• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Stok Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) di Perairan Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Stok Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) di Perairan Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km2dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 km2. Di dalan perairan tersebut terdapat keanekaragaman sumberdaya ikan laut yang melimpah (Ditjen Tangkap-DKP 2010).

Menurut Handani (2002), sumberdaya ikan laut di Indonesia

dikelompokkan menjadi sumberdaya ikan pelagis kecil (termasuk didalamnya

ikan kembung lelaki, ikan layang, ikan tembang, dan ikan selar), ikan pelagis

besar (termasuk didalamnya ikan tongkol, ikan tuna, dan ikan cakalang), dan

sumberdaya ikan demersal. Sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan

salah satu sumberdaya perikanan yang cukup melimpah dan banyak ditangkap

untuk dijadikan konsumsi masyarakat (Merta et al. 1998 in Suyedi 2001). Ikan pelagis umumnya hidup di daerah neritik dan membentuk schooling yang berfungsi sebagai konsumen antara produsen dengan ikan-ikan besar dalam food chain.

Sumberdaya ikan pelagis penyebarannya terutama di perairan dekat pantai,

dimana terjadi proses kenaikan massa air laut (upwelling) karena makanan utamanya adalah plankton. Sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang

sangat besar sehingga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang cukup

melimpah di perairan Indonesia (Mallawa 2006).

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) sebagai salah satu jenis sumberdaya ikan pelagis kecil memiliki peranan yang penting bagi produksi

perikanan laut di kawasan Teluk Jakarta yang memiliki potensi cukup besar. Ikan

kembung lelaki biasanya hidup di wilayah dekat pantai dan membentuk

gerombolan besar. Daerah penyebarannya di perairan pantai Indonesia dengan

konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa dan Selat Malaka.

Ikan kembung lelaki cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu

(2)

vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan

suhu, faktor hidrografis dan salinitas (Widyantoro 2009).

Ikan kembung lelaki merupakan salah satu sumberdaya yang memiliki

nilai ekonomis penting, dimana ikan kembung lelaki banyak ditangkap untuk

konsumsi dan pemenuhan kebutuhan protein masyarakat DKI Jakarta pada

khususnya. Berdasarkan Data Perikanan DKI Jakarta tahun 2010, produksi ikan

kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) Teluk Jakarta yang didaratkan di PPI Kamal Muara sejak tahun 2002 hingga tahun 2010, merupakan salah satu ikan

dominan yang tertangkap di daerah perairan Teluk Jakarta dan mengalami

fluktuasi jumlah produksi tiap tahun berikutnya. Produksi ikan kembung lelaki

tahun 2002 sebesar 9.28 ton berbanding data produksi terakhir pada tahun 2010

sebanyak 11.68 ton, terdapat gejala penurunan jumlah produksi ikan kembung

lelaki per tahunnya. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya ancaman terhadap stok

sumberdaya ikan kembung lelaki, sehingga perlu adanya pengelolaan perikanan

yang tepat sehingga sumberdaya ikan kembung lelaki dapat tetap lestari dan dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Sifat dasar dari sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property), yang pemanfaatannya dapat digunakan pada waktu yang bersamaan oleh lebih dari satu individu atau satuan ekonomi (open access). Sifat dasar inilah yang memudahkan keluar masuknya individu atau pelaku

usaha dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan. Mengingat sumberdaya

ikan memiliki sifat yang terbatas dan dapat rusak maka perlu dikelola untuk

menjamin bahwa sumberdaya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan

bertanggung jawab.

Kegiatan penangkapan ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) di daerah Teluk Jakarta mengalami fluktuasi sepanjang tahun. Sejak tahun 2002

hingga saat ini, ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) menjadi salah satu ikan dominan yang tertangkap di daerah perairan Teluk Jakarta. Pelaku usaha

perikanan kembung lelaki terus meningkatkan upayanya dalam pemanfaatan

(3)

Berdasarkan data statistik perikanan DKI Jakarta tahun 2002-2010, diketahui

produksi ikan kembung lelaki yang didaratkan di PPI Kamal Muara cenderung

menurun, sedangkan alat tangkap payang yang digunakan dalam operasi

penangkapan ikan kembung lelaki secara umum meningkat jumlahnya seperti

terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data produksi dan upaya penangkapan ikan kembung lelaki tahun 2002 hingga 2010 di PPI Kamal Muara (Data Perikanan DKI Jakarta 2010)

Tahun Produksi (ton) Upaya (unit payang)

2002 9.28 71

2003 8.98 71

2004 11.24 76

2005 9.67 88

2006 10.60 110

2007 10.55 110

2008 7.66 134

2009 6.50 170

2010 11.68 175

Hal ini mengindikasikan bahwa di Teluk Jakarta terjadi gejala penurunan

populasi sumberdaya ikan kembung lelaki yang disebabkan tangkap lebih

(overfishing), dimana upaya tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan semakin besar sehingga hasil tangkapannya menjadi lebih sedikit (prinsip

bioekonomi).

Oleh karena itu maka dilakukan suatu studi dalam rangka pengelolaan

sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan, dimana dalam penelitian ini

difokuskan pada kajian stok sumberdaya ikan kembung lelaki dengan batasan

daerah penangkapan perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di PPI Kamal Muara.

Studi yang dilakukan diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan seperti

bagaimana pola pertumbuhan dan tingkat mortalitas sumberdaya ikan kembung

lelaki di perairan Teluk Jakarta. Selain itu studi ini juga diharapkan dapat

menduga model pengelolaan perikanan kembung lelaki yang tepat berdasarkan

(4)

penangkapan sumberdaya ikan kembung lelaki diperairan Teluk Jakarta sehingga

dapat ditentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status stok ikan kembung lelaki

melalui pendugaan beberapa parameter stok dibawah ini:

1) Mengetahui parameter dinamika populasi ikan kembung lelaki di perairan

Teluk Jakarta seperti koefisien pertumbuhan von Bertalanffy, pola

pertumbuhan, serta laju mortalitas dan eksploitasi.

2) Menduga tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) sumberdaya ikan kembung lelaki di perairan Teluk Jakarta.

3) Menentukan upaya optimum atau effort optimum dari kegiatan penangkapan sumberdaya ikan kembung lelaki di perairan Teluk Jakarta.

4) Menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau TAC (Total Allowable Catch) sumberdaya ikan kembung lelaki di perairan Teluk Jakarta.

Berdasarkan Gambar 1, sumberdaya perikanan di kawasan Teluk Jakarta

salah satunya merupakan sumberdaya ikan kembung lelaki. Permintaan pasar

yang tinggi terhadap ikan kembung lelaki mengalami peningkatan setiap tahunnya

sehingga mengakibatkan ancaman terhadap stok ikan kembung lelaki di Teluk

Jakarta yang terlihat dalam Tabel 1, mengalami tren penurunan produksi.

Ancaman terhadap stok ini diakibatkan oleh penangkapan yang belum terkendali

dan belum teratur, sehingga mengakibatkan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan

kembung lelaki yang berlebihan. Berdasarkan asumsi diatas, perlu dilakukan

rencana pengelolaan dan studi hasil tangkap perikanan kembung lelaki sehingga

dihasilkan suatu dugaan serta informasi yang digunakan untuk pengelolaan

sumberdaya ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta kedepannya sehingga

(5)

Gambar 1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kembung lelaki

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi biologi

perikanan kembung lelaki seperti parameter dinamika populasi diantaranya

hubungan panjang bobot, mortalitas dan status stok sumberdaya ikan kembung

lelaki serta memberikan informasi yang berguna sebagai bahan pertimbangan

dalam pengambilan keputusan dan kebijakan mengenai pengelolaan dan

pengembangan perikanan kembung lelaki di perairan Teluk Jakarta.

