• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELUK JAKARTA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2. TINJAUAN PUSTAKA

3.2. Metode Kerja 1. Alat dan bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan digital, penggaris dengan ketelitian 1 mm, wadah, alat bedah, alat tulis dan alat dokumentasi. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan terisi (Nemipterus

balinensis) yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing.

3.2.2.Pengumpulan data

Ikan terisi (Nemipterus balinensis) yang digunakan sebagai contoh diperoleh dari nelayan pengumpul ikan di TPI Cilincing. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengukuran panjang dan bobot ikan untuk mengetahui pola pertumbuhan individu dan pertumbuhan populasi ikan terisi. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara acak dari kapal nelayan.

Panjang ikan terisi yang diukur adalah panjang total dengan menggunakan penggaris. Panjang total adalah panjang yang diukur dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendi 1979). Bobot ikan terisi yang diukur adalah bobot basah total dengan menggunakan timbangan digital. Menurut Busacker et al. (1990) in Syakila (2009), bobot basah total adalah bobot total jaringan tubuh ikan dan air yang terdapat di dalamnya. Untuk mengetahui jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad ikan terisi, maka dilakukan pembedahan terhadap ikan.

Jumlah ikan terisi yang diambil secara acak selama penelitian berjumlah 472 ekor. Pada pengambilan contoh I tanggal 23 Oktober 2010 jumlah ikan terisi yang diambil secara acak dari dua kapal nelayan dogol berjumlah 62 ekor. Pada pengambilan contoh ikan II (6 Nopember 2010) secara acak jumlah ikan yang diambil dari dua kapal nelayan dogol berjumlah 60 ekor. Pengambilan contoh III (20 Nopember 2010) jumlah ikan yang diambil secara acak dari tiga kapal nelayan dogol berjumlah 112 ekor. Pada pengambilan contoh (IV 4 Desember 2010) jumlah ikan yang diambil secara acak dari tiga kapal nelayan dogol berjumlah 108 ekor, dan pada pengambilan contoh V (18 Desember 2010) jumlah ikan terisi yang diambil secara acak dari tiga kapal nelayan berjumlah 130 ekor. Pada pengambilan contoh II

hingga V ikan terisi dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya dan dilihat tingkat kematangan gonadnya (TKG). Pengambilan contoh ikan dilakukan dalam interval waktu 14 hari.

Selain itu data primer juga diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan ikan terisi di TPI Cilincing. Informasi dari hasil wawancara terhadap nelayan tersebut antara lain unit penangkapan ikan terisi, kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya penangkapan. Sedangkan data sekunder berupa data harga dan produksi hasil tangkapan ikan terisi. Data-data tersebut diperoleh dari dokumen TPI Cilincing.

3.3.Analisis Data

3.3.1. Sebaran frekuensi panjang

Panjang total ikan terisi yang didaratkan di TPI Cilincing digunakan sebagai data dalam penentuan sebaran frekuensi panjang. Untuk menganalisis data frekuensi panjang ikan terisi dilakukan tahapan-tahapan (Walpole 1993) sebagai berikut:

(a) Menentukan jumlah dan selang kelas

Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari data panjang total ikan terisi.

(b) Menentukan nilai tengah kelas

nilai tengah =

2

batasatas batasbawah

(c) Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dan panjang masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan.

Setelah distribusi frekuensi panjang ditentukan maka selang kelas yang sama diplotkan dalam sebuah grafik. Dari grafik tersebut akan terlihat pergeseran sebaran kelas panjang setiap 14 hari. Pergeseran tersebut menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada. Jika terjadi pergeseran modus sebaran frekuensi panjang maka terdapat lebih dari satu kelompok umur.

3.3.2. Plot Ford-Walford L, K dan t0

Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap (King 1995). Berikut adalah persamaan Von Bertalanffy.

Lt = L (1-e[-K(t-t0)])

(1) atau,

(2)

Lt adalah Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t

sama dengan t+1, persamaaan (3) menjadi:

Lt+1 = L (1-e[-K(t+1-t0)])

(3)

sehingga,

= L e-K(t-t0)[1-e-K] (4)

dengan mendistribusikan persamaan (2) ke (4), di peroleh

(5)

atau,

Persamaan (4) merupakan bentuk persamaan linear y = a + bx, dengan Lt (sumbu x) diplotkan terhadap Lt+1 (sumbu y) sehingga garis lurus yang terbentuk akan memilki kemiringan (slope) (b) sama dengan e(-K) dan intersep (a) sama dengan L (1-e[-K]).

Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1983) sebagai berikut.

