• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre &Venema 1999). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan terisi disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)

Hasil regresi kurva hasil tangkapan pada Gambar 12 menunjukkan nilai mortalitas total (Z). Untuk menduga mortalitas alami (M) digunakan persamaan

empiris Pauly dengan nilai suhu (T) sebesar 28,95˚C sehingga diperoleh dugaan

mortalitas dan laju eksploitasi seperti disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Parameter Nilai (per tahun)

Jantan Betina

Total (Z) 0,23 0,28

Alami (M) 0,14 0,10

Penangkapan (F) 0,09 0,17

Eksploitasi (E) 0,39 0,63

Berdasarkan Tabel 9, laju mortalitas total (Z) ikan terisi jantan yang mencapai 0,23 dan laju mortalitas alami (M) mencapai 0,14 serta laju mortalitas penangkapan (F) mencapai 0,09 dapat digunakan untuk menghitung laju eksploitasi, yaitu mencapai 39%, yang berarti jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena faktor alam maupun faktor penangkapan sebesar 39%. Sedangkan laju mortalitas ikan terisi betina mencapai 0,28 dengan laju mortalitas alami sebesar 0,10 dan laju mortalitas penangkapan sebesar 0,17, maka diperoleh laju eksploitasi ikan terisi betina sebesar 63%. Nilai ini membuktikan

bahwa adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan terisi di perairan Teluk Jakarta.

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang. Menurut Pauly (1980) in Spare & Venema (1999), faktor yang mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan.

Diperoleh hasil laju mortalitas total (Z) ikan terisi jantan di perairan Teluk Jakarta sebesar 0,23 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,14 per tahun. Hasil analisis data membuktikan laju mortalitas penangkapan ikan terisi jantan sebesar 0,09 per tahun. Laju mortalitas penangkapan ini lebih kecil dibandingkan laju mortalitas alaminya. Sedangkan laju mortalitas total (Z) ikan terisi betina di perairan Teluk Jakarta adalah 0,28 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,10 per tahun. Hasil data menunjukkan laju mortalitas penangkapan ikan terisi betina sebesar 0,17 per tahun. Hal ini menandakan faktor kematian ikan betina lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Spare &Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan terisi.

Laju eksploitasi ikan terisi betina di Teluk Jakarta sebesar 0,63 atau sebesar 63%. Laju eksploitasi ini dapat mewakili laju mortalitas ikan terisi di Teluk Jakarta bahwa laju mortalitas ikan terisi telah melebihi nilai eksploitasi optimum sebesar 0,50 atau 50%. Nilai laju eksploitasi ikan terisi ini menyatakan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan terisi di perairan tersebut. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan.

4.7. Faktor Kondisi

Faktor kondisi merupakan keadaan atau kemontokan ikan yang didasarkan pada panjang dan bobot. Faktor kondisi dapat naik atau turun akibat adanya indikasi dari musim pemijahan khususnya bagi ikan betina. Berikut disajikan grafik faktor kondisi ikan terisi pada Gambar 13.

(a) (b)

Gambar 13. Faktor kondisi ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Nilai faktor kondisi ikan terisi bervariasi untuk setiap pengambilan contoh. Pada ikan betina, faktor kondisi terbesar terdapat pada tanggal 4 Desember 2010 sebesar 2,34 dan terendah pada tanggal 6 Nopember 2010 sebesar 0,99. Untuk ikan jantan faktor kondisi tertinggi pada tanggal 6 Nopember 2010 sebesar 1,11 dan terendah pada tanggal 4 Desember 2010 sebesar 0,88 (Gambar 13).

Faktor kondisi ikan jantan dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan sebagai sumber tenaga untuk pertumbuhan dan pemijahan, sedangkan ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad (Effendie 2002). Berdasarkan faktor kondisi ikan jantan dapat terlihat bahwa ikan cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi untuk melakukan proses pemijahan.

Nilai faktor kondisi baik ikan betina maupun jantan mengalami fluktuasi. Peningkatan faktor kondisi disebabkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan (Effendie 2002). Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000). Umumnya ikan jantan lebih aktif dalam mencari makan, sehingga energinya lebih banyak digunakan untuk mencari makan.

