mortalitas dan laju eksploitasi ... 28

3.4.7 Model produksi surplus... 29

(11)

xi

 

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten ... 32

4.2. Kondisi Perairan Teluk Banten ... 33

4.3. Nisbah Kelamin ... 34

4.4. Tingkat Kematangan Gonad ... 35

4.5. Sebaran Frekuensi Panjang ... 36

4.6. Kelompok Umur ... 38

4.7. Pertumbuhan ... 42

4.7.1. Hubungan panjang bobot ... 42

4.7.2. Faktor kondisi ... 46

4.7.3. Parameter pertumbuhan ... 46

4.8. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ... 49

4.9. Model Produksi Surplus ... 51

4.10. Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 53

4.11. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi di Teluk Banten ... 56

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1. Kesimpulan ... 57

5.2. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(12)

xii

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten ... 2

2. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan ... 16

3. Penentuan TKG secara morfologi ... 24

4. Proporsi kelamin ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 34

5. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN

Karangantu Teluk Banten ... 37

6. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di

PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 41

7. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di

PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 41

8. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di

PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 42

9. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di

PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 42

10. Perbandingan pola pertumbuhan ikan kurisi (genus: Nemipterus) ... 43 11. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN

Karangantu, Teluk Banten ... 47

12. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten... 50

13. Data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan kurisi dengan alat tangkap jaring dogol di perairan Teluk Banten ... 51

(13)

xiii

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis

sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten ... 3

2. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus) ... 6

3. Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) ... 7

4. Alat tangkap jaring dogol ... 7

5. Peta lokasi penelitian Teluk Banten ... 20

6. Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu ... 32

7. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 35

8. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 35

9. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan dan betina di PPN Karangantu Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... . 38

10. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten ... 39

11. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten ... 40

12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 44

13. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 44

14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 45

15. Faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten berdasarkan waktu pengambilan contoh ... 46

16. Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten ... 47

(14)

xiv

 

18. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ... 49

19. Grafik hasil tangkapan ikan kurisi per satuan upaya ... 51

20. Trend hasil tangkapan per unit upaya dengan model Schaefer ... 52

21. Grafik produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu,

Teluk Banten periode2006-2010... 53

22. Diagram frekuensi produksi ikan kurisi periode 2000-2010 yang

(15)

xv

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di PPN

Karangntu, Teluk Banten ... 64

2. Panjang total dan bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN

Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh... ... 65

3. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus)di

PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Februari 2011... ... 71

4. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten pada 10 Maret 2011... ... 73

5. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Maret 2011... ... 75

6. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten pada 7 April 2011... ... 77

7. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten pada 21 April 2011... ... 79

8. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten pada 12 Mei 2011... ... 81

9. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten pada Februari 2001 - Mei 2011... ... 83

10. Pendugaan parameter pertumbuhan (L, K, dan t0) ikan kurisi

(Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten dengan

menggunakan metode Ford Walford ... 85

11. Perhitungan Pendugaan mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kurisi (N. furcosus) di

PPN Karangantu, Teluk Banten ... 87

12. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi

(Nemipterus furcosus)jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten ... 89 13. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi

(16)

1.1. Latar Belakang

Ikan merupakan sumber protein hewani yang mulai digemari saat ini. Kadar

kolesterol ikan rendah serta mengandung asam amino esensial yang sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan manusia. Seiring meningkatnya

permintaan ikan, teknologi dan intensitas penangkapan ikan semakin bertambah.

Perairan Teluk Banten memiliki potensi perairan berupa sumberdaya ikan dan

non ikan. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten diantaranya ikan pepetek,

cumi, kuniran, kembung, kurisi, dan rajungan. Ikan kurisi merupakan salah satu

sumberdaya ikan bernilai ekonomis yang tertangkap di Teluk Banten.

Berdasarkan data statistik Ditjen Tangkap-DKP 2011 menunjukkan bahwa

ikan kurisi bukan merupakan ikan yang paling dominan di Teluk Banten, namun

demikian ikan kurisi memiliki harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat

sehingga ikan ini menjadi salah satu jenis ikan yang diminati oleh masyarakat dan

perburuan ikan kurisi terus menerus dilakukan. Data statistik menunjukkan bahwa

pada tahun 2006-2010 upaya penangkapan ikan kurisi terus mengalami peningkatan

dari 666 trip pada tahun 2006 hingga mencapai 3280 trip pada tahun 2010 (Ditjen

Tangkap-DKP 2011). Pemenuhan terhadap permintaan ikan kurisi yang terus

meningkat menyebabkan semakin intensifnya tekanan eksploitasi terhadap

sumberdaya ikan kurisi.

