• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di perairan Teluk Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian stok dan analisis ketidakpastian hasil tangkapan sumberdaya ikan terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di perairan Teluk Jakarta"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

Nemipterus balinensis

TELUK JAKARTA

FITRIYANTI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859)di Perairan Teluk Jakarta adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

Fitriyanti

(3)

RINGKASAN

Fitriyanti. C24070017. Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di Perairan Teluk Jakarta. Dibimbing oleh Mennofatria Boer dan Achmad Fachruddin.

Ikan terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) merupakan salah satu sumberdaya ikan ekonomis penting yang terdapat di perairan Teluk Jakarta. Statistik perikanan KKP 2010 menunjukkan penangkapan ikan terisi terus meningkat yang dikhawatirkan dapat mengancam kelestriannya. Untuk melakukan upaya pengeloalaan perikanan diperlukan informasi yang mendukung, salah satunya adalah kajian stok ikan terisi. Penelitian ini bertujuan untuk menduga pertumbuhan, laju mortalitas dan eksploitasi, analisis ketidakpastian serta menentukan alternatif pengelolaan ikan terisi.

Penelitian dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan contoh dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober sampai 18 Desember 2010. Bahan yang digunakan adalah ikan terisi, data panjang dan bobot ikan serta hasil wawancara. Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan digital, penggaris dengan ketelitian 1 mm, alat bedah, alat tulis, dan alat dokumentasi. Ikan contoh dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya untuk mengetahui nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, dan faktor kondisi. Data panjang bobot dianalisis dengan regresi linier sederhana untuk mengetahui pola pertumbuhannya, metode NORMSEP digunakan untuk menganalisis kelompok ukuran panjang ikan, laju mortalitas dan laju eksploitasi dianalisis menggunakan kurva tangkapan yang dilinierkan. Sedangkan analisis ketidakpastian menggunakan data sekunder dari TPI Cilincing menggunakan metode Monte-Carlo. Ikan terisi yang diamati dari lima kali pengambilan contoh mencapai 472 ekor, terdiri dari 248 ekor ikan jantan dan 162 ekor ikan betina. Komposisi jumlah ikan betina dan ikan jantan menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 : 1,5.

Laju mortalitas total (Z) ikan terisi jantan dan betina di perairan Teluk Jakarta adalah 0,23 dan 0,28 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,14 dan 0,10 per tahun, sehingga diperoleh mortalitas penangkapan ikan terisi sebesar 0,09 dan 0,18 per tahun. Laju eksploitasi ikan terisi di Teluk Jakarta mencapai 38% untuk ikan jantan dan 63% untuk ikan betina. Nilai ini menunjukkan bahwa tekanan penangkapan terhadap stok ikan terisi di perairan Teluk Jakarta cukup tinggi.

Peluang ketidakpastian hasil tangkapan ikan terisi dapat diduga berdasarkan analisis hasil tangkapan. Faktor yang mempengaruhinya antara lain keadaan cuaca dan upaya penangkapan yang masih tradisonal. Pengaturan upaya penangkapan (trip) dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan perikanan stok ikan terisi di Teluk Jakarta sangat dibutuhkan dalam proses penangkapan ikan terisi. Untuk itu diperlukan kerjasama antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengelola, masyarakat khususnya nelayan serta pihak yang terkait untuk memahami pentingnya kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan ke depannya.

(4)

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN

HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN TERISI

(

Nemipterus balinensis

Bleeker, 1859)

DI PERAIRAN

TELUK JAKARTA

FITRIYANTI C24070017

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Skripsi : Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di Perairan Teluk Jakarta

Nama : Fitriyanti

N I M : C24070017

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Pembmbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer DEA Dr. Ir. H. Achmad Fachruddin, M.Si NIP. 19570928 19810 3 1006 NIP. 19640327 198903 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(6)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

skripsi dengan baik. Skripsi berjudul “Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Terisi (Nemipterus balinensis Bleeker, 1859) di Perairan Teluk Jakarta”, disusun berdasarkan penelitian di TPI Cilincing yang dilaksanakan pada akhir Oktober hingga akhir Desember 2010 dan merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Namun demikian penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2011

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian sampai dengan selesai.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Bapak Dr. Ir. Ahmad

Fachruddin, M.Si masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, dan masukan yang diberikan selama penyusunan skripsi.

3. Bapak Ir. Zairion, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Bapak Ir. Agustinus M.

Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan program S1 atas saran, nasehat dan masukan yang diberikan selama penyusunan skripsi.

4. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang

memberikan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan.

5. Para staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar, Bagian Manajemen

Sumberdaya Perikanan (Mas Dedi dan Mba Maria) serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Keluarga tercinta: Ayah, Ibu, bang Heru dan semua keluarga besar atas doa,

kasih sayang, nasehat, kesabaran, semangat, dukungan serta motivasinya.

7. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing atas izin dan bantuan sehingga penulis

dapat melaksanakan penelitian.

8. Austin dan Eka selaku partner penelitianatas bantuan dan kerjasamanya,

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau pada tanggal 14 Mei 1989 yang merupakan anak satu-satunya dari pasangan Bapak H. Musthopa Amin, MA (almarhum) dan ibu Hj. Naziroh S.Ag. Pendidikan formal dimulai di Taman Kanak-kanak Pertiwi I Tembilahan (1995), SDN 028 Tembilahan (1995-2001). Setelah menyelesaikan pendidikan dasar penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 2 Tembilahan

(2001-2004), dan menempuh pendidikan menengah atas di SMAN 2 Tembilahan (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti kegiatan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada periode 2008/2009 dan 2009/2010, anggota Paduan Suara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Endeavour), anggota Sanggar Tari Saman Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Penulis mendapat kesempatan dan kepercayaan menjadi Asisten Mata Kuliah Dasar-dasar Pengkajian Stok Ikan (2010/2011).

