(
Nemipterus furcosus
, Valenciennes 1830)
DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN
DI PPN KARANGANTU
ARMANSYAH DWI GUMILAR
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Armansyah Dwi Gumilar. C24070044. Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) yang Didaratkan di PPN Karangantu. Dibawah bimbingan Achmad Fachrudin dan Mennofatria Boer
lkan kurisi (Nemipterus furcosus) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan ikan ini tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya di perairan Teluk Banten. Ikan kurisi merupakan salah satu ikan tangkapan yang dominan yang didaratkan di PPN Karangantu. Akibat ancaman penangkapan yang dilakukan secara terus menerus, dikhawatirkan populasinya akan semakin menurun, maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji mengenai stok ikan kurisi melalui aspek biologi seperti nisbah kelamin, TKG (Tingkat Kematangan Gonad), hubungan panjang bobot, pola pertumbuhan, faktor kondisi, laju mortalitas dan eksploitasi, model produksi surplus, dan analisis ketidakpastian.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011-Mei 2011. Lokasi pengambilan contoh ikan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu yang mewakili perairan Teluk Banten. Ikan contoh diambil dengan selang waktu dua minggu sekali. Jumlah total ikan yang diambil selama penelitian ini adalah 679 ekor. Data yang dikumpulkan adalah panjang total dan bobot basah serta TKG melalui pembedahan ikan. Metode yang digunakan antara lain metode regresi linier (analisis hubungan panjang bobot, faktor kondisi, serta mortalitas dan laju eksploitasi), metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) untuk identifikasi kelompok ukuran, metode Ford Walford untuk analisis parameter pertumbuhan, metode visual (analisis TKG dan nisbah kelamin), model Schaefer untuk analisis model produksi surplus, dan metode Monte-Carlo yang terdapat dalam program Crystalball.
sumberdaya ikan kurisi secara berkelanjutan. Upaya pengelolaan dapat berupa mengurangi jumlah armada untuk menangkap ikan kurisi, pembuatan jadwal secara bergantian dalam penangkapan ikan kurisi untuk mengurangi upaya penangkapan ikan tersebut, serta penggantian ke alat tangkap yang selektif.
(
Nemipterus furcosus
, Valenciennes 1830)
DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN
DI PPN KARANGANTU
ARMANSYAH DWI GUMILAR C2070044
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu
Nama Mahasiswa : Armansyah Dwi Gumilar
Nomor Pokok : C24070044
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer, DEA NIP. 19640327 198903 1 003 NIP. 19570928 198103 1 006
Mengetahui,
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat,
karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw. dan
segenap keluarganya, shahabatnya dan para pengikutnya.
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Illahi yang telah
memberikan nikmat dan kekuatan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PPN Karangntu pada Februari 2011-Mei 2011. Hal ini
merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penyusunan
skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis sangat
mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2012
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Dr. Ir. H. Achmad Fachrudin, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi serta
Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam pelaksanaan penelitian
dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil masing-masing
selaku dosen penguji dan ketua komisi pendidikan program S1, atas saran,
nasehat dan perbaikan yang diberikan.
3. Para staf Tata Usaha MSP serta staf Lab. Model dan Simulasi (MOSI) yang
telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.
4. Seluruh Pegawai dan nelayan di PPN Karangantu atas dukungan dan
bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian.
5. Rekan-rekan seperjuanganku (Tim Karangantu); Endah Tri S, Nuralim
Pasisingi dan Danuta Diskibiony atas dukungan, semangat, perjuangan, suka
duka, dan kerjasamanya.
6. Sahabat-sahabatku khususnya Reza Zulmi yang ikut membantu Tim
Karangantu di lapangan serta selalu memberi kritik, saran, motivasi dan
dorongan kepada penulis. Serta rekan-rekan MSP 44 yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas perjuangan, suka duka, kekompakan dan
kerjasamanya selama ini.
7. Keluarga tercinta, Papah, Mamah, Kakak, Adik-adikku atas doa, kasih sayang,
motivasi dan dukungannya.
8.