Permintaan pasar tinggi

Pengaturan penangkapan dan pengelolaan Stok Ikan Kembung Lelaki

yang menurun

Upaya penangkapan yang tinggi

Mengancam kelestarian sumberdaya ikan kembung lelaki

Penangkapan yang tidak terkendali dan belum diatur

Pendugaan potensi dan status stok melalui parameter dinamika populasi

(6)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Biologis dan Ekologis Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurtaCuvier 1817)

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984):

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Subordo : Scombroidea

Famili : Scombridae

Genus :Rastrelliger

Spesies :Rastrelliger kanagurta(Cuvier 1817)

Gambar 2. Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurtaCuvier 1817) (Dokumentasi pribadi)

Ikan kembung (Rastrelligerspp) dapat dibedakan menjadi 3 spesies yaitu

Rastrelliger kanagurta, Rastrelliger brachysoma, dan Rastrelliger neglectus

(7)

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(Sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan periode pemijahan di Teluk

Jakarta dan Laut Jawa terjadi dalam dua periode yaitu musim timur mulai Juni,

Juli, hingga Agustus dan periode musim barat pada Februari hingga April

(Burhanuddin 1984).

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki ciri-ciri morfologi sebagai berikut : kepala lebih panjang dibandingkan dengan tebal tubuh, rahang

sebagian tersembunyi, tertutup oleh tulang lakrimal yang memanjang hingga tepi

rongga mata, bukaan insang sangat panjang, terlihat ketika mulut sedang terbuka,

memiliki kantung renang, memiliki sirip punggung pertama berjari-jari keras

IX-XI; sirip punggung pertama berjari-jari lemah 13+5; finlet pada sirip anal

11-12+5; serta finlet pada sirip dada 19-22; V, 1+5.

Ikan kembung lelaki dalam keadaan hidup berwarna keemasan pada

bagian punggung, sedangkan dalam keadaan mati berwarna garis kegelapan pada

bagian punggung dan tanda hitam dekat batas bawah sirip dada; sirip punggung

berwarna kekuningan dengan corak hitam, sirip ekor dan sirip dada berwarna

kekuningan. Daerah penyebaran ikan kembung lelaki di perairan pantai Indonesia

dengan konsentrasi terbesar di perairan Laut Jawa, Kalimantan, Sumatera Barat,

dan Selat Malaka.

Ikan kembung lelaki hidup di perairan pantai dan tersebar di wilayah

Indo-Pasifik barat dengan suhu perairan kurang lebih 170C. Ikan kembung lelaki dewasa banyak ditemukan di lepas pantai dan pesisir yang dalam. Ikan ini

memakan plankton dan biasa ditemukan bergerombol di kolom perairan.

Ikan kembung lelaki cenderung berenang mendekati permukaan air pada

waktu malam hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan

vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan

suhu, faktor hidrografis dan salinitas air laut . Ikan kembung lelaki biasanya dijual

dalam bentuk segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin sepertipeda

yang lebih tahan lama. Ikan kembung lelaki yang masih kecil juga sering

(8)

2.2. Alat Tangkap Ikan Kembung Lelaki

Alat tangkap ikan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1985

merupakan sarana dan perlengkapan atau benda lainnya yang dipergunakan untuk

menangkap ikan. Ikan kembung lelaki dapat tertangkap menggunakan alat

tangkap pukat udang (high opening bottomtrawl), pancing (handline), jaring insang (gill net), jaring angkat (lift net) dan pukat cincin (purse seine) (Moazzam

et al.2005).

Berdasarkan data yang diperoleh, payang merupakan alat tangkap yang

dominan digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan kembung lelaki di PPI

Kamal Muara (Instalasi Riset Perikanan Teluk PPI Kamal Muara, 2010). Alat

tangkap jaring payang merupakan pukat kantong yang digunakan untuk

menangkap ikan pelagis (pelagic fish).

Menurut Monintja (1991) in Irnawati (2004), jaring pada payang terdiri dari sebuah kantong berukuran besar, dua buah sayap, dua tali ris diujung sayap

jaring, tali selambar, serta pelampung dan pemberat. Kantong merupakan satu

kesatuan yang berbentuk menyerupai bangun kerucut, semakin ke arah ujung

kantong jumlah mata jaring semakin berkurang dan ukuran mata jaringnya

semakin kecil. Ikan hasil tangkapan akan terkumpul di bagian kantong ini.

Semakin kecil ukuran mata jaring maka akan semakin kecil kemungkinan ikan

meloloskan diri. Bentuk dan bagian-bagian alat tangkap payang dapat dilihat pada

Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk dan bagian-bagian pada alat tangkap payang (auxis.tripod.com/fishing.htm)

Spesifikasi alat tangkap payang yang digunakan oleh nelayan di PPI

(9)

ukuran mata jaring bagian kantong mencapai 1 inchi 3 inchi dan ukuran mata

jaring bagian sayap 8 inchi, serta tali ris berjenis marlon pada bagian sayap

sepanjang ±8 m. Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini

adalah perahu motor dengan ukuran 5-6 GT.

2.3. Hubungan Panjang Bobot

Dalam perhitungan untuk menduga suatu pertumbuhan terdapat dua model

yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model

yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut

menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan.

Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan

hubungan panjang bobot ikan yang dihasilkan dari perhitungan dimanfaatkan

untuk menjelaskan pola pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu

fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari

panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga

bobot melalui panjang (Effendie 1979).

Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot diplotkan

dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb. Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga

pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola

pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan

pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik

(b 3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pola

pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat

dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif

(b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan

bobot.

2.4. Sebaran Frekuensi Panjang

Dalam melakukan pendugaan stok suatu spesies ikan digunakan masukan

(10)

bagian tubuh ikan berupa sisik dan otolith pada bagian kepala ikan memiliki

lingkaran-lingkaran tahunan yang digunakan sebagai metode untuk menghitung

data komposisi umur pada perairan beriklim sedang. Lingkaran yang terbentuk

pada sisik dan otolith pada ikan disebabkan oleh fluktuasi yang kuat dalam

berbagai kondisi lingkungan perairan dari musim panas ke musim dingin serta

sebaliknya.

Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang digunakan untuk

menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis

tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang

kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999 in Ruth 2011).

Menurut Pauly (1984), fungsi sidik frekuensi panjang adalah menentukan

umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur

kompleks. Setelah komposisi umur diketahui melalui sidik frekuensi panjang,

selanjutnya parameter pertumbuhan dapat ditentukan dengan metode estimasi

yang sesuai. Metode berbasis panjang selain digunakan untuk menduga parameter

pertumbuhan juga dapat digunakan unruk menduga mortalitas total dari hasil

tangkapan yang dilinierkan (King 1995).

2.5. Pertumbuhan

Effendie (2002) menyatakan pertumbuhan suatu individu merupakan

pertambahan bobot atau panjang dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan

dalam suatu populasi dinyatakan dengan penambahan jumlah individu. Namun

jika ditelaah lebih lanjut, pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks

yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang selanjutnya dibagi menjadi dua bagian

besar yaitu faktor dalam dan faktor luar.. Faktor dalam umumnya adalah faktor

yang sulit dikontrol, antara lain keturunan, parasit, dan penyakit. Sedangkan

faktor luar yang paling mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu

perairan.

Pada perairan tropis, makanan merupakan faktor yang lebih penting

daripada suhu perairan (Effendie 2002). Ada beberapa metode yang umum

(11)

pertumbuhan; L = panjang asimtotik; t0= umur ikan ketika panjangnya sama

dengan nol), yaitu plot Gulland & Holt, plot Ford Walford, metode Chapman, dan

plot von Bertalanffy.

Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran

badan sebagai suatu fungsi umur (Ruth 2011). Umur secara teoritis ikan pada saat

panjang sama dengan nol, dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan

empiris Pauly (Pauly 1983inLelono 2007). Menurut Ambarini (1997) persamaan pertumbuhan ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta Lt = 27,5 (1-e 0,53(t-0,32)). Nilai b (koefisien regresi) yang didapat sebesar 2,3221. Nilai ini lebih kecil

dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Laut Jawa sebesar 3,193.

Faktor yang mempengaruhi diantaranya faktor lingkungan seperti suhu perairan.

2.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Banyak faktor yang berperan di suatu lingkungan perairan sehingga

menyebabkan berkurangnya kesempatan hidup individu ikan dalam suatu

populasi. Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan

mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z)

adalah hasil penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas

alami (M) (King 1995).

Mortalitas alami merupakan mortalitas yang disebabkan oleh pemangsaan,

penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999).

Menurut Beverton & Holt (1957), predasi merupakan faktor eksternal yang umum

sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan

nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy, yaitu K (koefisien pertumbuhan)

dan L (panjang maksimum teoritis suatu jenis ikan). Ikan yang pertumbuhannya

cepat (nilai koefisien pertumbuhan (K) tinggi) memiliki laju mortalitas alami (M)

yang tinggi dan sebaliknya. Mortalitas alami berhubungan dengan L , karena

pemangsa bagi ikan berukuran besar lebih sedikit dari ikan kecil yang lebih

mudah dimangsa jenis ikan lain. Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999), berdasarkan penelitiannya terhadap 175 stok ikan yang berbeda, faktor

lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain

(12)

penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas

penangkapan oleh manusia (Sparre & Venema 1999).

Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur

yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Oleh karena itu laju eksploitasi

juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan

jumlah total ikan yang mati karena semua faktor, baik faktor alami maupun

faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan

(F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama

dengan 0,5. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu

diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian

stok ikan (King 1995).

2.7. Model Surplus Produksi

Model surplus produksi didasarkan pada asumsi bahwa CPUE merupakan

fungsi dari f, baik bersifat linear seperti pada model Schaefer maupun bersifat

eksponensial seperti pada model Fox. Dalam model surplus produksi Schaefer

mengasumsikan bahwa kenaikan bersih biomassa adalah fungsi dari besarnya

populasi (Atmadjaet al. 2003).

Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan

tingkat upaya optimum (biasa disebut fMSY atau effort MSY), yaitu suatu

upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari

tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut

hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY) (Sparre & Venema 1999). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya

kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok

jenis (species group) sumberdaya ikan (Widodo & Nurhakim 1998).

Pada kondisi dimana perikanan tangkap berkembang secara bertahap,

populasi ikan membutuhkan waktu penyesuaian terhadap tekanan alat tangkap

yang semakin bertambah. Periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

keseimbangan tidak pernah diketahui. Hasil penelitian terakhir mendapatkan

(13)

pertama kali ditangkap, dan populasi ikan berkurang 80% dalam 15 tahun sejak

pertama kali dieksploitasi (Myers & Worm, 2003 in Wiadnya et al. 2009). Implikasinya adalah bahwa banyak stok populasi ikan yang tidak pernah

mencapai kondisi keseimbangan.

Model surplus produksi merupakan model yang sangat sederhana dengan

biaya yang relatif murah (Widodo & Nurhakim 1998). Model ini dikatakan

sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak

perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu

penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau

produksi yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya

penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam

penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan

dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus

menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus

dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005).

Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus produksi banyak

digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model surplus produksi dapat diterapkan bila data hasil tangkapan

total (berdasarkan spesies), hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) atau per spesies, atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun tersedia (Sparre & Venema 1999).

Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang

benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan.

Oleh sebab itu penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan

didukung dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan

menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam

menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, udang dan krustasea

lainnya, serta moluska (Widodo & Nurhakim 1998).

Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai

(14)

(1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya

tangkap relatif

(2) Distribusi ikan menyebar merata

(3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan

tangkap yang seragam.

Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre

&Venema (1999) adalah :

(1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama

dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)

ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

(2) Asumsi biologi

Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah

dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut :

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang,

dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang

lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan

meningkatkan jumlah rekrutmen.

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan

menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil.

Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh

makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih

besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan

dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan

c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat

kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan

stok yang telah dieksploitasi

(3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas

penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini

(15)

penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas

penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih

adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

2.8. Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan

Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan

memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin secara sumberdaya. Hal ini

dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (TAC) atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan Maximum Sustainable Yield(MSY) atau jumlah maksimum tangkapan lestari (Poernomo 2009).

Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan

yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai

tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan

atau metode (Boer & Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan

(JTB/TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY).

Akan tetapi manajemen perikanan menganut azas kehati-hatian

(Precautionary approach), maka TAC ditetapkan sebesar 80% dari potensi tersebut (Atmaji 2007).

2.9. Pengelolaan Perikanan

Menurut Boer & Aziz (2007), pengelolaan sumberdaya perikanan

bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan

pangan, bahan baku industri, penghasil devisa serta mengetahui porsi optimum

pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan. Selain itu pengelola perikanan

memiliki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang umum digunakan

dalam studi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pendekatan struktural

(16)

perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut.

Komponen-komponen tersebut adalah rekrutmen, pertumbuhan dan mortalitas.

Pendekatan secara struktural cukup ideal namun berbiaya termahal

serta membutuhkan waktu yang cukup lama, dimana untuk dapat memahami

setiap komponen diperlukan penelitian khusus yang beragam, mulai dari

aspek biologi hingga aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu

studi. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan global yang menjelaskan

sistem sumberdaya perikanan tanpa memperhatikan komponen yang

membentuknya, melainkan berdasarkan data maupun informasi yang paling

mudah dikumpulkan, seperti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan

nilai produksi serta informasi lain yang diperoleh melalui sistem pelaporan

kegiatan armada perikanan di pelabuhan, tempat pelelangan ikan atau tempat lain

yang telah ditentukan (Boer & Aziz 2007).

Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi

yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo & Suadi

2002).

Dalam pengelolaan perikanan sangat sulit untuk mengatur dan

merubah kondisi yang telah ada sehingga upaya yang mungkin dilakukan

adalah hanya berupa pembatasan seperti tidak mengijinkan perahu penangkap

baru yang akan masuk ke perairan serta membatasi jumlah tangkapan

nelayan tanpa mengurangi jumlah perahu nelayan yang telah ada saat ini.

Menurut Widodo & Suadi (2006), proses penipisan stok sering dibarengi

dengan lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil

tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan

total yang didaratkan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam struktur

umur populasi ikan (ukuran, umur), serta perubahan komposisi spesies ikan

(ekologi perikanan).

Pengelolaan perikanan harus ditentukan melalui beberapa tahap

(17)

tangkapan maksimum lestari (MSY), maka kebijakan harus ditujukan terutama

untuk mendorong perkembangan perikanan. Setelah batas kemampuan (potensi,

daya dukung) dari stok ikan telah tercapai (MSY), laju perkembangan

penangkapan ikan mulai dikurangi. Selanjutnya ketika nilai tangkapan berada di

atas ambang nilai MSY, semua kebijakan akan lebih bersifat sebagai usaha

(18)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kamal

Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.

Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Desember 2010

hingga Februari 2011. Data primer diperoleh dari pengambilan contoh yang

dilakukan secara acak terhadap jenis ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) yang hanya tertangkap di perairan Teluk Jakarta dan di daratkan di PPI Kamal Muara, Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Pengambilan

ikan contoh dilakukan dengan interval waktu pengambilan dua minggu selama

tiga bulan. Berikut ini disajikan peta lokasi penangkapan ikan kembung lelaki

(Rastrelliger kanagurta) di Teluk Jakarta pada Gambar 4.