(9)

DAFTAR ISI

2.11. Analisis Ketidakpastian ... 10

2.12. PengelolaanSumberdaya Perikanan ... 14

3. METODE PENELITIAN

3.3.1. Sebaran frekuensi panjang ... 17

3.3.2. Plot Ford-Walford(L∞, K) dan t0 ... 17

3.3.3. Hubungan panjang bobot ... 19

3.3.4. Mortalitas dan laju eksploitasi ... 20

3.3.5. Nisbah kelamin ... 21

3.3.6. Faktor kondisi ... 22

(10)

3.3.8. Analisis ketidakpastian ... 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Terisi ... .. 25

4.2. Kondisi Umum Perairan Utara Teluk Jakarta ... 26

4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Terisi ... 27

4.4. Parameter Pertumbuhan L, K dan t0 ... 30

4.5. Hubungan Panjang Bobot ... 35

4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ... 38

4.7. Faktor Kondisi ... 40

4.8. Tingkat Kematangan Gonad ... 42

4.9. Nisbah Kelamin ... 43

4.10. Analisis Ketidakpastian ... 44

4.11. Implikasi Bagi Pengelolaan Ikan Terisi ... 47

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 49

5.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan... 11 2. Penentuan TKG secara morfologi... 23 3. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di

perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 28 4. Sebaran kelompok ukuran ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina

di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... . 33 5. Sebaran kelompok ukuran ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan

di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... . 33

6. Parameter pertumbuhan model Von Bertalanffy (K, L∞, t0) ikan terisi

(Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di

TPI Cilincing periode Oktober – Desember 2010... 34 7. Hubungan panjang bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di

perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 36 8. Hubungan panjang bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di

perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 36 9. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan terisi (Nemipterus balinensis)

jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 39 10. Tingkat kematangan gonad ikan terisi (Nemipterus balinensis) di

perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 42

11. Nisbah kelamin ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk

Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing 43

12. Nisbah statistik volume produksi ikan terisi (Nemipterus balinensis) di

(12)

DAFTAR GAMBAR

5. Peta lokasi penangkapan ikan terisi (Nemipterus balinensis) 15 6. Komposisi ikan utama hasil tangkapan dogol yang didaratkan di TPI Cilincing pada tahun 2010 ... 25

7. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 29

8. Kelompok ukuran ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 31

9. Kelompok ukuran ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing ... 32

10. Kurva pertumbuhan ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Oktober – Desember 2010 ... 35

11. Hubungan panjang-bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing... 38

12. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang... 39

13. Faktor kondisi ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing ... 41

14. TKG ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing ... 42

15. Grafik produksi ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing ... 44

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan... 54

2. Data panjang dan bobot ikan contoh selama penelitian ... 55

3. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi betina pengambilan contoh II ... 60

4. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi betina pengambilan contoh III ... 62

5. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi betina pengambilan contoh IV... 64

6. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi betina pengambilan contoh V ... 66

7. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi jantan pengambilan contoh II ... 68

8. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi jantan pengambilan contoh III ... 70

9. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi jantan pengambilan contoh IV... 72

10. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi jantan pengambilan contoh V ... 74

11. Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L, K) dan t0 ... 76

12. Perhitungan pendugaan mortalitas total, mortalitas alami, mortalitas tangkapan, dan laju eksploitasi ... 77

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teluk Jakarta merupakan salah satu lokasi dari kegiatan perikanan tangkap yang ada di Jakarta. Teluk Jakarta terletak pada 5°48’30” - 6°10’30” Lintang Selatan (LS) dan 106°33’ - 107°03’ Bujur Timur (BT). Secara geografis Teluk Jakarta sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan

Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu (Agnitasari 2006). Jumlah armada penangkapan ikan di Teluk Jakarta mengalami peningkatan, namun hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi ikan yang dihasilkan. Hal tersebut menggambarkan produksi ikan mengalami penurunan sehingga terjadi upaya penangkapan berlebih (overfishing). Kegiatan perikanan di perairan Teluk Jakarta terdiri dari perikanan pelagis, demersal, dan karang. Salah satu pelabuhan perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan adalah Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing. Hasil tangkapan para nelayan di Teluk Jakarta, khususnya yang didaratkan di TPI Cilincing adalah ikan demersal seperti, ikan pepetek, ikan teri, ikan kuniran, dan ikan terisi.

Ikan terisi disukai untuk dikonsumsi dan tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Ikan terisi memiliki nilai jual yang relatif tinggi serta berperan penting dalam pemenuhan gizi. Dilihat dari potensi ekonomi dan ekologi ikan terisi maka diperlukan adanya pengkajian informasi dasar untuk menunjang upaya pengelolaan sumber daya ikan terisi sehingga tercipta penangkapan yang lestari dan ramah lingkungan.

Melihat potensi ekonomis yang tinggi dari ikan terisi diperlukan pengkajian

(15)

1.2. Perumusan Masalah

Hasil penangkapan ikan terisi di perairan Teluk Jakarta mengalami fluktuasi sepanjang tahun. Pelaku usaha perikanan terisi terus meningkatkan upayanya dalam pemanfaatan sumberdaya ini demi mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Kondisi tekanan penangkapan yang tinggi, hasi tangkapan yang terus meningkat dan belum adanya kegiatan budidaya dapat mengakibatkan menurunnya jumlah populasi ikan terisi di perairan Teluk Jakarta serta terjadinya upaya tangkap lebih (overfishing).