Log (-t0) = -0,3922 –0,2752 (Log L∞) – 1,0380 (Log K)

3.3.3. Hubungan panjang bobot

Analisis pertumbuhan menggunakan parameter panjang dan bobot, dengan pendekatan regresi linier maka hubungan antara kedua parameter dapat dilihat dengan rumus. Korelasi parameter dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b. Analisis pola pertumbuhan ikan terisi menggunakan hubungan panjang bobot ikan dengan menggunakan persamaan (Efendie 2002) :

W= aLb

Keterangan: W = Bobot ikan L = Panjang ikan

a = Intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengan sumbu y)

b = Penduga pola pertumbuhan panjang bobot

Analisa hubungan panjang bobot ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Dapat ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma dan diperoleh persamaan linier sebagai berikut:

Log W= Log a + b Log L

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan log W sebagai y dan log L sebagai x, maka diperoleh persamaan regresi :

y = a + bx

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t dengan hipotesis :

H1: b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik, dimana: 1. b < 3 menunjukkan bahwa hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik

negatif (pertambahan panjang lebih dominan daripada pertambahan bobot) 2. b > 3 menunjukkan bahwa hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik

positif (Pertambahan bobot lebih dominan daripada pertambahan panjang)

Keterangan :

b1 = Nilai b (dari hubungan panjang bobot) b = 3

Sb1 = Galat baku koefisien b

Nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan terisi, maka kaidah keputusan yang diambil adalah:

thitung>ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung<ttabel : gagal tolak hipotesis nol

3.3.4. Mortalitas dan laju ekspoitasi

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Langkah 1 : Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy

t(L) = t0 – (

Langkah 2 : Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (∆t)

∆t = t(L2) – t(L1) =(

t = t0– (

Langkah 4 : Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan dan dikonversikan ke panjang

ln = c – Z * t

Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut :

Ln M = -0,0152 - 0,2790 * Ln L∞ + 0,6543 * Ln k + 0,4630 * Ln T Keterangan :

M : Mortalitas alami

L : Panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy K : Koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy

: Rata-rata suhu permukaan air (°C)

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :

F = Z – M

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

E =

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum (Pauly 1984) adalah:

Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5

3.3.5. Nisbah kelamin

Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina. Untuk mencari nisbah kelamin dapat menggunakan persamaan berikut:

P = 100%

N n

Keterangan :

P = Proporsi ikan (jantan atau betina) n = Jumlah jantan atau betina

N = Jumlah total ikan (jantan dan betina)

3.3.6. Faktor kondisi

Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Sebelum ikan dianalisis, ikan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin yang sama. Ikan yang mempunyai jenis kelamin sama dilihat koefisien pertumbuhannya (b). Setelah pola pertumbuhan panjang tesebut diketahui, maka dapat ditentukan faktor kondisi dari ikan tersebut yaitu (Effendie 2002) :

a) Jika pertumbuhan ikan isometrik (b=3) maka digunakan persamaan berikut: K = W.102 / L3

b) Jika pertumbuhan yang ditemukan adalah model pertumbuhan allometrik maka persamaan yang digunakan adalah :

K = W / aLb

Faktor kondisi dapat naik atau turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan ikan, khususnya ikan betina. Faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Apabila ikan cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, maka ikan mengalami penurunan faktor produksi.

3.3.7. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh. Kemudian penentuan TKG menggunakan klasifikasi kematangan gonad yang telah ditentukan berdasarkan Tabel 2 (Effendie 1979). TKG ditentukan secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, berat gonad, serta perkembangan isi gonad.

Tabel 2. Penentuan TKG secara morfologi

TKG Betina Jantan

I

Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin

Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh

II

Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas

Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu

III

Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat

Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar

IV

Ovari makin besa, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut

Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal

V

Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan

Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi

Sumber: Modifikasi Cassie in Effendie 1979

3.3.8. Analisis Ketidakpastian

Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam mengahasilkan tangkapan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan teorema Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Teorema Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) yaitu :

Jika kejadian-kejadian B1, B2,…, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah antara gabungan ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat P(A) ≠ 0.