(19)

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian disajikan dalam gambar 5. :

Ember Timbangan digital Penggaris & meteran jahit

Kamera digital Alat bedah ikan Wadah

Gambar 5. Alat yang digunakan selama penelitian

Bahan yang digunakan ialah ikan kembung lelaki yang didaratkan di PPI

Kamal Muara, data statistik hasil tangkapan serta upaya hasil tangkapan nelayan

PPI Kamal Muara.

3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Data primer

Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan

wawancara. Data primer diperoleh dari pengambilan contoh yang dilakukan

secara acak terhadap jenis ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) yang hanya tertangkap di perairan Teluk Jakarta dan di daratkan di PPI Kamal Muara.

Pengambilan ikan contoh dilakukan dengan interval waktu pengambilan dua

(20)

Februari 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengukuran

panjang dan bobot untuk menduga pertumbuhan populasi dan pola pertumbuhan

individu ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta.

Menurut Lagler (1977), untuk memperoleh hasil yang baik dalam

penggunaan metode frekuensi panjang maka jumlah contoh yang digunakan harus

banyak. Panjang ikan kembung lelaki yang diukur adalah panjang total.

Gambar 6. Skema karakter morfometrik yang diukur pada ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta)

Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan

bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendie 1979). Pengukuran

ini dilakukan dengan menggunakan penggaris panjang 30 cm dengan skala

terkecil 1 mm. Sedangkan bobot ikan kembung lelaki yang ditimbang adalah

bobot basah total. Bobot basah total adalah bobot total jaringan tubuh ikan dan air

yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini digunakan timbangan digital yang

mempunyai skala terkecil 1 gram. Pengukuran bobot basah total merupakan cara

pengukuran bobot yang paling mudah dilakukan di lapangan (Busacker et al. 1990).

Data primer lain yang dikumpulkan diantaranya dari kapal perikanan yang

menangkap ikan kembung lelaki. Data primer tersebut antara lain unit

penangkapan (pemilik, mesin, kapal, nelayan atau ABK (anak buah kapal) dan

(21)

3.3.2. Data sekunder

Data sekunder meliputi data kapal perikanan, alat tangkap nelayan PPI

Kamal Muara, kapasitas dan nilai produksi perikanan kembung lelaki, dan

keadaan umum daerah Teluk Jakarta. Data tersebut diperoleh dari hasil studi

pustaka serta arsip milik Balai Riset Perikanan Laut PPS Nizam Zachman

Kotamadya Jakarta Utara, Instalasi Riset Perikanan Teluk PPI Kamal Muara, serta

Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta.

3.4. Analisis Data 3.4.1. Identifikasi spesies

Ikan kembung lelaki hasil pengambilan contoh yang diperoleh dari PPI

Kamal Muara selanjutnya diidentifikasi jenisnya menggunakan buku identifikasi

ikan yang dilakukan di laboratorium Biologi Makro Departemen Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor. Identifikasi yang dilakukan dengan cara mengamati morfologi tubuh ikan

dari ujung kepala hingga ekor ikan.

3.4.2. Sebaran frekuensi panjang

Data panjang total ikan kembung lelaki yang diperoleh dari pengambilan

contoh di PPI Kamal Muara kemudian dilakukan analisis sebaran frekuensi

panjang. Proses yang dilakukan dalam analisis data fekuensi panjang ikan yaitu:

a. Menentukan jumlah selang kelas

b. Menentukan lebar selang kelas

c. Menentukan frekuensi kelas dan memasukan frekuensi masing-masing kelas

dengan memasukkan panjang dan tiap ikan contoh pada selang kelas yang

telah ditentukan sebelumnya.

Setelah diketahui sebaran frekuensi panjang ikan yang telah ditentukan

dalam selang kelas panjang yang sama, kemudian diplotkan dalam sebuah grafik.

Dalam sebaran frekuensi panjang yang telah diplotkan dalam grafik tersebut dapat

(22)

menggambarkan jumlah kelompok umur (cohort) yang ada dan perubahan posisi ukuran panjang kelompok umur yang sama.

3.4.3. Identifikasi kelompok ukuran

Analisis frekuensi panjang dilakukan untuk pendugaan kelompok ukuran.

Menurut Gayanilo, et al (1994), data frekuensi panjang dapat dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) yang dikemas dalam paket program FiSAT II (FAO-ICLARM Stock Asessment Tool) sehingga menghasilkan sebaran frekuensi panjang yang dikelompokkan kedalam beberapa

kelompok umur dengan asumsi menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh

rata-rata panjang dan simpangan baku.

Menurut Boer (1996)inChaira (2010), jikafi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1, 2, , N), j adalah rata-rata panjang kelompok umur

ke-j, j adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j (j= 1, 2, , G),

maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga { j, j, pj} adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likehood function) dengan persamaan sebagai berikut:

   G j ij j N i

i p q

f L 1 1 log (1) Sedangkan 2 ) ( 2 1 exp 2 1 j j i x ij j q  

 yang merupakan fungsi kepekatan sebaran

normal dengan nilai tengah j dan simpangan baku j.xiadalah titik tengan kelas

panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap j, j, dan pj sehingga diperoleh dugaan rata-rata yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

3.4.4. Hubungan panjang bobot

(23)

kubik yaitu bahwa bobot ikan setara dengan pangkat tiga panjangnya. Namun

sebenarnya untuk menganalisis hubungan panjang bobot ikan kembung lelaki

digunakan rumus yang umum sebagai berikut:

W = a Lb (2)

dengan W adalah bobot, L adalah panjang, a adalah konstanta dan b adalah

penduga pola hubungan panjang dan bobot. Rumus umum tersebut bila

ditansformasikan ke dalam logaritma, akan diperoleh persamaan

Log W = Log a + b Log L, yaitu persamaan linier (Gambar 7).

Gambar 7. Hubungan panjang dan bobot pada ikan

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan

Log W sebagai y dan Log L sebagai x, maka akan didapatkan persamaan regresi :

y

i

=

ß

0

+ ß

1

x

i

+

i

atau Y

i

= b

0

+b

1

x

(3)

konstanta b diduga dengan b1 dan konstanta a diduga dengan 10b0. Sedangkan

menurut Dowdyet al.(2004) inChaira (2010), b1dan b0masing-masing dihitung

dengan:

b

1

=

^ (4)

b0= y b1 x (5)

(24)

H0 : ß1= 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik.

H1 : ß1 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik.

Pola pertumbuhan allometrik terdiri dari dua macam, yaitu allometrik

positif, jika b>3 (pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjang)

dan allometrik negatif, jika b<3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada

pertambahan bobot). Adapun statistik uji yang digunakan adalah:

1 0 1

sb b b thitung  

(6)

sb1adalah simpangan baku dugaan b1atau b yang dihitung dengan :

sb

1

=

^

( )^ (7)

Sedangkan s2 adalah kuadrat tengah sisa sebagai penduga 2, yang dapat dihitung dengan :

s

2

=

[ ^ [ (8)

Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan pada selang kepercayaan 95%

bandingkan dengan nilai thitungdengan nilai ttabel, sehingga kaidah keputusan yang

diambil adalah jika thitung < ttabel, tolak hipotesis nol (H0) atau pola pertumbuhan

bersifat allometrik, dan jika thitung >ttabel, gagal tolak hipotesis nol (H0) atau pola

pertumbuhan bersifat allometrik.

3.4.5. Pendugaan L , K dan t0

Pertumbuhan panjang ikan dapat dinyatakan dengan model von

Bertalanffy sebagai berikut (Sparre & Venema 1999).

Lt = L (1-e[-K(t- t0

)]

(25)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur ke-t (millimeter), L adalah panjang

maksimum teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per

tahun), t0adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (tahun).