Oleh karena itu, dilakukan studi tentang pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara optimum dan berkelanjutan. Penelitian ini difokuskan pada kajian stok sumberdaya ikan terisi dengan batasan daerah penangkapan di perairan Teluk Jakarta. Studi yang dilakukan diharapkan dapat memberi solusi terhadap beberapa masalah seperti pertumbuhan dan tingkat mortalitas ikan terisi di perairan Teluk Jakarta. Selain itu, analisis ketidakpastian juga sangat diperlukan dalam mengkaji stok ikan yang dieksploitasi. Sehingga ikan terisi ini dapat dimanfaatkan secara optimum dan berkelanjutan. Diagram kajian stok ikan yang dieksploitasi disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram kajian stok yang dieksploitasi Sumber: Modifikasi Kings 1995

Rekrutmen Mortalitas Penangkapan

Pertumbuhan Stok ikan yang

dieksploitasi

Mortalitas alami

(16)

1.3. Tujuan

Penelitian mengenai kajian stok ikan terisi di TPI Cilincing bertujuan untuk: 1. Mengetahui pertumbuhan berdasarkan sidik frekuensi panjang

2. Menduga laju eksploitasi berdasarkan mortalitas alami dan mortalitass

penangkapan

3. Mengkaji analisis ketidakpastian volume hasil tangkapan ikan terisi 4. Merumuskan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan terisi

1.4. Manfaat

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Terisi

Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Ordo : Percomorphi

Famili : Nemipteridae

Genus : Nemipterus

Spesies : Nemipterus balinensis Bleeker, 1859 Nama Lokal : Terisi (TPI Cilincing)

Nama Indonesia : Kurisi

Gambar 2. Ikan terisi (Nemipterus balinensis) Sumber : Dokumentasi pribadi (2010)

Ikan terisi (Nemipterus balinensis) termasuk kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting dan tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Kepala ikan terisi tidak terdapat duri, bagian depannya tidak bersisik,

(18)

punggung abu-abu keunguan dengan warna kuning di tengah-tengahnya demikian

juga sirip dubur. Sirip ekor kuning sedikit kegelapan. Sirip perut dan dada putih sedikit kecokelatan.

Menurut Richardson (1846) in www.fishbase.org (2010), jumlah betina ikan terisi akan lebih besar dibanding jantan hampir setiap tahun kecuali bulan Desember dan januari. Bentuk makroskopik dari ovarium terindikasi bahwa banyak ovarium yang belum dewasa dari bulan September-Januari, dan ovarium dewasa dari bulan Februari-Juli. Pemeriksaan histologik menunjukkan bahwa oocyte dewasa tampak pada bulan Juli. Masa pemijahan ikan terisi terlihat dari bulan Februari-Juli, dengan puncaknya pada bulan April-Mei. Panjang ikan terisi ini dapat mencapai 30 cm, umumnya 15-25 cm. Ikan terisi dipasarkan dalam bentuk ikan segar dan ikan asin kering serta harganya relatif murah. Penangkapan ikan terisi dapat menggunakan alat tangkap seperti pukat tarik, payang, dogol, pukat cincin, dan jaring insang.

2.2. Sebaran Ikan Terisi

Ikan terisi merupakan ikan demersal. Pada umumnya, di perairan Indonesia

ikan terisi berasosiasi dengan karang dan hidup di perairan dengan kedalaman 180– 270 meter. Ikan terisi tersebar luas di Indo-Pasifik mulai dari Hawai hingga bagian utara Australia timur hingga selatan Jepang. Persebaran ikan terisi di Indonesia meliputi perairan sekitar Ambon, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (Pardjoko 2001 in Priyanie 2006). Peta sebaran ikan terisi

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta sebaran ikan terisi (Nemipterus balinensis) ( : Wilayah sebaran ikan terisi)

(19)

2.3. Alat Tangkap Ikan Terisi

Ikan terisi hidup di dasar perairan dan ditangkap menggunakan alat tangkap dogol. Jaring dogol ditujukan untuk menangkap ikan demersal. Konstruksi umum jaring dogol terdiri tiga bagian yaitu sepasang sayap (wing) dibagian depan, bagian tengah (body/towing warp), dan kantong (cond end). Bagian pangkal depan (sayap) dibiarkan terbuka dan berfungsi sebagai mulut jaring. Sedangkan ujung bagian belakang (kantong) diikat sehingga saat dioperasikan ikan yang telah tertangkap tidak keluar kembali. Dalam pengoperasiannya, jaring ini dilengkapi dengan siwakan (otter board) yang berfungsi sebagai pembuka mulut (Widodo & Widodo 2003) (Gambar 4).

Gambar 4. Alat tangkap dogol Sumber: JICA 2009

2.4. Sebaran Frekuensi Panjang

Pengkajian stok ikan (fish stock assessment) pada intinya memerlukan data komposisi umur. Pada perairan yang beriklim sedang, data komposisi umur biasanya dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan, yaitu sisik dan otolith. Sedangkan pada perairan beriklim tropis, dalam pengkajian stok dilakukan analisis sejumlah data frekuensi panjang yang dikonversi ke dalam kelompok umur. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan kelompok umur berdasarkan kelompok-kelompok panjang

(20)

Analisa frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran

ikan yang didasarkan kepada anggapan bahwa frekuensi panjang individu dalam suatu spesies dengan kelompok umur yang sama akan bervariasi mengikuti sebaran normal (Effendi 2002). Ketika suatu contoh besar yang tidak bias diambil dari stok ikan, panjang masing-masing individu bisa diukur dan digambarkan sebagai diagram frekuensi panjang. Jika pemijahan terjadi sebagai suatu peristiwa diskret, hal ini akan menghasilkan kelompok umur atau kelas berbeda yang dibuktikan dengan puncak atau modus pada sebaran frekuensi panjang (King 1995).

2.5. Pertumbuhan

Pertumbuhan individu adalah pertambahan ukuran panjang atau bobot. Menurut Effendie (2002), pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia serta faktor kualitas air. Sedangkan faktor dalam yang mempengaruhi antara lain sex, keturunan, umur, parasit dan penyakit. Pada umumnya faktor dalam lebih sulit dikontrol daripada faktor luar. Di daerah tropis makanan merupakan faktor yang paling penting daripada suhu perairan karena suhu di daerah tropis

berada dalam batas kisaran optimum untuk pertumbuhan.

Pertumbuhan untuk populasi adalah pertambahan jumlah. Berdasarkan Effendie (2002), ukuran populasi dapat dinyatakan sebagai jumlah ikan atau bobot total hasil estimasi. Peningkatan dalam jumlah ikan ditentukan oleh pertumbuhan badan individu ikan dalam populasi dan penambahan dari generasi baru ikan-ikan

muda.