Analisis ketidakpastian menggunakan alat bantu berupa program Crystal ball

yang merupakan suatu program perangkat lunak analisis data statistik yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Aplikasi Crystal ball ini biasa digunakan dalam bidang bisnis, penjualan atau peramalan keuangan, model prediksi, simulasi Monte

Carlo, dan optimasi. Program Crystal ball dapat membantu menganalisis resiko dan ketidakpastian yang terkait dengan model spreadsheet suite. Program Crystal ball

diharapkan dapat membuat keputusan-keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan kompetitif pada kondisi pasar yang tidak pasti (Mayangsoka 2010).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Perikanan Terisi

Ikan yang didaratkan di TPI Cilincing terdiri dari berbagai jenis ikan pelagis dan demersal, dan didominasi oleh ikan demersal. Ikan terisi merupakan salah satu ikan demersal yang didaratkan di TPI Cilincing dengan daerah penangkapan di perairan Pulau Damar. Musim puncak penangkapan ikan terisi terjadi pada bulan Februari sampai Juli.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat diketahui bahwa ikan terisi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap dogol yang memiliki ukuran mata jaring berkisar 1 inch sampai 1,5 inch. Alat tangkap dogol dioperasikan dengan bantuan kapal motor yang berukuran 5-6 GT. Ikan terisi termasuk hasil tangkapan utama kelima yang didaratkan di TPI Cilincing (Gambar 6) dengan menggunakan alat tangkap dogol.

Gambar 6. Komposisi ikan utama hasil tangkapan dogol yang didaratkan di TPI Cilincing pada tahun 2010

Sumber: Dinas Perikanan & Kelautan Provinsi DKI Jakarta

Pemasaran hasil tangkapan ikan terisi di TPI Cilincing dalam bentuk segar dan olahan. Berbagai ikan segar dan bentuk olahan dipasarkan untuk memenuhi permintaan pasar lokal maupun daerah sekitarnya. Pemasaran hasil tangkapan ikan menggunakan transportasi darat. Pemilihan transportasi darat ini digunakan karena biaya yang lebih murah dan didukung oleh sarana dan prasarana yang tersedia.

Harga rata-rata ikan terisi dalam bentuk segar adalah Rp. 8000 per kg. Sedangkan harga ikan terisi dalam bentuk olahan bervariasi tergantung hasil dan biaya produksi.

4.2. Kondisi Umum Perairan Utara Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak pada 5°54’40” - 6°00’40” Lintang Selatan (LS) dan

106°40’45” - 107°01’19” Bujur Timur (BT) dan garis lintang 5°48’30” LS hingga

6°10’30” LS yang membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung

Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai ± 89 km. Panjang garis yang menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut. Secara administratif, perairan Teluk Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah barat (Agnitasari 2006).

Menurut Rochyatun dan Rozak (2007), perairan Teluk Jakarta dikategorikan sebagai perairan pantai (Coastal water) mempunyai peranan yang sangat besar dimana berbagai sektor telah memanfaatkan wilayah ini, baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor industri, pertambangan, perhubungan, perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Kegiatan berbagai sektor yang sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas perairannya. Selain itu, Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai yang melewati kota Jakarta, diperkirakan ada 9 muara sungai yang membawa limbahnya baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang cukup berat. Selain itu, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi DKI Jakarta. Nelayan yang terdapat di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing merupakan nelayan tradisional yang menggunakan kapal 5 - 6 GT sehingga hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan kapal besar. Jenis-jenis ikan yang umumnya ditangkap oleh nelayan TPI Cilincing adalah ikan terisi, kuniran, teri, pari, pepetek, samgeh dan ikan rucah.

Karakteristik dasar perairan Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir, dan kerikil. Lumpur banyak terdapat di bagian pinggir dan tengah teluk, sedangkan pasir semakin menonjol di bagian laut lepas. Adanya data FAO (1998) in

merkuri (Hg) dalam sedimen Teluk Jakarta adalah 0,60 mg/kg, sedangkan konsentrasi alami dan baku mutu maksimalnya adalah 0,50 mg/kg. Menurut hasil penelitian Apriadi 2005 pada titik contoh sejauh 3000 m dari muara sungai, kandungan logam berat di Teluk Jakarta diantaranya timbal (Pb) berkisar antara 0,01-0,06 mg/l, sedangkan kandungan krom (Cr) berkisar antara 0,01-0,03 mg/l. Nilai tersebut telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 untuk biota laut, yaitu masing-masing sebesar 0,01 mg/l.

Teluk Jakarta termasuk wilayah yang memiliki curah hujan agak rendah dan menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson bertipe iklim D, dengan nisbah antara rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah sebesar 60-100%. Suhu rata-rata berkisar antara 260C pada bulan Februari sampai 270C pada bulan Oktober (KPPL-DKI dan PPLH-IPB 1997 in Zainab 2001).

4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Terisi

Ikan terisi yang diamati selama penelitian pada bulan Nopember dan Desember 2010 berjumlah 472 ekor. Pada pengambilan contoh bulan Oktober frekuensi ikan terisi yang dominan pada selang kelas 109-115 mm. Pada pengambilan contoh II awal bulan Nopember frekuensi ikan terisi betina dan jantan yang dominan masing-masing terdapat pada selang kelas 144-150 mm dan 109-155 mm. Pada pengambilan contoh III akhir bulan Nopember frekuensi ikan terisi baik betina maupun jantan dominan terdapat pada selang kelas 95-101 mm. Pada pengambilan contoh IV awal bulan Desember frekuensi ikan terisi betina dan jantan masing-masing dominan pada selang kelas 137-143 mm dan 130-136 mm. Pada akhir bulan Desember pengambilan contoh ikan terisi betina dan jantan masing-masing adalah 109-115 mm dan 116-122 mm. Hasil menunjukkan secara keseluruhan ukuran ikan terisi betina lebih besar dibandingkan ukuran ikan terisi jantan (Tabel 3).

Tabel 3. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Selang Kelas

Sabtu Sabtu Sabtu Sabtu Sabtu 23 Oktober 2010 6 Nopember 2010 20 Nopember 2010 4 Desember 2010 18 Desember 2010 T B J T B J T B J T B J T 74-80 1 1 1 2 0 3 3 0 0 0 0 0 0 81-87 1 0 2 2 1 0 1 0 0 0 1 0 1 88-94 0 1 1 2 2 9 11 0 0 0 0 1 1 95-101 7 2 5 7 24 21 45 1 0 1 3 4 7 102-108 7 2 8 10 6 6 12 2 1 3 0 1 1 109-115 15 3 8 11 7 10 17 5 4 9 11 9 20 116-122 7 2 3 5 2 4 6 2 13 15 6 14 20 123-129 1 2 3 5 1 1 2 5 14 19 5 6 11 130-136 7 2 3 5 7 4 11 7 15 22 2 8 10 137-143 4 1 0 1 0 0 0 8 4 12 4 11 15 144-150 3 4 2 6 0 1 1 2 6 8 7 10 17 151-157 5 1 2 3 0 0 0 1 5 6 5 6 11 158-164 2 0 1 1 0 0 0 1 2 3 1 0 1 165-171 0 0 0 0 0 1 1 1 1 2 1 0 1 172-178 0 0 0 0 0 1 1 2 0 2 1 2 3 179-185 2 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 6 186-192 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 193-199 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2 2 200-206 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 207-213 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2 1 1 2 Total 62 21 39 60 50 62 112 39 69 108 52 78 130

Keterangan : B= betina; J= jantan; T= total

Perubahan frekuensi panjang yang dialami ikan merupakan salah satu parameter dalam menentukan pertumbuhannya. Analisis frekuensi panjang ditentukan dengan cara mengelompokkan ikan dalam selang kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas untuk mengetahui umur ikan. Analisis frekuensi panjang menghasilkan fluktuasi yang menggambarkan adanya pengelompokkan modus (Gambar 7).

Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Berdasarkan Gambar di atas diketahui bahwa ukuran ikan terisi betina lebih besar dibandingkan ukuran ikan terisi jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963) bahwa pada umumnya ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok dan perbedaan ukuran ini dicapai ikan jantan lebih cepat matang gonad sehingga jangka hidupnya lebih singkat. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu keterwakilan contoh yang diambil dan kemungkinan terjadinya tekanan penangkapan yang tinggi.

Ikan berukuran besar dengan jumlah sangat sedikit diduga adalah induk ikan terisi. Ukuran ikan terbesar yang muncul pada umumnya berhubungan dengan induk yang paling “penting” (Lagler et al. 1977). Berdasarkan Gambar 7 terlihat adanya pergeseran sebaran ukuran panjang. Pergeseran selang ukuran panjang ikan yang banyak tertangkap ke selang ukuran yang lebih kecil dapat dijadikan sebagai indikasi adanya rekruitment pada interval waktu pengamatan. Untuk menentukan musim pemijahan dan rekruitmen ikan terisi di Teluk Jakarta perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Pertumbuhan ikan terisi dalam interval waktu yang singkat dapat diduga memiliki laju pertumbuhan yang relatif kecil.

Menurut Effendie (2002), faktor dalam adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan. Dengan mengasumsikan ikan contoh yang diambil sudah mewakili populasi yang ada maka ukuran panjang total maksimum yang lebih kecil dapat disebabkan oleh adanya tekanan penangkapan yang tinggi. Ukuran panjang ikan terkecil yang tertangkap pada pengambilan contoh adalah 74 mm. Hal tersebut disebabkan karena mesh size jaring dogol yang digunakan 1 - 1,5 inch. Ukuran mata jaring tersebut memungkinkan ukuran panjang terkecil dan ukuran panjang maksimal ikan yang diamati dapat tertangkap.

4.4. Parameter Pertumbuhan L, K dan t0

Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy (K dan L) diduga dengan menggunakan metode Plot Ford-Walford. Metode Ford-Walford dapat digunakan karena data diambil pada interval waktu yang tetap yaitu 14 hari. Hasil pemisahan

kelompok umur menunjukkan bahwa ikan terdiri dari beberapa kelompok umur seperti disajikan pada Gambar 8 untuk ikan betina dan Gambar 9 untuk ikan jantan.

Gambar 8. Kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Gambar 9. Kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Hasil analisis kelompok umur di atas memiliki nilai tengah, simpangan baku, dan indeks separasi seperti disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Dalam pemisahan kelompok umur ikan indeks separasi sangat penting diperhatikan. Menurut Hasselblad (1966), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999), jika I<2 maka pemisahan di antara dua kelompok umur tidak mungkin dilakukan karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok umur. Nilai simpangan baku yang semakin besar menunjukkan bahwa ikan yang semakin tua mempunyai ukuran semakin beragam.

Tabel 4. Sebaran kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Tanggal Nilai Tengah Simpangan Indeks

Separasi (mm) Baku 6 Nopember 2010 110,70 17,27 - 144,81 3,50 3,28 20 Nopember 2010 98,69 7,41 - 129,14 3,50 5,58 2 Desember 2010 107,51 6,38 - 131,79 6,99 3,63 18 Desember 2010 111,04 3,50 - 143,16 27,15 2,10

Tabel 5. Sebaran kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Tanggal Nilai Tengah Simpangan Indeks

Separasi (mm) Baku 6 Nopember 2010 78,87 3,64 - 103,51 7,46 4,44 131,23 16,35 2,33 20 Nopember 2010 97,59 10,10 - 2 Desember 2010 122,60 8,18 - 18 Desember 2010 94,01 3,50 - 114,47 5,26 4,67 138,79 8,10 3,64 183,99 11,81 4,54

Hasil analisis pertumbuhan menghasilkan parameter pertumbuhan antara lain panjang maksimum secara teoritis (L), koefisien determinasi (K), dan umur ikan pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) (Tabel 6).

Tabel 6. Parameter pertumbuhan model Von Bertalanffy (K, L, t0) ikan terisi

(Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI

Cilincing periode Oktober – Desember 2010

Contoh ikan Parameter Pertumbuhan

K (per tahun) L (mm) t0 (tahun)

Jantan 0,52 217,51 -1,85

Betina 0,33 282,12 -1,08

Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy yang terbentuk untuk ikan terisi betina adalah Lt = 282,12 (1-e[-0,33(t+1,08)]) dan ikan terisi jantan Lt = 217,51 (1-e [-0,52(t+1,85)]

). Panjang total maksimum ikan terisi betina dan jantan yang tertangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing adalah 210 mm, panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan terisi. Koefisien pertumbuhan (K) ikan terisi betina dan jantan masing-masing di Teluk Jakarta adalah 0,33 dan 0,52 per tahun.

Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam meduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparee & Venema 1999). Ikan terisi jantan dan betina masing-masing memiliki nilai koefisien pertumbuhan (K) 0,52 dan 0,33.

Pada Gambar 10 disajikan kurva pertumbuhan ikan terisi dengan memplotkan umur dan panjang teoritis ikan sampai ikan berumur 68 bulan untuk ikan terisi betina, dan untuk ikan terisi jantan berumur sampai 36 bulan. Nilai koefisien pertumbuhan berbanding terbalik dengan panjang asimtotik artinya semakin besar koefisien pertumbuhan maka panjang asimtotik ikan semakin kecil dan sebaliknya. Hal ini berarti apabila koefisien pertumbuhan ikan semakin besar maka ikan akan mati sebelum mencapai panjang maksimum.

Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Oktober – Desember 2010

Parameter pertumbuhan memegang peranan penting dalam pengkajian stok ikan dan pengelolaan perikanan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Cepatnya pertumbuhan ikan terisi pada saat muda dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola sumberdaya perikanan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan agar memperhatikan pemanfaatannya secara berkelanjutan (Suman et al. 2006).

4. 5. Hubungan Panjang Bobot

Hubungan panjang dan bobot ikan adalah parameter yang dapat digunakan untuk menganalisis pola pertumbuhan ikan atau menduga bobot melalui panjang dan sebaliknya. Bobot dianggap sebagai fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan pangkat tiga dari

Dokumen terkait