Menurut Widodo & Suadi (2006) proses penipisan stok di wilayah Indonesia

merupakan konsekuensi alamiah dari penangkapan dalam perikanan yang

pemanfaatannya bersifat open access, dimana tidak ada pemilikan individual atas daerah penangkapan, nelayan secara individual tidak dapat melindungi stok ikan.

Penipisan stok ikan sering diikuti oleh penurunan produksi perikanan, penurunan

hasil tangkapan yang didaratkan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam

struktur umur ikan, dan perubahan komposisi spesies. Hal inilah yang mendorong

perlu dilakukannya kajian mengenai stok ikan kurisi di Teluk Banten untuk

mengetahui kondisi aktual dari sumberdaya tersebut sehingga dapat dijadikan

(17)

Pengelolaan sumberdaya ikan kurisi harus terus dilakukan agar tetap lestari.

Menurut Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 mengatakan bahwa

pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan

berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya.

1.2. Perumusan Masalah

Ikan di laut merupakan milik bersama (common property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open access) yang mengakibatkan terjadinya persaingan antara setiap pelaku perikanan yang akan menangkap sumberdaya ikan

dengan sebanyak-banyaknya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang

dapat pulih. Namun, bila pemanfaatan dilakukan terus-menerus tanpa diikuti oleh

pengelolaan dapat menyebabkan penurunan stok ikan dan terancamnya

keberlangsungan sumberdaya ikan di perairan tersebut. Upaya pemanfaatan ikan

kurisi di Teluk Banten pada tahun 2006-2010 terus mengalami peningkatan. Hal ini

dapat diketahui dari perkembangan produksi (ton) dan upaya (trip alat tangkap

dogol) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten

Tahun Produksi (ton) Upaya (trip)

2006 108,60 666

2007 161,11 1050

2008 114,72 1902

2009 83,41 2463

2010 141,47 3280

Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2011)

Peningkatan upaya dapat meningkatkan volume produksi ikan kurisi, namun

apabila kontrol terhadap tekanan eksploitasi tidak diperhatikan dapat menyebabkan

upaya tangkap lebih (overfishing) sehingga stok ikan kurisi di perairan mengalami penurunan.

Berdasarklan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dari

(18)

dengan batasan daerah penangkapan Teluk Banten yang berpangkalan di PPN

Karangantu, disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten

Upaya penangkapan yang dilakukan terhadap sumberdaya ikan kurisi dapat

menyebabkan under exploited ataupun mengalami over exploited. Kedua hal tersebut dapat dilihat dari ada tidaknya pergeseran modus panjang tubuh ikan, bila

terjadi pergeseran modus panjang ikan ke kiri atau ukuran tubuh ikan semakin

mengecil, hal tersebut mengindikasikan adanya tekanan dari penangkapan atau

sudah terjadi over exploited atau tangkap lebih. Over exploited

Ukuran tubuh mengecil Populasi turun

Ukuran tubuh normal Populasi normal Under exploited

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Pergeseran modus panjang

tubuh

Kajian stok Sumberdaya ikan

kurisi

(19)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok ikan kurisi (Nemipterus fuscosus) di perairan Teluk Banten yang meliputi pendugaan model pertumbuhan, pendugaan

laju mortalitas dan laju eksploitasi, model produksi surplus, analisis ketidakpastian

hasil tangkapan, serta menentukan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di

perairan Teluk Banten.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai langkah awal dalam

merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di daerah

Teluk Banten yang mendukung pola pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimum

(20)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus)

Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal.

Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran kecil, badan langsing dan padat.

Tipe mulutnya terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada

rahang atas. Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan

mata dan keping tutup insang. Sisik dibagian badan lebih besar dan berbentuk

seperti sisir dan kasar bila disentuh. Sebuah garis rusuk (linea lateral) dengan satu sisik atau lebih. Warna sangat bervariasi, seperti kemerah-merahan,

kecoklat-coklatan, merah kekuningan ataupun kehijau-hijauan (Fischer & Whitehead 1974).

Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan 9

duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina umumnya

mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan mendominasi

ukuran tubuh yang lebih besar. Terdapat totol berwarna jingga atau merah terang

dekat pangkal garis rusuk (linea lateral). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga (www.fishbase.org).

Klasifikasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) tersebut berdasarkan www.zipcodezoo.com (2011) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Nemipteridae

Genus : Nemipterus

Spesies : Nemipterus furcosus (Valenciennes, 1830) Nama Indonesia : Kurisi

(21)

Gambar 2. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus)

Semua famili Nemipteridae adalah karnivor yang memakan ikan-ikan kecil,

crustacea, dan Polychaeta (Russell 1990). Oleh karena itu ikan kurisi termasuk

hewan karnivor. Hal ini dapat dilihat dari susunan giginya yang tajam. Makanan

ikan kurisi yang dominan adalah crustacea dan ikan kecil. Pada perairan yang

dangkal (10-30 meter) komponen makanan yang lebih dominan adalah jenis udang

(Crustacea), misalnya Metapenaeus, Parapenaeus dan Parapenaeosis. Sedangkan pada perairan yang lebih dalam (30-50 meter) komponen makanan yang paling

penting adalah ikan-ikan kecil (Burhanuddin et al. 1984).

2.2. Distribusi dan Alat Tangkap Ikan Kurisi (N. furcosus)

Ikan-ikan famili Nemipteridae hidup di dekat dasar dengan tipe substrat

berlumpur dan berpasir pada daerah pantai (inshore) dan paling baik pada daerah lepas pantai (offshore) sampai pada kedalaman lebih kurang 3000 meter, meskipun pada kebanyakan spesies terdapat pada perairan dangkal (Russell 1990). Tarigan

(1995) menyatakan bahwa ikan-ikan berukuran kecil hidup di perairan dangkal,

sedangkan yang berukuran lebih besar hidup pada kedalaman lebih dari 60 meter.

Widodo (1980) in Tarigan (1995) menyatakan bahwa hasil tangkapan tertinggi famili Nemipteridae di Laut Jawa adalah pada kedalaman lebih dari 60 meter.

Ikan kurisi termasuk jenis ikan demersal berdasarkan tempat hidupnya.

Direktorat Jendral Perikanan in Tarigan (1995) menginformasikan bahwa ikan demersal di perairan Indonesia umumnya terkonsentrasi pada kedalaman antara 30–

(22)

dan subtropik. Daerah penyebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di perairan Indonesia hampir terdapat di seluruh perairan Nusantara. Penyebaran ikan ini dapat

dilihat pada Gambar 3.  

 

 

Gambar 3. Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Sumber : www.fishbase.org(2011)

Pada prinsipnya alat tangkap dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu tipe

statis, ditarik oleh kapal, dilingkarkan pada gerombolan ikan dan alat tangkap aktif

lainnya (Siregar 1997). Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik,

payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl dan bubu (Pusat Informasi

Pelabuhan Perikanan 2005). Namun umumnya ikan kurisi yang didaratkan di PPN

Karangantu ini tertangkap dengan jaring dogol. Jaring dogol biasanya digunakan

untuk menangkap ikan yang berada di dasar perairan atau termasuk ikan demersal.

Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan kurisi ini umumnya berukuran 6 GT.

  Gambar 4. Alat tangkap jaring dogol

(23)

Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut

jaring. Pengoperasian alat ini menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan

sekitar 6 PK yang berfungsi untuk menarik jaring. Menurut Monintja &

Martasuganda (1991), jaring dogol terdiri dari kantong, dua buah sayap, dua buah

tali ris, tali selembar serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir

atas dan mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris

bawah lebih panjang dari tali ris atas untuk mencegah ikan lari ke arah vertikal.

2.3. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan

betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui

perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin

yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan.

Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan

pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju

pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).

Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini

dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan,

kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah

kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya

pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang

pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu

didominasi oleh ikan betina.

2.4. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad

sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad

diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan

reproduksi maupun yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap,

(24)

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk

mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah,

baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat

dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu

(Sulistiono et al. 2001 in Tampubolon 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah

faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan

tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang

berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon

2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi

makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006). Umumnya

semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi.

Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002).

2.5. Sebaran Frekuensi Panjang

Pada dasarnya metode pendugaan stok memerlukan masukan data komposisi

umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh

dengan melakukan perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian

keras tubuh ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena

adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim

dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999).

Beberapa metode numerik mulai dikembangkan untuk melakukan konversi

atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu, pendugaan stok

spesies tropis merupakan analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan dilakukannya

analisis data frekuensi panjang ialah untuk menentukan umur terhadap

kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut digunakan dalam pemisahan suatu

distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran

(Sparre & Venema 1999).