(21)

2.6. Hubungan Panjang Bobot

Hubungan panjang bobot digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan. Analisis pertumbuhan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Bobot dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang bobot digunakan untuk menduga bobot dari panjang atau sebaliknya. Selain itu juga, dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 2002).

Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Menurut Effendie (2002), terdapat dua pola pertumbuhan, yaitu pertumbuhan isometrik dan allometrik. Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang menyatakan bahwa pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan allometrik yaitu pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Pertumbuhan dikatakan allometrik positif (b>3) jika pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan allometrik negatif (b<3) jika pertambahan panjang

lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendie 2002).

2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Pada suatu lingkungan perairan banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya individu ikan dalam suatu perairan. Suatu stok ikan yang telah

dieksploitasi perlu diketahui tingkat laju mortalitasnya. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti penyakit, stres, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999).

(22)

Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai suatu kelompok umur yang akan

ditangkap selama ikan tersebut hidup. Laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik alami maupun karena faktor penangkapan. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).

2.8. Faktor Kondisi

Faktor kondisi dapat menggambarkan kemontokan ikan. Ikan yang berukuran kecil memiliki faktor kondisi yang lebih rendah dan akan meningkat ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi disebabkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan (Effendie 2002).

Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Effendie 2002).

2.9.Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan

reproduksi dengan yang tidak (Affandi et al. 2007).

(23)

oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat

pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain disebabkan oleh perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut, sedangkan faktor eksternal meliputi makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang memiliki jenis kelamin berbeda dan tempat memijah yang sama (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berlangsung menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).

2.10. Nisbah Kelamin

Reproduksi merupakan mata rantai dalam siklus hidup ikan yang berhubungan dengan mata rantai lain untuk menjamin kelangsungan hidup spesies ikan (Nikolsky 1963). Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Untuk beberapa spesies ikan, perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Dalam kelangsungan hidup suatu populasi, kondisi nisbah kelamin yang ideal adalah 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui

karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Tetapi di alam sering terjadi penyimpangan dari kondisi ideal, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, serta perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).

Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini

dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.

2.11. Analisis Ketidakpastian

(24)

sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Perikanan sebagai suatu sistem yang kompleks memiliki sifat ketidakpastian meliputi ketidakpastian produksi, harga, dan pemilihan teknologi penangkapan. Ketidakpastian dalam sektor perikanan dapat disebabkan oleh faktor-faktor alami dari sektor perikanan tersebut maupun dari berbagai pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Permasalahan dan resiko-resiko yang terjadi dalam suatu sistem perikanan akibat dari ketidakpastian dapat mempengaruhi keberlanjutan perikanan di masa yang akan datang. Apabila tidak diatasi, maka dapat mengancam sistem perikanan tersebut (Charles 2001). Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan suatu pengelolaan yang tepat agar perikanan tetap terjaga dan termanfaatkan secara optimum. Cakupan sumber ketidakpastian sangat luas, baik dari sisi alamiah maupun sisi manusia atau manajemennya (Tabel 1).

Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan

Sumber yang bersifat alami Sumber yang bersifat dari manusia Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar

Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya korbanan

Predator-prey Perubahan tekhnologi

Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan

Migrasi Sasaran nelayan

Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen

Interaksi ikan dengan lingkungan Sumber : Charles (2001)

Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001), yaitu:

1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang

(25)

2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks

ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam:

a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan

observasi (ketidakpastian variabel perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management).

b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem

perikanan.

c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan

estimasi.

3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan.

a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat

dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan.

b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai

sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan.

Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang

ada, terutama jika nilai yang dihasilkan lebih rendah dari sebelumnya (Charles 2001). Jika nilai parameter pada model prediksi tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut.

Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat

dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004) yaitu :

(26)

2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisa yang menentukan resiko

tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan instuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya.

Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Risk Assessment (penaksiran resiko)

Penaksiran resiko digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu:

a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi

acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data.

b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan

tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan.

2. Risk Management (pengelolaan resiko)

Pengelolaan resiko merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management yaitu

menghitung resiko dengan cara memanfaatkan. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu:

a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan.

b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan

perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang

c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan

(27)

2.12. Pengeloalaan Sumberdaya Perikanan

Menurut FAO (1997) in Widodo & Suadi (2008), pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengkayaan

(enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi

bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo 2002).

Undang-undang perikanan nomor 45 tahun 2009 menyatakan pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakan hukum peraturan perundangan di bidang perikanan, oleh pemerintah dan otoritas lain diarahkan mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati dengan tujuan yang telah disepakati. Potensi sumberdaya

(28)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Desember 2010 dengan interval pengambilan contoh dua minggu (14 hari). Selanjutnya data sekunder diambil dari bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 di TPI Cilincing. Berikut ini disajikan peta lokasi daerah penangkapan ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang

didaratkan di TPI Cilincing (Gambar 5).

(29)

3.2. Metode Kerja 3.2.1. Alat dan bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan digital, penggaris dengan ketelitian 1 mm, wadah, alat bedah, alat tulis dan alat dokumentasi. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan terisi (Nemipterus

balinensis) yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing.

3.2.2.Pengumpulan data

Ikan terisi (Nemipterus balinensis) yang digunakan sebagai contoh diperoleh dari nelayan pengumpul ikan di TPI Cilincing. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengukuran panjang dan bobot ikan untuk mengetahui pola pertumbuhan individu dan pertumbuhan populasi ikan terisi. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara acak dari kapal nelayan.

Panjang ikan terisi yang diukur adalah panjang total dengan menggunakan penggaris. Panjang total adalah panjang yang diukur dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendi 1979). Bobot ikan terisi yang

diukur adalah bobot basah total dengan menggunakan timbangan digital. Menurut Busacker et al. (1990) in Syakila (2009), bobot basah total adalah bobot total jaringan tubuh ikan dan air yang terdapat di dalamnya. Untuk mengetahui jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad ikan terisi, maka dilakukan pembedahan terhadap ikan.