Kekasih tersayang Yuli Handayani yang selalu memberi dukungan, semangat,
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 17 Desember 1989
dari pasangan Bapak Sutarman dan Ibu Sugiarsih. Penulis
merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan
formal yang telah ditempuh yaitu TK Rizky (1993-1995),
SDN Panaragan 1 Bogor (1995-2001) Penulis melanjutkan
pendidikan formal di SLTPN 6 Bogor (2001-2004), kemudian
melanjutkan ke SMAN 2 Bogor (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Penulis sangat menyukai olahraga, terutama bulutangkis, futsal dan voli.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) Badminton IPB sebagai anggota dan organisasi kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER)
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program
studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
x
2.9 Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 15
2.10 Pengelolaan Perikanan ... 18
3. METODE PENELITIAN ... 20
3.4.6 Mortalitas dan laju eksploitasi ... 28
3.4.7 Model produksi surplus... 29
xi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten ... 32
4.2. Kondisi Perairan Teluk Banten ... 33
4.3. Nisbah Kelamin ... 34
4.4. Tingkat Kematangan Gonad ... 35
4.5. Sebaran Frekuensi Panjang ... 36
4.6. Kelompok Umur ... 38
4.7. Pertumbuhan ... 42
4.7.1. Hubungan panjang bobot ... 42
4.7.2. Faktor kondisi ... 46
4.7.3. Parameter pertumbuhan ... 46
4.8. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ... 49
4.9. Model Produksi Surplus ... 51
4.10. Ketidakpastian Hasil Tangkapan ... 53
4.11. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kurisi di Teluk Banten ... 56
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
5.1. Kesimpulan ... 57
5.2. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten ... 2
2. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan ... 16
3. Penentuan TKG secara morfologi ... 24
4. Proporsi kelamin ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 34
5. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN
Karangantu Teluk Banten ... 37
6. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di
PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 41
7. Sebaran kelompok umur ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di
PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 41
8. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di
PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 42
9. Hubungan panjang bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di
PPN Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh ... 42
10. Perbandingan pola pertumbuhan ikan kurisi (genus: Nemipterus) ... 43 11. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN
Karangantu, Teluk Banten ... 47
12. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten... 50
13. Data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan kurisi dengan alat tangkap jaring dogol di perairan Teluk Banten ... 51
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis
sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten ... 3
2. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus) ... 6
3. Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) ... 7
4. Alat tangkap jaring dogol ... 7
5. Peta lokasi penelitian Teluk Banten ... 20
6. Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu ... 32
7. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 35
8. TKG ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangntu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 35
9. Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan dan betina di PPN Karangantu Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... . 38
10. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten ... 39
11. Frekuensi panjang ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina periode Februari 2011–Mei 2011 di PPN Karangantu Teluk Banten ... 40
12. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 44
13. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 44
14. Hubungan panjang-bobot dan hubungan logaritma panjang-logaritma bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) betina di PPN Karangantu, Teluk Banten pada bulan Februari 2011-Mei 2011 ... 45
15. Faktor kondisi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten berdasarkan waktu pengambilan contoh ... 46
16. Kurva pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten ... 47
xiv
18. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ... 49
19. Grafik hasil tangkapan ikan kurisi per satuan upaya ... 51
20. Trend hasil tangkapan per unit upaya dengan model Schaefer ... 52
21. Grafik produksi ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu,
Teluk Banten periode2006-2010... 53
22. Diagram frekuensi produksi ikan kurisi periode 2000-2010 yang
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian di PPN
Karangntu, Teluk Banten ... 64
2. Panjang total dan bobot ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di PPN
Karangantu, Teluk Banten setiap pengambilan contoh... ... 65
3. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus)di
PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Februari 2011... ... 71
4. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten pada 10 Maret 2011... ... 73
5. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten pada 24 Maret 2011... ... 75
6. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten pada 7 April 2011... ... 77
7. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten pada 21 April 2011... ... 79
8. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten pada 12 Mei 2011... ... 81
9. Uji t nilai b hubungan panjang dan bobot ikan kurisi (N. furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten pada Februari 2001 - Mei 2011... ... 83
10. Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K, dan t0) ikan kurisi
(Nemipterus furcosus) di PPN Karangantu, Teluk Banten dengan
menggunakan metode Ford Walford ... 85
11. Perhitungan Pendugaan mortalitas Total (Z), Mortalitas Alami (M), penangkapan (F), dan laju eksploitasi (E) ikan kurisi (N. furcosus) di
PPN Karangantu, Teluk Banten ... 87
12. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi
(Nemipterus furcosus)jantan di PPN Karangantu, Teluk Banten ... 89 13. Tampilan NORMSEP dengan menggunakan FISAT untuk ikan kurisi
1.1. Latar Belakang
Ikan merupakan sumber protein hewani yang mulai digemari saat ini. Kadar
kolesterol ikan rendah serta mengandung asam amino esensial yang sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan manusia. Seiring meningkatnya
permintaan ikan, teknologi dan intensitas penangkapan ikan semakin bertambah.
Perairan Teluk Banten memiliki potensi perairan berupa sumberdaya ikan dan
non ikan. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten diantaranya ikan pepetek,
cumi, kuniran, kembung, kurisi, dan rajungan. Ikan kurisi merupakan salah satu
sumberdaya ikan bernilai ekonomis yang tertangkap di Teluk Banten.
Berdasarkan data statistik Ditjen Tangkap-DKP 2011 menunjukkan bahwa
ikan kurisi bukan merupakan ikan yang paling dominan di Teluk Banten, namun
demikian ikan kurisi memiliki harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat
sehingga ikan ini menjadi salah satu jenis ikan yang diminati oleh masyarakat dan
perburuan ikan kurisi terus menerus dilakukan. Data statistik menunjukkan bahwa
pada tahun 2006-2010 upaya penangkapan ikan kurisi terus mengalami peningkatan
dari 666 trip pada tahun 2006 hingga mencapai 3280 trip pada tahun 2010 (Ditjen
Tangkap-DKP 2011). Pemenuhan terhadap permintaan ikan kurisi yang terus
meningkat menyebabkan semakin intensifnya tekanan eksploitasi terhadap
sumberdaya ikan kurisi.