Metode pendugaan pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang telah

digunakan secara luas di bidang perikanan, biasanya digunakan jika metode lainnya

(25)

2.6. Pertumbuhan

Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau

berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai

pertambahan jumlah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam

dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar dikontrol, seperti

keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama dalam

mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan, namun masih ada

faktor luar lainnya yang mempengaruhi seperti, kandungan oksigen terlarut, amonia,

salinitas, dan fotoperiod (panjang hari) (Effendie 2002). Menurut King (1995)

bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya

digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi. Hanya sepertiga

bagian yang digunakan untuk pertumbuhan.

2.6.1. Hubungan panjang bobot

Analisis hubungan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola

pertumbuhan ikan di alam. Hal tersebut dapat digunakan untuk kegiatan

pengelolaan perikanan. Effendie (2002) menyatakan bahwa bobot dapat dianggap

sebagai fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga

dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga

bobot melalui panjang.

Hasil analisis hubungan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai

konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukan pola pertumbuhan ikan. Ikan

yang memilki pola pertumbuhan isometrik (b=0), pertambahan panjangnya

seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola

pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik

positif, bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan bobot lebih cepat

dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan

sebagai pertumbuhan allometrik negatif apabila b<3, ini menandakan bahwa

pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot (Ricker

(26)

2.6.2. Parameter Pertumbuhan (L∞, K, dan t0)

Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat memberikan representasi

pertumbuhan populasi dengan baik. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan

Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga dapat digunakan untuk

mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan

makanan (Beverton & Holt 1957). Menurut Sparre & Venema (1999) parameter

ikan memilki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi

yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau

dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan

perencanaan pengelolaan akan lebih mudah.

Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga

parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini

memerlukan masukan data panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran.

Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode Battacharya (Sparre &

Venema 1999).

2.6.3. Faktor Kondisi

Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi

ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan

melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti

apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain

atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan

pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis

kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi

oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai

kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad

(Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan

ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan

(27)

2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) dapat digunakan untuk menduga mortalitas

penangkapan (F) dan mortalitas alami (M). Mortalitas alami adalah mortalitas yang

terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan, seperti pemangsaan, termasuk

kanibalisme, penyakit, stres, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Laju mortalitas

akan berbeda pada spesies yang sama dengan wilayah yang berbeda tergantung dari

kepadatan pemangsaan dan pesaing yang kelimpahannya dipengaruhi oleh kegiatan

penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal

yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan

dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L∞. Semakin tinggi nilai K (pertumbuhan cepat) maka mortalitas alami (M) juga semakin tinggi

dan begitu pun sebaliknya. Nilai M juga berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984), faktor

yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang

maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat aktivitas penangkapan (Sparre &

Venema 1999).

Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang

akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi adalah

jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati

karena semua faktor baik alami maupun penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971)

in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimum, maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya

(M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Menurut King (1995), penentuan laju

eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan

kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan.

2.8. Model Produksi Surplus

Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum

(28)

yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari. Model produksi

surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan

total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya per spesies dan

upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus

mengalami perubahan yang substantial selama waktu yang dicakup (Sparre &

Venema 1999).

Model produksi surplus merupakan model yang sangat sederhana dan murah

biayanya. Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat

sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan

demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil

tangkapan dan upaya penangkapan yang biasanya tersedia di setiap tempat

pendaratan ikan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah

biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit

bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan

echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus

dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini

merupakan salah satu alasan mengapa model surplus hasil tangkapan banyak

digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik

tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit

upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999).

Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang

benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal yang sulit ditentukan. Oleh sebab itu,

penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi

dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa

metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis

besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya,

(29)

Persyaratan untuk analisis model produksi surplus hasil tangkapan adalah

sebagai berikut (Sparre & Venema 1999):

1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap

relatif.

2) Distribusi ikan menyebar merata.

3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap

yang seragam.

Asumsi yang digunakan dalam model surplus hasil tangkapan menurut

Sparre &Venema (1999) adalah :

1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, hasil tangkapan biomassa per satuan waktu adalah

sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)

ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

2) Asumsi biologi

Alasan biologi yang mendukung model surplus hasil tangkapan telah

dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut :

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi hasil tangkapan berkurang, dan

sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil.

Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan

rekrutmen.

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan

menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil.

Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan

lebih sedikit, dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya

digunakan untuk mempertahankan hidup dan dalam fraksi yang lebih kecil

digunakan untuk pertumbuhan.

c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat

kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok

yang telah dieksploitasi.

(30)

3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus hasil tangkapan diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan

proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya

benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang

benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat

tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai

hubungan linear dengan laju tangkapan.

2.9. Ketidakpastian Hasil Tangkapan

Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait.

Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan

sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan

sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda

dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda

tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko

yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak

hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan

sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini

memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu

pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001).

Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah

maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 2. Dampak

ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak

(31)

Tabel 2. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan

Sumber yang bersifat alami Sumber yang bersifat dari manusia dan manajemen

Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya

Predator-prey Perubahan tekhnologi

Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan

Migrasi Sasaran nelayan

Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen

Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001)

Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan

perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak

sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap

tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan

(Charles 2001).

Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles

(2001) yaitu:

1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random

(acak).

2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam:

a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan

terjadinya miss-management.

b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan.

c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi.

(32)

a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan.

b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan.

Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan

dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang

ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka

keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang

dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman

mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk

memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang

serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi.

Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004),

yaitu :

1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko

kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi

besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan

dengan nilai-nilai finansial.

2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko

tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan intuisi, tingkat keahlian

dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya.

Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan

menjadi dua, yaitu :

1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat

memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi

acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian

yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis

statistik dengan menggunakan time-series data.

b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan

(33)

pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan.

2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa

teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam

kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu:

a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan

perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang

c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.

2.10. Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan

informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam

rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan

perikanan lainnya (FAO 1997). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah

menjamin bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melampaui kemampuan

populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan

produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suadi 2006).

Menurut Sinaga (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut

perhatian penuh dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap

berbagai stok ikan. Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan

persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan

(34)

terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan

yang ada semakin menipis.

Pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan

para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan

mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta

menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan

(35)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2011.

Lokasi penelitian berada di Teluk Banten, pengumpulan data dilakukan di

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi

Banten. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan kurisi

yang ditangkap di Teluk Banten (Gambar 5) dan didaratkan di PPN Karangantu,

sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung.

Gambar 5. Peta lokasi penelitian Teluk Banten

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, penggaris dengan

ketelitian 1 milimeter, timbangan dengan ketelitian 0,1 gram, kamera untuk

dokumentasi, alat tulis, alat bedah, dan wadah. Bahan yang digunakan yaitu es batu

dan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) yang didaratkan di PPN Karangantu.

(36)

3.3. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data

sekunder. Proses pengumpulan data primer yang dilakukan meliputi pengukuran

panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu setiap dua minggu sekali.

Ikan kurisi yang digunakan sebagai ikan contoh didapatkan dari beberapa nelayan

yang ada. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara randomsampling yang mengandung unsur purposive sampling, dari beberapa keranjang nelayan ikan contoh diambil secara acak, akan tetapi karena dalam satu keranjang terdapat lebih

dari satu spesies apabila terambil spesies yang bukan merupakan objek penelitian

maka tidak dilakukan pengukuran. Panjang ikan kurisi yang diukur adalah panjang

total, yaitu panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan bagian mulut sampai ujung

terakhir bagian ekornya menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 milimeter.

Bobot ikan kurisi yang ditimbang adalah berat basah total menggunakan timbangan

digital dengan ketelitian 0,1 gram. Data tingkat kematangan gonad (TKG) diperoleh

dengan cara membedah ikan kemudian melihat secara visual tingkat kematangan

gonadnya.

Selain itu juga dilakukan wawancara kepada para nelayan ikan kurisi sebagai

data pendukung. Informasi yang dikumpulkan pada saat wawancara antara lain unit

penangkapan (kapal, jumlah anak buah kapal dan alat tangkap) serta daerah

penangkapan ikan kurisi. Data sekunder di dapat dari arsip PPN Karangantu Teluk

Banten dan Dinas Perikanan Provinsi Banten. Data sekunder yang dikumpulkan

meliputi data hasil tangkapan, data harga ikan kurisi, alat tangkap yang digunakan

nelayan kurisi, serta kondisi umum daerah penangkapan.

3.4. Analisis Data

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis data primer dan

data sekunder. Analisis data primer digunakan untuk menduga pertumbuhan,

mortalitas, dan laju eksploitai ikan kurisi. Analisis data distribusi frekuensi panjang

digunakan untuk melihat sebaran panjang ikan kurisi yang tertangkap di PPN

Karangantu, Teluk Banten. Metode Bhattacharya di gunakan untuk

mengidentifikasi kelompok ukuran ikan kurisi. Setelah itu metode Ford Walford

(37)

melalaui data yang dipisah berdasarkan kelompok ukuran ikan kurisi. Analisis

penduga mortalitas dan laju eksploitasi dengan kurva tangkapan yang dilinearkan

berdasarkan data posisi panjang. Analisis hubungan panjang bobot digunakan untuk

menduga pola pertumbuhan ikan kurisi.

3.4.1. Nisbah kelamin

Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan

betina yang ada pada suatu perairan. Untuk mencari nisbah kelamin dapat

menggunakan rumus berikut:

 

(1)

 

P adalah proporsi ikan (jantan atau betina), n adalah jumlah ikan (jantan atau betina)

dan N adalah jumlah total ikan (jantan dan betina).

3.4.2.Sebaran frekuensi panjang

Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah

panjang total dari ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu. Tahapan untuk

menganalisa frekuensi panjang adalah sebagai berikut :

a) Menentukan banyaknya kelas dengan menggunakan rumus :

kelas=1+3.32logn

Keterangan :

n = Jumlah keseluruhan data

b) Menentukan lebar selang kelas dengan menggunakan rumus :

c) Menentukan frekuensi setiap kelas dan memasukkan frekuensi masing-masing

kelas dengan memasukkan panjang dan masing-masing ikan contoh pada selang

kelas yang telah ditentukan.

Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang

(38)

menggambarkan pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran

distribusi kelas panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari

satu kohort.

3.4.3. Identifikasi kelompok ukuran

Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi

panjang ikan kurisi. Data frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan salah

satu metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan

menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan

baku.

Boer (1996) menyatakan jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i

(i = 1, 2, …, N), µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah

simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam

kelompok umur ke-j (j= 1, 2, …, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk

menduga {µj, σj, pj) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood

function) dengan persamaan sebagai berikut :

= yang merupakan fungsi kepekatan

peluang sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj. xi

merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan

cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj, pj sehingga

diperoleh dugaan µj, σj, pj yang akan digunakan untuk menduga parameter

pertumbuhan.

Dalam penggunaan metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks

separasi. Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark

(39)

kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu

pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks

separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok

ukuran karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok ukuran tersebut.

3.4.4. Tingkat kematangan gonad

Pengamatan gonad ikan contoh dapat menduga jenis kelamin ikan. Tingkat

kematangan gonad ialah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah

ikan itu memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad (TKG) pada ikan ada dua

cara yaitu secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk,

warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan isi gonad. Sedangkan secara

histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik. Berikut ini adalah tabel

penentuan TKG ikan menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 1979) yang

disajikan pada Tabel 3 :

Tabel 3. Penentuan TKG secara morfologi

TKG Betina Jantan

I

Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta

permukaannya licin

Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh

II

Ukuran ovari lebih besar, warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas

Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu

III Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar

IV

Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut

Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal

3.4.5. Pertumbuhan

3.4.5.1. Hubungan panjang bobot

Analisis pola pertumbuhan ikan kurisi menggunakan hubungan panjang bobot

masing-masing spesies dengan rumus sebagai berikut (Effendie 2002):

(40)

W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah intersep (Perpotongan kurva hubungan

panjang berat dengan sumbu y), b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot.

Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus di gunakan persamaan

sebagai berikut :

Log W = Log a + b Log L (4)

Untuk mendapatkan parameter a dan b digunakan analisis regresi dengan Log

W sebagai ‘y’ dan Log L sebagai ‘x’, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut:

y = b0 + b1x (5)

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial) dengan hipotetis :

H0 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik

Hipotesis yang digunakan adalah bila b = 3 maka disebut isometrik (pola

pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot). Jika b < 3 disebut

allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan). Dan bila b > 3 allometrik

positif (pola pertumbuhan bobot lebih dominan).

1 0 1

sb b b

thitung = − (6)

              

       (7)

 

b1 adalah Nilai b (dari hubungan panjang bobot), b0 adalah 3, Sb1 adalah simpangan

(41)

Bandingkan nilai thitung dan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%.

Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan kurisi, maka kaidah

keputusan yang diambil adalah :

thitung > ttabel : tolak hipotesis H0

thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis H0

3.4.5.2. Plot Ford Walford (L∞, K dan t0)

Plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam

menduga parameter pertumbuhan dari persamaan Von Bartalanffy dengan interval

waktu pengambilan contoh yang tetap. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan

Von Bertalanffy (King 1995).

Lt = L∞ (1 - exp[-K(t-t0)])

Lt = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] (8)

atau,

L - Lt = L∞ exp[-K(t-t0)] (9)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang

maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per

satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t

sama dengan t+1, persamaaan menjadi:

Lt+1 = L∞ (1 - exp[-K(t+1-t0)])

Lt+1 = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] exp[-K] (10)

sehingga,

Lt+1 - Lt = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] exp-K - L∞ - L∞exp[-K(t-t0)]

Lt+1 - Lt = L∞exp[-K(t-t0)] (1 - exp[-K]) (11)

Persamaan (9) didistribusikan kedalam persamaan (11) sehingga di peroleh

persamaan berikut.

(42)

atau,

Lt+1 = Lt + L∞ (1 - exp[-K]) - Lt + Lt exp[-K]

Lt+1 = L∞ (1 - exp[-K]) + Lt exp[-K] (13)

Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yang merupakan

panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984).

Persamaan (13) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b0 + b1x, jika Lt

sebagai absis (x) di plotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk

kemiringan (slope) sama dengan exp[-K] dan titik potong dengan absis sama dengan L(1-exp[-K]). Nilai K dan L di peroleh dengan cara sebagai berikut:

K = -ln (b) (14)

dan

L∞ = a / (1 - b) (15)

Umur secara teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara

terpisah menggunakan persamaan empiris pauly sebagai berikut.

Log (-t0) = 0,3922 - 0,2752 (Log L∞) – 1,038 (Log K) (16)

3.4.5.3. Faktor kondisi

Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam

angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Faktor kondisi

menunjukkan keadaan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup

maupun reproduksi. Jika pertumbuhan ikan kurisi termasuk pertumbuhan allometrik

(b≠3), maka nilai faktor kondisi (K) dapat dihitung dengan rumus berikut (Effendie 2002):

       K = W/ aLb (17)

(43)

K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang

ikan contoh (mm), a dan b adalah konstanta regresi. Jika pertumbuhan bersifat

allometrik positif umumnya ikan diamati lebih gemuk dibandingkan ikan yang

bertipe allometrik negatif.

3.4.6. Mortalitas dan laju eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan

berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan

langkah-langkah sebagai berikut.

Langkah 1 : mengkonversikan data panjang ke data umur dengan mengunakan

inverse persamaan Von Bertalanffy.

(18)

Langkah 2 : menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh

dari panjang L1 ke L2 (Δt)

(19)

Langkah 3 : menghitung (t+Δt/2)

(20)

Langkah 4 : menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang

dikonversikan ke panjang

(21)

persamaan di atas adalah bentu persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z

Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris

Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut.

(44)

M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan

pertumbuhan Von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C)

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :

F = Z – M (24)

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F)

terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) :

Z

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland

(1971) in Pauly (1984) adalah:

Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5 (26)

3.4.7. Model produksi surplus

Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in (Sparre & Venema 1999). Dapat diketahui melalui persamaan berikut :

1) Hubungan antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f), Y = af + bf 2

2) Upaya penangkapan optimum (fmsy) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol atau dy/df = 0 :

Y = af + bf 2 Y’= a + 2bf Y’= 0

(45)

3) Maximum sustainable yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan maksimum lestari diperoleh dengan mensubtitusikan nilai upaya

penangkapan optimum (fmsy) ke persamaan pada butir 1 di atas, Y = af + bf 2

MSY = (a) fmsy+ (b) fmsy2 MSY = -a2/4b

Pada model ini, untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya

penangkapan (f) terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) dan untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b pada rumus di atas digunakan analisis

regresi dengan melinierkan model Schaefer seperti berikut:

Y = af + bf 2 CPUE (Y/f) = a+bf

Rumus yang digunakan untuk mengetahui CPUE adalah sebagai berikut:

CPUE = Catch / Effort

Keterangan :

CPUE : Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit) Catch : Hasil tangkapan per tahun (kg)

Effort : Upaya penangkapan per tahun (unit)

3.4.8. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan

Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana

terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam menghasilkan tangkapan. Hal

tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan

Kaidah Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Kaidah

Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) , yaitu:

Jika kejadian-kejadian B1, B2, …, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah

dari ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang

kejadian A yang bersifat P(A) ≠ 0 :

(27)

(46)

untuk r = 1,2,…,k

Metode Bayes merupakan metode yang baik dalam pembelajaran berdasarkan

data training, dengan menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Metode

Bayes hanya bisa digunakan untuk persoalan klasifikasi dengan supervised learning dan data-data kategorikal. Metode Bayes memerlukan pangetahuan awal untuk

mengambil suatu keputusan. Tingkat keberhasilan metode ini sangat tergantung

pada pengetahuan awal yang diberikan.

Dalam menganalisis ketidakpastian ini digunakan alat bantu berupa perangkat

lunak Crystall ball yang berbasis aplikasi spreadsheet suite untuk model prediksi, ramalan, simulasi dan optimasi. Menggunakan Crystall ball dapat membuat keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan

(47)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten

Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai

nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan adalah jaring

dogol, bagan, jaring insang, payang dan lain-lain. Kapal yang digunakan umunya

berukuran 6 GT. Hasil tangkapan utama nelayan di Teluk Banten berupa ikan

pepetek, cumi-cumi, kurisi, kembung, kuniran dan lain-lain. Berikut ini disajikan

gambar hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu

(Gambar 6).

Gambar 6. Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu Sumber : Ditjen-Tangkap (DKP 2011)

Ikan kurisi di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu sebagian

besar ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring dogol/gardan.

Pengoperasian alat tangkap ini dengan menggunakan alat bantu mesin gardan

berkekuatan sekitar 6 PK untuk menarik jaring. Daerah penangkapannya di utara

Pulau Panjang yang memiliki dasar pantai pasir berlumpur dengan kedalaman diatas

16 meter. Penangkapan ikan dilakukan pada siang hari, dari jam 7 pagi hingga jam 5

sore. Ikan kurisi akan didistribusikan ke daerah Serang, Cilegon, Tangerang dan

(48)

4.2. Kondisi Perairan Teluk Banten

Pada wilayah pantai utara Jawa, ada beberapa teluk yang dimanfaatkan untuk

kegiatan perikanan tangkap, salah satunya adalah Teluk Banten yang terletak di

Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Perairan Teluk Banten secara geografis terletak

pada 05º49’45”–06º02’00” LS dan 106º03’00”–106º16’00” BT. Teluk Banten ini

terletak pada jarak 60 km sebelah Barat kota Jakarta. Kawasan ini mempunyai

panjang pantai sekitar 22 km dan luasnya kira-kira 150 km2 dengan berbagai variasi

kedalaman mulai dari 0,2 m sampai 9 m, oleh sebab itu Teluk Banten termasuk

perairan yang dangkal dengan turbiditas tinggi (Tiwi 2004). Dasar perairan pada

umumnya lumpur berpasir. Pada teluk terdapat beberapa pulau kecil dengan

beberapa yang terbentuk dari gosong karang. Pulau Panjang merupakan pulau yang

terbesar, yang berpenduduk dan pulau yang terluar yaitu Pulau Kali (Nuraini 2004).

Sebagian besar kawasan teluk bagian barat yang meliputi Kecamatan Kepuh

dan Bojonegara dimanfaatkan untuk kawasan industri dan Pelabuhan Bojonegara.

Kawasan teluk bagian selatan yang meliputi Kecamatan Kasemen dan Karangantu

dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan seperti kawasan industri, perumahan

nelayan, pertambakan dan pelabuhan perikanan Karangantu yang berdampingan

dengan pelabuhan niaga kayu. Bagian timur dari teluk ini yang meliputi Kecamatan

Tirtayasa dan Pontang merupakan kawasan peruntukan pertambakan dan sebagian

dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi 2004).

Perairan teluk dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim

timur. Musim barat merupakan musim hujan, pada bulan Desember hingga Februari

curah hujan tertinggi. Musim timur merupakan musim kemarau. Musim

penangkapan di Teluk Banten ini yaitu pada musim timur (Nuraini 2004).

Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat

dipengaruhi oleh Laut Jawa. Kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya

salinitas menurun pada musim hujan. Pengamatan pada tahun 1998-1999,

menunjukkan bahwa suhu air di Teluk Banten berkisar antara 28–31,5 ºC dengan

rata-rata 29,5 ºC. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28–33,8 ppm,

salinitas rendah (<20 ppm) terjadi pada musim hujan Januari-Februari di perairan

Gambar

Gambar 5.  Peta lokasi penelitian Teluk Banten
Gambar 7.   TKG  ikan kurisi ( Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangntu, Teluk
Tabel 5. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu Teluk Banten
Gambar 9.  Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi ( Nemipterus furcosus) jantan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memberi alternatif pengelolaan sumberdaya ikan tembang yang tepat berdasarkan hasil tangkapan maksimum (MSY) dan upaya ( effort

Skripsi berjudul “ Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Terisi ( Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di Perairan Teluk Jakarta”

Aktivitas penangkapan ikan kembung lelaki secara terus menerus dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan stok ikan kembung sehingga perlu dilakukan kajian mengenai

Pada tahun 2010 dan 2011 hasil tangkapan telah melebihi nilai MSY yaitu 141 ton per tahun tetapi dengan upaya tangkap yang berbeda dan telah melebihi upaya optimum yaitu 2449 trip

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui stok dari ikan tetengkek dengan pendekatan parameter pertumbuhan, sebaran kelompok ukuran, laju mortalitas dan laju