(30)

hingga V ikan terisi dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya dan dilihat tingkat

kematangan gonadnya (TKG). Pengambilan contoh ikan dilakukan dalam interval waktu 14 hari.

Selain itu data primer juga diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan ikan terisi di TPI Cilincing. Informasi dari hasil wawancara terhadap nelayan tersebut antara lain unit penangkapan ikan terisi, kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya penangkapan. Sedangkan data sekunder berupa data harga dan produksi hasil tangkapan ikan terisi. Data-data tersebut diperoleh dari dokumen TPI Cilincing.

3.3.Analisis Data

3.3.1. Sebaran frekuensi panjang

Panjang total ikan terisi yang didaratkan di TPI Cilincing digunakan sebagai data dalam penentuan sebaran frekuensi panjang. Untuk menganalisis data frekuensi panjang ikan terisi dilakukan tahapan-tahapan (Walpole 1993) sebagai berikut:

(a) Menentukan jumlah dan selang kelas

Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari data panjang total ikan

terisi.

(c) Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing

kelas dan panjang masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan.

Setelah distribusi frekuensi panjang ditentukan maka selang kelas yang sama diplotkan dalam sebuah grafik. Dari grafik tersebut akan terlihat pergeseran sebaran kelas panjang setiap 14 hari. Pergeseran tersebut menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada. Jika terjadi pergeseran modus sebaran frekuensi panjang maka

(31)

3.3.2. Plot Ford-Walford L∞, K dan t0

Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap (King 1995). Berikut adalah persamaan Von Bertalanffy.

Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)])

(1) atau,

(2)

Lt adalah Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t sama dengan t+1, persamaaan (3) menjadi:

Lt+1 = L∞ (1-e[-K(t+1-t0)])

(3)

sehingga,

= L∞ e-K(t-t0)[1-e-K] (4)

dengan mendistribusikan persamaan (2) ke (4), di peroleh

(5)

atau,

(32)

Persamaan (4) merupakan bentuk persamaan linear y = a + bx, dengan Lt

(sumbu x) diplotkan terhadap Lt+1 (sumbu y) sehingga garis lurus yang terbentuk akan memilki kemiringan (slope) (b) sama dengan e(-K) dan intersep (a) sama dengan L∞ (1-e[-K]).

Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1983) sebagai berikut.

Log (-t0) = -0,3922 –0,2752 (Log L∞) – 1,0380 (Log K)

3.3.3. Hubungan panjang bobot

Analisis pertumbuhan menggunakan parameter panjang dan bobot, dengan pendekatan regresi linier maka hubungan antara kedua parameter dapat dilihat dengan rumus. Korelasi parameter dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b. Analisis pola pertumbuhan ikan terisi menggunakan hubungan panjang bobot ikan dengan menggunakan persamaan (Efendie 2002) :

W= aLb

Analisa hubungan panjang bobot ikan bertujuan untuk mengetahui pola

pertumbuhan ikan di alam. Dapat ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma dan diperoleh persamaan linier sebagai berikut:

Log W= Log a + b Log L

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan log W sebagai y dan log L sebagai x, maka diperoleh persamaan regresi :

y = a + bx

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t dengan hipotesis :

(33)

H1: b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik, dimana:

1. b < 3 menunjukkan bahwa hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan daripada pertambahan bobot) 2. b > 3 menunjukkan bahwa hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik

positif (Pertambahan bobot lebih dominan daripada pertambahan panjang)

Keterangan :

b1 = Nilai b (dari hubungan panjang bobot) b = 3

Sb1 = Galat baku koefisien b

Nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%.

Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan terisi, maka kaidah keputusan yang diambil adalah:

thitung>ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung<ttabel : gagal tolak hipotesis nol

3.3.4. Mortalitas dan laju ekspoitasi

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Langkah 1 : Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy

t(L) = t0 – (

Langkah 2 : Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (∆t)

∆t = t(L2) – t(L1) =(

(34)

t = t0– (

Langkah 4 : Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan dan dikonversikan ke panjang

ln = c – Z * t

Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z

Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut :

Ln M = -0,0152 - 0,2790 * Ln L∞ + 0,6543 * Ln k + 0,4630 * Ln T

Keterangan :

M : Mortalitas alami

L∞ : Panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy K : Koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy

: Rata-rata suhu permukaan air (°C)

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :

F = Z – M

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

E =

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum (Pauly 1984) adalah:

Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5

3.3.5. Nisbah kelamin

(35)

P = 100%

N n

Keterangan :

P = Proporsi ikan (jantan atau betina) n = Jumlah jantan atau betina

N = Jumlah total ikan (jantan dan betina)

3.3.6. Faktor kondisi

Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Sebelum ikan dianalisis, ikan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin yang sama. Ikan yang mempunyai jenis kelamin sama dilihat koefisien pertumbuhannya (b). Setelah pola pertumbuhan panjang tesebut diketahui, maka dapat ditentukan faktor kondisi dari ikan tersebut yaitu (Effendie 2002) :

a) Jika pertumbuhan ikan isometrik (b=3) maka digunakan persamaan berikut:

K = W.102 / L3

b) Jika pertumbuhan yang ditemukan adalah model pertumbuhan allometrik maka persamaan yang digunakan adalah :

K = W / aLb

Faktor kondisi dapat naik atau turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan ikan, khususnya ikan betina. Faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Apabila ikan cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, maka ikan mengalami penurunan faktor produksi.

3.3.7. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh. Kemudian penentuan TKG menggunakan klasifikasi kematangan gonad yang telah ditentukan berdasarkan Tabel 2 (Effendie 1979). TKG ditentukan secara morfologi berdasarkan

(36)

Tabel 2. Penentuan TKG secara morfologi

TKG Betina Jantan

I

Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin

Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh

II

Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas

Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu

III

Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat

Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar

IV

Ovari makin besa, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut

Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal

V

Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan

Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi

Sumber: Modifikasi Cassie in Effendie 1979

3.3.8. Analisis Ketidakpastian

Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam mengahasilkan tangkapan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan

teorema Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Teorema Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) yaitu :

Jika kejadian-kejadian B1, B2,…, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah antara gabungan ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat P(A) ≠ 0.