Koefisien pertumbuhan (K) dan L dapat diduga dengan menggunakan

metode plot Ford-Walford, dan nilai t0diperoleh dengan menggunakan persamaan

Pauly. Penurunan plot Ford Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan

Von Bertalanffy dengan t0sama dengan nol, maka persamaanya sebagai berikut:

) exp

1

( [ k(t t0)]

t L

L    (10)

)] [

exp Kt

L L   

) exp[ Kt]

t L

L

L    (11)

Selanjutnya perbedaan dua panjang ikan suksesif :

) exp 1 ( ) exp 1

( [ ( 1)] [ ]

1

Kt t

k t

t L L L

L  

         ) (exp )

(exp[ k(t 1)] L [ Kt]

L  

      ) exp 1 (

exp[ kt] [ K]

L   

 (12)

Jika persamaan (10) didistribusikan ke persamaan (12) diperoleh persamaan :

) exp 1 )( ( [ ] 1 K t t

t L L L

L      

) exp )

exp 1

( [ k] Lt Lt [ K]

L     

  ) exp ) exp 1 ( [ ] [ ] 1 K t k

t L L

L       (13)

Persamaan (12) merupakan bentuk persamaan linear antara Lt (sumbu x) di

plotkan terhadap Lt+1(sumbu y) sedemikian sehingga memilki kemiringan (slope)

(b) = (b)exp[K] dan intersep (a)L(1exp[K]). Lt dan Lt+1 merupakan

panjang ikan pada saat t dan t+1 yaitu panjang ikan yang dipisahkan oleh interval

waktu yang konstan (Pauly 1984). Umur secara teoritis ikan pada saat panjang

sama dengan nol dapat di duga secara terpisah menggunakan persamaan empiris

(26)

Log (-t0) = 0,3922-0,2752 (Log L ) 1,038 (Log K) (14)

3.4.6. Laju eksploitasi dan mortalitas

Laju mortalitas (alami dan penangkapan) populasi ikan dapat digunakan

untuk menduga tingkat eksploitasi ikan tersebut di suatu perairan. Menurut Aziz

(1989), terdapat dua pendekatan dasar untuk menghitung laju mortalitas; pertama

ialah laju mortalitas tahunan, yaitu suatu pendugaan laju mortalitas yang

mencakup suatu periode tertentu. Kesulitan pendekatan ini adalah dalam hal

pemisahan nilai mortalitas tahunan ke dalam bagian-bagian dari mortalitas akibat

penangkapan dan penyebab alamiah. Kedua ialah laju mortalitas seketika (Z) yang

diturunkan melalui teori kalkulus dan dapat dipisahkan dengan mudah ke dalam

komponen penangkapan dan komponen alamiah.

Mortalitas total ialah jumlah semua kematian dalam populasi akibat

penangkapan (F) dan alami (M), secara matematika dirumuskan menjadi Z = F+M

(Effendie, 1979). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan

yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema

1999) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah 1 : Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan

menggunakan turunan model von Bertalanffy.

          L L Ln K t L

t( ) 0 1 1 (15)

Langkah 2 : Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk

tumbuh dari panjang L1ke L2( t)

              2 1 1 2 1 ) ( ) ( L L L L Ln K L t L t t (16)

Langkah 3 : Menghitung (t + t / 2)

(27)

Langkah 4 : Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan yang

dikonversikan ke panjang

2 * ) ( ) ,

( 1 2

2 1

2

1 c Z tL L

L L t L L c

Ln   

 (18)

Model di atas adalah bentuk model linear dengan kemiringan (b)=-Z .

Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris

Pauly (1980)inSparre & Venema (1999) sebagai berikut.

Ln M = -0,0152-0,279*Ln L + 0,6543*Ln K+ 0,463*Ln T

M = e(-0,0152-0,279*Ln L + 0,6543*Ln K+ 0,463*Ln T ) (19)

Keterangan :

M : Mortalitas alami

L : Panjang asimtotik pada model pertumbuhan von Bertalanffy K : Koefisien pertumbuhan pada model pertumbuhan von Bertalanffy T : Rata-rata suhu permukaan air (0C)

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :

F = Z-M (20)

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas

penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) :

Z F M F F E    (21)

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland

(1971)inPauly (1984) adalah:

M

Foptimum  sehingga Eoptimum  0,5

(28)

3.4.7. Metode surplus produksi

Tingkat upaya optimum (fMSY) dan hasil tangkapan optimum (MSY) dari

unit penangkapan dapat diketahui melalui persamaan berikut (King 1995) :

(1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f),

CPUE = a+bf (23)

(2) Hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f),

C = af + bf2 (24)

(3) Upaya penangkapan optimum (fMSY) diperoleh dengan cara

menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (C) terhadap upaya

penangkapan (f) dengan nol:

C = af + bf2 C = a + 2bf

C = 0

a = -2bf fMSY= -a/2b (25)

(4) Maximum Sustainable Yield (MSY) merupakan hasil tangkapan optimum diperoleh dengan mensubtitusikan nilai upaya penangkapan

optimum, (fMSY) ke persamaan di atas sehingga,

C = af + bf2

CMSY= (a) fMSY+ (b) fMSY2

MSY = -a2/4b (26)

Perumusan di atas dikenal dengan model Schaefer. Pada model ini

didapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan (f) terhadap hasil

tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE). Selanjutnya untuk mendapatkan

nilai konstanta a dan b pada rumus di atas digunakan analisis regresi linear.

Model berikutnya yang digunakan dalam metode surplus produksi adalah

model alternatif Fox. Model ini menghasilkan garis lengkung bila Y/f secara

(29)

logaritma terhadap upaya maka akan menghasilkan garis lurus. Adapun

perumusan model Fox sebagai berikut (King 1995).

Y = f (ea+bf) (27)

MSY dapat dicapai pada saat dy/df = 0, sehingga :

Y = ea+bf+ f b ea+bf= 0

(1+f b) (ea+bf) = 0 jadi fMSY= - (28)

Untuk mendapatkan MSY, maka fMSY dimasukkan ke dalam persamaan (27)

sehingga :

MSY = (- ) (ea-1) (29)

Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang

diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) adalah 80% dari tangkapan maksimum lestarinya

(Maximum Sustainable Yield/MSY) sebagai prinsip manajemen perikanan yang mengandung azas kehati-hatian.

TAC = 80% x MSY (30)

Keterangan :

TAC :Total Allowable Catch

(30)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman 15 meter.

Di daratan Jakarta terdapat 13 sungai dengan total debit air rata-rata 112,7

m3/detik yang mengalir ke Teluk Jakarta. Di Teluk Jakarta bermuara 13 sungai,

diantaranya 9 muara sungai yang besar dari arah barat ke timur yaitu Muara

Kamal, M. Cengkareng, M. Angke, M. Karang, M. Ancol, M. Sunter, M. Cakung,

M. Marunda, dan M. Gembong. Sepanjang 32 km kawasan pantai Teluk Jakarta

terdapat berbagai kegiatan sosial-ekonomi skala besar yang memberikan beban

berat terhadap lingkungan perairan Teluk Jakarta (Sarjono 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Sarjono (2009), secara umum suhu

permukaan air laut di Teluk Jakarta berkisar antara 28,7 31,50 0C. Berdasarkan baku mutu Kepmen LH No 51 tahun 2004, suhu perairan untuk biota laut

berkisar antara 28­30 0C. Berdasarkan hal tersebut, kisaran suhu permukaan perairan Teluk Jakarta diatas kisaran normal dan merupakan kisaran suhu yang

melebihi baku mutu suhu air laut berdasarkan Kepmen LH No 51 tahun 2004.