Menurut Widodo & Suadi (2006) proses penipisan stok di wilayah Indonesia
merupakan konsekuensi alamiah dari penangkapan dalam perikanan yang
pemanfaatannya bersifat open access, dimana tidak ada pemilikan individual atas daerah penangkapan, nelayan secara individual tidak dapat melindungi stok ikan.
Penipisan stok ikan sering diikuti oleh penurunan produksi perikanan, penurunan
hasil tangkapan yang didaratkan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam
struktur umur ikan, dan perubahan komposisi spesies. Hal inilah yang mendorong
perlu dilakukannya kajian mengenai stok ikan kurisi di Teluk Banten untuk
mengetahui kondisi aktual dari sumberdaya tersebut sehingga dapat dijadikan
Pengelolaan sumberdaya ikan kurisi harus terus dilakukan agar tetap lestari.
Menurut Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 mengatakan bahwa
pengelolaan perikanan dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya.
1.2. Perumusan Masalah
Ikan di laut merupakan milik bersama (common property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open access) yang mengakibatkan terjadinya persaingan antara setiap pelaku perikanan yang akan menangkap sumberdaya ikan
dengan sebanyak-banyaknya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang
dapat pulih. Namun, bila pemanfaatan dilakukan terus-menerus tanpa diikuti oleh
pengelolaan dapat menyebabkan penurunan stok ikan dan terancamnya
keberlangsungan sumberdaya ikan di perairan tersebut. Upaya pemanfaatan ikan
kurisi di Teluk Banten pada tahun 2006-2010 terus mengalami peningkatan. Hal ini
dapat diketahui dari perkembangan produksi (ton) dan upaya (trip alat tangkap
dogol) yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi di Teluk Banten
Tahun Produksi (ton) Upaya (trip)
2006 108,60 666
2007 161,11 1050
2008 114,72 1902
2009 83,41 2463
2010 141,47 3280
Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2011)
Peningkatan upaya dapat meningkatkan volume produksi ikan kurisi, namun
apabila kontrol terhadap tekanan eksploitasi tidak diperhatikan dapat menyebabkan
upaya tangkap lebih (overfishing) sehingga stok ikan kurisi di perairan mengalami penurunan.
Berdasarklan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dari
dengan batasan daerah penangkapan Teluk Banten yang berpangkalan di PPN
Karangantu, disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengkajian stok dan analisis sumberdaya ikan kurisi di perairan Teluk Banten
Upaya penangkapan yang dilakukan terhadap sumberdaya ikan kurisi dapat
menyebabkan under exploited ataupun mengalami over exploited. Kedua hal tersebut dapat dilihat dari ada tidaknya pergeseran modus panjang tubuh ikan, bila
terjadi pergeseran modus panjang ikan ke kiri atau ukuran tubuh ikan semakin
mengecil, hal tersebut mengindikasikan adanya tekanan dari penangkapan atau
sudah terjadi over exploited atau tangkap lebih. Over exploited
Ukuran tubuh mengecil Populasi turun
Ukuran tubuh normal Populasi normal Under exploited
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Pergeseran modus panjang
tubuh
Kajian stok Sumberdaya ikan
kurisi
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji stok ikan kurisi (Nemipterus fuscosus) di perairan Teluk Banten yang meliputi pendugaan model pertumbuhan, pendugaan
laju mortalitas dan laju eksploitasi, model produksi surplus, analisis ketidakpastian
hasil tangkapan, serta menentukan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di
perairan Teluk Banten.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai langkah awal dalam
merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di daerah
Teluk Banten yang mendukung pola pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimum
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus)
Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal.
Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran kecil, badan langsing dan padat.
Tipe mulutnya terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada
rahang atas. Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan
mata dan keping tutup insang. Sisik dibagian badan lebih besar dan berbentuk
seperti sisir dan kasar bila disentuh. Sebuah garis rusuk (linea lateral) dengan satu sisik atau lebih. Warna sangat bervariasi, seperti kemerah-merahan,
kecoklat-coklatan, merah kekuningan ataupun kehijau-hijauan (Fischer & Whitehead 1974).
Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan 9
duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina umumnya
mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan mendominasi
ukuran tubuh yang lebih besar. Terdapat totol berwarna jingga atau merah terang
dekat pangkal garis rusuk (linea lateral). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga (www.fishbase.org).
Klasifikasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) tersebut berdasarkan www.zipcodezoo.com (2011) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Nemipteridae
Genus : Nemipterus
Spesies : Nemipterus furcosus (Valenciennes, 1830) Nama Indonesia : Kurisi
Gambar 2. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus)
Semua famili Nemipteridae adalah karnivor yang memakan ikan-ikan kecil,
crustacea, dan Polychaeta (Russell 1990). Oleh karena itu ikan kurisi termasuk
hewan karnivor. Hal ini dapat dilihat dari susunan giginya yang tajam. Makanan
ikan kurisi yang dominan adalah crustacea dan ikan kecil. Pada perairan yang
dangkal (10-30 meter) komponen makanan yang lebih dominan adalah jenis udang
(Crustacea), misalnya Metapenaeus, Parapenaeus dan Parapenaeosis. Sedangkan pada perairan yang lebih dalam (30-50 meter) komponen makanan yang paling
penting adalah ikan-ikan kecil (Burhanuddin et al. 1984).