Analisis ketidakpastian menggunakan alat bantu berupa program Crystal ball

yang merupakan suatu program perangkat lunak analisis data statistik yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Aplikasi Crystal ball ini biasa digunakan dalam

(37)

Carlo, dan optimasi. Program Crystal ball dapat membantu menganalisis resiko dan

ketidakpastian yang terkait dengan model spreadsheet suite. Program Crystal ball

(38)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Perikanan Terisi

Ikan yang didaratkan di TPI Cilincing terdiri dari berbagai jenis ikan pelagis dan demersal, dan didominasi oleh ikan demersal. Ikan terisi merupakan salah satu ikan demersal yang didaratkan di TPI Cilincing dengan daerah penangkapan di perairan Pulau Damar. Musim puncak penangkapan ikan terisi terjadi pada bulan Februari sampai Juli.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat diketahui bahwa ikan terisi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap dogol yang memiliki ukuran

mata jaring berkisar 1 inch sampai 1,5 inch. Alat tangkap dogol dioperasikan dengan bantuan kapal motor yang berukuran 5-6 GT. Ikan terisi termasuk hasil tangkapan utama kelima yang didaratkan di TPI Cilincing (Gambar 6) dengan menggunakan alat tangkap dogol.

Gambar 6. Komposisi ikan utama hasil tangkapan dogol yang didaratkan di TPI Cilincing pada tahun 2010

Sumber: Dinas Perikanan & Kelautan Provinsi DKI Jakarta

(39)

Harga rata-rata ikan terisi dalam bentuk segar adalah Rp. 8000 per kg. Sedangkan

harga ikan terisi dalam bentuk olahan bervariasi tergantung hasil dan biaya produksi.

4.2. Kondisi Umum Perairan Utara Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak pada 5°54’40” - 6°00’40” Lintang Selatan (LS) dan

106°40’45” - 107°01’19” Bujur Timur (BT) dan garis lintang 5°48’30” LS hingga

6°10’30” LS yang membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung

Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai ± 89 km. Panjang garis yang

menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut. Secara administratif, perairan Teluk Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah barat (Agnitasari 2006).

Menurut Rochyatun dan Rozak (2007), perairan Teluk Jakarta dikategorikan sebagai perairan pantai (Coastal water) mempunyai peranan yang sangat besar dimana berbagai sektor telah memanfaatkan wilayah ini, baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor industri, pertambangan, perhubungan, perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Kegiatan berbagai sektor yang sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas perairannya. Selain itu, Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai yang melewati kota Jakarta, diperkirakan ada 9 muara sungai yang membawa limbahnya baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang cukup berat. Selain itu, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi DKI Jakarta. Nelayan yang terdapat di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing

merupakan nelayan tradisional yang menggunakan kapal 5 - 6 GT sehingga hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan kapal besar. Jenis-jenis ikan yang umumnya ditangkap oleh nelayan TPI Cilincing adalah ikan terisi, kuniran, teri, pari, pepetek, samgeh dan ikan rucah.

Karakteristik dasar perairan Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir, dan kerikil. Lumpur banyak terdapat di bagian pinggir dan tengah teluk, sedangkan pasir semakin menonjol di bagian laut lepas. Adanya data FAO (1998) in

(40)

merkuri (Hg) dalam sedimen Teluk Jakarta adalah 0,60 mg/kg, sedangkan

konsentrasi alami dan baku mutu maksimalnya adalah 0,50 mg/kg. Menurut hasil penelitian Apriadi 2005 pada titik contoh sejauh 3000 m dari muara sungai, kandungan logam berat di Teluk Jakarta diantaranya timbal (Pb) berkisar antara 0,01-0,06 mg/l, sedangkan kandungan krom (Cr) berkisar antara 0,01-0,03 mg/l. Nilai tersebut telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 untuk biota laut, yaitu masing-masing sebesar 0,01 mg/l.

Teluk Jakarta termasuk wilayah yang memiliki curah hujan agak rendah dan menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson bertipe iklim D, dengan nisbah antara rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah sebesar 60-100%. Suhu rata-rata berkisar antara 260C pada bulan Februari sampai 270C pada bulan Oktober (KPPL-DKI dan PPLH-IPB 1997 in Zainab 2001).

4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Terisi

Ikan terisi yang diamati selama penelitian pada bulan Nopember dan Desember 2010 berjumlah 472 ekor. Pada pengambilan contoh bulan Oktober

frekuensi ikan terisi yang dominan pada selang kelas 109-115 mm. Pada pengambilan contoh II awal bulan Nopember frekuensi ikan terisi betina dan jantan yang dominan masing-masing terdapat pada selang kelas 144-150 mm dan 109-155 mm. Pada pengambilan contoh III akhir bulan Nopember frekuensi ikan terisi baik betina maupun jantan dominan terdapat pada selang kelas 95-101 mm. Pada

(41)

Tabel 3. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Selang

Keterangan : B= betina; J= jantan; T= total

Perubahan frekuensi panjang yang dialami ikan merupakan salah satu parameter dalam menentukan pertumbuhannya. Analisis frekuensi panjang ditentukan dengan cara mengelompokkan ikan dalam selang kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas untuk mengetahui umur ikan. Analisis frekuensi

(42)
(43)

Berdasarkan Gambar di atas diketahui bahwa ukuran ikan terisi betina lebih

besar dibandingkan ukuran ikan terisi jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963) bahwa pada umumnya ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok dan perbedaan ukuran ini dicapai ikan jantan lebih cepat matang gonad sehingga jangka hidupnya lebih singkat. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu keterwakilan contoh yang diambil dan kemungkinan terjadinya tekanan penangkapan yang tinggi.