Perairan Teluk Jakarta memiliki nilai salinitas perairan berkisar antara

10­33 o/oo. Nilai pH atau derajat keasaman perairan bersifat basa dan cenderung

stabil pada kisaran nilai 7,59­8,59. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) menyatakan

besarnya kandungan oksigen yang terlarut dalam suatu perairan, pada Teluk

Jakarta berada pada kisaran nilai 0,45-6,47 mg/L. Konsentrasinya dipengaruhi

oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.

Melalui hasil angket terhadap para nelayan, terdapat dua pola musim

penangkapan di perairan Teluk Jakarta yang berpengaruh terhadap aktivitas

penangkapan ikan, yaitu musim timur yang berlangsung dari bulan Juni

hingga September dan musim barat yang berlangsung dari bulan Desember

hingga Februari. Kondisi perairan pada musim timur relatif tenang, angin

serta gelombang tidak begitu besar sehingga aktifitas penangkapan ikan

(31)

yang sebaliknya terjadi pada musim barat. Pada musim ini, angin dan gelombang

laut cukup tinggi sehingga menyulitkan nelayan untuk melaut. Pada musim barat

umumnya aktivitas penangkapan ikan akan menurun.

4.1.2. Kegiatan perikanan kembung lelaki

Permintaan terhadap ikan pelagis seperti ikan tuna, tenggiri, dan termasuk

ikan kembung lelaki terus mengalami peningkatan permintaan pasar setiap

tahunnya, diantaranya permintaan dari pasar domestik. Permintaan yang tinggi ini

menyebabkan nelayan di PPI Kamal Muara terus mengupayakan hasil tangkapan

ikan kembung lelaki. Ikan kembung lelaki ditangkap oleh nelayan menggunakan

perahu motor dan alat tangkap payang.

Pada saat melaut, nelayan berpedoman pada indikasi alam dalam

menentukan daerah tangkapan juga waktu penangkapan. Menurut nelayan di PPI

Kamal Muara, beberapa pertanda alam seperti fase bulan, gemercik air, serta

melihat ke arah angin berhembus maupun arus laut merupakan indikasi alam yang

diamati para nelayan dalam melakukan upaya penangkapan ikan kembung lelaki.

Operasi penangkapan ikan kembung lelaki umumnya dilakukan secara one day fishing sehingga ikan tidak membutuhkan perlakuan khusus karena langsung didaratkan di PPI Kamal Muara. Ikan kembung lelaki yang telah didaratkan di PPI

Kamal Muara, sebagian dijadikan komoditi ekspor dan sebagian dijual langsung

dalam bentuk segar seharga Rp10.000-Rp35.000,-/kg.

4.1.3. Kondisi perikanan kembung lelaki di PPI Kamal Muara Jakarta

PPI Kamal Muara sebagai salah satu tempat pendaratan ikan yang

berlokasi di provinsi DKI Jakarta, berdiri sejak tahun 2002 dan digunakan sebagai

sarana atau fasilitas yang disediakan pemerintah kepada masyarakat nelayan di

sekitar DKI Jakarta untuk melakukan transaksi kegiatan perikanan Teluk Jakarta.

Ikan kembung lelaki merupakan hasil tangkapan dominan ketiga (17%) setelah

ikan tembang (26,81%) dan layur (49,66%) yang ditangkap di Teluk Jakarta dan

didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kamal Muara seperti yang

(32)

Gambar 8. Komposisi hasil tangkap ikan dominan menggunakan jaring payang yang didaratkan di PPI Kamal Muara (Modifikasi data sekunder PPI Kamal Muara tahun 2010)

Daerah penangkapan ikan kembung lelaki berkonsentrasi di daerah

penangkapan sekitar pulau Untung Jawa dan pulau Anyar, di perairan Teluk

Jakarta. Spesifikasi alat tangkap payang yang digunakan oleh nelayan di PPI

Kamal Muara adalah jaring berukuran panjang ±16 m dengan lebar ±10 m,

ukuran mata jaring bagian kantong mencapai 1 inchi 3 inchi dan ukuran mata

jaring bagian sayap 8 inchi, serta tali ris berjenis marlon pada bagian sayap

sepanjang ±8 m. Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini

adalah perahu motor dengan ukuran 5-6 GT. Jenis tangkapan yang dihasilkan alat

tangkap tersebut diantaranya ikan kembung lelaki, tembang, layur, selar, tenggiri

dan udang.

Penduduk sekitar PPI Kamal Muara Jakarta sebagian besar berprofesi

sebagai pedagang dan nelayan. Beberapa nelayan selain melakukan kegiatan

penangkapan ikan, juga menyediakan jasa angkutan wisata ke pulau sekitar Teluk

Jakarta. Kapal-kapal yang digunakan oleh nelayan di PPI Kamal Muara dominan

berukuran kurang dari 10 GT.

49.66%

26.81%

6.42%

17%

0.50%

Layur

Tembang

Tenggiri

Kembung lelaki

[image:32.595.84.500.64.814.2]
(33)

4.1.4. Sebaran frekuensi panjang

Ikan kembung lelaki yang diamati selama kegiatan penelitian mencapai

447 ekor. Pada bulan Desember diperoleh sebanyak 113 ekor, Januari 244 ekor,

dan Februari sebanyak 90 ekor. Fluktuasi hasil tangkapan ikan kembung lelaki

[image:33.595.87.519.198.785.2]

yang diamati disebabkan oleh beberapa hal seperti pengaruh buruknya cuaca.

Tabel 2. Sebaran frekuensi panjang ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) di Teluk Jakarta dari pengambilan contoh Desember 2010-Februari 2011

Selang

Kelas 4 Desember2010

18 Desember 2010 1 Januari 2011 15 Januari 2011 29 Januari 2011 12 Februari 2011 26 Februari 2011 (mm)

194-196 0 0 0 2 0 0 0

197-199 0 0 0 0 0 0 0

200-202 2 2 1 0 0 0 0

203-205 0 0 1 0 0 0 0

206-208 1 1 2 2 0 0 0

209-211 2 0 3 1 0 0 0

212-214 3 1 0 0 0 0 0

215-217 3 1 3 0 1 0 1

218-220 5 2 1 3 1 0 1

221-223 4 0 10 3 3 2 2

224-226 6 3 11 7 4 6 6

227-229 4 2 7 7 7 4 4

230-232 5 2 11 5 10 5 1

233-235 5 3 8 1 6 5 5

236-238 10 8 8 4 10 7 4

239-241 2 0 9 5 6 7 5

242-244 7 3 9 4 6 1 4

245-247 5 3 6 4 9 2 2

248-250 6 3 5 6 1 3 2

251-253 0 1 4 4 2 2 0

254-256 4 4 7 1 2 1 3

257-259 0 0 5 4 0 1 2

260-262 0 0 0 1 0 1 1

263-265 0 0 0 0 1 0 0

Total 74 39 111 64 69 47 43

Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa pada bulan Desember kisaran

selang kelas panjang ikan contoh dimulai dari 200-202 mm hingga 254-256 mm,

pada bulan Januari kisaran selang kelas panjang mulai dari 194-196 mm hingga

263-265 mm, dan pada bulan Februari kisaran selang kelas panjang dimulai pada

(34)

sebaran frekuensi kelas ukuran panjang berada pada selang kelas 236-238 mm.

Pada bulan Januari modus berada pada selang kelas 230-232 mm.. Selanjutnya,

pada bulan Februari modus berada pada selang kelas 239-241 mm.