Effendie (1979) menyatakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi faktor kondisi adalah perbedaan umur, TKG, kondisi lingkungan, dan ketersediaan makanan.

4.8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad menunjukkan perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Ikan terisi yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta lebih dominan memiliki TKG 1 dan 2 pada setiap pengambilan contohnya (Tabel 10)

Tabel 10. Tingkat kematangan gonad ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Pengambilan

contoh Waktu

Jumlah ikan menurut TKG (individu)

Betina Jantan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 06 Nopember 2010 14 7 0 0 28 11 0 0 2 20 Nopember 2010 50 0 0 0 45 15 2 0 3 2 Desember 2010 11 19 7 2 20 38 8 3 4 18 Desember 2010 15 26 10 1 27 32 11 8

Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologi. Proses pemijahan ditentukan oleh kondisi lingkungan, jika kondisi lingkungan dalam kondisi baik maka pemijahan akan berlangsung dengan baik. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan terisi betina dan jantan setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 14.

(a) (b)

Gambar 14. TKG ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Selama penelitian, ikan terisi yang diperoleh memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) I, II, III dan IV. Setiap pengambilan contoh persentase tingkat kematangan gonad ikan terisi berbeda-beda. Ikan terisi yang memiliki TGK IV baik jantan maupun betina diperoleh pada pengambilan contoh ke-4 dan ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu tersebut mendekati masa pemijahan yaitu bulan Februari hingga Juli. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sift- sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, dan arus) (Tampubolon 2008).

4.9. Nisbah Kelamin

Pada suatu stok sumberdaya ikan yang telah dieksploitasi, terdapat perbedaan antara jumlah jantan dan jumlah betina. Dari 410 ekor ikan terisi

(Nemipterus balinensis) menunjukkan komposisi ikan terisi jantan dan betina

berdasarkan pengambilan contoh. Hasil pengambilan contoh ikan terisi diperoleh 162 ekor ikan terisi betina dan 248 ekor ikan jantan. Hasil analisis nisbah kelamin ikan terisi tiap pengambilan contoh terdapat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nisbah kelamin ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Pengambilan

Waktu Nisbah Jenis Kelamin (%)

Contoh Jantan Betina

2 6 November 2010 65 35

3 20 November 2010 55 45

4 4 Desember 2010 64 36

5 18 Desember 2010 60 40

Selama pengambilan contoh diperoleh jumlah ikan jantan dan betina masing-masing sebanyak 248 ekor dan 162 ekor. Komposisi jumlah ikan betina dan ikan jantan menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 :1.5. Hal ini menyatakan bahwa populasi ikan jantan lebih banyak dari pada ikan betina, karena pola adaptasi pertumbuhan ikan jantan lebih kuat dibandingkan ikan betina. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan ikan terisi. Selain

itu, ketidakseimbangan tersebut juga disebabkan oleh perbedaan umur karena kematangan gonad yang pertama kali (Yustina 2002). Dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, diharapkan perbandingan ikan jantan dengan ikan betina berada dalam kondisi yang seimbang (1:1) (Purwanto et al 1986 in

Affandi et al. 2007).

4.10. Analisis ketidakpastian

Pengambilan data sekunder untuk periode Februari 2010 hingga Februari 2011 menunjukkan bahwa produksi ikan terisi di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing berfluktuasi (Gambar 15).

Gambar 15. Grafik produksi ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Berdasarkan Gambar 15, pada hari ke-91 sampai hari ke-121 (waktu pengambilan contoh) jumlah hasil tangkapan juga berfluktuasi. Semakin tinggi pertumbuhan, faktor kondisi dan tingkat kematangan gonad maka hasil tangkapan ikan terisi semakin tinggi pula. Fluktuasi terhadap hasil tangkapan ikan terisi yang didaratkan di TPI Cilincing juga sangat dipengaruhi oleh penangkapan yang dilakukan oleh nelayan di TPI Cilincing.

Berbeda dengan produksi ikan terisi, harga ikan terisi tidak mengalami fluktuasi (Rp. 8000,00). Hal ini dapat disebabkan pada penentuan harga yang tidak

dipengaruhi oleh faktor alam, melainkan oleh manusia itu sendiri. Penentuan harga ikan terisi dilihat berdasarkan kondisi ikan serta perlakuan yang diberikan terhadap ikan. Apabila ikan terisi dalam kondisi baik, maka harga ikan akan semakin mahal. Pada harga tidak dilakukan analisis ketidakpastian.

Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kegiatan perikanan tangkap disebabkan adanya ketidakpastian yang dapat berasal dari sumber-sumber ketidakpastian secara alami maupun bersumber dari manusia. Fluktuasi hasil tangkapan dan harga ikan terisi merupakan dua faktor yang memberikan pengaruh besar bagi industri perikanan tangkap dan pengelolaan berkelanjutan.

Analisis ketidakpastian dapat dianalisis dengan simulasi Monte-Carlo. Hasil analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan terisi dsajikan pada Gambar 17.

Crystal Ball Student Edition Not for Commercial Use

Frequency Chart .000 .007 .015 .022 .029 0 7.25 14.5 21.75 29 8.25 14.27 20.29 26.32 32.34 1,000 Trials 9 Outliers Forecast: produksi

Gambar 17. Diagram frekuensi hasil tangkapan ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Hasil analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan terisi memperlihatkan grafik yang menyerupai kurva sebaran normal. Sebaran normal ini menunjukkan terjadinya ketidakpastian penangkapan ikan terisi. Selain itu ketidakpastian penangkapan juga dapat terlihat dari hasil perhitungan secara statistik dari nilai rata- rata dan simpangan baku. Hasil perhitungan secara statistik dapat terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nisbah statistik volume produksi ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Statistik Deskriptif Rata-rata 20,16 Nilai Tengah 20,17 Modus --- Simpangan Baku 4,71 Ragam 22,15 Kemiringan 0,06 Kurtosis 2,92 Koefisien ragam 0,23 Minimum 4,68 Maximum 35,74 Jarak 31,05 Galat baku 0,15

Hasil perhitungan statistik pada Tabel 12 diperoleh simpangan baku sebesar 0,15. Rata-rata produksi per hari yang diperoleh sebanyak 20,16 kg dengan fluktuasi produksi ikan terisi per hari sebesar 4,71 kg. Simpangan baku yang didapatkan lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ketidakpastian tangkapan terhadap ikan terisi dari perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing memiliki kemungkinan yang cukup tinggi untuk terjadi. Selain itu nilai koefisien keragaman mencapai 0,23 dengan kurtosis sebesar 2,29. Nilai kurtosis yang tinggi menunjukkan grafik sebaran normal semakin landai menandakan volume produksi yang dihasilkan semakin bervariasi. Apabila grafik membentuk sebaran normal, maka terdapat suatu ketidakpastian pada produksi ikan terisi.

Hasil tangkapan dapat dipengaruhi oleh kajian stok ikan terisi. Ikan terisi dengan pola pertumbuhan allometrik negatif cenderung memiliki berat yang lebih ringan, karena makanan yang masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk melakukan pertumbuhan dan perkembangan. Tingkat pertumbuhan ini menunjukkan ikan masih kecil dan belum matang gonad sehingga sesuai untuk dilakukan penangkapan dibandingkan ikan terisi dengan pola pertumbuhan allometrik positif, karena diduga sedang melakukan pematangan gonad. Walaupun demikian, tidak semua fase pola pertumbuhan allometrik negatif baik untuk dilakukan penangkapan.

Hasil analisis menunjukkan ikan terisi memiliki nilai b yang sangat mendekati 3 (Tabel 7 dan Tabel 8), maka ikan terisi tersebut sedang menuju proses persiapan matang gonad sehingga akan lebih baik jika ikan terisi tidak ditangkap sampai ikan bereproduksi.

Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim penangkapan, kemampuan biologis, cuaca, daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan, armada dan jumlah armada penangkap ikan, perilaku nelayan serta teknologi atau sarana lain yang mendukung keberhasilan kegiatan penangkapan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan volume hasil tangkapan sumberdaya perikanan yang ditangkap dapat berubah dari waktu ke waktu.

Dokumen terkait