Ikan berukuran besar dengan jumlah sangat sedikit diduga adalah induk ikan terisi. Ukuran ikan terbesar yang muncul pada umumnya berhubungan dengan induk yang paling “penting” (Lagler et al. 1977). Berdasarkan Gambar 7 terlihat adanya pergeseran sebaran ukuran panjang. Pergeseran selang ukuran panjang ikan yang banyak tertangkap ke selang ukuran yang lebih kecil dapat dijadikan sebagai indikasi adanya rekruitment pada interval waktu pengamatan. Untuk menentukan musim pemijahan dan rekruitmen ikan terisi di Teluk Jakarta perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Pertumbuhan ikan terisi dalam interval waktu yang singkat dapat diduga memiliki laju pertumbuhan yang relatif kecil.

Menurut Effendie (2002), faktor dalam adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan. Dengan mengasumsikan ikan contoh yang diambil sudah mewakili populasi yang ada maka ukuran panjang total maksimum yang lebih kecil dapat disebabkan oleh adanya tekanan

penangkapan yang tinggi. Ukuran panjang ikan terkecil yang tertangkap pada pengambilan contoh adalah 74 mm. Hal tersebut disebabkan karena mesh size jaring dogol yang digunakan 1 - 1,5 inch. Ukuran mata jaring tersebut memungkinkan ukuran panjang terkecil dan ukuran panjang maksimal ikan yang diamati dapat tertangkap.

4.4. Parameter Pertumbuhan L, K dan t0

(44)

kelompok umur menunjukkan bahwa ikan terdiri dari beberapa kelompok umur

seperti disajikan pada Gambar 8 untuk ikan betina dan Gambar 9 untuk ikan jantan.

(45)
(46)

Hasil analisis kelompok umur di atas memiliki nilai tengah, simpangan baku,

dan indeks separasi seperti disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Dalam pemisahan kelompok umur ikan indeks separasi sangat penting diperhatikan. Menurut Hasselblad (1966), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999), jika I<2 maka pemisahan di antara dua kelompok umur tidak mungkin dilakukan karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok umur. Nilai simpangan baku yang semakin besar menunjukkan bahwa ikan yang semakin tua mempunyai ukuran semakin beragam.

Tabel 4. Sebaran kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Tanggal Nilai Tengah Simpangan Indeks

Separasi perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Tanggal Nilai Tengah Simpangan Indeks

(47)

Hasil analisis pertumbuhan menghasilkan parameter pertumbuhan antara lain

panjang maksimum secara teoritis (L∞), koefisien determinasi (K), dan umur ikan pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) (Tabel 6).

Tabel 6. Parameter pertumbuhan model Von Bertalanffy (K, L∞, t0) ikan terisi

(Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI

Cilincing periode Oktober – Desember 2010

Contoh ikan Parameter Pertumbuhan

K (per tahun) L (mm) t0 (tahun)

Jantan 0,52 217,51 -1,85

Betina 0,33 282,12 -1,08

Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy yang terbentuk untuk ikan terisi betina adalah Lt = 282,12 (1-e[-0,33(t+1,08)]) dan ikan terisi jantan Lt = 217,51 (1-e [-0,52(t+1,85)]

). Panjang total maksimum ikan terisi betina dan jantan yang tertangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing adalah 210 mm, panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan terisi. Koefisien pertumbuhan (K) ikan terisi betina dan jantan masing-masing di Teluk Jakarta adalah 0,33 dan 0,52 per tahun.

Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam meduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparee & Venema 1999). Ikan terisi jantan dan

(48)

Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Oktober – Desember 2010

Parameter pertumbuhan memegang peranan penting dalam pengkajian stok ikan dan pengelolaan perikanan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Cepatnya pertumbuhan ikan terisi pada saat muda dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola sumberdaya perikanan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan agar memperhatikan pemanfaatannya secara berkelanjutan (Suman et al. 2006).

4. 5. Hubungan Panjang Bobot

(49)

data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan

individu ikan kurisi di perairan Teluk Jakarta.

Analisis hubungan panjang dan bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta b yaitu pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan (Effendi 2002). Berdasarkan Tabel 7 diketahui hubungan panjang bobot ikan terisi jantan yang didaratkan di TPI Cilincing dari pengambilan contoh 2 sampai pengambilan contoh 5 diperoleh nilai b berkisar 2,76 - 3,05. Pertumbuhan ikan terisi jantan dari pengambilan contoh 2 sampai pengambilan contoh 4 adalah allometrik negatif, sedangkan pertumbuhan ikan terisi jantan pada pengambilan contoh 5 adalah allometrik positif. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa hubungan panjang bobot ikan terisi betina diperoleh nilai b berkisar 2,16 - 2,85. Pola pertumbuhan ikan terisi betina dari pengambilan contoh 2 sampai pengambilan contoh 5 adalah allometrik negatif. Nilai koefisien determinasi setiap pengambilan contoh baik ikan terisi jantan maupun ikan terisi betina relatif besar artinya model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya. Pola pertumbuhan ini didukung dengan uji lanjut menggunakan uji t dengan selang kepercayaan 95% terhadap nilai b.

Tabel 7. Hubungan panjang bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Pengambilan

contoh Waktu n a B R

2

keterangan

2 06 Nopember 2010 39 0,00004 2,76 94% allometrik negatif 3 20 Nopember 2010 62 0,00002 2,96 94% allometrik negatif

4 04 Desember 2010 69 0,00003 2,86 93% allometrik negatif

5 18 Desember 2010 78 0,00001 3,05 93% allometrik positif

Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

(50)

Nilai b ikan terisi secara umum berkisar antara 2,16 sampai 3,05. Perbedaan

nilai b tersebut dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati (Moutopoulus dan Stergiou 2002 in Harmiyati 2009). Selain itu faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya perbedaan nilai b selain perbedaan spesies antara lain faktor lingkungan, bedanya stok ikan dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, serta perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut.