Berdasarkan hasil pengamatan, ikan yang tertangkap pada bulan Desember

hingga Februari lebih sedikit karena dipengaruhi oleh cuaca ketika dilakukan

aktivitas penangkapan. Waktu pengambilan contoh ketika penangkapan dilakukan

pada musim barat sehingga hasil tangkapan ikan cenderung mengalami

penurunan. Analisis frekuensi panjang berguna dalam menentukan parameter

pertumbuhan dengan cara mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan

menggunakan modus panjang kelas untuk mengetahui umur ikan. Analisis

frekuensi panjang ini menghasilkan fluktuasi yang menggambarkan adanya

pengelompokkan modus.

4.2. Pembahasan 4.2.1. Kelompok Umur

Umur ikan diduga melalui analisis sebaran frekuensi panjang yang dapat

menduga kelompok umur, karena frekuensi panjang ikan tertentu umumnya

berasal dari umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal.

Berdasarkan metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam paket program FiSAT II(FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) dapat menggambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi panjang ikan.

Tabel 3. Sebaran kelompok ukuran ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta menggunakan FiSAT II.

Waktu n Nilai tengah panjang total (mm) Indeks Separasi

Kelompok Ukuran

4 Desember 2010 74 232,17 ± 13,278 0

18 Desember 2010 39 234,69 ± 14,274 0

1 Januari 2011 111 234,84 ± 13,204 0

15 Januari 2011 64 235,17 ± 14,895 0

29 Januari 2011 69 236,52 ± 9,286 0

12 Februari 2011 47 236,81 ± 9,615 0

[image:34.595.88.517.35.812.2]
(35)

Analisis kelompok ukuran dilakukan pada setiap pengambilan contoh.

Analisis ini dilakukan untuk melihat posisi dan perubahan posisi rata-rata

masing-masing ukuran kelompok panjang. Analisis pemisahan kelompok ukuran ikan

kembung lelaki dengan metode NORMSEP menghasilkan panjang rata-rata ikan, simpangan baku ikan, serta indeks separasi. Dalam pemisahan kelompok ukuran

sangat penting memperhatikan nilai indeks separasi yang diperoleh. Bila nilai

SI>2 berarti dalam satu kelompok ada beberapa modus yang berbeda (signifikan),

namun bila nilai SI<2 atau bernilai nol, maka tidak mungkin dilakukan pemisahan

di antara dua kelompok umur karena terjadi tumpang tindih yang besar antar

kelompok umur atau hanya terdapat satu kelompok ukuran saja. Hasil analisis

pemisahan kelompok umur ikan kembung lelaki menggunakan aplikasi

[image:35.595.133.442.364.727.2]

NORMSEP dalam paket programFiSAT IIdisajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Pergeseran modus frekuensi panjang\

4 Desember 2010

18 Desember 2010

1 Januari 2011

15 Januari 2011

29 Januari 2011

12 Februari 2011

(36)

Grafik pertumbuhan ikan kembung lelaki pada Gambar 9, menunjukkan

terdapat satu modus sebaran panjang. Terlihat terjadi pergeseran modus tiap

pengambilan contoh ikan yang menggambarkan terjadinya penambahan ukuran

panjang ikan. Pergeseran setiap dua minggu mulai pengambilan contoh pertama

pada tanggal 4 Desember 2010 hingga 26 Februari 2011 terjadi pertumbuhan

panjang masing-masing 2.52, 0.15, 0.33, 1.35, 0.29, dan 0.26 mm dengan selang

waktu masing-masing pertumbuhan selama empat belas hari.

4.2.2. Parameter pertumbuhan

Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan kembung lelaki (K dan L )

menggunakan metode plot Ford Walford, menunjukkan bahwa ikan kembung

lelaki di Teluk Jakarta memiliki nilai K sebesar 0,3410/tahun dan nilai L

mencapai 276,77 mm. Nilai t0 yang diperoleh menggunakan rumus Pauly

mencapai -0,9372 tahun. Sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan panjang

ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta dengan fungsi von Bertalanffy adalah

Lt=276,77(1-e(-0,3410(t+0,9372)).

Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan kembung lelaki

(Rastrelliger kanagurta) oleh beberapa peneliti yang dilakukan di Teluk Jakarta dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter pertumbuhan ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) dari hasil penelitian di perairan Teluk Jakarta

Parameter (Perdanamihardja, 2011) (Handani, 2002)

K (per tahun) 0,3410 0,2

L (mm) 276,77 392

t0(tahun) -0,9372 -0,9

Panjang teoritis yang dapat dicapai ikan kembung lelaki yang tertangkap

di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di PPI Kamal Muara adalah 263 mm,

panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan kembung lelaki yang

mencapai 276,77 mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan kembung lelaki di Teluk

(37)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di perairan Teluk

Jakarta, ikan kembung lelaki memiliki nilai K sebesar 0,2 per tahun dan L

sebesar 392 mm (Handani 2002). Perbedaan nilai yang diperoleh dapat

disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal

yang dapat berpengaruh diantaranya genetik, parasit, dan penyakit sedangkan

faktor eksternal yang dapat berpengaruh adalah suhu dan ketersediaan makanan

(Effendie 1997).

Perbedaan parameter pertumbuhan dapat disebabkan perbedaan interval

waktu pengambilan contoh, musim, ukuran ikan yang terambil, dan daerah

penangkapan (Aziz 1989). Selain itu perbedaan juga disebabkan jumlah ikan

contoh yang diambil untuk diamati selama penelitian yang berbeda.

Bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini terlihat

bahwa nilai koefisien pertumbuhan (K) menjadi lebih besar dengan panjang

infinitif (L ) yang semakin kecil dibandingkan hasil penelitian sebelumnya.

Diketahui bahwa ikan dengan nilai K lebih besar memiliki umur yang relatif

pendek (Sparre & Venema 1999). Melalui perhitungan menggunakan nilai

parameter pertumbuhan yang diperoleh dari hasil penelitian dengan model von

Bertalanffy, menunjukkan ikan kembung lelaki saat ini memiliki siklus hidup dan

ukuran panjang infinitif yang lebih pendek dibandingkan 9 tahun yang lalu. Selain

itu, hasil ini juga dapat mengindikasikan bahwa ikan kembung lelaki di perairan

Teluk Jakarta telah mengalami tekanan dan laju penangkapan yang tinggi. Namun

kajian laju penangkapan akan dibahas pada bab selanjutnya.

Berdasarkan kurva pertumbuhan pada Gambar 10., ikan kembung lelaki di

Teluk Jakarta, menunjukkan bahwa ikan yang berumur muda memiliki laju

pertumbuhan yang relatif lebih cepat daripada ikan dewasa. Panjang observasi

maksimum ikan kembung lelaki mencapai 263 mm pada usia 8 bulan.

Pertambahan laju pertumbuhan ikan kembung lelaki mulai berhenti pada saat ikan

kembung lelaki berumur 20 bulan.

Kurva pertumbuhan ikan kembung lelaki di perairan Teluk Jakarta

disajikan pada Gambar 10. dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis

(38)
[image:38.595.90.488.74.814.2]

Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan kembung lelaki

Parameter pertumbuhan ikan ini memegang peranan yang penting dalam

pengkajian stok ikan. Analisis pertumbuhan digunakan untuk melihat

pertumbuhan suatu ikan tertentu. Penggunaan yang sederhana ialah untuk

mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan

turunan model pertumbuhan von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada

panjang tertentu. Dengan demikian maka penyusunan rencana pengelolaan

perikanan lebih mudah dilakukan.

4.2.3. Hubungan Panjang Bobot

Analisis hubungan panjang bobot menggunakan data panjang total dan

bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan kembung

lelaki di perairan Teluk Jakarta. Dari hasil analisis hubungan panjang bobot total

ikan kembung lelaki diperoleh bahwa persamaan hubungan panjang bobot ikan

kembung lelaki W=2x10-5L2,877dengan kisaran nilai b sebesar 2,8618 2,9261.

Dari nilai b yang diperoleh sebesar 2,877 dan setelah dilakukan uji t

( = 0.05) terhadap nilai b tersebut diketahui bahwa ikan kembung lelaki memiliki

pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertambahan panjang lebih dominan

dibandingkan pertambahan bobot (Effendie 1997). Nilai b ikan kembung lelaki

(Rastrelliger kanagurta) yang ada di Teluk Jakarta lebih kecil dari nilai b yang didapat dari penelitian sebelumnya di sekitar Laut Jawa yaitu perairan Pulau

(39)

disebabkan oleh kondisi perairan Teluk Jakarta yang semakin berkurang

kesuburannya menyebabkan ketersedian makanan di perairan tersebut kurang

memadai sehingga ikan kembung lelaki tidak mendapatkan asupan makanan yang

mencukupi dan mengakibatkan pertambahan bobotnya lebih lambat.

Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.780 berarti model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 78%, dimana berarti model yang mempunyai

nilai koefisien determinasi (R2) yang semakin besar mempunyai hubungan yang

lebih dekat dengan model yang sebenarnya (Walpole 1992). Hubungan panjang

[image:39.595.104.490.302.769.2]

bobot ikan kembung lelaki disajikan pada Gambar 11.

(40)
[image:40.595.86.515.72.827.2]

Tabel 5. Hasil perhitungan hubungan panjang bobot ikan kembung lelaki

Pengambilan

contoh Waktu N a b R

2 Keterangan t hitung

1 4 Desember 2010 74 0,000005 2,762 0,845 Allometrik negatif 2.3970 2 18 Desember 2010 39 0,00005 2,854 0,95 Allometrik negatif 2.6733 3 1 Januari 2011 111 0,00001 2.795 0,863 Allometrik negatif 2.0647 4 15 Januari 2011 64 0,00004 2,756 0,803 Allometrik negatif 2.4575 5 29 Januari 2011 69 0,000009 2,609 0,773 Allometrik negatif 3.9380 6 12 Februari 2011 47 0,00002 2,330 0,875 Allometrik negatif 6.7480 7 26 Februari 2011 43 0,00004 2,553 0,848 Allometrik negatif 4.5020 Gabungan 447 0.00002 2,877 0,780 Allometrik negatif 1.9877

Tabel 6. Hasil perhitungan hubungan panjang bobot ikan kembung lelaki dengan pemisahan jenis kelamin jantan dan betina saat pengambilan contoh ke-7 (26 Februari 2011)

Jenis

kelamin Waktu N a b R

2 Keterangan t hitung

Jantan 26 Februari 2011 20 0,00007 2,654 0,971 Allometrik negatif 3.4848 Betina 26 Februari 2011 23 0,00003 2,833 0,976 Allometrik negatif 2.6800 Total 26 Februari 2011 43 0,00004 2,553 0,848 Allometrik negatif 4.5020

Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan panjang bobot total pada

ikan kembung lelaki memiliki korelasi yang erat. Hal ini berdasarkan nilai

koefisien korelasi (R2) yang mendekati satu. Nilai b ikan kembung lelaki yang diperoleh melalui pengambilan contoh selama musim barat penangkapan

(Desember-Februari) di Teluk Jakarta ialah sebesar 2,877, yang berarti pola

pertumbuhan ikan kembung lelaki adalah allometrik negatif.

Berdasarkan hasil analisis pengambilan contoh ke-7 pada 26 Februari

2011, yang memisahkan jenis kelamin jantan dan betina ikan kembung lelaki pada

Tabel 6., menunjukkan bahwa hubungan panjang bobot ikan kembung lelaki

secara keseluruhan memiliki persamaan W = 0,00004L2,553. Ikan kembung lelaki

jantan memiliki persamaan hubungan panjang bobotW = 0,00007L2,654,dengan nilai

b sebesar 2,654 dan ikan kembung lelaki betina memiliki persamaan hubungan

panjang bobotW = 0,00003L2,833,dengan nilai b sebesar 2,833.

Melalui perbandingan hubungan panjang bobot total dan hubungan

(41)

contoh 26 Februari 2011 diketahui pola pertumbuhan ikan kembung lelaki secara

umum adalah allometrik negatif, artinya pertambahan panjang ikan lebih dominan

dibandingkan dengan pertambahan bobotnya. Kisaran nilai b pada umumnya yang

dikemukakan oleh Lagler et al. (1977) berfluktuasi antara 2,5 hingga 4; dan kebanyakan mendekati nilai 3.

Osman (2004) in Lelono (2007) menjelaskan perbedaan nilai b dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan perbedaan waktu dalam hari karena

perubahan isi perut. Mautopoulos & Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) menyatakan bahwa perbedaan nilai b juga dapat disebabkan oleh perbedaan

jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati. Pola pertumbuhan yang berbeda

terdapat pada ikan kembung lelaki yang hidup di perairan Maladewa, Asia Selatan

yaitu memiliki pola pertumbuhan allometrik positif (Moazzam et al. 2005), artinya pertambahan bobot lebih dominan dibandingkan pertambahan panjangnya

(Effendie 1997).

4.2.4. Laju eksploitasi dan mortalitas

Mortalitas total (Z) terdiri dari dua komponen yang menurunkan

ketersediaan stok. Kedua komponen tersebut ialah mortalitas alami (M) dan

mortalitas karena penangkapan (F). Secara matematika dirumuskan menjadi

Z = F+M (Sparre dan Venema 1999 in Effendie 1997). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi

panjang yang dianalisis dengan laju kematian alami (M) menggunakan rumus

empiris Pauly dengan suhu rata-rata permukaan 30,10C

Dugaan mortalitas alami (M) dari stok ikan dihitung dengan menggunakan

persamaan Pauly (Pauly 1980inHandani 2002) sebagai berikut :

log M = -0.0066-0.279 x log L + 0.6543 x log K + 0.4634 x log T

keterangan : L = ukuran panjang ikan maksimum yang dapat dicapai (mm) K = koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (per tahun) T = rata-rata suhu permukaan air tahunan (0C)

Dalam hasil dugaan mortalitas total, alami, dan penangkapan serta laju

(42)

kembung lela

Gambar

Gambar 1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kembung lelaki
Gambar 4. Peta lokasi penelitian (Google Maps 2011)
Gambar 5. Alat yang digunakan selama penelitian
Gambar 6. Skema karakter morfometrik yang diukur pada ikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur Komunitas Cacing Parasitik pada Ikan Kembung (Rastrelliger brachysoma dan R. kanagurta) di Perairan Teluk Banten dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur Komunitas Cacing Parasitik pada Ikan Kembung ( Rastrelliger brachysoma dan R. kanagurta ) di Perairan Teluk Banten dan

Ukuran pertama kali matang gonad R.kanagurta dapat dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan bahwa ikan betina mengalami matang gonad pada ukuran panjang yang lebih pendek

Hasil penelitian 83 sampel Ikan Kembung Lelaki ( Rastrelliger kanagurta ) dari perairan sekitar Rembang didapat nilai hubungan panjang berat ikan kembung jantan pada

Informasi yang didapatkan diharapkan dapat digunakan untuk menyusun konsep pengelolaan sumber daya ikan kembung lelaki di perairan Kendal dengan memberikan informasi mengenai

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis status stok melalui model produksi surplus dan dinamika mortalitas dengan analisis populasi virtual ikan kembung lelaki (Rastrelliger

Ikan kembung yang didaratkan di PPP Labuan terdiri dari dua spesies yaitu ikan kem- bung lelaki ( Rastrelliger kanagurta ) dan ikan kembung perempuan ( Rastrelliger

Ikan kembung lelaki di Laut Jawa mempunyai dua kali musim pemijahan yaitu pada musim barat dari bulan Oktober sampai Februari dan pada musim timur dari bulan Juni