2.2. Distribusi dan Alat Tangkap Ikan Kurisi (N. furcosus)
Ikan-ikan famili Nemipteridae hidup di dekat dasar dengan tipe substrat
berlumpur dan berpasir pada daerah pantai (inshore) dan paling baik pada daerah lepas pantai (offshore) sampai pada kedalaman lebih kurang 3000 meter, meskipun pada kebanyakan spesies terdapat pada perairan dangkal (Russell 1990). Tarigan
(1995) menyatakan bahwa ikan-ikan berukuran kecil hidup di perairan dangkal,
sedangkan yang berukuran lebih besar hidup pada kedalaman lebih dari 60 meter.
Widodo (1980) in Tarigan (1995) menyatakan bahwa hasil tangkapan tertinggi famili Nemipteridae di Laut Jawa adalah pada kedalaman lebih dari 60 meter.
Ikan kurisi termasuk jenis ikan demersal berdasarkan tempat hidupnya.
Direktorat Jendral Perikanan in Tarigan (1995) menginformasikan bahwa ikan demersal di perairan Indonesia umumnya terkonsentrasi pada kedalaman antara 30–
dan subtropik. Daerah penyebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di perairan Indonesia hampir terdapat di seluruh perairan Nusantara. Penyebaran ikan ini dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Sumber : www.fishbase.org(2011)
Pada prinsipnya alat tangkap dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu tipe
statis, ditarik oleh kapal, dilingkarkan pada gerombolan ikan dan alat tangkap aktif
lainnya (Siregar 1997). Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik,
payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl dan bubu (Pusat Informasi
Pelabuhan Perikanan 2005). Namun umumnya ikan kurisi yang didaratkan di PPN
Karangantu ini tertangkap dengan jaring dogol. Jaring dogol biasanya digunakan
untuk menangkap ikan yang berada di dasar perairan atau termasuk ikan demersal.
Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan kurisi ini umumnya berukuran 6 GT.
Gambar 4. Alat tangkap jaring dogol
Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut
jaring. Pengoperasian alat ini menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan
sekitar 6 PK yang berfungsi untuk menarik jaring. Menurut Monintja &
Martasuganda (1991), jaring dogol terdiri dari kantong, dua buah sayap, dua buah
tali ris, tali selembar serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir
atas dan mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris
bawah lebih panjang dari tali ris atas untuk mencegah ikan lari ke arah vertikal.
2.3. Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan
betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui
perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin
yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan.
Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan
pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju
pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).
Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini
dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan,
kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah
kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya
pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang
pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu
didominasi oleh ikan betina.
2.4. Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad
diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan
reproduksi maupun yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap,
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk
mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah,
baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat
dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu
(Sulistiono et al. 2001 in Tampubolon 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah
faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan
tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang
berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon
2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi
makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006). Umumnya
semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi.
Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002).
2.5. Sebaran Frekuensi Panjang
Pada dasarnya metode pendugaan stok memerlukan masukan data komposisi
umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh
dengan melakukan perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian
keras tubuh ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena
adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim
dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999).
Beberapa metode numerik mulai dikembangkan untuk melakukan konversi
atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu, pendugaan stok
spesies tropis merupakan analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan dilakukannya
analisis data frekuensi panjang ialah untuk menentukan umur terhadap
kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut digunakan dalam pemisahan suatu
distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran
(Sparre & Venema 1999).
Metode pendugaan pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang telah
digunakan secara luas di bidang perikanan, biasanya digunakan jika metode lainnya
2.6. Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau
berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai
pertambahan jumlah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam
dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar dikontrol, seperti
keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama dalam
mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan, namun masih ada
faktor luar lainnya yang mempengaruhi seperti, kandungan oksigen terlarut, amonia,
salinitas, dan fotoperiod (panjang hari) (Effendie 2002). Menurut King (1995)
bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya
digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi. Hanya sepertiga
bagian yang digunakan untuk pertumbuhan.
2.6.1. Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan di alam. Hal tersebut dapat digunakan untuk kegiatan
pengelolaan perikanan. Effendie (2002) menyatakan bahwa bobot dapat dianggap
sebagai fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga
dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga
bobot melalui panjang.
Hasil analisis hubungan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai
konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukan pola pertumbuhan ikan. Ikan
yang memilki pola pertumbuhan isometrik (b=0), pertambahan panjangnya
seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola
pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik
positif, bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan bobot lebih cepat
dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan
sebagai pertumbuhan allometrik negatif apabila b<3, ini menandakan bahwa
pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot (Ricker
2.6.2. Parameter Pertumbuhan (L∞, K, dan t0)
Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat memberikan representasi
pertumbuhan populasi dengan baik. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan
Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga dapat digunakan untuk
mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan
makanan (Beverton & Holt 1957). Menurut Sparre & Venema (1999) parameter
ikan memilki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi
yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau
dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan
perencanaan pengelolaan akan lebih mudah.
Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga
parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini
memerlukan masukan data panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran.
Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode Battacharya (Sparre &
Venema 1999).
2.6.3. Faktor Kondisi
Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi
ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan
melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti
apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain
atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan
pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis
kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi
oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai
kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad
(Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan
ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan
2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) dapat digunakan untuk menduga mortalitas
penangkapan (F) dan mortalitas alami (M). Mortalitas alami adalah mortalitas yang
terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan, seperti pemangsaan, termasuk
kanibalisme, penyakit, stres, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Laju mortalitas
akan berbeda pada spesies yang sama dengan wilayah yang berbeda tergantung dari
kepadatan pemangsaan dan pesaing yang kelimpahannya dipengaruhi oleh kegiatan
penangkapan (Sparre & Venema 1999).
Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal
yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan
dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L∞. Semakin tinggi nilai K (pertumbuhan cepat) maka mortalitas alami (M) juga semakin tinggi
dan begitu pun sebaliknya. Nilai M juga berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984), faktor
yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang
maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat aktivitas penangkapan (Sparre &
Venema 1999).
Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang
akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi adalah
jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati
karena semua faktor baik alami maupun penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971)
in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimum, maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya
(M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Menurut King (1995), penentuan laju
eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan
kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan.
2.8. Model Produksi Surplus
Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum
yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari. Model produksi
surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan
total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya per spesies dan
upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus
mengalami perubahan yang substantial selama waktu yang dicakup (Sparre &
Venema 1999).
Model produksi surplus merupakan model yang sangat sederhana dan murah
biayanya. Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat
sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan
demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil
tangkapan dan upaya penangkapan yang biasanya tersedia di setiap tempat
pendaratan ikan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah
biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit
bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan
echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus
dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini
merupakan salah satu alasan mengapa model surplus hasil tangkapan banyak
digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.
Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik
tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit
upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999).
Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang
benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal yang sulit ditentukan. Oleh sebab itu,
penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi
dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa
metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis
besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya,
Persyaratan untuk analisis model produksi surplus hasil tangkapan adalah
sebagai berikut (Sparre & Venema 1999):
1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap
relatif.
2) Distribusi ikan menyebar merata.
3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap
yang seragam.
Asumsi yang digunakan dalam model surplus hasil tangkapan menurut
Sparre &Venema (1999) adalah :
1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium
Pada keadaan ekuilibrium, hasil tangkapan biomassa per satuan waktu adalah
sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)
ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.
2) Asumsi biologi
Alasan biologi yang mendukung model surplus hasil tangkapan telah
dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut :
a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi hasil tangkapan berkurang, dan
sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil.
Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan
rekrutmen.
b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan
menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil.
Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan
lebih sedikit, dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya
digunakan untuk mempertahankan hidup dan dalam fraksi yang lebih kecil
digunakan untuk pertumbuhan.
c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat
kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok
yang telah dieksploitasi.
3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap
Pada model surplus hasil tangkapan diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan
proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya
benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang
benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat
tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai
hubungan linear dengan laju tangkapan.
2.9. Ketidakpastian Hasil Tangkapan
Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait.
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan
sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan
sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda
dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda
tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko
yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak
hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan
sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini
memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu
pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001).
Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah
maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 2. Dampak
ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak
Tabel 2. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan
Sumber yang bersifat alami Sumber yang bersifat dari manusia dan manajemen
Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya
Predator-prey Perubahan tekhnologi
Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan
Migrasi Sasaran nelayan
Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen
Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001)
Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan
perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak
sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap
tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan
(Charles 2001).
Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles
(2001) yaitu:
1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random
(acak).
2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam:
a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan
terjadinya miss-management.
b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan.
c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi.
a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan.
b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan.
Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan
dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang
ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka
keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang
dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman
mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk
memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang
serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi.
Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004),
yaitu :
1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko
kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi
besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan
dengan nilai-nilai finansial.
2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko
tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan intuisi, tingkat keahlian
dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya.
Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat
memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi
acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian
yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis
statistik dengan menggunakan time-series data.
b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan
pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan.
2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa
teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam
kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu:
a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan
perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang
c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.
2.10. Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi
sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam
rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan
perikanan lainnya (FAO 1997). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah
menjamin bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melampaui kemampuan
populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan
produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suadi 2006).
Menurut Sinaga (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut
perhatian penuh dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap
berbagai stok ikan. Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan
persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan
terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan
yang ada semakin menipis.
Pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan
para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan
mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta
menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2011.
Lokasi penelitian berada di Teluk Banten, pengumpulan data dilakukan di
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi
Banten. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan kurisi
yang ditangkap di Teluk Banten (Gambar 5) dan didaratkan di PPN Karangantu,
sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan selama penelitian berlangsung.
Gambar 5. Peta lokasi penelitian Teluk Banten
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, penggaris dengan
ketelitian 1 milimeter, timbangan dengan ketelitian 0,1 gram, kamera untuk
dokumentasi, alat tulis, alat bedah, dan wadah. Bahan yang digunakan yaitu es batu
dan ikan kurisi (Nemipterus furcosus) yang didaratkan di PPN Karangantu.
3.3. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data
sekunder. Proses pengumpulan data primer yang dilakukan meliputi pengukuran
panjang dan bobot ikan contoh dengan interval waktu setiap dua minggu sekali.
Ikan kurisi yang digunakan sebagai ikan contoh didapatkan dari beberapa nelayan
yang ada. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara randomsampling yang mengandung unsur purposive sampling, dari beberapa keranjang nelayan ikan contoh diambil secara acak, akan tetapi karena dalam satu keranjang terdapat lebih
dari satu spesies apabila terambil spesies yang bukan merupakan objek penelitian
maka tidak dilakukan pengukuran. Panjang ikan kurisi yang diukur adalah panjang
total, yaitu panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan bagian mulut sampai ujung
terakhir bagian ekornya menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 milimeter.
Bobot ikan kurisi yang ditimbang adalah berat basah total menggunakan timbangan
digital dengan ketelitian 0,1 gram. Data tingkat kematangan gonad (TKG) diperoleh
dengan cara membedah ikan kemudian melihat secara visual tingkat kematangan
gonadnya.
Selain itu juga dilakukan wawancara kepada para nelayan ikan kurisi sebagai
data pendukung. Informasi yang dikumpulkan pada saat wawancara antara lain unit
penangkapan (kapal, jumlah anak buah kapal dan alat tangkap) serta daerah
penangkapan ikan kurisi. Data sekunder di dapat dari arsip PPN Karangantu Teluk
Banten dan Dinas Perikanan Provinsi Banten. Data sekunder yang dikumpulkan
meliputi data hasil tangkapan, data harga ikan kurisi, alat tangkap yang digunakan
nelayan kurisi, serta kondisi umum daerah penangkapan.
3.4. Analisis Data
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis data primer dan
data sekunder. Analisis data primer digunakan untuk menduga pertumbuhan,
mortalitas, dan laju eksploitai ikan kurisi. Analisis data distribusi frekuensi panjang
digunakan untuk melihat sebaran panjang ikan kurisi yang tertangkap di PPN
Karangantu, Teluk Banten. Metode Bhattacharya di gunakan untuk
mengidentifikasi kelompok ukuran ikan kurisi. Setelah itu metode Ford Walford
melalaui data yang dipisah berdasarkan kelompok ukuran ikan kurisi. Analisis
penduga mortalitas dan laju eksploitasi dengan kurva tangkapan yang dilinearkan
berdasarkan data posisi panjang. Analisis hubungan panjang bobot digunakan untuk
menduga pola pertumbuhan ikan kurisi.
3.4.1. Nisbah kelamin
Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan
betina yang ada pada suatu perairan. Untuk mencari nisbah kelamin dapat
menggunakan rumus berikut:
(1)
P adalah proporsi ikan (jantan atau betina), n adalah jumlah ikan (jantan atau betina)
dan N adalah jumlah total ikan (jantan dan betina).
3.4.2.Sebaran frekuensi panjang
Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah
panjang total dari ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu. Tahapan untuk
menganalisa frekuensi panjang adalah sebagai berikut :
a) Menentukan banyaknya kelas dengan menggunakan rumus :
∑
kelas=1+3.32lognKeterangan :
n = Jumlah keseluruhan data
b) Menentukan lebar selang kelas dengan menggunakan rumus :
∑
−c) Menentukan frekuensi setiap kelas dan memasukkan frekuensi masing-masing
kelas dengan memasukkan panjang dan masing-masing ikan contoh pada selang
kelas yang telah ditentukan.
Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang
menggambarkan pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran
distribusi kelas panjang menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada (kohort). Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari
satu kohort.
3.4.3. Identifikasi kelompok ukuran
Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi
panjang ikan kurisi. Data frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan salah
satu metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan
menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan
baku.
Boer (1996) menyatakan jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i
(i = 1, 2, …, N), µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah
simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam
kelompok umur ke-j (j= 1, 2, …, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk
menduga {µj, σj, pj) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood
function) dengan persamaan sebagai berikut :
∑
= yang merupakan fungsi kepekatan
peluang sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj. xi
merupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan
cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj, pj sehingga
diperoleh dugaan µj, σj, pj yang akan digunakan untuk menduga parameter
pertumbuhan.
Dalam penggunaan metode NORMSEP sangat diperhatikan nilai indeks
separasi. Menurut Hasselblad (1996), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark
kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu
pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan. Apabila indeks
separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok
ukuran karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok ukuran tersebut.
3.4.4. Tingkat kematangan gonad
Pengamatan gonad ikan contoh dapat menduga jenis kelamin ikan. Tingkat
kematangan gonad ialah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah
ikan itu memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad (TKG) pada ikan ada dua
cara yaitu secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk,
warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan isi gonad. Sedangkan secara
histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik. Berikut ini adalah tabel
penentuan TKG ikan menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 1979) yang
disajikan pada Tabel 3 :
Tabel 3. Penentuan TKG secara morfologi
TKG Betina Jantan
I
Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta
permukaannya licin
Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh
II
Ukuran ovari lebih besar, warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas
Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu
III Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar
IV
Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut
Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal
3.4.5. Pertumbuhan
3.4.5.1. Hubungan panjang bobot
Analisis pola pertumbuhan ikan kurisi menggunakan hubungan panjang bobot
masing-masing spesies dengan rumus sebagai berikut (Effendie 2002):
W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah intersep (Perpotongan kurva hubungan
panjang berat dengan sumbu y), b adalah penduga pola pertumbuhan panjang-bobot.
Untuk mendapatkan persamaan linear atau garis lurus di gunakan persamaan
sebagai berikut :
Log W = Log a + b Log L (4)
Untuk mendapatkan parameter a dan b digunakan analisis regresi dengan Log
W sebagai ‘y’ dan Log L sebagai ‘x’, maka dapat didapatkan regresi sebagai berikut:
y = b0 + b1x (5)
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial) dengan hipotetis :
H0 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik
H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik
Hipotesis yang digunakan adalah bila b = 3 maka disebut isometrik (pola
pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot). Jika b < 3 disebut
allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan). Dan bila b > 3 allometrik
positif (pola pertumbuhan bobot lebih dominan).
1 0 1
sb b b
thitung = − (6)
(7)
b1 adalah Nilai b (dari hubungan panjang bobot), b0 adalah 3, Sb1 adalah simpangan
Bandingkan nilai thitung dan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%.
Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan kurisi, maka kaidah
keputusan yang diambil adalah :
thitung > ttabel : tolak hipotesis H0
thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis H0
3.4.5.2. Plot Ford Walford (L∞, K dan t0)
Plot Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam
menduga parameter pertumbuhan dari persamaan Von Bartalanffy dengan interval
waktu pengambilan contoh yang tetap. Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan
Von Bertalanffy (King 1995).
Lt = L∞ (1 - exp[-K(t-t0)])
Lt = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] (8)
atau,
L∞ - Lt = L∞ exp[-K(t-t0)] (9)
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang
maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per
satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t
sama dengan t+1, persamaaan menjadi:
Lt+1 = L∞ (1 - exp[-K(t+1-t0)])
Lt+1 = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] exp[-K] (10)
sehingga,
Lt+1 - Lt = L∞ - L∞ exp[-K(t-t0)] exp-K - L∞ - L∞exp[-K(t-t0)]
Lt+1 - Lt = L∞exp[-K(t-t0)] (1 - exp[-K]) (11)
Persamaan (9) didistribusikan kedalam persamaan (11) sehingga di peroleh
persamaan berikut.
atau,
Lt+1 = Lt + L∞ (1 - exp[-K]) - Lt + Lt exp[-K]
Lt+1 = L∞ (1 - exp[-K]) + Lt exp[-K] (13)
Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan t+1 yang merupakan
panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984).
Persamaan (13) dapat diduga dengan persamaan regresi linear y = b0 + b1x, jika Lt
sebagai absis (x) di plotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk
kemiringan (slope) sama dengan exp[-K] dan titik potong dengan absis sama dengan L∞(1-exp[-K]). Nilai K dan L∞ di peroleh dengan cara sebagai berikut:
K = -ln (b) (14)
dan
L∞ = a / (1 - b) (15)
Umur secara teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara
terpisah menggunakan persamaan empiris pauly sebagai berikut.
Log (-t0) = 0,3922 - 0,2752 (Log L∞) – 1,038 (Log K) (16)
3.4.5.3. Faktor kondisi
Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam
angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Faktor kondisi
menunjukkan keadaan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup
maupun reproduksi. Jika pertumbuhan ikan kurisi termasuk pertumbuhan allometrik
(b≠3), maka nilai faktor kondisi (K) dapat dihitung dengan rumus berikut (Effendie 2002):
K = W/ aLb (17)
K adalah faktor kondisi, W adalah bobot ikan contoh (gram), L adalah panjang
ikan contoh (mm), a dan b adalah konstanta regresi. Jika pertumbuhan bersifat
allometrik positif umumnya ikan diamati lebih gemuk dibandingkan ikan yang
bertipe allometrik negatif.
3.4.6. Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan
berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
Langkah 1 : mengkonversikan data panjang ke data umur dengan mengunakan
inverse persamaan Von Bertalanffy.
(18)
Langkah 2 : menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh
dari panjang L1 ke L2 (Δt)
(19)
Langkah 3 : menghitung (t+Δt/2)
(20)
Langkah 4 : menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang
dikonversikan ke panjang
(21)
persamaan di atas adalah bentu persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z
Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris
Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut.
M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimsotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan
pertumbuhan Von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan air (0C)
Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :
F = Z – M (24)
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F)
terhadap mortaliatas total (Z) (Pauly 1984) :
Z
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland
(1971) in Pauly (1984) adalah:
Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5 (26)
3.4.7. Model produksi surplus
Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in (Sparre & Venema 1999). Dapat diketahui melalui persamaan berikut :
1) Hubungan antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f), Y = af + bf 2
2) Upaya penangkapan optimum (fmsy) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol atau dy/df = 0 :
Y = af + bf 2 Y’= a + 2bf Y’= 0
3) Maximum sustainable yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan maksimum lestari diperoleh dengan mensubtitusikan nilai upaya
penangkapan optimum (fmsy) ke persamaan pada butir 1 di atas, Y = af + bf 2
MSY = (a) fmsy+ (b) fmsy2 MSY = -a2/4b
Pada model ini, untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya
penangkapan (f) terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) dan untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b pada rumus di atas digunakan analisis
regresi dengan melinierkan model Schaefer seperti berikut:
Y = af + bf 2 CPUE (Y/f) = a+bf
Rumus yang digunakan untuk mengetahui CPUE adalah sebagai berikut:
CPUE = Catch / Effort
Keterangan :
CPUE : Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit) Catch : Hasil tangkapan per tahun (kg)
Effort : Upaya penangkapan per tahun (unit)
3.4.8. Analisis ketidakpastian hasil tangkapan
Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana
terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam menghasilkan tangkapan. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan
Kaidah Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Kaidah
Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) , yaitu:
Jika kejadian-kejadian B1, B2, …, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah
dari ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang
kejadian A yang bersifat P(A) ≠ 0 :
(27)
untuk r = 1,2,…,k
Metode Bayes merupakan metode yang baik dalam pembelajaran berdasarkan
data training, dengan menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Metode
Bayes hanya bisa digunakan untuk persoalan klasifikasi dengan supervised learning dan data-data kategorikal. Metode Bayes memerlukan pangetahuan awal untuk
mengambil suatu keputusan. Tingkat keberhasilan metode ini sangat tergantung
pada pengetahuan awal yang diberikan.
Dalam menganalisis ketidakpastian ini digunakan alat bantu berupa perangkat
lunak Crystall ball yang berbasis aplikasi spreadsheet suite untuk model prediksi, ramalan, simulasi dan optimasi. Menggunakan Crystall ball dapat membuat keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten
Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai
nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan adalah jaring
dogol, bagan, jaring insang, payang dan lain-lain. Kapal yang digunakan umunya
berukuran 6 GT. Hasil tangkapan utama nelayan di Teluk Banten berupa ikan
pepetek, cumi-cumi, kurisi, kembung, kuniran dan lain-lain. Berikut ini disajikan
gambar hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu
(Gambar 6).
Gambar 6. Hasil tangkapan per jenis ikan dominan tahun 2010 di PPN Karangantu Sumber : Ditjen-Tangkap (DKP 2011)
Ikan kurisi di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu sebagian
besar ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring dogol/gardan.
Pengoperasian alat tangkap ini dengan menggunakan alat bantu mesin gardan
berkekuatan sekitar 6 PK untuk menarik jaring. Daerah penangkapannya di utara
Pulau Panjang yang memiliki dasar pantai pasir berlumpur dengan kedalaman diatas
16 meter. Penangkapan ikan dilakukan pada siang hari, dari jam 7 pagi hingga jam 5
sore. Ikan kurisi akan didistribusikan ke daerah Serang, Cilegon, Tangerang dan
4.2. Kondisi Perairan Teluk Banten
Pada wilayah pantai utara Jawa, ada beberapa teluk yang dimanfaatkan untuk
kegiatan perikanan tangkap, salah satunya adalah Teluk Banten yang terletak di
Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Perairan Teluk Banten secara geografis terletak
pada 05º49’45”–06º02’00” LS dan 106º03’00”–106º16’00” BT. Teluk Banten ini
terletak pada jarak 60 km sebelah Barat kota Jakarta. Kawasan ini mempunyai
panjang pantai sekitar 22 km dan luasnya kira-kira 150 km2 dengan berbagai variasi
kedalaman mulai dari 0,2 m sampai 9 m, oleh sebab itu Teluk Banten termasuk
perairan yang dangkal dengan turbiditas tinggi (Tiwi 2004). Dasar perairan pada
umumnya lumpur berpasir. Pada teluk terdapat beberapa pulau kecil dengan
beberapa yang terbentuk dari gosong karang. Pulau Panjang merupakan pulau yang
terbesar, yang berpenduduk dan pulau yang terluar yaitu Pulau Kali (Nuraini 2004).
Sebagian besar kawasan teluk bagian barat yang meliputi Kecamatan Kepuh
dan Bojonegara dimanfaatkan untuk kawasan industri dan Pelabuhan Bojonegara.
Kawasan teluk bagian selatan yang meliputi Kecamatan Kasemen dan Karangantu
dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan seperti kawasan industri, perumahan
nelayan, pertambakan dan pelabuhan perikanan Karangantu yang berdampingan
dengan pelabuhan niaga kayu. Bagian timur dari teluk ini yang meliputi Kecamatan
Tirtayasa dan Pontang merupakan kawasan peruntukan pertambakan dan sebagian
dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi 2004).
Perairan teluk dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim
timur. Musim barat merupakan musim hujan, pada bulan Desember hingga Februari
curah hujan tertinggi. Musim timur merupakan musim kemarau. Musim
penangkapan di Teluk Banten ini yaitu pada musim timur (Nuraini 2004).
Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat
dipengaruhi oleh Laut Jawa. Kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya
salinitas menurun pada musim hujan. Pengamatan pada tahun 1998-1999,
menunjukkan bahwa suhu air di Teluk Banten berkisar antara 28–31,5 ºC dengan
rata-rata 29,5 ºC. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28–33,8 ppm,
salinitas rendah (<20 ppm) terjadi pada musim hujan Januari-Februari di perairan