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang dan bobot menunjukkan bahwa ikan terisi secara umum memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot (Ricker 1975). Pola pertumbuhan allometrik negatif dipengaruhi tingkat faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar dipengaruhi oleh suhu dan makanan, perbedaan spesies dan lingkungan (Effendie 2002).

Bobot dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bobot ikan pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga

bobot dari panjangnya (Effendie 2002). Pola pertumbuhan ikan terisi jantan dan betina dapat dilihat pada persamaan pertumbuhan yang disajikan pada Gambar 11. Dari persamaan tersebut diperoleh nilai b ikan terisi secara umum kurang dari 3 yang menunjukkan ikan terisi memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertambahan panjang ikan lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendi

(51)

Gambar 11. Hubungan panjang-bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

(52)

Gambar 12. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)

Hasil regresi kurva hasil tangkapan pada Gambar 12 menunjukkan nilai mortalitas total (Z). Untuk menduga mortalitas alami (M) digunakan persamaan

empiris Pauly dengan nilai suhu (T) sebesar 28,95˚C sehingga diperoleh dugaan

mortalitas dan laju eksploitasi seperti disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Parameter Nilai (per tahun)

Jantan Betina

Total (Z) 0,23 0,28

Alami (M) 0,14 0,10

Penangkapan (F) 0,09 0,17

Eksploitasi (E) 0,39 0,63

(53)

bahwa adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan terisi di perairan

Teluk Jakarta.

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang. Menurut Pauly (1980) in Spare & Venema (1999), faktor yang mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan.

Diperoleh hasil laju mortalitas total (Z) ikan terisi jantan di perairan Teluk Jakarta sebesar 0,23 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,14 per tahun. Hasil analisis data membuktikan laju mortalitas penangkapan ikan terisi jantan sebesar 0,09 per tahun. Laju mortalitas penangkapan ini lebih kecil dibandingkan laju mortalitas alaminya. Sedangkan laju mortalitas total (Z) ikan terisi betina di perairan Teluk Jakarta adalah 0,28 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,10 per tahun. Hasil data menunjukkan laju mortalitas penangkapan ikan terisi betina sebesar 0,17 per tahun. Hal ini menandakan faktor kematian ikan betina lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat

menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Spare &Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan terisi.

Laju eksploitasi ikan terisi betina di Teluk Jakarta sebesar 0,63 atau sebesar 63%. Laju eksploitasi ini dapat mewakili laju mortalitas ikan terisi di Teluk Jakarta

bahwa laju mortalitas ikan terisi telah melebihi nilai eksploitasi optimum sebesar 0,50 atau 50%. Nilai laju eksploitasi ikan terisi ini menyatakan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan terisi di perairan tersebut. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan.

4.7. Faktor Kondisi

(54)

(a) (b)

Gambar 13. Faktor kondisi ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Nilai faktor kondisi ikan terisi bervariasi untuk setiap pengambilan contoh. Pada ikan betina, faktor kondisi terbesar terdapat pada tanggal 4 Desember 2010 sebesar 2,34 dan terendah pada tanggal 6 Nopember 2010 sebesar 0,99. Untuk ikan jantan faktor kondisi tertinggi pada tanggal 6 Nopember 2010 sebesar 1,11 dan terendah pada tanggal 4 Desember 2010 sebesar 0,88 (Gambar 13).

Faktor kondisi ikan jantan dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan sebagai sumber tenaga untuk pertumbuhan dan pemijahan, sedangkan ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad (Effendie 2002). Berdasarkan faktor kondisi ikan jantan dapat terlihat bahwa ikan cenderung menggunakan cadangan

lemaknya sebagai sumber energi untuk melakukan proses pemijahan.

(55)

Effendie (1979) menyatakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi faktor kondisi

adalah perbedaan umur, TKG, kondisi lingkungan, dan ketersediaan makanan.

4.8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad menunjukkan perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Ikan terisi yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta lebih dominan memiliki TKG 1 dan 2 pada setiap pengambilan contohnya (Tabel 10)

Tabel 10. Tingkat kematangan gonad ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Pengambilan

contoh Waktu

Jumlah ikan menurut TKG (individu)

Betina Jantan

1 2 3 4 1 2 3 4

1 06 Nopember 2010 14 7 0 0 28 11 0 0

2 20 Nopember 2010 50 0 0 0 45 15 2 0

3 2 Desember 2010 11 19 7 2 20 38 8 3

4 18 Desember 2010 15 26 10 1 27 32 11 8

Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologi. Proses pemijahan ditentukan oleh kondisi lingkungan, jika kondisi lingkungan dalam kondisi baik maka pemijahan akan berlangsung dengan baik. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan terisi betina dan jantan setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 14.

(a) (b)

Gambar

Tabel 2. Penentuan TKG secara morfologi
Gambar 6. Komposisi ikan utama hasil tangkapan dogol yang didaratkan di TPI
Tabel 3. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing
Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memberi alternatif pengelolaan sumberdaya ikan tembang yang tepat berdasarkan hasil tangkapan maksimum (MSY) dan upaya ( effort

Melihat fenomena di atas dan belum adanya perhatian terhadap potensi ikan teri di Perairan Teluk Palabuhanratu, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

Pendugaan stok sumberdaya ikan julung-julung yang berada di perairan Tagulandang digunakan model produksi, yaitu hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya

Dari kedua nilai tersebut diketahui bahwa sebagian besar ikan kurisi yang tertangkap di Perairan Teluk Banten belum dewasa dan mengalami pemijahan, karena nilai ukuran

Alokasi optimal adalah kondisi dimana sumberdaya perikanan di Perairan Teluk Palabuhanratu dapat dialokasi pada tingkat produksi yang optimal (h*), tingkat upaya yang optimal

Dari kedua nilai tersebut diketahui bahwa sebagian besar ikan kurisi yang tertangkap di Perairan Teluk Banten belum dewasa dan mengalami pemijahan, karena nilai ukuran

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam rangka pengelolaan perikanan ikan pepetek (Leiognathus equulus) yang berkelanjutan disajikan pada

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi hasil tangkapan berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan